Kamis, 10 Mei 2001

Menuju Rekonsiliasi Nasional

Judul Buku: Pergulatan Muslim Komunis (Otobiografi Hasan Raid)
Penulis : Hasan Raid
Penyunting: M. Imam Aziz (dkk.)
Penerbit: LKPSM-Syarikat, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2001
Tebal: x + 558 halaman


Dendam terhadap kaum komunis (baca: PKI) belum juga sirna. Dalam beberapa peristiwa politik yang melibatkan aksi kekerasan, orang-orang komunis kerapkali dituding sebagai pelakunya. Beberapa elemen gerakan mahasiswa sempat diteror oleh sekelompok orang yang mengaku hendak menumpas habis komunisme di Indonesia.

Akankah dendam politik terhadap PKI tidak akan pernah luntur, kecuali menghabisi mereka tanpa ampun, tanpa proses pengadilan, tanpa menghargai mereka sebagai manusia yang menjadi bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia? Akankah agama akan tetap dijadikan dalih untuk membenarkan sikap anarkis terhadap PKI?

Buku ini menawarkan suatu perspektif menarik tentang salah seorang tokoh PKI yang sempat dipenjara selama hampir 13 tahun. Hasan Raid, aktivis PKI kelahiran Silungkang Sumatera Barat ini, adalah sosok unik yang sanggup mematahkan kebuntuan paradoks agama dan komunisme.

Dalam otobiografinya ini Hasan Raid menjelaskan bahwa alasannya memilih masuk Partai Komunis Indonesia pertama-tama adalah karena PKI merupakan partai yang dalam programnya berjuang untuk menghapuskan penghisapan manusia atas manusia.

Program ini, menurut Hasan Raid, memiliki kesesuaian dengan semangat agama (Islam) yang ia yakini. “Ajaran Pokiah Yakub, guru Sekolah Diniyah di Silungkang, yang paling berkesan bagi saya adalah ajaran beliau tentang surat al-An`am ayat 145, tentang hukum haram memakan darah yang mengalir,” kata Hasan Raid. “Tidakkah penghisapan sesama manusia itu adalah persamaan dari terminologi al-Qur’an, memakan darah mengalir?,” lanjut Hasan Raid. Islam menurut Hasan Raid jelas-jelas memiliki banyak kesesuaian dengan program PKI yang ingin menuntas habis kaum kapitalis. Al-Qur’an surat al-Humazah ayat 1-3 mengutuk keras orang yang menumpuk-numpuk harta—itulah kaum kapitalis.

Kaum tertindas menurut Hasan Raid harus mengorganisasi diri melawan struktur penindasan yang menjepit dan menindih kehidupan mereka. Itulah maksud ayat 11 surat al-Ra`d yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali jika mereka merubah keadaan diri mereka sendiri.”

Hasan Raid dilahirkan pada tahun 1923 dan secara resmi menjadi anggota PKI pada tahun 1945. Selang beberapa kemudian, Hasan Raid terlibat aktif dalam salah satu penerbitan PKI, yakni Majalah Bintang Merah yang dipimpin Aidit. Selain itu, Hasan Raid juga sempat menjadi anggota DPRDP (DPRD Peralihan) Jakarta Raya (1954-1964) serta menjadi salah seorang pengajar di Akademi Ilmi Sosial Aliarcham (AISA), sebuah lembaga pendidikan tempat penggodokan para intelektual PKI.

Suka duka yang dialami Hasan Raid selama di PKI berjalan seiring dengan roda sejarah perkembangan bangsa Indonesia, hingga akhirnya meletuslah peristiwa Gerakan 30 September, yang lebih populer disebut dengan G-30-S.

Pada bagian ini, tampak sosok Hasan Raid yang teguh dengan pendirian dan keyakinannya, serta tidak segan-segan melakukan otokritik terhadap kebijakan-kebijakan partai (PKI). Ketika diinterogasi Kodim Jalan Air Mancur Jakarta Raya selepas peristiwa G-30-S Hasan Raid jelas-jelas mengutuk peristiwa itu. “G-30-S adalah ‘kudeta’, bukan revolusi. Sebab kudeta asing bagi marxisme,” kata Hasan Raid.

Berdasarkan data-data yang berhasil dikumpulkan Hasan Raid kemudian, muncullah suatu kesimpulan bahwa menurutnya G-30-S bukan merupakan pemberontakan PKI. Bila itu adalah pemberontakan PKI, berarti PKI memberontak kepada pemerintahan Presiden Soekarno, presiden yang jelas-jelas mendukung pemikiran dan keberadaan PKI. Apalagi, menurut keputusan Kongres Nasional V PKI 1954 dikatakan bahwa untuk mencapai demokrasi rakyat PKI akan menempuh jalan demokratis dan parlementer, bukan dengan pemberontakan atau perjuangan bersenjata.

Karena itu, sampailah Hasan Raid pada kesimpulan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menunggangi peristiwa G-30-S. PKI menurut Hasan Raid telah terjebak dalam isu Dewan Jenderal sehingga kemudian harus memilih antara didahului atau mendahului. Keterjebakan PKI ini jelas merugikan PKI sendiri, hingga ujungnya melahirkan tragedi besar berupa pembantaian anggota PKI serta dijebloskannya anggota PKI yang lain ke penjara.

Hasan Raid adalah termasuk orang yang dijebloskan ke dalam penjara beberapa minggu sesudah peristiwa G-30-S. Selanjutnya, kisah Hasan Raid adalah kisah kepedihan kehidupan di penjara. Hampir separuh bagian dari buku ini menceritakan suka-duka kehidupan di penjara yang dijalaninya selama hampir 13 tahun di bawah rezim Orde Baru, mulai dari Rumah Tahanan Chusus Salemba, hingga kemudian dipindahkan ke Nusakambangan.

Perlakuan buruk di penjara bagi para tahanan politik mungkin sudah menjadi cerita lama yang tidak menarik diceritakan. Yang cukup mengharukan pula adalah bagaimana setelah Hasan Raid bebas dari penjara pada tahun 1978 menjalani kehidupannya sehari-hari. Penderitaan dan ketidakadilan masih saja membuntutinya.

Seiring dengan kontrol kuat rezim Orde Baru terhadap gejolak-gejolak politik dan ideologi, maka para bekas tahanan politik mendapat pengawasan ekstra-ketat dari negara. Ruang publik menjadi tempat yang cukup pengap sehingga menghadapkan Hasan Raid pada sebuah pergulatan keras untuk survive. Pada bagian ini, ada banyak sisi kemanusiaan yang mengemuka dalam otobiografi ini.

Buku ini adalah suara lain dari pihak yang dibungkam oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun. Citra buruk terhadap para mantan aktivis PKI masih belum sirna. Ironisnya, label PKI masih cukup laku dalam kamus politik di era reformasi ini. Politik kambing hitam yang mengusung semangat dendam politik berkepanjangan masih tak usai dipertontonkan.

Tidak adakah jalan lain yang bisa ditempuh untuk mengakhiri dendam kecuali harus dengan permusuhan dan pemusnahan? Tidak bisakah kita berdamai dengan sejarah dan memulai hidup baru yang lebih damai? Tidak bisakah kita hidup lebih rasional terhadap sejarah yang selama ini dimitoskan dan menjadi ajang pembenaran untuk mengumbar dendam?

Buku ini mengajarkan banyak kearifan tentang kehidupan politik yang saat ini kehilangan wajahnya yang manusiawi. Ada pesan bijak buat para elti politik yang terselip dalam buku ini: sudah saatnya dendam dan kebencian yang didorong oleh ambisi kekuasaan dienyahkan jauh-jauh, digantikan dengan sikap arif, jernih, dan rasional. Maksud dari semua ini cukup sederhana: menuju rekonsiliasi nasional.


1 komentar:

Lian Gogali mengatakan...

great review,...loved to read this.