Senin, 19 Desember 2005

Simone de Beauvoir dan Etika Pembebasan Perempuan

Judul Buku : Pembebasan Tubuh Perempuan:
Gugatan Etis Simone de Beauvoir terhadap Budaya Patriarkat
Penulis : Shirley Lie
Pengantar : Karlina Supelli
Penerbit : Grasindo, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2005
Tebal : xx + 102 halaman



Di kalangan para aktivis gender, Simone de Beauvoir merupakan salah satu tokoh kunci yang pemikirannya tak bisa dilewatkan untuk ditelaah. Magnum opusnya, Le Deuxième Sexe (1949), dicatat sebagai karya klasik yang memberikan uraian cukup komprehensif tentang kondisi (ketertindasan) perempuan dan telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam menginspirasi dan memotivasi gerakan-gerakan pembebasan perempuan. Karya klasiknya itu, yang dalam bahasa Inggris berjudul The Second Sex, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Promethea Yogyakarta (2003).

Buku yang semula adalah tesis di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta ini adalah salah satu dari sedikit karya dalam bahasa Indonesia yang mencoba mensistematisasi dan mengkontekstualkan pemikiran-pemikiran Beauvoir. Gagasan-gagasan Beauvoir yang dapat dikatakan bersifat filosofis dan merupakan kritik pedas terhadap budaya patriarkat yang menindas dalam buku ini diletakkan dalam kerangka praksis-etis pembebasan kaum perempuan. Untuk itu, penulis buku ini, selain mengolah dari The Second Sex, juga banyak mengolah pemikiran filosofis Beauvoir yang tertuang dalam The Ethics of Ambiguity.

Budaya patriarkat memulai riwayat penindasannya terhadap perempuan dengan stigmatisasi negatif terhadap kebertubuhan perempuan. Unsur-unsur biologis pada tubuh perempuan dilekati dengan atribut-atribut patriarkat dengan cara menegaskan bahwa tubuh perempuan adalah hambatan untuk melakukan aktualisasi diri. Perempuan diciutkan semata dalam fungsi biologisnya saja. Dengan cara demikian, tubuh bagi kaum perempuan tak lagi dapat menjadi instrumen untuk melakukan transendensi sehingga perempuan tak dapat memperluas dimensi subjektivitasnya kepada dunia dan lingkungan di sekitarnya. Tubuh yang sudah dilekati nilai-nilai patriarkat ini kemudian dikukuhkan dalam proses sosialisasi serta diinternalisasikan melalui mitos-mitos yang ditebar ke berbagai pranata sosial: keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan mungkin juga negara.

Dalam kerangka penjelasan seperti inilah maka perempuan kemudian diposisikan sebagai jenis kelamin kedua (the second sex) dalam struktur masyarakat. Akibatnya, perempuan tak dapat mengolah kebebasan dan identitas kediriannya dalam kegiatan-kegiatan yang positif, konstruktif, dan aktual. Dalam situasi yang demikian ini, pola relasi kaum laki-laki dan perempuan menjadi tak ramah lagi. Kaum laki-laki tak menghendaki adanya ketegangan relasi subjek-objek, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf-filsuf eksistensial, dengan menyangkal subjektivitas perempuan dan menjadikannya sebagai pengada lain absolut.

Pada titik inilah pemikiran Beauvoir tentang etika ambiguitas menjadi penting dikemukakan. Dengan etika ambiguitas, Beauvoir menolak sikap yang ingin mengelak dari ketegangan relasi tersebut. Menurut Beauvoir, ketegangan antara “kebutuhan akan orang lain” dan “kekhawatiran dikuasai orang lain” (diobjekkan) merupakan situasi yang harus diterima apa adanya dan ditransendensikan ke dalam situasi yang lebih proporsional dan manusiawi.

Jalan pembebasan kaum perempuan ditempuh dari dua jalur utama, yakni level pemikiran dan praktik. Pada tataran pemikiran, tubuh perempuan harus dibebaskan dari label-label yang ditempelkan oleh budaya patriarkat yang membuatnya tak leluasa melakukan proses transendensi. Selain menempatkan konsep subjek dengan tubuh yang berbeda dan ambigu, Beauvoir juga menyerukan untuk mengubah pola relasi antara kaum laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi ikatan manusawi dan etis, yang terangkum dalam semangat persahabatan dan kemurahan hati.

Di level praktik, Beauvoir mengusulkan pentingnya kemandirian ekonomi sebagai pintu pembuka bagi pembebasan tubuh perempuan, yang akan semakin mantap jika dipadukan dengan perlakuan setara terhadap perempuan di ranah sosial, budaya, dan politik, yang dicapai melalui revolusi sosial.

Selain melakukan sistematisasi, buku ini cukup berhasil melakukan kritik dan kontekstualisasi pemikiran-pemikiran Beauvoir dalam konteks problem-problem kekinian perempuan di era globalisasi. Di beberapa bagian, misalnya, menurut penulis buku ini, Beauvoir kadang terlihat terlalu menyederhanakan persoalan situasi perempuan dan tidak mengakomodasi kompleksitas situasi penindasan perempuan yang cukup rumit. Di akhir bagian, penulis buku ini menambahkan bahwa selain ancaman nilai-nilai patriarkat sebagaimana tampak jelas dalam pemikiran Beauvoir, perempuan kini juga ditantang oleh kekuatan pasar bebas yang untuk beberapa hal tak jauh berbeda dengan kultur patriarkat dalam soal menyempitkan ruang perempuan ke dalam kategori objek belaka, di tengah kegamangan kaum perempuan untuk terjun ke dalam ketegangan dan sifat dasar kebebasannya.

Karya ini cukup berhasil menyajikan pemikiran-pemikiran filosofis Simone de Beauvoir tentang praksis etis pembebasan perempuan dalam bahasa dan uraian yang cukup mudah dicerna tanpa harus kehilangan segi kedalaman kajiannya. Buat mereka yang terjun di level gerakan (sosial) pembebasan perempuan, buku ini dapat menyuguhkan peta umum kondisi perempuan dengan berbagai kompleksitas persoalannya, dan buat kaum perempuan sebagai individu, Beauvoir melalui karya ini memberikan semangat dan seruan untuk hidup lebih autentik dan hidup dengan menggali identitas dan kebebasannya.

* Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan edisi 45, Januari 2006


Read More..

Jumat, 16 Desember 2005

Mata Itu...

Di balik kelopak mata ini ada luka, lara, gelisah dan air mata. Saat dia terbuka, berjuta warna akan menyilaukannya. Jadi biarkan dia tertutup, mengatup dalam gelap. Karena gelap melindunginya dari kelelahan dalam perjalanan panjang.



Aku terdiam, terpaku menatap mata itu. Mata yang seperti menyimpan berjuta enigma. Mata yang seperti menanggung beban tiada terkira. Mata yang seperti tiba di titik frustrasi, tak menemukan ruang untuk berbagi. Mata yang bila membuka seperti hanya menemukan ufuk-lazuardi yang terluka di serambi rumahnya.

Mata itu seperti betul-betul ingin bertutur tentang banyak hal yang tak kuasa ia ungkapkan. Tapi mengapa bila kutanya dia hanya menjawab dengan diam? Malah kadang dengan sedikit nada marah, sambil mengingatkan, agar aku tak lagi menyinggung soal itu. Teramat banyak cerita; begitu miskin kata-kata. Mungkin, bila tiba saatnya ia harus mendedahkan semuanya, dengan terbata ia akan bertutur dengan air mata, yang mengalir ke hidung mungil dan sudut bibirnya yang kadang bergetar. Ia berlari menjauh, menumpahkan itu semua dalam kesendiriannya. Dalam kesunyiannya.

Sementara dunia tak akan ke mana-mana; ia akan tetap di sana, dengan segala merah, jingga, kuning, biru, dan kelabunya.

Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku sadar bahwa aku tak akan pernah bisa tahu sepenuhnya, apalagi merasakan sedalamnya, hamparan catatan harian yang tak kutulis sendiri. Jalan setapak yang rumputnya tak kuinjak. Paling-paling, dengan anugerah yang luar biasa, dengan imajinasi dan empati, aku mungkin saja melibatkan diri, membaca aksara-aksara yang ia pahatkan, garis-garis yang ia goreskan dan coretan-coretan spontan yang ia torehkan, yang kadang mewujud sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Meski sering aku sadar, bahwa suatu saat imajinasi dan empati akan membentur garis demarkasi, yang memisahkan dunia-yang-dicipta-olehnya dan dunia-yang-terberi-di-hadapan-kita-begitu-saja.

Sementara imajinasi dan empati sangat tidak cukup bila hanya diolah dari (pemandangan) mata. Ia membutuhkan sejumlah bahan lainnya. Semacam catatan resep, ruang, waktu, dan juga tempat adonan.

Kadang aku berpikir bahwa mata adalah semacam tabung besar tempat menyimpan rahasia-rahasia diri yang terdalam. Mungkin juga tempat menyimpan kegelisahan dan kebahagiaan. Tebersit tanya, seberapa besar sebenarnya daya tampung tabung itu? Mungkinkah, suatu saat, tabung itu meluap, memuntahkan segala isinya? Atau jangan-jangan ternyata di dalam ada semacam alat yang dapat mendaur sebagian atau seluruh isinya, mengolah gelisah menjadi gairah, mengubah air mata menjadi api semangat, mengubah resah menjadi senyum sumringah… Jangan-jangan, seperti kata seorang teman, mata-yang-memutuskan-untuk-terpejam itu melewatkan kelebat fajar, cahaya pagi yang menyegarkan, dan hanya kembali membuka saat ia hanya bisa menemukan temaram…

Sejauh masih ada nikmat kesempatan dan kekuatan, mengapa tak kau tatap lanskap dunia, meski horison senja terhalang kepul asap bercampur jelaga? Tidakkah kau yang mengajariku, bahwa kita tak pernah sendiri di sini, dalam perjalanan panjang yang memang melelahkan ini? Perjalanan panjang, tak pernah kita tahu seberapa juta jengkal untaiannya terhampar, ke arah mana berkelok, dengan siapa kita akan bergenggam tangan, di mana akhir tanjakan. Di antara sisa-sisa titik keberadaan kita yang rentan, kita mungkin masih punya kesungguhan, kecermatan, dan niat suci untuk menjalaninya dengan tegar hati.

Mata itu… Aku ingin selalu becermin di antara retakan-retakan semesta. Tapi aku juga ingin menyaksikan saudaraku, kerabatku, orang-orang yang kucinta, bisa menemukan bahagia di antara cermin yang selalu ia bawa.

Read More..