Jumat, 15 Juli 2016

Ilham Revolusi Mental dari Imam Syafi’i


Judul buku: Al-Hikam Imam Syafi’i: Mutiara Hikmah dan Syair Indah Imam Ahlussunnah
Penyusun: Muhammad Al-Faiz dan Juman Rofarif
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, April 2016
Tebal: 228 halaman
ISBN: 978-602-1687-87-1


Kaum muslim Indonesia mengenal Imam Syafi’i (w. 820) sebagai pendiri mazhab Syafi’i, yakni mazhab fikih yang paling banyak dianut muslim Indonesia. Sisi lain Imam Syafi’i ada yang kurang dikenal, misalnya bahwa ia juga seorang ahli bahasa. Dari kecintaannya pada bahasa dan juga syair sejak kecil, Imam Syafi’i sebenarnya juga menulis syair-syair indah dan ungkapan-ungkapan penuh hikmah.

Buku ini menghimpun syair-syair dan ungkapan hikmah Imam Syafi’i yang diambil dari 36 kitab. Sembilan kitab di antaranya ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, sedang sisanya ditulis oleh ulama-ulama terkemuka—seperti al-Ghazali, Imam Nawawi, Ibn al-Jauzi, Ibn Hajar al-Asqalani—yang mengutip syair atau ungkapan hikmah Imam Syafi’i.

Syair-syair dan hikmah yang terhimpun dalam buku ini mengangkat tema yang beragam, mulai dari tema spiritualitas, ilmu, persahabatan, percintaan, nasihat kehidupan, dan sebagainya. Agak disayangkan bahwa syair dan hikmah yang terhimpun dalam buku ini tidak disusun secara berurutan berdasarkan tema-tema tersebut sehingga syair atau hikmah yang mengangkat satu tema dapat tersebar di halaman-halaman yang terpisah.

Banyak syair Imam Syafi’i yang termuat dalam buku ini mengungkapkan kemuliaan ilmu dan pentingnya belajar. Imam Syafi’i berujar bahwa orang yang tidak mau mencicipi pahitnya mencari ilmu meski sesaat akan menenggak hinanya kebohohan sepanjang hayat (hlm. 39). Yang menarik, Imam Syafi’i memberi nuansa sufistik dalam proses belajar. Dalam sebuah syairnya Imam Syafi’i bertutur dengan gaya orang pertama bahwa orang yang buruk hafalannya bisa jadi karena ia masih suka berbuat maksiat. Karena ilmu adalah cahaya, maka cahaya Allah itu tidak diberikan kepada para pelaku maksiat (hlm. 48).

Lebih dari itu, Imam Syafi’i menegaskan bahwa menjadi pandai atau belajar saja tidaklah cukup. Ilmu itu harus dapat melembutkan perilaku orang yang memilikinya, memperbaiki akhlaknya, dan memberi hidayah pada hatinya. Jika orang yang terpelajar ternyata tidak menunjukkan perilaku dan perangai yang baik, bagi Imam Syafi’i itu adalah sebentuk petaka (hlm. 88).

Tema akhlak dalam bergaul juga banyak ditemukan dalam buku ini. Imam Syafi’i misalnya memberikan hikmah tentang cara memberi nasihat kepada orang lain. Menurutnya, memberi nasihat itu sebaiknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena jika dilakukan secara terbuka hal itu sama dengan menghinakan dan mencemarkan nama baiknya (hlm. 128).

Dalam soal persahabatan, Imam Syafi’i mengingatkan bahwa meski kita tidak dapat menarik manfaat dari persahabatan dengan orang lain, kita mestinya tidak mengambil untung dengan memusuhi orang lain (hlm. 25). Imam Syafi’i juga mengingatkan bahayanya sifat dengki. Menurutnya, sifat dengki akan menutup kemungkinan terbukanya pintu persahabatan (hlm. 27).

Dalam konteks era informasi yang salah satunya ditandai dengan merebaknya media sosial berbasis internet, ada hikmah Imam Syafi’i yang bernilai kontekstual. Di antaranya pesan agar kita berhati-hati dalam berbicara karena luka yang diakibatkan oleh mulut atau kata-kata tak bisa disembuhkan (hlm. 17, 57, 61). Ada juga pesan agar jangan suka menyebarkan informasi dari sumber yang tidak diketahui kredibilitasnya. Bagi Imam Syafi’i, sikap seperti itu bisa disebut “dusta yang samar” (hlm. 218).

Syair-syair dan ungkapan hikmah yang terdapat dalam buku ini mengandung muatan pesan yang mendalam terutama untuk merevolusi mental kita semua yakni untuk menjadi pendorong dan ilham bagi perubahan mental. Ungkapan-ungkapan bijak yang terdapat dalam buku ini jika dihayati dan direnungkan secara mendalam dapat membangkitkan nurani kita yang tergerus oleh rutinitas hidup sehari-hari.


Tulisan ini dimuat di Koran Madura, 15 Juli 2016.


0 komentar: