Selasa, 13 November 2001

Demitologisasi Melalui Seni

Judul Buku : Mantra Pejinak Ular
Penulis : Kuntowijoyo
Penerbit : Penerbit Kompas, Jakarta
Cetakan : Pertama, Oktober 2000
Tebal : xii + 243 halaman



Mengagumkan! Itulah kesan pertama yang akan ditangkap pembaca ketika membaca novel ini. Betapa tidak. Dalam kondisi kesehatan yang belum sepenuhnya pulih setelah terserang penyakit meningo encephalitis (infeksi otak) sejak 1992, Kuntowijoyo masih bisa menulis sebuah novel, sebuah karya utuh yang dapat dikatakan cukup langka dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Apalagi bila pembaca berusaha membaca novel ini secara lebih cermat dan seksama, dalam kerangka pemikiran-pemikiran Kuntowijoyo di bidang kebudayaan dan agama (Islam) yang lebih luas, maka akan terlihat posisi khusus novel yang merupakan karya Kunto paling mutakhir ini.
Novel ini kurang lebih dapat dilihat sebagai sebuah novel sejarah yang juga membawa kredo kesenimanan Kunto. Disebut novel sejarah karena dalam karya ini Kunto berusaha mencatat proses jatuhnya rezim Orde Baru dengan latar sebuah desa pedalaman di sebuah kecamatan di Jawa Tengah. Sementara kredo kesenimanan yang dimaksudkan di sini bahwa dalam novel ini Kunto menampilkan seorang sosok seniman lokal, Abu Kasan Sapari, yang selain bergulat dengan tekanan-tekanan rezim Orde Baru di akhir kekuasaannya, juga aktif dalam kegiatan kesenian. Pergulatan Abu Kasan Sapari berhadapan dengan kuasa politik Orde Baru yang menyusup ke segenap lini kehidupan—termasuk seni—serta dinamika kehidupan pribadinya pada bagian ini menyiratkan sebaris pesan yang cukup jelas: bahwa seni harus mampu menjadi media demitologisasi.
Kisah dalam novel ini dimulai dengan kehidupan awal tokoh Abu Kasan Sapari yang lahir dari keluarga yang kurang begitu akrab dengan ritual keagamaan. Selanjutnya, Abu dibesarkan di lingkungan keluarga kakeknya, yang hidup cukup sejahtera serta taat beragama. Sejak kecil, Abu Kasan Sapari menampakkan bakat seni yang cukup bagus. Dengan bimbingan seorang dalang lokal, Notocarito, Abu beberapa kali berhasil menjuarai festival dalang cilik di Kabupaten Klaten.
Selulus SMA, Abu masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Surakarta jurusan pedalangan. Sambil kuliah di STSI, Abu terus mendalami ilmu pedalangan dari Ki Lebdocarito, sampai akhirnya Abu memutuskan untuk tidak menyelesaikan kuliah dengan melamar pekerjaan sebagai pegawai negeri. Secara kebetulan Abu diterima sebagai pegawai lokal di bagian pembangunan desa (Bangdes) yang ditempatkan di Kecamatan Kemuning, sebuah kecamatan di kaki Gunung Lawu.
Mulailah pergulatan kehidupan Abu semakin mengental dan berliku, seiring dengan aktivitas barunya di kaki Gunung Lawu. Tak terlalu lama setelah Abu tinggal di Kemuning, Abu mengalami sebuah kejadian unik. Kejadian itu terjadi ketika Abu bersama beberapa warga desa sedang menonton cembeng di pabrik gula Tasikmadu. Di situ Abu bertemu dengan seorang tua misterius yang memberinya sebuah mantra: mantra pejinak ular.
Selama menjadi pegawai di Kemuning, Abu berusaha berperan sebaik-baiknya dalam rangka pembangunan desa. Pertama sekali Abu berusaha mencukupi kebutuhan air di Kemuning dengan membangun saluran air dari sumber dekat sendang sampai ke desa. Abu yang memiliki kesadaran lingkungan cukup tinggi kemudian mengajak warga desa membuat pagar hidup di pekarangan masing-masing.
Sementara itu, mantra pejinak ular yang ia terima kemudian dihubungkan dengan masalah pelestarian lingkungan agar mampu menjaga konservasi habitat binatang-binantang. Kecintaan Abu pada ular yang didorong oleh mantra yang diterimanya itu lalu dilanjutkan dengan kampanye kesadaran untuk mencintai lingkungan.
Dinamika kehidupan di Kemuning yang dialami Abu ternyata tidak bisa lepas dari masalah politik. Profesinya sebagai pedalang membuat Abu harus berurusan dengan Mesin Politik (Orde Baru) di Kemuning. Kemampuan Abu dalam mendalang memang cukup bagus, dan kadang-kadang tema yang diangkat Abu dalam lakon wayang yang dibawakannya amat erat dengan dunia politik. Pernah sekali Abu mementaskan lakon berjudul “Bambang Indra Gentolet Takon Bapa” atau “Bambang Indra Gentolet Menanyakan Sang Ayah” yang mengisahkan partisipasi rakyat dalam pemerintahan.Bagi Abu, itulah esensi kehidupan demokrasi.
Keterlibatan Abu dalam proses pemilihan kepala desa di Kecamatan Kemuning berupa tampilnya Abu dengan tema-tema politik membuat Mesin Politik di Kemuning mengawasi Abu dengan ketat. Akhirnya, karena aktivitas Abu yang dinilai sudah berlebihan, jadilah Abu dipindahtugaskan ke kecamatan lain, yakni Kecamatan Tegalpandan yang jauh lebih dekat ke kota Kabupaten Karangmojo, tempat ibu dan bapaknya tinggal.
Di tempat tugasnya yang baru Abu tetap diawasi oleh Mesin Politik yang ternyata memiliki sayap di mana-mana. Di tempat barunya ini, Abu sempat ditawari sebagai caleg menjelang pemilu yang akan segera digelar. Tapi Abu menolak. Bagi Abu, seorang seniman tidak boleh menggunakan seni untuk keperluan politik, dalam rangka kampanye suatu parpol. Meski begitu, seorang seniman dapat menjadi sosok yang memberikan pencerahan dan pendidikan politik bagi warga negara.
Menurut Abu, seni itu ibarat air. Kalau ada benjol-benjol dalam masyarakat, seni akan menutupinya dan menjadikannya datar. Mengutip ajaran Sunan Drajat, Abu mengatakan bahwa seni itu memberi air kepada mereka yang kehausan, memberi payung bagi mereka yang kehujanan, memberi tongkat pejalan yang sempoyongan.
Pandangan Abu ini kemudian menghasilkan suatu pergulatan sosial yang cukup intens dengan pihak Mesin Politik, sampai akhirnya muncul suatu isyarat akan ambruknya rezim kekuasaan yang tengah berkuasa. Pada suatu malam di musim kemarau, hujan lebat—yang oleh orang-orang disebut hujan salah musim—datang disertai angin ribut yang menumbangkan sebuah pohon beringin di dekat terminal Tegalpandan.
Lalu, bagaimana dengan mantra pejinak ular yang dimiliki Abu? Di akhir cerita, Abu dibuat cukup kebingungan dengan mantra ini, karena menurut si pemberi mantra, mantra ini harus diwariskan kepada orang lain. Setelah berkonsultasi dengan seorang haji di Tegalpandan, Abu akhirnya memutuskan untuk memutus mantra itu. Keputusan ini diambil Abu juga karena desakan seorang gadis, Lastri, yang menjadi kekasihnya.
Setelah memutus mantra pejinak ular itu, kisah Abu Kasan Sapari ditutup dengan kepastian Abu untuk segera menikah dengan Lastri.
* * *
Novel ini nampaknya menjadi media kristalisasi beberapa pemikiran Kunto sebelumnya. Dalam sebuah artikel di Harian Kompas (24/08/2000) berjudul "Selamat Tinggal Mitos" Kunto memotret kehidupan sosial-politik bangsa Indonesia yang belum bisa keluar dari cara berpikir yang berlandaskan kepada mitos. Aras kehidupan politik penuh dijejali dengan nalar mitologis yang menggerakkan move-move politik para elit.
Menurut Kunto, mitos mengajak orang untuk menghindari kehidupan konkret dan masuk dunia abstrak yang penuh dengan simbol. Bagi Kunto, sudah saatnya bangsa Indonesia keluar dari kungkungan cara berpikir mitologis menuju cara berpikir yang berlandaskan realitas konkret.
Menurut Kunto, ada beberapa media yang dapat menjalankan fungsi demitologisasi, yaitu ilmu dan teknologi, gerakan puritanisme agama, serta sejarah dan seni. Cara kerja seni adalah konkretisasi yang abstrak. Seni mengemban nilai-nilai abstrak yang kemudian dituangkan dalam bentuk ekspresi seni tertentu.
Pentingnya makna nilai dalam sebuah karya sastra juga pernah diungkap Kunto dalam tulisannya di Harian Kompas (28/11/1999) berjudul "Strukturalisasi Pengalaman, Imajinasi, dan Nilai". Sebuah karya sastra menurut Kunto memiliki unsur strukturalisasi pengalaman, imajinasi, dan nilai. Seorang sastrawan memungut pengalaman-pengalaman hidupnya dan menggabungkan serta merangkainya dalam suatu olah imajinasi-kreatif. Dan, yang kalah penting, sebuah karya sastra juga mengandung nilai, baik berasal dari agama, filsafat, ilmu, atau kebudayaan.
Karena itu, bisa jadi sebuah karya sastra tidak memiliki nilai kontekstual dengan realitas aktual. Pada titik tertentu sebuah karya sastra merupakan endapan pengalaman penulisnya yang lahir dari lubuk jiwa yang terdalam.
Mantra Pejinak Ular seperti merupakan upaya penegasan Kunto terhadap kredo kesenian yang diyakininya ini. Salah satu elemen yang membentuk novel ini kemungkinan besar adalah perjalanan dan pergulatan Kunto dalam dunia seni dan kebudayaan yang cukup panjang. Pembaca yang pernah membaca biografi Kunto, misalnya di rubrik Pakar di Jurnal Ulumul Qur’an Nomor 4/Vol. V/1994 akan menemukan kecurigaan jangan-jangan Abu Kasan Sapari, tokoh utama dalam novel ini, tidak lain adalah sosok yang diidealkan Kunto sendiri. Tidak kebetulan kiranya bila dalam novel ini Kunto memposisikan Abu Kasan Sapari sebagai seorang pedalang, karena di antara keluarga Kunto ada yang menjadi pedalang. Setting budaya Jawa yang kental antara tipe priyayi, abangan, dan santri—meski Kunto menolak trikotomi semacam ini, dan hanya menggunakannya dalam kerangka pembacaan metodologis—juga tampak digambarkan dalam novel ini.
Bila dibandingkan dengan karya-karya Kunto sebelumnya, yang kebanyakan berbentuk cerita pendek (cerpen), pembaca akan dapat menemukan kesinambungan atau kemiripan pesan novel ini dengan salah satu cerpen Kunto yang dinobatkan sebagai Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 1997, berjudul Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan. Cerpen ini berkisah tentang seorang “dia” yang sedang menjalankan laku untuk menjadi kaya dengan bertapa 7 hari 7 malam dan mengakhiri dengan pergi ke kuburan dan menggigit telinga perempuan yang baru meninggal pada suatu Selasa Kliwon, kemudian membawanya dengan mulut kepada gurunya. Si “dia” berhasil membuat para penjaga kuburan tertidur dengan mantra saktinya. Sialnya, ketika si “dia” sedang beraksi menggigiti telinga mayat perempuan, datang segerombolan anjing liar yang berebut menggigit mayat itu. Si “dia” terluka, hingga akhirnya ditemukan oleh para penjaga yang kaget terbangun. Di akhir cerita Kunto menggambarkan bagaimana para penjaga berbeda pendapat menilai si “dia” yang tergeletak pingsan karena terluka oleh gigitan anjing itu: “pencuri” atau “penyelamat”?
Dalam analisis Ignas Kleden yang mengantarkan 18 cerpen terbaik Kompas 1997, dikatakan bahwa selain menggambarkan dilema etis para penjaga kuburan, cerpen ini juga menunjukkan bagaimana mantra yang digunakan si “dia” untuk memperkaya diri ternyata kalah dengan anjing kelaparan yang tak mempan mantra serta juga sedang mencari “nafkah”.
Dibandingkan dengan Mantra Pejinak Ular, cerpen ini menggambarkan lebih banyak aspek dilematis dari suatu pengalaman kemanusiaan yang diperankan tokoh-tokohnya. Ada ruang yang cukup luas bagi pembaca untuk menafsir ulang dialektika tokoh dalam cerpen tersebut. Yang jelas, antara cerpen dan novel Kunto ini, kurang lebih ada pesan yang kiranya bersifat sinambung: bahwa mantra itu ternyata memiliki keterbatasan dan mestinya harus dienyahkan!
Upaya untuk membuang mitos menurut Kunto adalah bagian dari Islamisasi dari unsur-unsur Jawaisme yang menghambat proses modernisasi. Dalam sebuah artikel di Harian Republika (18/4/1998) berjudul "Islamisasi Jawaisme" Kunto menulis bahwa mantra dan mitos adalah termasuk dari bagian yang perlu “diislamkan”.
Sebagai alternatif, di bagian akhir novel ini Kunto secara implisit mengajukan “doa”—sesuatu yang khas agama—sebagai pengganti mantra. Ini bisa dilihat dengan judul bagian terakhir dari novel ini: “Tuhan, Beri Kami Ilmu yang Bermanfaat; Tuhan, Hindarkan Kami dari Malapetaka”. Dengan judul ini seolah Kunto ingin mengatakan bahwa ilmu dapat menggantikan cara berpikir mitologis, dan semestinya kita hanya berpasrah diri kepada Tuhan, Yang Maha Segalanya.
Gagasan-gagasan Kunto yang bisa ditafsir dari novel yang semula dimuat bersambung di Harian Kompas ini menarik untuk didiskusikan bersama. Dalam kerangka lebih luas, nilai lebih novel ini terlihat dari keterkaitannya dengan berbagai sisi pemikiran Kunto lainnya yang sudah digagas jauh bertahun-tahun sebelumnya, sehingga terkesan memiliki latar belakang pemikiran yang cukup matang.
Akan tetapi, terhadap karya sastra dengan model seperti ini, beberapa kalangan pernah mengajukan “keberatan”: tidakkah perilaku seperti ini adalah “perilaku buruk terhadap bahasa”—seperti kata Nirwan Dewanto di Harian Kompas (29/6/97). Ahmad Sahal misalnya ketika mengantarkan Cerpen Terbaik Kompas 1999 menilai bahwa meski menampakkan suatu komitmen sosial yang tinggi, model cerita (karya sastra) semacam ini menjadi terlalu “lurus”, bahasanya terlalu diskursif dan memilah serta memperlakukan cerita sebagai kendaraan dan instrumen untuk menyampaikan gagasan penulisnya. Bagi Ayu Utami (Jurnal Kalam, edisi 12/1998, hal. 124) sebuah kisah tidak berpretensi untuk menyampaikan sebuah ajaran jika bisa disampaikan dengan dalil atau pedoman. Sebuah kisah adalah pengalaman, yang tak mempunyai jalan keluar lain.
Pandangan ini memang berbeda dengan Kunto yang juga pernah menempatkan karya sastra dalam kerangka profetis—seperti yang pernah ia lakukan terhadap ilmu-ilmu sosial (lihat tulisan Kunto di Republika [22-23/11/2000] berjudul "Islam dan Seni"). Dengan nilai profetis seni Kunto menegaskan bahwa seni dapat menjadi media humanisasi, transendensi, dan liberasi.
Meski dalam novel ini tidak sepenuhnya demikian, memang ada kecenderungan ke arah semacam itu—ini cukup berbeda dengan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan yang cukup mampu mempertontonkan ambiguitas hidup dalam masyarakat. Unsur alur dan penokohan dalam novel ini cukup hidup dalam lingkungan budaya Jawa dan atmosfer politik Orde Baru yang khas.
Novel ini patut diapresiasi bersama terutama sebagai sebuah karya sastra yang cukup sulit dihasilkan oleh sastrawan lain serta karena posisinya yang khas dalam sosok Kuntowijoyo, seorang cendekiawan, sastrawan, sejarawan, dan budayawan. Kritik sosial yang disampaikan dalam novel ini juga dapat menjadi sebuah tema diskusi yang menarik karena berkaitan dengan posisi kesenian dalam masyarakat—sebuah tema yang tak pernah habis dibicarakan.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 12 November 2001.


0 komentar: