Selasa, 26 Februari 2002

Menulis Resensi Buku: Catatan Pengalaman

Resensi menurut Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti penilaian atau pertimbangan buku, atau ulasan buku. Menulis resensi buku tidak jauh berbeda dengan menulis artikel/opini. Bedanya hanya terletak pada gagasan yang diolah. Artikel membutuhkan suatu gagasan kompleks yang diolah secara baik (dengan bantuan konstruk teori tertentu yang menjadi perspektif, yang dalam bahasa Ignas Kleden (1996: vii-xxi) mengolah dan memadukan factual knowledge dan conceptual knowledge), dan karena itu amat tergantung kepada stok pengetahuan dan ketajaman perspektif analitis si penulis. Sedangkan pada resensi buku bahan hampir sepenuhnya berada dalam buku yang akan diresensi, meskipun juga butuh kejelian penulis untuk memberikan kritik serta perspektif yang tepat dalam menilai dan memposisikan isi buku tersebut.

Hernowo, redaktur Penerbit Mizan Bandung, menulis bahwa ada tiga kegunaan menulis resensi buku. Pertama, melatih untuk memahami gagasan dan isi buku secara efektif dan terstruktur. Tulisan pada dasarnya adalah upaya untuk mengikat pengalaman yang acak. Pengalaman membaca sebuah buku bila kemudian ditulis dengan baik berarti menata struktur pengalaman membaca gagasan buku (yang dapat saja bersifat acak) sehingga menjadi terorganisasi dengan baik. Kedua, resensi adalah medan untuk menjaga kesegaran wacana (pemikiran) yang dibaca dari sebuah buku. Tulisan (resensi) ibarat semacam tempat “curhat” setelah membaca sebuah buku. Ketiga, resensi membiasakan seseorang menyerap sesuatu yang bermanfaat (“gizi buku”). Ini karena resensi buku juga harus melalui tahap pemilahan gagasan penting dari buku itu.
Menulis resensi buku dilakukan untuk menginformasikan garis besar isi buku kepada orang lain, untuk kemudian dilakukan penilaian dan upaya kontekstualisasi isi buku dengan kondisi kekinian. Unsur penilaian dalam resensi dapat mencakup wilayah yang cukup luas: dari kondisi buku yang bersifat fisik (ukuran buku, desain dan lay-out) atau kandungan buku (editing, aktualitas tema, cara pemaparan masalah, struktur argumentasi, dsb). Menilai juga bisa mengkritik dan membandingkan sebuah buku dengan buku yang lain.

Cuma masalahnya mungkin karena ada banyak jenis buku yang dapat kita jumpai, baik dari segi permasalahan (tema) yang diangkat (sosial-politik, ekonomi, budaya, agama, seni, psikologi, dsb), dan “sifat” buku (kumpulan atau buku utuh, buku teori atau ulasan faktual, dsb.). Karena itu, konsekuensinya, akan ada banyak perbedaan dalam menggarap resensi berbagai jenis buku tersebut (termasuk mulai dari strategi memahami buku). Di sinilah peran kejelian penulis resensi untuk dapat membuat buku ini menarik, dan kontekstual (membumi).

Secara sederhana, ada beberapa langkah yang ditempuh dalam meresensi yaitu memilih buku, membaca dan menyerap saripati buku, dan menyusun komposisi tulisan (resensi).

Pertama, memilih buku yang akan diresensi. Langkah awal meresensi ini tidak bisa diabaikan. Ada beberapa kriteria buku yang memiliki nilai kelayakan untuk diangkat—seperti juga berita. Nilai sebuah buku tidak jauh berbeda dengan nilai sebuah berita. Dalam nilai berita dikenal adanya nilai timeliness (aktualitas buku pada suatu waktu), prominence (ketokohan si penulis buku), proximity (kedekatan buku dengan suatu komunitas pembaca), consequences (besar-kecilnya dampak buku itu dalam perkembangan masyarakat), dan human interest (menariknya buku dari segi cara hidup atau kehidupan manusia). Buku yang diterbitkan juga nyaris demikian, memiliki sifat-sifat nilai berita tersebut. Bedanya paling cuma pada tingkat kadar kualitasnya. Tapi, bila kita hendak memilih buku untuk diresensi, yang patut dipertimbangkan juga adalah masalah kecenderungan suatu media tertentu terhadap tema-tema dan karakter buku yang dimuat resensinya. Strategi awal ini penting, karena jenis buku yang berkualitas bagus biasanya resensinya dimuat tidak hanya di satu media, tapi hampir di semua media. Tapi ada juga buku tertentu yang tidak “disukai” oleh suatu media, tapi “disukai” media yang lain.

Langkah selanjutnya adalah memulai membaca buku dalam rangka menangkap alur dan pemikiran utama buku tersebut (menyusun resume/ringkasan). Sebaiknya—atau idealnya—buku yang akan diresensi dibaca seluruhnya. Apalagi bila peresensi sama sekali belum kenal dengan tema wacana yang dibicarakan atau belum kenal dengan gaya pemikiran si penulis. Akan tetapi, bila bukunya berupa kumpulan, bisa saja hanya dibaca beberapa tulisan yang dianggap penting dan memiliki keterkaitan langsung dengan judul/tema buku.

Setelah selesai dibaca, penulis resensi mesti mereview kembali alur gagasan buku dan memilah-milah gagasan-gagasan serta kata-kata kunci dari setiap bagian di buku itu (kalau perlu ditulis di secarik kertas, lengkap dengan halaman buku tersebut). Dari situlah, organisasi pikiran buku tertangkap. Setelah alur gagasan utama buku itu sudah dapat dicerna dengan baik, sekarang giliran peresensi untuk menentukan perspektif atau sudut pandang yang akan digunakan dalam meresensi buku tersebut, yang nantinya akan mewujud dalam bagian analisis (isi) buku.

Secara teknis, resensi berisi ringkasan buku yang diikuti dengan cara pandang peresensi terhadap buku atau gagasan yang terkandung dalam buku itu, termasuk pula kritik dan perbandingan. Membuka tulisan (resensi) biasanya dilakukan dengan menjejakkan tungkai-tungkai pemikiran atau isi buku dengan realitas aktual. Ini bisa dengen memanfaatkan beberapa momen peristiwa konkret yang berkaitan erat dengan isi buku, dengan berusaha dieksplorasi, sehingga sejak awal sudah tercermin nilai aktulitas dan nilai lebih buku. Bisa juga dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, atau dengan menyinggung profil penulis buku (bila mungkin). Yang perlu dicatat, bagian pengantar sebuah resensi tidak boleh terlalu panjang, karena nanti akan mencuri jatah bagian pemaparan isi buku dan hanya akan mengesankan kurangnya penguasaan penulis terhadap kandungan buku.

Pada bagian yang berisi deskripsi isi buku, seorang penulis resensi dituntut untuk harus dapat dengan cerdas menyeleksi bagian-bagian mana yang dianggap paling penting untuk dipaparkan. Ada, misalnya, sebuah buku yang berisi sebuah tawaran paradigmatik baru, dan sebagian (besar) lain dari isi buku itu berisi konsekuensi logis dan contoh dari penerapan paradigma baru itu dalam sebuah bidang kajian. Contohnya adalah buku Tekstualitas Al-Qur’an karya Nasr Hamid Abu Zaid (LKiS, Januari 2001). Buku setebal 430 halaman itu pada dasarnya berusaha mengajak pembaca untuk memposisikan Al-Qur’an sebagai sebuah produk kebudayaan yang bersifat tekstual, dan amat erat lekat dengan karakter tekstual yang dimilikinya. Ini dipaparkan dalam sekitar 100 halaman pertama. Selebihnya pembaca ‘hanya’ akan menemukan berbagai konsekuensi logis dari tawaran pendekatan Nasr Hamid terhadap beberapa konsep penting dalam Ulumul Qur’an, lengkap beserta data-data dan contohnya.

Dengan menyadari hal semacam ini, seorang penulis resensi tentu harus dapat mengatur komposisi yang tepat pada bagian pemaparan isi buku. Yang terpenting, bagian utama (seperti tentang paradigma baru dalam membaca Al-Qur’an dalam kasus buku Nasr Hamid itu) harus dijelaskan secara cukup terang, sementara bagian yang berupa contoh penerapan itu pada konsep-konsep kunci Ulumul Qur’an cukup diambil beberapa yang dianggap terpenting (misalnya diambil konsep nasikh-mansukh, tafsir-ta’wil, dsb).

Contoh lainnya bisa kita temukan dalam buku-buku yang berisi kiat-kiat populer seperti buku terbitan Penerbit Kaifa dan beberapa buku Gramedia. Seperti buku The Corporate Mystic (Penerbit Kaifa, Desember 2002), yang mengulas tentang pengusaha sukses Amerika yang dipandang mencerminkan sikap hidup yang penuh dengan spiritualitas. Bila kita sudah dapat menangkap tiga ciri utama pengusaha sukses-spiritualis seperti yang dipaparkan di bagian awal buku, kita tinggal memilih beberapa bagian untuk penajaman ketiga ciri tersebut.

Bagian lain sebuah resensi adalah bagian penilaian isi buku dan penutup tulisan. Pada bagian ini, seorang penulis resensi buku harus dapat memberikan penjelasan tentang posisi buku dalam konteks kekinian. Pada bagian inilah, sebenarnya, seorang penulis resensi dituntut untuk dapat memberi penjelasan yang cukup bagus tentang makna buku itu bagi masyarakat pembaca, yang pada dasarnya merupakan impresi dan apresiasi penulis terhadap buku. Di sini peresensi tidak jauh berbeda dengan seorang komentator sepakbola, yang memberikan perspektif terhadap sebuah jalannya pertandingan. Ibarat komentator bola, dalam bagian ini peresensi sebenarnya dituntut memahami karakter pemain yang bertanding, urgensi pertandingan (derby atau bukan, dsb), atau poin yang sudah dikumpulkan dua tim selama musim kompetisi berlangsung.

Dalam menilai sebuah buku, peresensi memang dapat masuk dari pintu mana saja, sekenanya saja, asal masih sesuai dengan isi buku dan kemampuan peresensi sendiri. Bisa dengan melihat sisi tawaran buku (baik bersifat metodologis maupun paradigmatik), pemetaan permasalahan yang disajikan, komprehensivitas, kekayaan data, ketajaman analisis, penyajian dan cara berbahasa yang enak diikuti, dan sebagainya.

Untuk mengasah bagian ini agar lebih tajam, peresensi dapat dibantu dengan membaca referensi (buku atau tulisan) lain, seperti buku atau tulisan lain yang ditulis oleh penulis yang sama, atau masih dalam satu ruang lingkup tema, laporan-laporan berita yang berkaitan, dan lain sebagainya. Kadang ada sebuah buku yang merupakan deduksi dari buku lain; pemaparan berupa data faktual dari buku lain yang lebih bersifat konseptual, dan sebagainya. Siapa tahu bacaan-bacaan referensial ini dapat menghadirkan ilham perihal perspektif tulisan, atau juga sebagai pembanding dan pengaya tulisan.

Pada bagian penutup, peresensi hanya butuh beberapa kalimat singkat untuk menegaskan kembali makna buku itu. Bisa juga diikuti dengan harapan-harapan bila nanti buku itu diapresiasi oleh masyarakat luas.

Setelah tulisan selesai dibuat, jangan lupa untuk memeriksa atau mengedit kembali seluruh isi dan bagian tulisan. Mengedit tulisan meliputi keseimbangan (proporsionalitas) dan ketersambungan tiap (antar-)bagian (pembuka, pemaparan isi buku, penilaian dan penutup), penggunaan diksi (mungkin ada kata yang terulang terlalu sering atau pilihan kata yang kurang tepat), atau kesalahan-kesalahan kecil semisal kesalahan ketik.

Bila resensi yang dibuat dimaksudkan untuk dikirim ke media massa—dan memang mestinya begitu—maka penulis sejak awal sudah harus dapat menyesuaikan gaya tulisannya dengan media yang akan dikirimi tulisan itu, baik dari segi panjang tulisan, pemilihan diksi, tema buku, dan sebagainya. Tip lain untuk dapat menembus media adalah dengan mencoba mengakrabi redaktur, misalnya dengan sering menghubunginya untuk menanyakan naskah yang telah dikirim (via telepon atau email), dan sebagainya. Hal-hal yang kadang dianggap sepele kadang menjadi penting dalam menjalin hubungan dengan redaktur. Seperti surat pengantar (termasuk pula detil dari surat pengantar tersebut), identitas, kerapian tulisan, dan sebagainya. Tip yang paling jitu adalah dengan sering menulis dan mengirimkannya ke media, sehingga redaktur tahu bahwa kita ternyata seorang peresensi yang produktif. Kita buktikan bahwa kita pantang menyerah, sampai akhirnya tulisan kita bisa muncul di media. Dengan begitu, mungkin saja, kita bisa semakin mempertegas eksistensi kita. Ya, eksistensi kita! Mari.

0 komentar: