Sabtu, 25 Januari 2014

Tegas dalam Mendidik Keluarga


Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di atasnya (yaitu yang menjaga neraka adalah) malaikat-malaikat yang kasar (hati dan perlakuannya), keras (dalam menyiksa), dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka (senantiasa) mengerjakan apa yang diperintahkan - Q., s. Attahrim [66]: 6


Penanaman ajaran dan nilai-nilai keagamaan baik yang bersifat personal maupun sosial akan lebih mudah dilakukan bila bermula dari rumah. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang berperan besar dalam menjalankan fungsi pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehancuran suatu kelompok masyarakat dapat berawal dari terkikisnya peran pendidikan keluarga yang di antaranya tergambar dari ketakpedulian para anggotanya terhadap anggota keluarga lainnya.

Ayat ini menegaskan kewajiban kita untuk menjaga diri dengan memastikan bahwa diri kita dan keluarga kita tidak melakukan pelanggaran nilai dan norma agama yang kelak dapat mengantar ke dalam kobaran api neraka. Secara lebih khusus Ibn ‘Asyur menulis bahwa ayat ini mengingatkan kita agar kecintaan kita pada anggota keluarga jangan sampai menghalangi kita untuk memberikan teguran atau peringatan atau nasihat kepadanya saat ia berbuat salah dengan melanggar nilai dan norma agama.

Terkadang, demi menyenangkan salah satu anggota keluarga kita, kita tidak tegas dalam mengingatkannya. Kita tidak mengacuhkannya. Bahkan, kadang tanpa sadar kita juga terikut pada perbuatan yang tidak benar itu.

Peringatan untuk menjaga keluarga agar tidak keluar dari nilai dan norma agama yang ditegaskan ayat ini tidak berdiri sendiri tanpa latar keadaan tertentu. Jika melihat pada lima ayat sebelumnya yang menjadi pembuka surah Attahrim ini dan cukup terkait dengan ayat ini, maka dalam kitab-kitab tafsir dikemukakan bahwa kelima ayat tersebut menuturkan satu peristiwa sekaligus turun sebagai peringatan Allah atas sikap Nabi saw. yang berjanji untuk tidak melakukan sesuatu demi menyenangkan salah seorang istrinya yang sedang cemburu.

Alkisah, suatu saat Hafshah dan ‘Aisyah diliputi rasa cemburu pada salah seorang istri Nabi, Zaynab binti Jahsy. Penyebabnya, suatu hari Nabi minum madu dan tinggal relatif lama bersama Zaynab. Kebetulan setelah itu Nabi kemudian masuk ke rumah Hafshah, dan Hafshah mencoba mengelabui Nabi dengan mengatakan bahwa dia mencium aroma kurang sedap dari mulut beliau. Singkat cerita, dengan niat untuk menghibur Hafshah, pada akhirnya Nabi berjanji untuk tidak meneguk madu lagi. Sebagai tambahan, Nabi menyampaikan kepada Hafshah agar tidak menyampaikan hal ini kepada ‘Aisyah karena khawatir akan timbul persoalan lain.

Namun ternyata Hafshah membocorkannya kepada ‘Aisyah. Nabi akhirnya mendapatkan informasi soal kebocoran ini dari Allah. Beliau marah dan menurut satu riwayat memisahkan diri dari istri-istrinya selama satu bulan.

Ayat keenam ini, yang merupakan kelanjutan dari rangkaian ayat yang menerangkan peristiwa masalah Nabi dengan Hafshah, memberikan pesan kepada Nabi dan kita semua untuk bersikap tegas dalam menjaga seluruh anggota keluarga agar tetap berada dalam garis norma agama. Nasihat, peringatan, dan petunjuk, haruslah diberikan jika ada anggota keluarga yang berperilaku di luar ajaran agama.

Ilustrasi yang disajikan dalam kitab-kitab tafsir klasik bisa berupa ketegasan dalam mengingatkan pelaksanaan kewajiban agama. Dalam hal ini, dikutiplah sebuah riwayat, bahwa Nabi saw. bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”

Gambaran yang lain dapat berupa dorongan untuk melakukan ibadah atau kebajikan. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Nabi bersabda: “Allah mengasihi seorang lelaki yang terjaga di malam hari lalu bershalat dan kemudian membangunkan keluarganya. Jika tidak mau bangun, ia lalu memercikkan air ke wajah keluarganya. Allah mengasihi seorang perempuan yang terjaga di malam hari lalu bershalat dan kemudian membangunkan keluarganya. Jika tidak mau bangun, ia lalu memercikkan air ke wajah keluarganya.”

Sikap tegas dalam mendidik anggota keluarga ini jika dicermati menunjukkan satu kerangka landasan kehidupan berkeluarga untuk menjadikan nilai dan norma agama sebagai rujukan utama dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Masalah apa pun yang dihadapi dalam keluarga mestilah diselesaikan berdasarkan petunjuk dan arahan agama. Sekali lagi, ini menegaskan bahwa kehidupan keluarga semestinya memang diletakkan dalam kerangka “kemitraan dengan Tuhan”, yakni dengan menempatkan Allah dalam puncak segitiga kemitraan bersama pasangan (suami/istri).

Bagaimana pendidikan dalam keluarga dilakukan? Ayat ini mengajarkan tiga nilai mendasar yang terangkum dalam tiga kata kunci: peduli, tegas, dan menghargai. Pertama, harus ada sikap peduli pada anggota keluarga. Elie Wiesel, penerima Nobel Perdamaian tahun 1986 pernah menulis: “Lawan dari cinta itu bukan kebencian, tapi sikap tidak acuh.”

Rasa peduli ini tentu terkait erat dengan rasa tanggung jawab dan kebersamaan. Tanggung jawab ini kelak pasti akan menjadi salah satu bagian yang akan ditagih dan diperhitungkan di Hari Akhir. Sebuah hadis sahih meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya akan kepemimpinannya. Seorang pemimpin masyarakat akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban.”

Kata kunci kedua, tegas. Sikap tegas dalam mendidik ini dapat tergambar dari kisah Nabi dan Hafshah di atas. Sikap tegas bisa dilihat sebagai bentuk keberanian dan kemampuan untuk mengatasi subjektivitas emosi atau perasaan yang terkadang dapat melunturkan komitmen seseorang pada kerangka dasar pernikahan sebagai “kemitraan dengan Tuhan”. Dalam kejadian di atas, tampak bahwa Nabi pun dapat tergelincir pada sikap yang keliru sampai-sampai mengharamkan hal tidak dilarang oleh agama (minum madu) hanya demi menyenangkan istri beliau. (Inilah latar peristiwa mengapa surah ini diberi nama “Attahrim” yang berarti “mengharamkan”).

Nilai ketiga, menghargai. Dalam ayat ketiga surah ini, al-Qur’an mengajarkan bahwa teguran kepada anggota keluarga haruslah disampaikan dengan cara yang penuh penghargaan, yakni dengan tidak menyebutkan nama orang yang bersalah di depan umum. Ayat ketiga surah Attahrim ini tidak secara khusus menyebutkan nama istri Nabi yang terlibat dalam masalah tersebut. Dikisahkan bahwa salah seorang sahabat Nabi yang juga penafsir al-Qur’an, Ibn ‘Abbas, tak kunjung mengetahui siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut hingga sekitar setahun kemudian dari turunnya ayat ini ‘Umar bin al-Khaththab memberitahukannya tentang siapa yang dimaksud ayat itu.

Terakhir, penting untuk disampaikan bahwa perintah al-Qur’an tentang kerangka nilai pendidikan dalam keluarga ini tidak semata-mata ditujukan kepada laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Meskipun redaksi ayat ini menunjuk kepada laki-laki, tetapi subjek yang dimaksud ayat ini bukan hanya laki-laki melainkan juga perempuan. Susunan redaksi serupa digunakan al-Qur’an dalam menuturkan perintah puasa. Poin ini juga perlu disampaikan karena sudut pandang ini akan menegaskan kembali status kemitraan dalam kehidupan berkeluarga.

Wallahua‘lam.


Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

‘A’isyah Bintusy-Syathi’, Istri-Istri Nabi saw, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet. II, 2004.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Pesan Moral al-Qur'an untuk Menghargai Perempuan
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


0 komentar: