Selasa, 04 Agustus 2009

Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)


Pekan terakhir di Jakarta, saya menyelesaikan urusan legalisasi akta kelahiran untuk Belanda. Di hari Senin (27/7), saya mengambil terjemahan kutipan akta kelahiran saya di Manggarai. Senin itu saya berangkat dari Ciputat, karena saya bermalam di kontrakan sepupu saya, Ubaidillah. Dari Manggarai, saya kembali ke Kuningan, ke Kedutaan Belanda, untuk melegalisasi terjemahan kutipan akta kelahiran. Prosesnya cukup lancar. Setelah itu, saya kemudian melanjutkan ke Gambir, untuk memesan tiket kereta ke Jogja.

Alhamdulillah semua berjalan lancar. Dari Gambir, saya mampir INFID sebentar di Mampang, untuk kemudian terus pulang ke Parung. Saya tiba di Parung lebih awal dari biasanya. Jika tak salah, saya tiba sekitar pukul empat sore.

Saat sedang mengaji seusai salat Maghrib, saya mendapat kabar dari rumah bahwa embah putri saya meninggal dunia. Memang, saat di jalan menuju Parung, saya mendapat kabar dari adik saya di rumah bahwa embah putri sedang kritis di ICU RSUD Sumenep. Begitu mendapat kabar itu, saya pun segera mengatur ulang jadwal saya untuk bisa lebih cepat pulang. Keputusannya: saya akan meninggalkan Jakarta 3 hari lebih awal dari jadwal semula, yakni langsung setelah acara Pre-Departure Briefing Uni Eropa hari Rabu 29 Juli.

Maka, pada keesokan harinya, setelah mengambil dokumen yang dilegalisasi di Kedutaan Belanda, saya langsung kembali ke Gambir untuk mengubah jadwal kereta saya ke Jogja. Alhamdulillah saya tidak mendapat masalah.

Dari Gambir, saya langsung menuju Ciputat, ke Ubaidillah. Sekitar jelang Asar, saya mengunjungi seorang rekan ayah saya di komplek Taman Kedaung Ciputat. Saya pun bermalam di sana. Sebelum malam tiba, saya mengambil barang-barang saya di Parung, sambil berpamitan.

Malam harinya, saya diajak oleh H Husein, teman ayah saya itu, ke pertemuan alumni Jerman. Sebenarnya saya sudah agak kecapekan. Tapi saya berpikir ini acara menarik. Kami tiba di tempat acara yang dilangsungkan di Pertamina Learning Center sekitar pukul tujuh petang. Beberapa orang sudah tampak datang lebih awal. Pertemuan tampak sangat akrab. Saya bisa maklum, karena forum semacam ini juga sama dengan forum kangen-kangenan (nostalgia).

Acara malam itu ternyata semacam rapat evaluasi pengurus Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ). Saya menikmati betul perbincangan dan diskusi yang kritis dan hangat di malam itu. Saya juga bisa merasakan jejak-jejak Jerman dalam lalu-lintas pikiran dan diskusi di malam itu.

Acara paling akhir saya di Jakarta adalah menghadiri Pre-Departure Briefing Erasmus Mundus Scholarship Programme di Hotel Le Meridien pada hari Rabu 29 Juli. Saya berangkat pukul 07.30 WIB. Sempat sedikit cemas karena agak lama menunggu bus dari Ciputat, akhirnya saya tiba di tempat acara pukul 08.50 WIB. Masuk ke tempat acara, saya sempat agak gugup sebentar karena ternyata semua rekan penerima beasiswa Erasmus Mundus yang datang di acara ini tertib mengikuti pesan yang ditulis di undangan: berpakaian batik. Kebetulan kemeja batik saya dan beberapa pakaian yang lain dan beberapa buku ditinggal di Parung untuk dibawa bibi saya ke Madura (karena tas saya kelebihan muatan).

Meski salah kostum, saya akhirnya bisa santai-santai saja mengikuti acara menarik ini. Alhamdulillah, begitu masuk ke ruangan, saya langsung menemukan rekan ngobrol yang asyik. Namanya Diding Sakri. Kebetulan sekali, saya sudah pernah mendengar nama ini, diperkenalkan oleh seorang mantan teman kos saya saat di Jogja dulu yang kebetulan punya kegiatan bersama Mas Diding ini. Diding Sakri akan belajar tentang local development di Italia dan Jerman.

Saya berusaha mencari seorang kenalan yang lain, yang kebetulan satu fakultas dengan saya di Utrecht. Sayangnya, Agnes Theodora Gurning, teman yang ternyata banyak kenal dengan beberapa kawan aktivis di Filsafat UGM, belum tiba di tempat dan masih terjebak macet.

Pukul sembilan lewat beberapa menit, acara pembukaan dimulai. Pada acara pembukaan ini, ada satu mata acara yang cukup mengganggu saya, yakni saat sambutan dari perwakilan dari Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI. Pejabat yang mestinya menyampaikan sambutan tidak datang. Yang cukup mengganggu saya adalah: sudah sambutannya dibacakan dan berbahasa Indonesia, si pejabat langsung keluar dari tempat acara langsung setelah membacakan sambutannya yang tak berkelas itu. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kata Mas Diding, ini tipikal pejabat Indonesia.

Sepanjang acara di hari itu, nuansa Eropa sudah cukup terasa. Di acara pembukaan dan sesi pertama, pejabat Uni Eropa dan beberapa dari bagian pendidikan negara-negara Eropa (Prancis, Inggris, Belanda, Jerman) hadir dan memberikan presentasi tentang belajar dan tinggal di Eropa.

Selepas makan siang, giliran beberapa alumni penerima beasiswa Erasmus Mundus yang berbagi cerita dan pengalaman mereka. Pada saat sesi-sesi ini berlangsung, saya sedikit agak membandingkan dengan pertemuan alumni Jerman. Di pertemuan alumni Jerman, nuansa Jerman sangat kental—bahkan terkesan mereka begitu mengagumi hal-hal yang berbau Jerman. Di forum Uni Eropa, tak tampak hal semacam ini. Maklum, karena dalam program Erasmus Mundus Scholarship ini, semua belajar dan tinggal di paling sedikit dua negara Eropa.

Pengalaman yang dibagikan jelas sangat membantu saya untuk dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebelum tinggal dan belajar di Eropa nanti. Satu sesi khusus membicarakan tentang kejutan budaya (cultural shock) dan berbagai tip praktis lainnya.

Di akhir acara, ada sesi khusus untuk mereka yang pertama kali terbang ke luar negeri. Saya berusaha menyimak dengan seksama. Dan kesan yang saya tangkap, penerbangan internasional rasanya cukup ribet karena mensyaratkan beberapa hal khusus.

Acara di hari itu akhirnya ditutup menjelang pukul lima sore. Saya pun langsung melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir bersama keriuhan orang-orang yang bergegas kembali ke tempat tinggal mereka setelah seharian bekerja.

Rabu malam itu, saya pun meninggalkan Jakarta, setelah hampir tiga pekan keliling ke sana kemari untuk urusan persiapan studi saya. Tepat pukul 20.45 WIB, kereta ke Jogja bergerak perlahan meninggalkan jejak suara di kegelapan Jakarta.


Foto diambil dari Portaltiga dan The Jakarta Post online.

0 komentar: