Kamis, 03 September 2015

Ihwal Pembangunan


Melalui proses yang mungkin jarang diperhatikan, sebuah kata terkadang menjadi mantra. Maknanya dipahami begitu saja sebagaimana biasa dan apa yang tersimpul di balik makna kata itu dalam kehidupan yang nyata dipandang benar dan wajar adanya.

Sesekali, mari kita cubit nalar kita sedikit agar ia tidak lelap di antara sihir kerutinan hidup yang terus menguasai kita.

Misalnya tentang kata “pembangunan.” Secara kebahasaan, kata “pembangunan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti “proses, cara, perbuatan membangun.” Ia dipandang menggambarkan sesuatu yang baik—bahkan kadang harus dilakukan. Tapi apa jadinya jika kata “pembangunan” telah menjadi mantra?

Tadi siang, saat melintas di jalan menuju rumah saya di Desa Taro’an, Tlanakan, Pamekasan, saya melewati jalan yang sedang diperbaiki. Beberapa bulan lalu, jalan beraspal selepas kota Pamekasan menuju rumah saya ini penuh lubang. Persisnya, kerusakan parah ada di titik 3 kilometer menjelang rumah. Tapi sejak beberapa hari yang lalu jalan ini mulai diperbaiki. Ada beberapa kendaraan berat yang bekerja sepanjang hari. Truk-truk besar lalu-lalang mengangkut kerikil dan seperti pasir kasar yang digunakan untuk mempertinggi jalan.

Lebih dari itu, jalan yang sejak pertama kali saya lewati di akhir 2013 tak pernah diperbaiki itu tampaknya juga akan diperlebar, termasuk juga di sebelum jalan yang aspalnya rusak berat. Tanda-tanda pelebaran itu tampak dari pohon-pohon yang ditebang di kanan kiri jalan. Batang-batang pohon rebah di atas tanah.

Inilah poin yang ingin saya bicarakan. Pengaspalan jalan, termasuk pelebaran jalan, tentu saja adalah contoh dari apa yang disebut “pembangunan.” Orang-orang, termasuk saya tentunya, akan menikmati jalan yang nantinya akan nyaman dan lebar ini. Namun demikian, jika pembangunan harus meminta tumbal berupa ditebangnya pepohonan yang di antaranya sudah cukup rindang itu maka ini sudah dianggap biasa dan wajar.

Memang betul, segala sesuatu bisa memuat risiko. Ini adalah risiko pembangunan, tepatnya pelebaran jalan. Pohon-pohon yang tumbang itu, yang untuk bisa rimbun dan rindang tidak bisa disulap dalam waktu semalam, adalah harga yang harus dibayar untuk jalan yang nyaman dan lebar.

Namun jika “pembangunan” tidak kita inginkan sebagai serupa mantra, maka kita harus berpikir tentang risiko atau tumbal yang diakibatkannya. Artinya, pohon-pohon itu mestinya benar-benar kita pertimbangkan.

Sayang pepohonan itu tak bisa berbicara atau menggugat atas posisinya sebagai risiko pelebaran jalan. Jika pepohonan itu menjadi seperti Ent di trilogi The Lord of the Rings, mereka mungkin akan menunjukkan bahwa makna “pembangunan” bisa memberi sesuatu yang mungkin akan merugikan.


Read More..