Kamis, 23 Januari 2014

Pesan Moral al-Qur’an untuk Menghargai Perempuan


Hai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mempusakai (harta atau diri) wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena (kamu) hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya (berupa maskawin atau mengambil warisan dari bekas suaminya), kecuali apabila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata (maka kamu boleh mengambil sebagian dari harta itu dengan menuntut cerai). Dan bergaullah dengan mereka secara ma‘ruf (patut). Selanjutnya apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah dan jangan terburu-buru menceraikannya) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Dan jika kamu (suami) ingin mengganti pasangan (istri) dengan pasangan yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (berupa maskawin), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan (melakukan) tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sungguh sebagian kamu telah bergaul luas (sebagai suami-istri) dengan sebagian yang lain. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (untuk hidup bersama dan saling menjaga rahasia).

Q., s. Annisa’ [4]: 19-21


Pada saat Islam datang, cukup banyak tradisi masyarakat Arab jahiliyah yang tidak menghargai kaum perempuan. Misalnya, ada praktik pertukaran pasangan (nikah al-badal). Ada juga praktik mengizinkan istri yang baru tuntas dari menstruasi untuk “dihubungi” oleh lelaki yang dinilai punya bibit unggul. Praktik-praktik ini dipandang sebagai praktik yang sah.

Perlakukan semena-mena pada perempuan juga terdapat dalam masalah hubungan dalam keluarga. Dalam masyarakat Arab jahiliyah sebelum Islam, bila ada seorang suami meninggal, maka istrinya dianggap milik atau harta warisan untuk anak tiri atau keluarga si suami. Si anak tiri atau keluarga si suami dapat menikahi si perempuan tanpa mahar. Jika pun tidak hendak menikahinya, si anak tiri atau keluarga si suami dapat melarang si istri untuk menikah dengan motif keuntungan materi.

Praktik ini memang tidak direstui oleh kebanyakan masyarakat jahiliyah sehingga oleh mereka disebut nikah al-maqt (pernikahan yang dimurkai). Praktik seperti inilah yang ditegaskan pelarangannya oleh ayat ini. Demikian pula, ayat ini melarang untuk mengambil sebagian maskawin kecuali jika si istri memang terbukti berbuat keji (berzina).

Di samping menegaskan sikap Islam terhadap praktik masyarakat jahiliyah, tiga ayat ini pada dasarnya memang mengatur aspek hukum (fikih) dalam keluarga yang mengalami konflik (perceraian). Wahbah al-Zuhayli menyimpulkan bahwa ketiga ayat ini menegaskan empat ketentuan. Pertama, perempuan tidak boleh dijadikan barang warisan. Kedua, perempuan yang baru ditinggal suaminya tidak boleh dihalang-halangi atau dipersulit untuk menikah kembali. Ketiga, suami harus bergaul dengan istrinya secara patut. Keempat, perempuan harus mendapatkan maskawin secara utuh.

Di balik keempat hal yang disebutkan oleh Wahbah ini yang juga diulas oleh ulama-ulama tafsir lainnya, terdapat beberapa pesan moral Islam untuk menghargai perempuan, khususnya dalam hal kehidupan berkeluarga. Pertama, perempuan harus dipandang sebagai pribadi yang utuh yang juga memiliki harga diri yang sama dengan laki-laki. Ia bukanlah serupa barang atau harta yang dapat diwariskan begitu rupa sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah. Ia adalah seorang pribadi yang juga memiliki kehendak dan bisa membuat keputusan atas masa depan dirinya.

Jika kita coba mempertemukan pesan moral al-Qur’an dengan kerangka pandang filosof Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), maka berarti perempuan tidak boleh dipandang sebagai alat (Zuhandenes). Zuhandenes secara harafiah berarti “siap-untuk-tangan”. Keberadaan alat-alat menurut Heidegger berstruktur “untuk”. Gergaji “untuk” memotong. Uang “untuk” membeli sesuatu. Maka jika perempuan dipandang sebagai alat, ia berada “untuk” sesuatu yang lain, yakni untuk laki-laki, sehingga keberadaannya hanya untuk “diperalat”. Ia tidak memiliki nilai (martabat) pada dirinya sendiri.

Menurut Heidegger, manusia (laki-laki dan perempuan) berada dalam kerangka Mitsein (ada-bersama). Budi Hardiman merangkum gagasan Heidegger ini dengan menyatakan bahwa “kita mengenal Ada kita tidak hanya melalui diri kita sendiri, melainkan juga melalui Ada orang-orang lain”. Kerangka semacam inilah yang mungkin didukung oleh al-Qur’an dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan.

Pesan moral kedua, perempuan dalam kehidupan berkeluarga harus diperlakukan secara ma‘ruf (patut). Dalam tafsir-tafsir klasik, hal ini dijelaskan dengan kewajiban suami untuk berperilaku yang lembut, mencukupi nafkah keluarga, menyediakan tempat tinggal yang layak, dan semacamnya. Al-Qurthubi misalnya mengemukakan pendapat ulama secara khusus tentang kewajiban untuk menyediakan pelayan untuk istri. Seringkali, dikutip sebuah hadis untuk memperjelas pesan atau perintah untuk bergaul secara patut ini. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda: “Sebaik-baik kamu sekalian adalah yang berperilaku baik kepada keluarganya. Dan saya adalah orang yang bersikap baik kepada keluarga.”

Perintah bergaul secara patut ini juga berlaku meskipun bahtera keluarga sudah tidak berada dalam situasi yang diharapkan (ideal). Quraish Shihab mengutip dan mendukung pendapat al-Sya‘rawi, ulama Mesir yang meninggal tahun 1999, dalam menjelaskan perintah al-Qur’an yang berbunyi “wa ‘âsyirûhunna bil-ma‘rûf” ini. Menurut al-Sya‘rawi, perintah ini tertuju kepada para suami yang tidak lagi mencintai istrinya. Struktur ayat ini menunjukkan bahwa situasi yang dibahas adalah situasi konflik atau ada hal yang kurang harmonis dalam keluarga. Jadi, walaupun cinta (juga mawaddah) telah pupus, perilaku yang ma‘ruf (patut) harus tetap dijaga.

Alkisah, dahulu ada seseorang yang hendak menceraikan istrinya karena sudah tidak cinta lagi. ‘Umar bin al-Khaththab menanggapi hal itu dengan pertanyaan retoris: “Apa rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Jika begitu, lalu di mana nilai-nilai luhur? Mana pemeliharaan, mana amanah yang engkau terima?”

Mengiringi perintah untuk bergaul secara patut, ayat di atas berlanjut dengan sebuah peringatan bahwa bisa jadi sesuatu yang sedang dibenci oleh si suami itu memuat banyak kebaikan. Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa bagian ini memberikan petunjuk bagi kita untuk betul-betul berpikir secara matang dan mendalam sebelum membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan pernikahan. Jangan sampai kita tertipu oleh hal-hal yang bersifat lahiriah dan gagal menangkap hal-hal baik yang terdapat di balik itu semua. Atau jangan sampai kita membuat keputusan secara sembrono karena kita sedang dikuasai oleh emosi atau syahwat. Demikian penjelasan Ibn ‘Asyur.

Kedua pesan moral yang pada intinya mengingatkan kita semua untuk benar-benar menghargai perempuan atau istri dalam keluarga meskipun berada dalam situasi tidak ideal ini oleh al-Qur’an disajikan dengan dua latar atau alasan (argumen) yang cukup mendasar. Yang pertama, al-Qur’an mengingatkan para suami agar mereka mestinya tidak lupa bahwa antara diri mereka dan istri mereka telah bergaul luas tanpa batas. Untuk menyampaikan pesan ini, al-Qur’an menggunakan kata afdhâ yang berarti “luas”. Kata afdhâ ini biasa juga digunakan untuk menggambarkan keluasan angkasa.

Dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir bahwa kata afdhâ dipahami berbeda oleh para ulama. Kebanyakan ulama mengartikannya dengan “berjimak” (bersetubuh). Sebagian memaknainya dengan “berduaan di tempat sepi”. Pendapat mayoritas ulama ini menunjukkan bahwa akad pernikahan yang kemudian memberi status halal bagi pasangan laki-laki dan perempuan untuk berhubungan badan membuka jalan bagi keduanya untuk berbagi semua hal dalam lapisan diri mereka secara penuh. Seolah-olah, tak ada lagi rahasia lahir dan batin di antara mereka.

Dengan hilangnya sekat lahir-batin antara suami dan istri dalam jalinan hubungan pernikahan, maka dengan akal sehat yang cermat dan empati yang mendalam mestinya suami dapat tetap memperlakukan istrinya dengan baik dan penuh kesabaran meski kondisi rumah tangganya sedang retak. Dengan telah hilangnya batas lahir-batin itu, bagaimana mungkin suami akan tega untuk memberi tuduhan palsu kepada istrinya hanya demi memperoleh kembali sebagian maskawin yang telah diberikannya?

Ayat ketiga dalam rangkaian ayat ini menggunakan bentuk kalimat tanya bernada heran setelah didahului oleh bentuk negatif (istifhâm ta‘ajjubî ba‘da-inkâr). Dengan latar dan argumen ini, Ibn ‘Asyur menyebut suami yang melanggar poin ini sebagai seorang yang tidak punya sifat harga diri (murû’ah).

Argumen kedua, al-Qur’an menjelaskan ikatan pernikahan dengan ungkapan mîtsâqan ghalîzhâ (perjanjian yang kuat). Ungkapan ini digunakan al-Qur’an hanya di tiga tempat. Pertama, dalam ayat yang menggambarkan hubungan suami-istri pada ayat ini. Kedua, dalam menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi (Q., s. al-Ahzab [33]: 7). Ketiga, perjanjian Allah dengan bani Israil dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama (Q., s. Annisa’ [4]: 154).

Dari sini kita bisa melihat betapa Allah telah menempatkan ikatan pernikahan secara istimewa karena Dia menyejajarkan ikatan pernikahan itu dengan sesuatu yang agung: perjanjian Allah dengan para nabi.

Dalam sebuah esai menarik, Khaled M. Abou El Fadl menjelaskan status istimewa ikatan pernikahan ini untuk menjadi titik tolak seseorang dalam memahami pernikahan. Dalam ayat yang lain, Allah menyampaikan bahwa dalam pernikahan terdapat anugerah sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Abou El Fadl, ini dapat diraih jika kita menempatkan pernikahan sebagai hal yang serius dan istimewa, sebagaimana perjanjian Allah dengan para nabi. Abou El Fadl menawarkan kerangka pernikahan sebagai upaya membangun kemitraan dengan Tuhan (partnership with God).

Apa yang dimaksud dengan kemitraan dengan Tuhan? Abou El Fadl menjelaskannya dengan ungkapan bahasa Arab: “tu‘âmil Allâh fî mâ ta‘mal.” Artinya, “kau berurusan dengan Allah dalam apa saja yang kau lakukan.” Secara sederhana, maksudnya mungkin bisa digambarkan dengan menempatkan Allah dalam puncak segi tiga kemitraan bersama pasangan. Jadi, dalam pernikahan itu sepasang laki-laki dan perempuan menjalin hubungan kemitraan, dan Allah berada di titik ketiga yang menjadi poros jalinan kemitraan tersebut. Dalam bahasa Abou El Fadl, Tuhan adalah mitra-purna dalam pernikahan.

Namun, menjaga nilai mîtsâqan ghalîzhâ atau jalinan kemitraan dengan Tuhan ini tidak cukup mudah. Ia membutuhkan niat, ketekunan, dan keteguhan. Dalam konteks mencari pasangan, Abou El Fadl mengingatkan betapa pentingnya saat mempertimbangkan untuk memilih seseorang sebagai pendamping hidup agar mencari “seseorang yang berkomitmen untuk menjunjung tinggi kemitraannya dengan Tuhan”, “seseorang yang berkomitmen pada pernikahan yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan ilahiah.”

Status istimewa dalam ungkapan mîtsâqan ghalîzhâ ini juga mengisyaratkan beratnya tanggung jawab untuk menjaga “perjanjian yang kukuh” tersebut. Kata “menjaga” di sini penting untuk digarisbawahi karena tampaknya nilai konservasi dalam perjanjian pernikahan bernilai cukup penting dan, sekali lagi, menuntut tekad yang kuat. Apalagi jika kita mencermati proses-proses sosial, khususnya dalam cara orang saling berhubungan, yang kian hari semakin rumit dan seperti tertebak—sebuah dunia yang oleh Anthony Giddens disebut “runaway world”.

Giddens dalam sebuah bukunya menggambarkan dampak globalisasi yang telah mengubah berbagai lembaga tradisional, termasuk keluarga (juga agama). Lalu-lintas informasi yang begitu dahsyat kini berpengaruh hingga ke lapisan masyarakat tradisional. Dari negara maju seperti Amerika hingga negara berkembang seperti di Afrika atau Asia, semua terkena dampak. Bedanya hanya tingkat dampaknya saja. Di antara dampak yang mengemuka adalah benturan antara nilai-nilai tradisional keluarga, seperti keintiman, tujuan pernikahan, hubungan anak-orangtua. Hal-hal semacam inilah yang akan menantang setiap pasangan untuk menjaga perjanjiannya itu.

Latar normatif (mîtsâqan ghalîzhâ) dan latar yang cenderung bersifat empiris-faktual (ungkapan afdhâ) ini kiranya penting untuk diperhatikan dan mungkin bisa menjadi salah satu benteng untuk bersiasat menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Bagi kaum muslim, hal ini juga sangat penting untuk tetap memastikan bahwa jalinan pernikahan yang dibangun tidak terlepas dari dimensi religius dan ilahiah.

Wallahua‘lam.


Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, Profile Books, London, 1999.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003.

Khaled M. Abou El Fadl, Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam, University Press of America, New York, 2001.

M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, Lentera Hati, Jakarta, 2011.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


0 komentar: