Selasa, 24 Juli 2007

Kekerasan terhadap Anak Bertopeng Mendidik

Kekerasan terhadap anak memang masih menjadi persoalan yang akut. Beberapa tahun yang lalu, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur misalnya mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang diungkap di media Jawa Timur sepanjang 2002 ada 210 kasus. Sementara itu, Kak Seto Mulyadi di sebuah media nasional memaparkan, di banyak tempat dan forum pertemuan dengan para orangtua, terungkap bahwa diperkirakan 50-60 persen orangtua mengaku melakukan child abuse dalam berbagai bentuk.

Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak. Akibatnya, tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka.

Secara umum, ada sejumlah stigma yang berkembang di masyarakat tentang karakter anak tertentu yang dibilang “nakal” atau “susah diatur”, sehingga tindak kekerasan terhadap mereka menemukan pembenarannya untuk maksud mendidik. Mereka mengatakan bahwa anak dengan karakter seperti itu tak dapat dididik dengan cara biasa, tetapi memang harus dengan tindak kekerasan. Ironisnya, pandangan dan sikap seperti ini bahkan juga dianut oleh kalangan pendidik, seperti guru di sekolah formal, atau para orangtua yang berpendidikan. Kerap kali media memberitakan tentang anak yang dipukul, dijewer, atau dimaki secara berlebihan di ruang kelas sebagai bentuk hukuman dengan dalih mendidik atau untuk memberi efek jera.

Perlakuan semacam ini masih terjadi karena kalangan pendidik di sekolah ataupun orangtua pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang dampak kekerasan terhadap anak bagi kehidupan dan stabilitas psikologis mereka kelak. Tindak kekerasan itu hanya diletakkan dalam kerangka mendidik, dan tak diyakini dapat memberi dampak buruk kepada anak. Nyaris dapat dipastikan bahwa di masyarakat kita anak yang dikategorikan “nakal” atau “susah diatur” itu tidak akan mendapatkan perlakuan khusus yang lembut dan lebih baik untuk dapat diarahkan. Mereka dipastikan hanya akan mendapatkan tindak kekerasan.

Torey Hayden, psikolog pendidikan dan guru pendidikan luar biasa yang kini tinggal di Inggris, menulis banyak buku yang berkisah tentang bagaimana ia menangani (mendidik) anak-anak yang oleh masyarakat umum dipandang “nakal” dan “susah diatur”. Dari kisah Sheila yang terbit dalam dua jilid buku berjudul Sheila (Qanita, 2003), misalnya, Torey menunjukkan bahwa anak-anak semacam itu perlu disentuh hatinya dengan kesabaran dan kasih yang mendalam, dengan penuh empati, sehingga akhirnya justru potensi kreatifnyalah yang akan lebih tereksplorasi. Seperti ditegaskan oleh Dr. Karl Menninger, kasih itu menyembuhkan, bagi yang memberi dan yang menerima.

Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan juga rentan terjadi pada anak yang dinilai bodoh atau bahkan idiot. Berkat pencitraan media, para orangtua saat ini begitu mengidealkan anak-anaknya untuk dapat berprestasi secara formal di sekolah, pintar menyanyi, lincah menjadi MC, dan semacamnya. Obsesi semacam ini bukannya tidak baik. Akan tetapi, fakta di lapangan yang sering muncul adalah bahwa obsesi semacam ini kadang kala melahirkan sikap yang tak wajar dalam mendidik anak. Anak dengan kemampuan IQ rendah sering mendapatkan perlakuan keras baik di keluarga maupun di kelas untuk dibentuk menjadi pintar dan berprestasi. Sementara yang lainnya sering kali secara berlebihan didorong sedemikian rupa untuk memenuhi impian dan obsesi para orangtua itu, sehingga sering merasa tertekan dan tak punya waktu untuk bermain—sikap yang tak mempertimbangkan hak-hak dan dunia anak yang sebenarnya khas.

Dari uraian singkat ini, tampak jelas bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk dapat mengatasi tindak kekerasan terhadap anak adalah sosialisasi atau penyadaran yang bersifat paradigmatik baik kepada para orangtua maupun kalangan pendidik bahwa kekerasan terhadap anak tak dapat dijadikan topeng sebagai dalih untuk mendidik. Bagaimanapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Ia hanya akan melahirkan jejak traumatis yang tidak baik dan tidak menyehatkan bagi perkembangan pribadi anak. Guru, orangtua, dan tokoh masyarakat secara paradigmatik harus memosisikan diri mereka sebagai sahabat anak, memperlakukan mereka secara setara layaknya manusia dengan karakter dan taraf kepribadian yang unik. Kita tentu tak ingin memiliki generasi penerus yang dibebani dan dibayang-bayangi oleh trauma kekerasan dalam dirinya.

0 komentar: