Sabtu, 12 April 2008

Ganti Hati dan Renungan Menjemput Mati

Judul buku : Ganti Hati
Penulis : Dahlan Iskan
Penerbit : JP Books, Surabaya
Cetakan : Pertama, Oktober 2007
Tebal : viii + 328 halaman


Saat pertama kali dimuat secara bersambung di Harian Jawa Pos bulan Ramadan lalu, saya tak terlalu tertarik untuk membaca tulisan Dahlan Iskan bertajuk Ganti Hati. Lagi pula, Ramadan lalu, setiap pagi, saya punya jadwal yang cukup padat sehingga saya hanya melihat-lihat headline Jawa Pos, dan membaca berita sekadarnya.

Saya baru tertarik untuk membaca buku Ganti Hati ketika saya berjumpa dengan sahabat saya di Jakarta, di sebuah acara di akhir November tahun lalu. Di sela-sela acara yang kami ikuti, teman saya yang populer dipanggil Pak Guru itu mengajak saya untuk berkunjung ke Ibu Listiana Srisanti, kepala editor fiksi Gramedia. Di sana, Pak Guru—yang nama aslinya J Sumardianta dan mengajar di SMU Kolese de Britto Yogyakarta—memperlihatkan dan bercerita buku Ganti Hati yang baru dibacanya.

Sepulang dari Jakarta, saya sempatkan membeli buku Ganti Hati itu di sebuah toko buku di Surabaya. Beberapa hari kemudian, saya membaca buku itu. Tak genap dua hari saya melahap buku setebal 300-an halaman itu (teman saya yang meminjamnya kemudian menuntaskannya tak lebih dari 7 jam!). Dan ternyata Pak Guru tak salah: Ganti Hati memang buku bagus.

Buku Ganti Hati pada dasarnya adalah semacam catatan harian Dahlan Iskan yang menceritakan pengalamannya di sekitar operasi ganti hati yang dijalaninya di sebuah rumah sakit terkemuka di Tianjin, Tiongkok. Dasar seorang wartawan, Dahlan merekam semua pengalamannya itu dengan cukup terperinci untuk kemudian disajikan dalam sebuah tulisan berseri selama 32 hari.

Karena keluasan wawasan dan pengalaman yang dimilikinya, selain mungkin juga karena teknik penulisannya yang cukup mengalir dan pintar mengelola alur, maka buku Ganti Hati ini kemudian menjadi lebih dari sekadar catatan pengalaman cangkok hati. Ia juga bisa bergerak ke sana kemari: bercerita tentang lika-liku kehidupan Dahlan yang kemudian mengantarkannya pada kesuksesan bisnis yang diraihnya saat ini, mengkritik berbagai fenomena sosial-politik, atau juga mengantar pada perenungan hidup yang mendalam di sekitar—meminjam istilahnya Pak Guru—zona sakaratul maut.

Dahlan menjalani operasi ganti hati karena livernya sudah rusak. Ada tiga kanker yang sudah berbiak dalam livernya itu, selain dua calon kanker yang lain yang siap bersarang. Secara medis, fungsi liver Dahlan sudah nyaris tak berfungsi karena mengalami sirosis. Kadar albuminnya juga rendah, yakni 2,7 (normalnya 3,2), selama lebih dari 10 tahun, sehingga Dahlan susah berkeringat dan sulit buang air kecil.

Liver Dahlan rusak akibat virus hepatitis B yang tak dapat diatasi. Karena sudah rutin disuntik, Dahlan mengira hepatitisnya sudah beres. Tapi ternyata tidak demikian. Dahlan baru sadar bahwa virus hepatitis yang mendekam dalam tubuhnya ternyata telah nyaris mengancam nyawanya pada Mei 2005, ketika dalam waktu delapan hari ia terbang ke 19 kota. Setibanya dari perjalanan maraton itu, Dahlan muntah darah di Surabaya.

Sadar bahwa penyakitnya cukup serius, Dahlan pun berobat dan berkonsultasi dengan dokter, yang akhirnya menuntunnya pada keputusan untuk melakukan operasi ganti hati. Mengapa di Tiongkok? Dalam sebuah liputan di Majalah Tempo Dahlan menjelaskan bahwa dia memilih Tiongkok karena di sana tingkat kecelakaan lalu-lintas cukup tinggi, yakni 300 orang setiap hari (sebagian pasti meninggal), sehingga kemungkinan untuk mendapatkan hati yang cocok lebih besar daripada di Singapura, misalnya—di Singapura, bisa-bisa Dahlan harus antre 10 tahun! Di Tiongkok, Dahlan menjalani operasi di Rumah Sakit Yi Zhong Xin Yi Yuan, di Tianjin. Dokter yang memimpin operasinya bernama Shen Zhong Yang. Dokter berumur 52 tahun ini sudah melakukan operasi cangkok liver lebih dari 800 kali dan mencatat berbagai rekor cangkok liver.

Dengan kepekaan insting kewartawanannya, Dahlan mencatat detik-detik proses operasi dan hal-hal penting lainnya dengan cermat, dan kemudian dituturkan dengan baik. Akan tetapi, dalam buku ini Dahlan tidak hanya bercerita aspek medis dan teknis dari operasi ganti hati yang mengharuskannya untuk dibius selama 18 jam di awal Agustus 2007 lalu. Dahlan juga menghadirkan refleksi mendalam tentang makna kesederhanaan, kesyukuran atas nikmat hidup dan kesehatan, penanganan kesehatan masyarakat oleh negara, kaitan ilmu (kedokteran) dan agama, dan sebagainya.

Salah satu yang cukup menarik adalah ketika Dahlan membandingkan keberhasilan proses operasi yang dijalaninya dengan operasi yang dijalani Nurcholish Madjid yang gagal, sehingga ketika meninggal wajah Cak Nur menghitam. Pada saat itu ada pihak-pihak yang berbicara di media mencoba menghubungkan wajah Cak Nur yang menghitam itu dengan kemurkaan Tuhan yang dikaitkan dengan almarhum Cak Nur. Dalam salah satu bagian buku ini, Dahlan membongkar mitos tak berdasar dan kadang terkesan mengada-ada itu. Dahlan menjelaskan bahwa secara medis penderita sirosis akan mengalami wajah yang menghitam. Jadi, wajah menghitam saat meninggal itu belum tentu karena kemurkaan Tuhan. Yang pasti, menurut ilmu kedokteran, karena sirosis.

Membaca utuh Ganti Hati pada akhirnya akan mengantarkan kita pada satu kesimpulan besar betapa nikmat kesehatan yang kita miliki sungguh amat mahal harganya. Ironisnya, kebanyakan kita jarang sekali memberi harga yang tepat untuk nikmat kesehatan kita itu. Sering kali kesadaran kita akan nikmat kesehatan itu baru muncul saat kita tak lagi sehat dan tak berdaya. Refleksi Dahlan di zona sakaratul maut ini menyimpan banyak hikmah yang dalam yang semakin menyadarkan kita akan makna hidup yang bergulir menuju kematian, untuk kemudian masuk ke alam keabadian.

0 komentar: