tag:blogger.com,1999:blog-97181712024-03-04T23:14:39.338+07:00Rindu Pulangsesobek catatan di antara perjalanan meraih yang kekal dan memaknai kesementaraan; semacam solilokui untuk saling mengingatkan, saling menguatkan, berbagi keresahan dan kegetiran, keindahan dan kebahagiaan, agar hidup menjadi cukup berharga untuk tidak begitu saja dilewatkanM Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.comBlogger482125tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-29955818664256491302024-03-01T14:37:00.005+07:002024-03-01T21:36:20.404+07:00Objektivitas dan Jarak Kritis<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZEMA6KEXM03aFd62I19VWGb1AWdnTeQJ7rCPB-sAJdEbsDq5gGH82OCc3RROzJbXFBwjlABcWfs5gkWXecJzKtQtmezwgBvIfrnC6W7xsKqyo-li1fqOENv8ZZgUwzLKcsiNlp7MPaHHGaHG1dSlivBp8Yq3dkvV3v8aRNrOUR3wGTu2uIw3o/s833/ariel%202014.jpg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" height="320" data-original-height="833" data-original-width="635" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZEMA6KEXM03aFd62I19VWGb1AWdnTeQJ7rCPB-sAJdEbsDq5gGH82OCc3RROzJbXFBwjlABcWfs5gkWXecJzKtQtmezwgBvIfrnC6W7xsKqyo-li1fqOENv8ZZgUwzLKcsiNlp7MPaHHGaHG1dSlivBp8Yq3dkvV3v8aRNrOUR3wGTu2uIw3o/s320/ariel%202014.jpg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Salah satu persoalan dalam penelitian ilmiah adalah soal objektivitas. Peneliti harus dapat mengambil jarak dengan objek material yang akan dia cermati. Bagaimana jika posisi peneliti adalah bagian dari objek yang akan dia teliti?
<br />
<br />Masalah ini telah melahirkan perdebatan tentang posisi insider dan outsider dalam penelitian ilmiah dan telah menjadi tema diskusi penting yang terus berkembang. Dalam khazanah studi agama, saya pernah diperkenalkan dengan tulisan Kim Knott yang membahas masalah ini. Knott membuat pembedaan posisi insider dan outsider dalam empat kategori: <i>complete observer</i> (peneliti seutuhnya), <i>observer as paticipant</i> (peneliti sebagai partisipan), <i>participant as observer</i> (partisipan sebagai peneliti), dan <i>complete participant </i>(partisipan seutuhnya).
<br />
<br /><span class="fullpost">Belakangan, melalui buku Ismail Fajrie Alatas saya mendapatkan rujukan beberapa sarjana lain mengenai diskursus masalah ini. Alatas mengutip tiga sumber dalam diskusi masalah ini, yakni karya Lila Abu-Lughod (1988) berjudul “Fieldwork of a Dutiful Daughter” dalam buku <i>Arab Women in the Field: Studying Your Own Society</i>, Nathaniel Mackey (1992) berjudul “Other: From Noun to Verb”, Gayatri Spivak (1992) berjudul “Acting Bits/Identity Talk”, dan buku karya Trinh T Minh-Ha (1989) berjudul <i>Woman, Native, Other: Writing Postcoloniality and Feminism</i>.
<br />
<br />Alatas mengutip tiga sumber itu dalam bukunya <i>What is Religious Authority</i> (2021) di akhir bab pertama saat menjelaskan problem metodologis terkait subjek yang dia tulis. Buku itu membahas tentang Habib Luthfi, sedangkan Alatas juga adalah seorang muslim Indonesia dari kalangan Ba Alawi—sama seperti Habib Luthfi. Lalu apa kata Alatas?
<br />
<br /><i><blockquote>The extended time I have spent outside Indonesia since I was fourteen and the historical and anthropological training that I have received have created some measure of critical distance to the tradition and culture that I was born into.</i>
<br />
<br /><i>Lamanya waktu yang saya habiskan di luar Indonesia sejak berusia 14 tahun serta pendidikan sejarah dan antropologi yang saya peroleh menciptakan jarak kritis dengan tradisi dan budaya tempat saya lahir.</blockquote></i>
<p style="line-height: 18px;"><br />
<br />Di sini Alatas menyampaikan tentang jarak kritis yang dapat dia ciptakan dengan objek yang dia teliti yang terbentuk oleh dua faktor: pendidikan sejarah dan antropologi yang dia peroleh, dan waktu yang dia habiskan di luar Indonesia mulai dia berusia 14 tahun.
<br />
<br />Yang lebih menarik, di bagian akhir pendahuluan, Alatas menulis:
<br />
<br /><i><blockquote>In my view, the best anthropological research is one that maintains, rather than ignores or suspends, the tension between estrangement and intimacy and uses it to sketch a simultaneously objectifiable and personal, but nevertheless incomplete, picture of human sociality that “arises from within human sociality.”</i>
<br />
<br /><i>Bagi saya, penelitian antropologi yang paling baik adalah yang mempertahankan, dan bukannya mengabaikan atau mengesampingkan, ketegangan antara keterasingan dan kedekatan serta menggunakannya untuk membuat sketsa gambaran sosialitas manusia yang dapat diobjektivikasi sekaligus bersifat pribadi. Sketsa tersebut tentu tidak akan pernah lengkap karena ia “muncul dari dalam sosialitas manusia” itu sendiri.</blockquote></i>
<br />
<br /><p style="line-height: 18px;">Dari kutipan ini, tampak Alatas menggiring kita untuk sedikit mengesampingkan soal objektivitas atau keberjarakan peneliti dengan subjek yang dia teliti dalam pengertian konvensional. Alatas mengajak kita untuk masuk tidak saja ke ruang refleksi tentang identitas yang semakin kompleks, tapi juga ke dalam ketegangan personalitas dan sosialitas manusia yang mungkin dapat dikatakan merupakan salah satu diskursus filosofis tentang manusia yang lebih luas. Sosialitas dan personalitas tak harus dilihat dalam posisi yang bertentangan. Justru ketegangan di antara keduanya dapat menjadi nilai lebih, termasuk dalam konteks penelitian ilmiah.
<br />
<br />Lalu bagaimana tentang jarak kritis yang terbentuk melalui proses pendidikan? Saya percaya bahwa proses pendidikan secara umum akan dapat membentuk sikap kritis untuk bersikap objektif atau memupuk kemampuan mengambil jarak dengan objek yang sedang diamati. Ini adalah kemampuan khas manusia. Tanpa pendidikan akademik pun, kemampuan mengambil jarak ini sudah dimiliki oleh manusia. Melalui proses pendidikan yang intensif, kemampuan ini akan semakin kuat.
<br />
<br />Karena itu, ketika kemarin ada yang mempertanyakan kepada saya “…kamu mau meneliti pesantren atau kiai di Madura, kira-kira bagaimana kamu bisa mengambil jarak dan bersikap objektif? Jangan-jangan nanti penelitiannya hanya melegitimasi hal tertentu dari apa yang sudah mapan di pesantren di Madura selama ini…”, saya santai saja.
<br />
<br />Saya pernah menulis tentang hal-hal yang saya merupakan bagian di dalamnya. Saya pernah menulis hal-hal yang memungkinkan saya mengalami bias personal dalam tulisan saya. Tapi nyatanya saya tidak selalu terjerembab ke dalam sikap buta dan bias sepenuhnya. Saya tetap bisa mengambil jarak—dengan batas-batas tertentu. Seperti <a href="https://www.rindupulang.id/2008/12/perempuan-pesantren-dan-sastra-islam.html" target="_blank">tulisan saya tentang sastra pesantren</a>, yang dibilang bias oleh Ariel Heryanto (<a href="https://nuspress.nus.edu.sg/products/identity-and-pleasure">2014: 72-73</a>), tapi juga mendapatkan apresiasi oleh Ariel karena ada catatan kritis yang saya kemukakan di sana.
<br />
<br />Tapi komentar tentang atas sikap objektif itu tentu tak bisa saya lewatkan begitu saja. Komentar itu memancing pertanyaan lebih jauh: kalau Alatas mengemukakan dua unsur yang berperan untuk dapat menciptakan jarak kritis agar dapat bersikap objektif secara proporsional, lalu apa kira-kira faktor lain yang dapat berperan untuk menjaga jarak kritis tersebut?
<br />
<br />Mari, bantu saya untuk menjawab pertanyaan ini lebih lanjut.
<br />
<br />
Keterangan: kutipan terjemahan dari buku Ismail Fajrie Alatas diambil dari terjemahan versi Penerbit Bentang/Mizan (2024).
<br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-70750159165737139682024-02-11T11:38:00.001+07:002024-02-12T05:40:59.001+07:00Era Disrupsi dan Tantangan Peran Pesantren<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvA1d7NKXHl-I7rw2m22ncIXhASurYFFM0C7ERdt03PZjdYCZid7MZxOCYlfWN8DlJfI2tpGRTC4mIh58CuHAYLDgnpvcRJCgUQBEpu9lqdsQbHtpzN-alZqLrVz1X43Aynw6IYwaVjHvdCQSu443MfiNwfoLUheWk8O68c290vUahgXz57Bt4/s1417/Radar%20Madura%2020240211.jpg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" height="320" data-original-height="1417" data-original-width="886" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjvA1d7NKXHl-I7rw2m22ncIXhASurYFFM0C7ERdt03PZjdYCZid7MZxOCYlfWN8DlJfI2tpGRTC4mIh58CuHAYLDgnpvcRJCgUQBEpu9lqdsQbHtpzN-alZqLrVz1X43Aynw6IYwaVjHvdCQSu443MfiNwfoLUheWk8O68c290vUahgXz57Bt4/s320/Radar%20Madura%2020240211.jpg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
Era disrupsi menghadirkan tantangan bagi pesantren dan santri untuk mengambil peran dalam kehidupan masyarakat. Peran yang dimainkan pesantren dan santri saat ini sebagian bisa digantikan oleh institusi-institusi modern dan infrastruktur yang merupakan turunannya. Peran yang terkait dengan pengetahuan keagamaan pun sebagian juga terdisrupsi dengan munculnya otoritas baru di berbagai saluran media baru berbasis teknologi digital yang saat ini aksesnya lebih mudah menjangkau khalayak umum.
<br />
<br />Pesantren dikenal telah memainkan peran yang cukup menyeluruh dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya di Madura, mulai dari urusan pertanian, perdagangan, penyelesaian konflik sosial, keluarga, pendidikan, politik, kesehatan, dan juga masalah-masalah keagamaan. Namun seiring dengan kemajuan yang bersifat teknis pada bidang-bidang sekular tersebut yang telah meluas sebagai dampak dari perkembangan lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga sosial yang bersifat masif hingga ke wilayah pedesaan, peran pesantren menghadapi tantangan. Cara berpikir masyarakat yang semula banyak menaruh kepercayaan pada kiai sebagai tokoh sentral pesantren dalam memberi nasihat di bidang perdagangan, misalnya, kini mulai bergeser karena sebagian masyarakat merasa telah memiliki kemampuan otonom untuk membuat keputusan.
<br />
<br /><span class="fullpost">Dalam situasi tersebut, sejauh ini sebagian pesantren merespons dengan turut masuk ke dalam gelanggang aspek-aspek yang telah berkembang tersebut dengan mereformasi lembaga dan arah pendidikan yang di antaranya dilakukan dan juga dengan mengembangkan lembaga yang bersifat kekinian. Berdirinya lembaga-lembaga bisnis dan keuangan dan dibukanya pendidikan dengan minat keilmuan yang terbilang baru di pesantren di Madura, seperti bidang sains dan teknologi, menunjukkan hal tersebut. Belakangan, beberapa pesantren juga berusaha membekali santri-santrinya dengan kecakapan digital saat menyadari bahwa disrupsi digital bahkan dapat berdampak serius pada pemahaman keagamaan dan cara berpikir santri. Kita menyaksikan banyak santri di Madura belakangan aktif menjadi pembuat konten di berbagai kanal media digital. Namun apakah hal tersebut cukup berhasil? Terlalu dini rasanya untuk memberikan penilaian karena apa yang dilakukan pesantren atau santri secara perorangan tersebut banyak yang masih berada dalam tahap rintisan.
<br />
<br />Meminjam kacamata analisis Yuval Noah Harari dalam buku <i>21 Lessons for the 21st Century</i> (2018), agama tampak sulit untuk mengambil peran dalam ikut mengatasi persoalan-persoalan teknis dan kebijakan (<i>technical problems</i> dan <i>policy problems</i>) masyarakat modern. Masalah teknis dalam kehidupan sudah banyak dipecahkan oleh sains dan teknologi, sedangkan peran pesantren dalam bidang ini sudah jauh tertinggal. Sementara itu, perkembangan sains dan teknologi di luar pesantren melesat begitu pesat.
<br />
<br />Ada sebagian pesantren yang berusaha masuk ke bidang-bidang sains dan teknologi alternatif, seperti halnya Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep yang turut menggarap konsep kesehatan swadaya sejak awal tahun 2000-an—mungkin termasuk juga isu-isu lingkungan hidup yang sudah dikerjakan oleh Annuqayah sejak 1980-an. Namun kita tahu, bidang-bidang alternatif seperti itu tidak berada pada arus utama pengembangan sains, sehingga kerja-kerja artikulatif yang dibutuhkan menuntut kerja keras dan upaya yang luar biasa. Padahal, dibutuhkan infrastruktur dan jaringan yang kuat untuk menopang pengembangan bidang alternatif seperti itu untuk dapat benar-benar berkembang dan memberi dampak yang signifikan.
<br />
<br />Berkaitan dengan masalah kebijakan, pesantren tampak masih kesulitan untuk memberikan tawaran visioner atas berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks agama, Harari dalam bukunya mencontohkan bagaimana agama hanya sampai pada level mengecam materialisme modern tapi tidak bisa ikut berbuat banyak untuk mengubah keadaan. Dalam kaitannya dengan kritik terhadap ekonomi kapitalis, agama bisanya hanya <i>“to redo the paint and place a huge crescent, cross, Star of David, or om on the roof”</i>, atau memberi aksesoris bersimbol agama pada bangunan ekonomi kita dan belum mampu untuk menyentuh aspek mendasar yang bisa menjadi tawaran alternatif bagi kebijakan pengembangan ekonomi.
<br />
<br />Lagi-lagi, dalam konteks Pesantren Annuqayah, kita juga melihat upaya untuk masuk ke bidang teknis di bidang pengembangan ekonomi atau keuangan mikro masih berupa rintisan. Lembaga di internal Annuqayah yang dicita-citakan membawa tawaran konsep dan praktik baru di bidang pengelolaan keuangan ternyata masih menghadapi banyak tantangan teknis di tengah apresiasi awal pada konstruksi visi yang berusaha untuk dikembangkannya.
<br />
<br />Demikian pula, lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh kalangan santri lainnya tak lepas dari kritik dan pada level substansi tampak belum memberikan terobosan alternatif bagi sistem keuangan konvensional yang ada.
<br />
<br />
Identitas Santri
<br />
<br />Jika demikian, lalu apa yang tersisa? Harari menjelaskan bahwa agama juga bisa berperan di wilayah identitas (<i>identity</i>), yang di antaranya digambarkan terkait dengan visi yang lebih luas dalam bidang-bidang kehidupan. Harari meyatakan bahwa identitas terbukti telah menjadi kekuatan sejarah yang penting. Meski identitas oleh Harari dihubungkan dengan konstruksi yang bersifat “fiktif”, kita tampaknya patut untuk merenungkan: apakah konsep identitas santri dapat menjadi kekuatan untuk mengharapkan peran pesantren yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat di era disrupsi?
<br />
<br />Pada titik inilah menurut saya kita diajak untuk berefleksi hal yang mungkin sudah terbilang klasik tentang identitas santri. Apa sebenarnya hal yang khas dari identitas santri? Bagaimana visi hidup seorang santri itu? Mengutip almarhum KH A Warits Ilyas pada saat pembukaan Lokakarya Visi Pendidikan Annuqayah tahun 2008, disampaikan rumusan visi seorang santri (Annuqayah) sebagai berikut: “lahirnya generasi <i>abdullah</i> (<i>‘ibadullah</i>) yang <i>mutafaqqih fiddin</i> dan mempunyai ketakwaan dan berilmu pengetahuan sehingga menjadi <i>mundzirul qawm</i>”. Pada rumusan ini, kita bisa menemukan beberapa poin gagasan kunci, seperti kesadaran akan posisi penghambaan, pentingnya bekal keilmuan dan ketakwaan sebagai fondasi, dan peran kemasyarakatan.
<br />
<br />Selain itu, kita juga sering sekali mendengar penekanan para kiai di pesantren di Madura pada khususnya tentang Islam ahlussunnah wal jama’ah yang menjadi fondasi keagamaan pesantren. Memang, istilah ini kadang menjadi cukup problematis pada tataran praktis karena menaungi sebuah konsep yang “diperebutkan” oleh kalangan Islam dari berbagai kelompok. Namun secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa Pondok Pesantren Annuqayah, misalnya, atau pesantren di Madura pada umumnya, mengajarkan pemahaman ahlussunnah wal jama’ah melalui praktik-praktik yang dapat kita serap dari teladan para kiai/pengasuh terutama dari generasi awal (pendiri atau perintis).
<br />
<br />Namun demikian, <i>living</i> aswaja yang dipraktikkan para kiai/pengasuh tersebut menurut saya masih menjadi sesuatu yang masih terus perlu digali dan dieksplorasi sehingga semakin jelas dimensi paradigmatiknya. Meminjam istilah Ismail Fajrie Alatas dalam <i><a href="https://shopee.co.id/What-Is-Religious-Authority-Menyemai-Sunnah-Merangkai-Jamaah-Ismail-Fajrie-Alatas-i.4873816.25110509087?sp_atk=c084713d-975a-47d2-8e64-ff86f7ffdd61&xptdk=c084713d-975a-47d2-8e64-ff86f7ffdd61" target="_blank">What is Religious Authority?</a></i> (2021), penting bagi kita untuk melihat secara lebih dekat dan mendalam <i>articulatory labor</i> (kerja artikulasi) yang dilakukan para kiai tersebut di dalam menerjemahkan (sunnah) aswaja dalam agenda kerja kumulatif memupuk dan membangun (jamaah) pesantrennya dengan ciri khas masing-masing.
<br />
<br />Jika diturunkan pada level praktis, persoalan identitas itu bisa muncul dalam refleksi atau pertanyaan tentang bagaimana identitas santri berpengaruh bagi seorang santri yang menjalankan perannya sebagai kepala desa dan pengurus publik lainnya di tengah disrupsi politik yang luar biasa. Demikian juga, bagaimana identitas santri dapat memberi arahan bagi seorang santri yang terjun dalam dunia bisnis yang karena proses transformasi digital melahirkan banyak tantangan baru yang dapat menantang orientasi kesantriannya. Atau, bagaimanakah identitas santri sebagai pendidik dapat meletakkannya dalam posisi yang ajek berhadapan dengan gonjang-ganjing dan tarikan dunia pendidikan yang cenderung mekanis dan kapitalistik.
<br />
<br />Demikianlah mungkin sebagian dan sekelumit tantangan yang dihadapi pesantren dan kalangan santri menghadapi era disrupsi yang membutuhkan refleksi bersama. <i>Wallahu a’lam</i>.
<br />
<br />
Versi awal tulisan ini semula dibuat untuk bahan pengantar Seminar Pemikiran Pesantren Kerja Sama Ikatan Alumni Annuqayah (IAA) Jember dengan Pusat Pengembangan Studi Pesantren (PSP) LP2M UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember pada 3 Februari 2024, yang kemudian disunting dan dimuat di <a href="https://radarmadura.jawapos.com/sastra-budaya/744146509/era-disrupsi-dan-tantangan-peran-pesantren" target="_blank">Radar Madura, 11 Februari 2024</a>.
<br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-22701190588562264782024-02-06T07:03:00.001+07:002024-02-06T10:58:59.223+07:00Teks Babon, Buku Babon<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCkzlrqZwZa8iA2g8jJK_9TnRK2d9R0gJJ9gpW5Nkmlx4IEruLcikOji8QstlDy2E5pZtpfIVMIRFMtzSU59KkV9y-22jg4Kh8ZkmWqsiKJ38Bt11cYB9gLL2Vz9YSxbWc1XXZaQMGB8Wj2DBlP6-PeSe9ukNBHibTY6RZiF8OUfyllUkODsAZ/s1379/teks%20babon.jpeg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" width="320" data-original-height="1027" data-original-width="1379" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCkzlrqZwZa8iA2g8jJK_9TnRK2d9R0gJJ9gpW5Nkmlx4IEruLcikOji8QstlDy2E5pZtpfIVMIRFMtzSU59KkV9y-22jg4Kh8ZkmWqsiKJ38Bt11cYB9gLL2Vz9YSxbWc1XXZaQMGB8Wj2DBlP6-PeSe9ukNBHibTY6RZiF8OUfyllUkODsAZ/s320/teks%20babon.jpeg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
<br />Saat membaca buku terjemahan <i><a href="https://shopee.co.id/What-Is-Religious-Authority-Menyemai-Sunnah-Merangkai-Jamaah-Ismail-Fajrie-Alatas-i.4873816.25110509087?sp_atk=59b0a216-8f98-4733-8244-709dc57b4c82&xptdk=59b0a216-8f98-4733-8244-709dc57b4c82" target="_blank">What is Religious Authority</a></i> karya Ismail Fajrie Alatas yang baru diterbitkan Mizan/Bentang, terutama di bagian pengantar yang banyak mengeksplorasi aspek metodologi, saya jadi teringat tentang pentingnya bahan-bahan pokok dan mendasar dalam karya ilmiah. Saya teringat tentang pentingnya mahasiswa dan kalangan akademisi membaca teks-teks kunci dan mendasar pada tiap bidang atau rumpun keilmuan yang ditekuninya.
<br />
<br />Saat Alatas menyebut Talal Asad, misalnya, saya jadi ingat teks yang dirujuk karya Asad yang telah menjadi klasik, yakni esai panjang “<a href="https://www.jstor.org/stable/20685738" target="_blank">The Idea of an Anthropology of Islam</a>” (1986). Di kalangan akademisi, khususnya yang menggeluti bidang antropologi, teks tersebut sangat penting karena memuat kritik atas pendekatan kajian Islam yang selama ini berkembang. Asad menawarkan gagasan yang jika dirumuskan secara sederhana menempatkan Islam sebagai tradisi diskursif (<i>discursive tradition</i>).
<br />
<br /><span class="fullpost">Cara pandang ini menolak corak esensialisme yang memandang Islam dengan menghubungkannya pada esensi tertentu dan mencoba melihat dinamika pemaknaan Islam sebagai sebuah tradisi yang hidup, yang dinamis. Praktik tradisi umat Islam yang beragam pada waktu, tempat, dan komunitas yang berbeda menandakan perbedaan bernalar sesuai dengan kondisi sosio-historis masing-masing. Karena itu, menurut Asad, antropologi Islam berusaha untuk memahami kondisi sejarah yang memungkinkan terjadinya produksi dan upaya untuk mempertahankan tradisi diskursif tertentu, termasuk juga bagaimana proses transformasi terjadi beserta upaya yang dilakukan.
<br />
<br />Memang Alatas tidak sepenuhnya sepakat dengan seluruh poin gagasan Asad sehingga Alatas juga menggunakan perspektif metodologi yang lain dalam karyanya itu. Namun fokus saya di sini bukan tentang penelitian Alatas secara khusus. Fokus saya adalah tentang pentingnya memperkenalkan teks-teks kunci kepada mahasiswa dan bagaimana kalangan akademisi membekali dirinya dengan teks-teks babon tersebut.
<br />
<br />Saya menduga kritik terhadap kondisi dunia akademik kita yang tidak sehat belakangan ini, seperti lesunya diskusi akademik, <a href="https://www.rindupulang.id/2010/05/plagiarisme-dan-komunitas-akademik-yang.html" target="_blank">maraknya plagiarisme</a>, berkembangnya publikasi ilmiah yang bersifat instan, di antaranya juga terkait dengan lemahnya penguasaan para akademisi atas teks-teks kunci pada bidang yang digelutinya. Ia tidak kenal peta bacaan kunci tersebut, baik yang sifatnya klasik maupun yang mutakhir. Akibatnya, ia tidak bergerak di wilayah-wilayah yang sifatnya fondasional pada bidang keilmuannya dan seringnya hanya bergerak di wilayah pinggiran.
<br />
<br />Saat dulu saya mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA 3 Annuqayah, saya juga memiliki pikiran serupa. Siswa-siswa mestinya diperkenalkan dengan teks-teks kunci bidang sastra Indonesia. Keprihatinan itu lalu memicu saya untuk menghimpun sejumlah cerpen-cerpen Indonesia yang saya anggap sebagai “cerpen sepanjang zaman”. Saya berdiskusi dengan banyak rekan, termasuk dengan AS Laksana, Kiai Faizi, almarhum M. Zamiel el-Muttaqien, Bernando J. Sujibto, dan yang lainnya, dan akhirnya sekolah <a href="https://www.rindupulang.id/2013/10/cerpen-terpilih-lintas-dekade-untuk.html" target="_blank">“menerbitkan” kumpulan cerpen pilihan karya para sastrawan Indonesia dari setiap periode/generasi</a>. Apa yang saya lakukan itu pernah ditulis dan diapresiasi oleh AS Laksana dalam satu esainya di <i>Jawa Pos</i>, 29 Desember 2013.
<br />
<br />Kembali ke pokok pembicaraan, saat membaca karya Alatas yang sangat renyah dan mengilhamkan ini, saya bertemu dengan teks-teks kunci atau buku-buku babon lainnya yang sebagian masih banyak yang belum saya baca.
<br />
<br />Keprihatinan atas kondisi dunia akademik yang lemah dalam penguasaan teks kunci itu mendorong saya untuk berpikir tentang pentingnya membuat antologi atau setidaknya daftar bacaan yang direkomendasikan pada bidang-bidang tertentu. Misalnya bidang filsafat moral, etika lingkungan, tasawuf, studi al-Qur’an, pendidikan Islam, dan seterusnya. Di kampus tempat saya mengajar, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah, saya sering mendorong hal tersebut, sehingga prodi tempat saya mengajar saat ini sudah mulai membuat daftar tersebut dan mendorong mahasiswa dengan mewajibkan mereka membaca teks-teks tersebut setiap semester dengan target tertentu.
<br />
<br />Lebih detail dari itu, saya teringat salah satu buku Franz Magnis-Suseno yang berjudul <i>13 Tokoh Etika</i>. Buku yang terbit di Kanisius dan pertama terbit tahun 1997 itu (saya dulu meresensinya di <i>Surabaya Post</i> saat saya baru masuk kuliah di Filsafat UGM Yogyakarta) lalu disusul oleh buku lain yang diberi judul <i>13 Model Pendekatan Etika</i> (Kanisius, 1998). Buku yang terakhir ini memuat kutipan teks-teks pokok dari ketiga belas filsuf yang dibahas Magnis-Suseno pada buku sebelumnya. Ada pengantar singkat yang diberikan oleh Magnis-Suseno sebelum kutipan teks kunci disajikan. Di bagian akhir, ada daftar pertanyaan yang dibuat untuk menguji pemahaman pembaca.
<br />
<br />Buku semacam ini menurut saya sangat penting untuk membantu penguasaan mahasiswa dan akademisi atas konsep dan gagasan dasar pada setiap bidang ilmu sehingga penguasaan dan pengembangan diskursus keilmuan dapat lebih mudah dilakukan.
<br />
<br />Sayangnya hal-hal semacam ini belum banyak dipikirkan dan dikerjakan. Kita belum punya infrastruktur belajar yang cukup dan diperlukan oleh mereka yang mau belajar, mendalami ilmu, dan mengembangkan ilmu. Tak heran bila perkembangan ilmu di lingkungan kita bergerak sangat lambat—untuk tidak mengatakan macet.
<br />
<br /><br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-27170118295961168792024-01-31T09:26:00.004+07:002024-01-31T09:26:37.594+07:00Mudah Pecah<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXyK93YzvR5TWf-75jO9Ik0Wfjk71OLv3pwxrV2305JHNSOHMpcVHwRziEdsXgVaiyPt0ZJC_h4Gs4pVf7bDc1fSabuDP4ra08UnUxDYX2OAUoIPOU_Q7xTK0SlWgyKWr0WAMhF-G5o64ArT143RJ104ctaN6Pw7mP5oDuxH_s7WEp7RiE9Ibq/s700/sufi%20talks.jpg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" height="320" data-original-height="700" data-original-width="632" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgXyK93YzvR5TWf-75jO9Ik0Wfjk71OLv3pwxrV2305JHNSOHMpcVHwRziEdsXgVaiyPt0ZJC_h4Gs4pVf7bDc1fSabuDP4ra08UnUxDYX2OAUoIPOU_Q7xTK0SlWgyKWr0WAMhF-G5o64ArT143RJ104ctaN6Pw7mP5oDuxH_s7WEp7RiE9Ibq/s320/sufi%20talks.jpg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Ia mudah pecah. Ia rentan. Ia seperti gelas yang jika dibawa dengan tangan harus dipegang dengan hati-hati agar tidak terjatuh. Saya sering melihat gambar gelas dengan ada kilatan kecil di salah satu sisinya, diletakkan sebagai simbol pada kemasan barang yang katanya mudah pecah.
<br />
<br />Jangan dibanting. Demikian tertulis sebagai pengingat. Please handle with care. Tangani atau bawa dengan hati-hati. Namun sering juga terdengar orang-orang mengeluh, karena kurir ekspedisi kadang masih sembarangan menangani paket yang sudah ditempeli dengan stiker simbol gelas yang mudah pecah dan ada tulisan “FRAGILE” itu.
<br />
<br /><span class="fullpost">Namun saya tidak sedang berpikir tentang gelas yang mudah pecah atau barang pecah belah serupa. Saya berpikir tentang anak-anak, jiwa dan perasaan anak-anak, yang saya bayangkan mungkin juga “mudah pecah”, dan membutuhkan penanganan yang hati-hati, meski kita tidak menemukan stiker bergambar gelas pecah yang ditempelkan pada baju anak-anak kita.
<br />
<br />Saya teringat Robert Frager yang dalam buku bagusnya berjudul <i><a href="https://shopee.co.id/SUFI-TALKS-Obrolan-Tentang-Menempuh-Jalan-Batin-Robert-Frager-Ph.D.-i.4873816.22749775368?sp_atk=654f83c0-c146-4770-87bd-a95d20056778&xptdk=654f83c0-c146-4770-87bd-a95d20056778">Sufi Talks</a></i> (terakhir versi terjemahan bahasa Indonesianya <a href="https://shopee.co.id/SUFI-TALKS-Obrolan-Tentang-Menempuh-Jalan-Batin-Robert-Frager-Ph.D.-i.4873816.22749775368?sp_atk=654f83c0-c146-4770-87bd-a95d20056778&xptdk=654f83c0-c146-4770-87bd-a95d20056778">diterbitkan oleh Noura Books</a>, dan sebelumnya diterbitkan oleh Penerbit Zaman) yang mengingatkan bahwa bayi manusia, atau anak-anak, membutuhkan perawatan lebih banyak dan lebih lama dibandingkan bayi spesies lainnya. Mereka lebih banyak membutuhkan aliran cinta—mungkin waktu yang juga lebih lama di masa atau periode kanak-kanaknya. Mereka mudah pecah.
<br />
<br />Saya teringat novel-novel Torey Hayden, di antaranya berjudul <i><a href="https://books.google.co.id/books?id=cfRD_UesmXwC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false">Sheila</a></i>, versi terjemahannya diterbitkan Penerbit Qanita, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, disunting oleh Rika Iffati Farihah yang pernah menjadi mitra kerja saya di Bentang Pustaka. <i>Sheila</i> bercerita tentang luka hati seorang gadis kecil yang dampaknya begitu membekas dalam kehidupannya. Sheila berkisah tentang gelas yang telah pecah dan tak ditangani dengan baik. Sheila bercerita tentang anak-anak yang tak mendapatkan aliran cinta sebagaimana layaknya ia membutuhkan pada masa-masa penting perkembangannya.
<br />
<br />Saya teringat paket yang saya terima dalam keadaan “pecah” karena tak ditangani dengan baik oleh kurir ekspedisi, meski sudah ada stiker bergambar gelas di kemasannya.
<br />
<br />Lalu saya juga teringat pada anak-anak saya yang kadang tidak saya tangani sebagaimana gelas yang mudah pecah itu. Tulisan ini adalah pengingat untuk saya—mungkin juga untuk Anda, para pembaca. Kata Frager, saat kita belajar mencintai, termasuk anak-anak itu, kita juga belajar mengatasi narsisisme kita—sesuatu yang belakangan begitu dirayakan melalui platform media sosial kita. Kita belajar mendahulukan kebutuhan orang lain. Masih kata Frager, ada orang yang harus menunggu jatuh cinta atau menjadi orangtua untuk menyadari dan belajar mendahulukan kepentingan orang lain. Kata Frager, mungkin anak-anak adalah terapi kejut versi Tuhan untuk mengobati egoisme kita.
<br />
<br />Jadi, pegang mereka dengan hati-hati. Karena mereka itu mudah pecah. Dan mereka senantiasa menunggu kelembutan pegangan kita.
<br /><br /></span>
M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-77672780255620416382024-01-23T08:58:00.002+07:002024-01-23T08:58:16.680+07:00Menulis Pendek, Menulis Panjang
<p style="line-height: 18px;"><br />
Butuh tenaga ekstra untuk bisa menulis panjang dengan target menulis di kisaran 5000 kata. Tapi saya ingat, jarak 12 ribu kilometer tetap dimulai dari tapak satu dua langkah. Artinya, 5000 kata tetaplah dimulai dari dua tiga kalimat.
<br />
<br />Saya tidak terbiasa menulis panjang seperti untuk artikel jurnal yang menuntut minimal 5000-an kata. Jadi ketika mulai kuliah S-3, saya sempat khawatir jika ada tugas makalah yang menuntut minimal panjang tulisan seperti itu. Namun ternyata alhamdulillah, untuk tugas-tugas makalah presentasi dengan minimal 4000 kata, saya bisa mengerjakannya dengan sistem kebut (sehari) semalam. Asal bahan sudah cukup jelas, sistematika disiapkan, proses penulisannya bisa pake sistem balapan.
<br />
<br /><span class="fullpost">Begitulah saya mengerjakan tugas makalah presentasi di semester ini. Terjepit di antara berbagai aktivitas, makalah diselesaikan dalam waktu sekitar sehari semalam. Hasilnya tak buruk-buruk amat. Saya berpikir, kok ternyata bisa saya menulis agak panjang? Ya itu tadi, karena tulisan panjang adalah tulisan pendek yang disatukan. Untungnya, saya sudah cukup terbiasa menulis—yang pendek-pendek itu, dahulu, terutama saat masih aktif menulis populer resensi buku di koran-koran dan juga aktif menulis untuk rindupulang.id, blog kesayangan yang beberapa tahun terakhir cukup terlantar.
<br />
<br />Jadi mungkin benar apa yang <a href="https://www.rindupulang.id/2002/07/menulis-itu-indah.html">sering saya katakan</a>: menulis itu juga soal keterampilan, seperti memasak atau menyetir kendaraan. Iya terkait juga dengan jam terbang. Saya ingat saat saya pertama kali belajar memasak saat menempuh S-2. Mentor saya teman kelas dari Bangladesh—dan juga YouTube, yang kontennya belum seheboh sekarang. Saya ingat bagaimana kakunya saya memotong-motong bawang. Saya masih menyimpan videonya. Hehehe..
<br />
<br />Demikian juga menulis. Mereka yang belum terbiasa menulis, mungkin akan terbata-bata memulai paragraf dan kalimat-kalimat pembuka. Satu paragraf selesai, kebingungan datang untuk melanjutkan paragraf berikutnya. Seperti mobil mogok yang kehabisan bahan bakar. Ya, begitulah, kadang penulis pemula tidak siap dengan bahan mentah, seperti saat saya memasak kare ayam di Utrecht dan lupa tidak membeli jahe untuk membuat masakan saya lebih enak.
<br />
<br />Tapi soal keterampilan, sekali lagi, itu soal jam terbang. Saya ingat, dahulu saat masih duduk di bangku sekolah kelas menengah, saya juga rajin menulis catatan harian. Sayang sebagian tak terarsip. Yang tersisa ada catatan harian tahun 1996. Tapi ada juga arsip tulisan saya di era-era itu, termasuk ada juga yang menggambarkan proses kreatifnya, mulai dari mengumpulkan dan merangkum bahan dari berbagai sumber, hingga kemudian saya tuangkan dalam satu tulisan yang kalau saya bayangkan waktu itu <a href="https://www.rindupulang.id/1995/07/manusia-dan-krisis-lingkungan.html">hitungannya agak panjang</a>.
<br />
<br />Jadi kalau ada orang yang tiba-tiba dituntut untuk menulis panjang, tapi sebelumnya belum terbiasa bahkan untuk menulis yang pendek-pendek, saya bisa membayangkan betapa mumetnya dia itu. Makanya, daripada mumet, saran saya, cobalah untuk menulis yang pendek-pendek dulu, di kisaran 500 kata, itu sudah sangat bagus jika dilakukan secara rutin.
<br />
<br />Saya ingat, pada awal 2013 saya pernah mendapat <a href="https://www.rindupulang.id/2013/03/42-esai-al-quran.html">proyek penulisan 40 esai</a> yang masing-masing panjangnya sekitar 400 hingga 500 kata. Saya lakukan tiap hari. Malam menyiapkan bahan, pagi setelah subuh saya tulis. Alhamdulillah berjalan lancar.
<br />
<br />Setelah lama tidak aktif menulis, dan dalam beberapa bulan ini dipaksa membaca dan menulis karena saya sekolah lagi, saya bersyukur. Sepertinya rindupulang.id akan senang menyambut saya membuka akun blogger.com, dan memposkan tulisan-tulisan baru yang melulu tidak hanya tentang hal akademik, tapi tulisan-tulisan spontan yang saya tulis sekali duduk semacam ini.
<br />
<br />Salam hangat.
<br />
<br />
<br /><br /></span>
M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-7863033487385550012023-10-05T05:16:00.034+07:002023-12-21T20:16:58.060+07:00Memori dan Legitimasi dan Pencarian Umat Islam Masa KiniCatatan Membaca <i>The First Muslims</i> (2007) karya Asma Afsaruddin
<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp6lHI9y-rhaXIfcH1f_6EEd86luWKZys0vfJTdAhGIusPeYKoSHFPx5Iu5AdvWSisyfOeqmxAzyQ62xSfvNSfE1RIB5UjNXHgd37_6x9O6Ne2Hx6rL07PSm7exWR5Zv_8WZ-wPk2Q3EJ6zA0vNBRwOxwA0DqJCs2xa041btcACoaG2bK1Z0Ud/s1099/Untitled-1f.jpg" style="display: block; padding: 1em 0px; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="1099" height="183" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjp6lHI9y-rhaXIfcH1f_6EEd86luWKZys0vfJTdAhGIusPeYKoSHFPx5Iu5AdvWSisyfOeqmxAzyQ62xSfvNSfE1RIB5UjNXHgd37_6x9O6Ne2Hx6rL07PSm7exWR5Zv_8WZ-wPk2Q3EJ6zA0vNBRwOxwA0DqJCs2xa041btcACoaG2bK1Z0Ud/w400-h183/Untitled-1f.jpg" width="400" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Buku karya Asma Afsaruddin, <i>The First Muslims: History and Memory</i> (Oxford: OneWorld Publication, 2007), ini berusaha menyajikan peta perebutan makna sejarah dan ajaran Islam oleh umat Islam masa kini. Secara garis besar, buku ini memuat dua bagian. Bagian pertama, buku ini menyajikan secara singkat sejarah dan pemikiran tiga generasi muslim awal yang juga dikenal dengan sebutan <i>al-salaf al-shalih</i>. Kedua, buku ini memaparkan beberapa butir pemikiran umat Islam masa kini yang dibagi dalam dua kelompok besar tentang beberapa isu pokok yang banyak diperbincangkan. Dua kelompok itu disebut kelompok islamis dan kelompok modernis.
<br />
<br />Bagian yang pertama merupakan titik tolak yang menjadi landasan perdebatan dari dua kelompok yang dituturkan di bagian kedua. Pergulatan sejarah umat Islam di tiga generasi awal dipandang telah melahirkan memori dan menjadi basis legitimasi bagi aneka penafsiran sikap keagamaan yang muncul saat ini, termasuk yang dikemukakan oleh kelompok islamis dan kelompok modernis.
<br />
<br /><span class="fullpost">Dengan menyadari pentingnya pemaparan fase sejarah tiga generasi awal tersebut, buku ini menyandarkan rujukannya pada sumber-sumber klasik berbahasa Arab baik berupa biografi atau sejarah, tafsir, <i>adab</i>, dan sebagainya. Terkait sumber rujukan ini, Asma sejak awal menegaskan bahwa klaim kaum revisionis yang cenderung meragukan beberapa sumber Islam awal dapat tertolak, sebagian juga karena adanya rujukan dan manuskrip terkini yang memperkuat posisi sumber-sumber klasik tersebut.
<br />
<br />Asma memaparkan bagian pertama ini dalam delapan bab, meliputi periode kehidupan Nabi Muhammad saw, <i>khulafa’ al-rasyidun</i>, masa sahabat, <i>tabi’un</i>, dan <i>tabi’ al-tabi’in</i>, dalam 147 halaman (dari total 199 halaman bagian isi). Dengan ruang pembahasan yang singkat, Asma memberi penekanan pada penggalan sejarah yang penting seperti tentang Konstitusi Madinah, isu-isu kunci dalam kepemimpinan setelah Rasul, perubahan tata kehidupan bermasyarakat setelah meluasnya wilayah Islam, dan sebagainya.
<br />
<br />Konstitusi Madinah misalnya memuat term jihad militer tapi dalam arti bertahan. Perjanjian itu juga memaknai ummah tidak saja beranggotakan komunitas muslim tapi juga umat Yahudi dan juga Kristen. Menarik dicatat bahwa sejauh terkait konflik Nabi dengan suku Yahudi di Madinah, yang mengemuka menurut Asma adalah lebih terkait dengan pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh suku Yahudi tersebut. Tak ada sentimen Yahudi yang mengemuka. Ini juga terbukti dalam kisah seorang perempuan Yahudi yang berusaha meracun Nabi tapi kemudian terbongkar. Nabi tidak menjadikan kasus ini untuk mengangkat sentimen Yahudi di kalangan umat Islam.
<br />
<br />Pada masa <i>khulafa’ al-rasyidun</i>, beberapa khalifah mengambil keputusan yang cukup menarik diperbincangkan dan menjadi cermin tentang bagaimana para sahabat membaca norma Islam sepeninggal Nabi. Abu Bakar misalnya memutuskan untuk memerangi pada pembangkang yang tidak mau membayar zakat di masa kepemimpinannya. Keputusan ini diprotes oleh sebagian sahabat karena tak ada teks yang tegas yang dapat melegitimasi keputusan tersebut. Namun Abu Bakar kemudian menjelaskan landasan keputusannya dengan baik. Dari poin ini, menurut al-Jahiz, Abu Bakar menunjukkan bahwa untuk mengikuti ajaran Islam diperlukan kedalaman pemahaman dan pengetahuan yang dapat melampaui permukaan teks. Hal serupa juga terjadi pada masa Umar bin al-Khaththab, misalnya ketika Umar menangguhkan hukuman bagi pencuri saat wilayah kekuasaannya mengalami masa paceklik. Sementara ada sumber yang menggambarkan Umar bersikap diskriminatif terhadap kelompok agama lain, Asma menolak dengan menyatakan bahwa sumber tersebut baru muncul pada abad ke-9, dan apalagi banyak fakta sejarah lain yang menunjukkan sikap toleran Umar dalam pendudukan di beberapa wilayah seperti Yerusalem, yang jauh lebih baik daripada penguasa Bizantium sebelumnya.
<br />
<br />Tarik menarik antara semangat egalitarianisme Islam yang dibangun sejak awal kelahirannya terus terjadi pada masa <i>tabi’un</i>. Jika pada masa pemerintahan Bani Umayyah suku Arab tampak dominan dan superior, pada era Abbasiyah hal itu bisa dikatakan tidak terlihat lagi. Berbagai unsur warga wilayah kekuasaan Islam yang multi-etnis berpartisipasi aktif dalam tata pemerintahan dan kehidupan bermasyarakat. Namun, pada saat yang sama, pada era Abbasiyah ini mulai muncul pemaknaan jihad sebagai aktivitas militer. Pada masa ini, jihad juga kadang dimaknai sebagai <i>qital</i> (pertempuran).
<br />
<br />Bagian kedua buku ini kemudian memetakan pandangan kelompok islamis dan modernis masa kini dalam menyikapi beberapa masalah, seperti negara Islam, syariah, posisi perempuan, dan jihad. Menurut Asma, pembacaan kaum modernis jauh lebih berhasil dalam berusaha bercermin dari pemikiran dan praktik kaum <i>al-salaf al-shalih</i> daripada kaum islamis. Kaum modernis lebih adaptif dalam soal penerapan hukum Islam, terbuka dalam membincang konsep kenegaraan, toleran terhadap kelompok minoritas, dan juga membuka ruang partipasi publik bagi kaum perempuan. Kaum islamis yang terpengaruh dengan doktrin <i>takfir</i> akhirnya cenderung gagal menampilkan teladan wajah Islam yang tecermin dari generasi <i>al-salaf al-shalih</i>.
<br />
<br />
* * * * *
<br />
<br />
Kesan dan pertanyaan yang pertama muncul setelah membaca buku ini terkait ruang kosong yang dilewatkan oleh Asma pada fase sejarah setelah periode <i>tabi’ al-tabi’in</i>. Jika tujuan menulis buku ini tidak sekadar berbicara tentang umat Islam awal, tapi juga kaitannya dengan umat Islam masa kini, maka seorang diasumsikan bahwa umat Islam masa kini semata merujukkan sikap dan pandangannya pada periode tiga generasi muslim awal sebagaimana yang dibahas Asma dalam buku ini.
<br />
<br />Menurut saya, sikap dan pandangan umat Islam masa kini bisa saja juga terbentuk oleh peristiwa, memori, atau warisan dari periode yang tidak dibahas Asma. Misalnya, periode yang melibatkan terjadinya peristiwa Perang Salib pada akhir abad ke-11 hingga abad ke-13. Mungkin benar, bahwa perujukan pada periode generasi <i>al-salaf al-shalih</i> lebih banyak terkait dengan soal legitimasi. Namun penyikapan kaum muslim saat ini tidak hanya tentang legitimasi, tapi bisa juga terbentuk dari apa yang oleh Karen Armstrong dalam <i><a href="https://www.rindupulang.id/2003/10/krisis-identitas-dan-perang-atas-nama.html">The Holy War</a></i> (2001) disebut sebagai krisis identitas, seperti yang juga melatari peristiwa Perang Salib, sehingga kaum islamis misalnya oleh Asma disebut lebih menempatkan Islam sebagai ideologi politik semata.
<br />
<br />Apakah dengan demikian berarti Asma berasumsi bahwa peristiwa Perang Salib, misalnya, tidaklah signifikan dalam pembentukan sikap dan pandangan kaum islamis dan modernis?
<br />
<br />Pembacaan terhadap titik sejarah yang dianggap penting, seperti Perang Salib, penting juga untuk menelusuri pembentukan cara pandang diri kaum islamis dan modernis, atau pembentukan identitas. Beberapa sejarawan menulis pemaparan sejarah juga kadang dari perspektif pencarian makna identitas ini, seperti Tamim Ansary yang menulis <i><a href="https://www.rindupulang.id/2012/02/sejarah-dunia-perspektif-islam-problem.html">Destiny Disrupted: A History of the World Through Islamic Eyes</a></i> (2009), atau Tariq Ramadan yang menulis <i><a href="https://www.rindupulang.id/2008/05/meneladani-muhammad.html">In the Footsteps of the Prophet</a></i> (2006).
<br />
<br />Selanjutnya, jika dibandingkan dengan buku Khaled Abou El Fadl, <i><a href="https://www.rindupulang.id/2006/02/menyelamatkan-islam-dari-ekstremisme.html">The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists</a></i> (2005), mungkin akan lebih baik jika secara khusus Asma juga memberi porsi untuk menjelaskan sedikit latar kemunculan kelompok islamis ini, terutama dalam konteks tatanan sosial-politik dunia. Di buku <i>The Great Theft</i>, misalnya, Abou El Fadl secara khusus menjelaskan cukup panjang lebar kelahiran kaum puritan baik di era awal maupun di masa kini, sebelum kemudian menguraikan satu persatu doktrin atau pemahaman keagamaan mereka.
<br />
<br />Pertanyaan yang menarik dan mungkin cukup menantang adalah jika uraian Asma dihubungkan dalam konteks Islam di Indonesia, baik itu menyangkut perujukan pada memori sejarah, legitimasi, dan klaim autentisitasnya secara doktrinal, maupun juga pada identifikasi dan pengelompokan kecenderungan pemikiran yang berkembang saat ini.
<br />
<br /><i>Wallahu a’lam</i>.
<br />
<br />
<br />
<br /><br /></span>
</p>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-31927363625645341982023-09-04T07:58:00.006+07:002023-09-04T08:06:16.897+07:00Simulakra Amerika<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe class="BLOG_video_class" allowfullscreen="" youtube-src-id="7kmhiKD4nmg" width="400" height="322" src="https://www.youtube.com/embed/7kmhiKD4nmg"></iframe></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Setelah tiga minggu keliling Amerika mengikuti kegiatan dan bertemu dengan tokoh agama dan tokoh pendidikan dengan berbagai latar, kami disodorkan sebuah pertanyaan yang cukup menggugah: apakah ada persepsi dan pandangan Anda yang berubah tentang Amerika?
<br />
<br />Apakah ini pertanyaan untuk mencuci otak kami? Apakah ini pertanyaan untuk menarik kami ke perahu mereka? Tapi bukankah saya menemukan bahwa ternyata “mereka” sangatlah beragam?
<br />
<br /><span class="fullpost">Pertanyaan itu muncul pada sesi evaluasi di hari terakhir dari rangkaian tiga pekan kegiatan IVLP bertajuk Faith Based Education. Sesi evaluasi ini dihadiri oleh pejabat dari Department of State Amerika sebagai penanggung jawab. Namanya Karl Asmus. Asmus, yang berdarah Jerman dan sebelumnya pernah bekerja untuk Angkatan Darat Amerika, waktu itu bertugas di Biro Pendidikan dan Kebudayaan, bagian yang mengelola kegiatan IVLP. Dia terbang dari Washington DC khusus untuk sesi evaluasi ini sekaligus untuk mengucapkan salam perpisahan kepada kami. Dari Washington, dengan penerbangan langsung, dia butuh waktu hampir tujuh jam untuk tiba di Portland, Oregon, kota terakhir kegiatan kami.
<br />
<br />Itu pertanyaan paling penting yang diajukan di sesi evaluasi tersebut. Lainnya lebih bersifat teknis atau turunan dari pertanyaan pokok itu. Bagi saya, ini pertanyaan reflektif yang membuat saya harus memeras semua pengalaman tiga minggu ini dalam satu kesan yang mungkin memang bernilai paling penting. Saya bersama delapan rekan peserta kegiatan lainnya tak punya waktu yang banyak untuk berpikir menyusun jawaban. Jawabannya memang lebih bersifat spontan.
<br />
<br />Bagi saya, tiga pekan kegiatan yang cukup padat itu memang cukup berhasil mengubah pandangan saya tentang Amerika. Sebelumnya, saya tidak punya perhatian atau minat khusus untuk mempelajari Amerika secara mendalam. Orang-orang Amerika yang saya kenal pertama adalah para relawan dari Volunteer in Asia (VIA) yang bertugas di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk mulai tahun 1983 hingga 1997. Itu pun saya tidak kenal dekat. Rentang waktu itu adalah masa kanak-kanak dan remaja saya. Kebetulan saya tidak mengikuti kegiatan kursus Bahasa Inggris yang dikelola oleh mereka. Setelah itu, saat menempuh jenjang magister di Utrecht, Belanda, pada tahun 2009, ada teman kelas saya dari Amerika. Namun saya tidak cukup akrab.
<br />
<br />Pandangan saya tentang Amerika adalah kesan yang saya tangkap di media dan pandangan umum lainnya yang berkembang. Amerika adalah negara adikuasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya juga menonton film-film Hollywood, termasuk <i>American Beauty</i> (1999)—yang dinobatkan sebagai film terbaik Academy Award tahun 2000 dan menyabet empat piala Oscar lainnya—yang menggambarkan kesuraman keluarga suburban Amerika. Juga film-film Oliver Stone yang banyak mengangkat realitas politik Amerika—di antaranya <i>Born on the Fourth of July </i>(1989), <i>Platoon</i> (1986), <i>JFK</i> (1991), <i>Nixon</i> (1995). Saya juga membaca buku-buku Noam Chomsky—juga film-film dokumenternya—yang bersikap sangat kritis terhadap kondisi masyarakat dan pemerintah Amerika. Salah satu terjemahan buku Chomsky pernah <a href="https://www.rindupulang.id/2002/02/cermin-tatanan-politik-internasional.html">saya ulas cukup panjang di Harian Kompas</a>, dulu, saat saya masih mahasiswa di Yogyakarta. Buku terjemahan karya Chomsky lainnya pernah <a href="https://www.rindupulang.id/2015/04/chomsky-menelanjangi-amerika.html">saya ulas di Harian Jawa Pos</a>.
<br />
<br />Kisah-kisah fiksi yang saya baca ada juga yang berlatar Amerika, seperti <i><a href="https://www.rindupulang.id/2008/05/bukan-cerita-pembunuhan-biasa.html">In Cold Blood</a></i> karya Truman Capote, <i>To Kill a Mockingbird</i> karya Harper Lee, <i>Impian Amerika</i> karya Kuntowijoyo, <i>Orang-Orang Bloomington </i>karya Budi Darma, atau beberapa cerita pendek berlatar Amerika karya Umar Kayam.
<br />
<br />Pengalaman tiga minggu di bulan September 2017 itu benar-benar membuat saya mengalami langsung pertemuan sosial-budaya dengan Amerika. Minat dan perhatian saya untuk membaca atau mempelajari hal yang terkait Amerika pun bertambah—persis seperti yang dahulu terjadi setelah saya menempuh studi magister di Eropa. Pulang dari Amerika, beberapa buku atau tulisan tentang Amerika yang sebelumnya diabaikan menjadi menarik perhatian. Dengan situasi ini, persepsi populer sebelumnya yang mungkin bisa dibilang cukup awam tentang Amerika akhirnya disusun ulang berdasarkan narasi pengalaman tiga minggu tersebut.
<br />
<br />Saya jadi teringat istilah simulakra yang dilontarkan oleh filsuf posmodern Jean Baudrillard. Saya berpikir bahwa persepsi saya—mungkin juga orang lain—tentang Amerika lebih banyak dibentuk oleh citra media. Dunia simulasi media meleburkan yang nyata dan yang fantasi, yang asli dan yang palsu, juga nilai, fakta, tanda, citra, dan kode.
<br />
<br />Simulakra Amerika dalam benak saya akhirnya dihadapkan dengan pengalaman tiga pekan yang di antaranya mengantarkan pada pokok kesimpulan yang mungkin cukup sederhana: bahwa realitas Amerika terlalu beragam untuk diringkus dalam penyederhanaan titik kesimpulan yang cenderung tunggal. Pengalaman langsung meneguhkan pentingnya kesadaran akan keragaman dan perlunya keterbukaan dan kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih berimbang—bukan hanya berdasar citra media. Perjumpaan yang saya alami selama tiga minggu mempertemukan saya dengan fakta keragaman yang kuat—tak jauh berbeda dengan keragaman umat Islam di berbagai belahan dunia. Ini terjadi tidak hanya pada tataran masyarakat akar rumput Amerika, tapi juga pada tingkat elite masyarakat. Bahkan juga pada lapis pengurus publik atau pemerintahan. Keragaman itu misalnya tampak dalam penyikapan terhadap hal-hal yang terkait umat Islam dan isu-isu Islam pada umumnya.
<br />
<br />Pentingnya kesediaan untuk mengenal sesuatu secara lebih terbuka dan berimbang ini mengingatkan saya pada salah satu tulisan Imam Jamal Rahman saat ia bertutur tentang penolakan warga Amerika atas usulan pembangunan masjid dan pusat antariman di Ground Zero di kota New York. Rahman mengemukakan data yang mengungkapkan bahwa 61 persen warga Amerika yang menolak itu ternyata secara pribadi tak punya kenalan seorang muslim satu orang pun. Perjumpaan dan interaksi langsung nyatanya menjadi faktor yang cukup penting dalam peluang untuk mengubah stigma dan mengunci atau membuka jendela empati dan solidaritas.
<br />
<br />Memang kita hidup di zaman dominasi media. Media gencar menyuplai persepsi dan pengetahuan dengan berbagai bentuknya. Benarlah bahwa pengetahuan kita pada tingkat yang paling sederhana paling banyak bukanlah pengetahuan langsung, melainkan pengetahuan dari sumber otoritas seperti media atau juga dari penyimpulan yang kita buat. Namun saya jadi mengerti bahwa pengetahuan langsung bisa menggugah dan mengusik pengetahuan lapis kedua yang kita peroleh dari media. Perjumpaan bisa mendorong pada tumbuhnya minat dan perhatian, yang kemudian dapat menjadi titik awal bagi pemahaman baru.
<br />
<br />Saya sadar bahwa dalam situasi apapun, kita mesti bersikap kritis pada sumber-sumber informasi yang kita dapatkan. Chomsky sudah lama mengingatkan kita tentang kesadaran yang dibentuk menurut kepentingan politik tertentu—<i>manufacturing consent</i>. Perspektif kritis ini penting ditekankan untuk menghindari distorsi informasi yang bisa muncul dari media maupun pengalaman langsung.
<br />
<br />Pengalaman kunjungan tiga pekan di Amerika ini pada satu sisi memberi saya peneguhan tentang beragam sumber persepsi dan pengetahuan kita. Antara simulakra, citra media, sumber otoritas, pengalaman dan perjumpaan langsung, penyimpulan berdasar pengalaman dan informasi, dan sebagainya.
<br />
<br />Jadi, apakah setelah kunjungan tiga pekan itu pandangan saya tentang Amerika mengalami perubahan? Saya pikir iya. Pandangan saya tentang Amerika telah berubah. Bahkan mungkin juga yang berubah adalah pandangan saya tentang dunia. Namun saya berharap bahwa perubahan itu adalah perubahan yang mengarah pada sesuatu yang lebih baik, perubahan yang memperluas cakrawala saya, yang mungkin dapat menyelamatkan saya dari cara berpikir yang sempit dan tunggal.
<br />
<br />
Pamekasan, Desember 2020
<br /> <br /><br />
Tulisan ini diambil dari buku kumpulan esai pengalaman Amerika yang saya terbitkan dengan judul <i>Potret Pendidikan dan Agama di Amerika: Catatan Kegiatan IVLP 2017 Faith Based Education</i> (Instika Press, 2020). Buku ini dapat dibeli <a href="https://shopee.co.id/product/4873816/3021622867/">di sini</a>, dan isinya dapat diintip <a href="https://www.google.co.id/books/edition/Potret_Pendidikan_dan_Agama_di_Amerika/akkqEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=potret+pendidikan+dan+agama&pg=PP1&printsec=frontcover">di sini</a>.
<br /><br /></span>
M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-25758438548621042632023-04-01T12:11:00.008+07:002024-01-31T12:15:46.175+07:00Rekonstruksi Kesadaran Keberagamaan: Perspektif Makrohistoris dan Mikrohistoris<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4w8WwWR6W7TwXMd6tDgMw-kiHVKpfq9yxpqCPbRrA85v1HjbFNKWBQa_K7QSmLg5SNE5DktnreqtVSZSsKIE1K2nVaq6z3Vu9iTrXx0NQBztYOoh8ma5us8DzN9YQ-T0YCAy3Mlw9husPn7-yvnUvaS6bk2RZ3zW5LDXSCWHORenDdwdKsBMq/s1175/jpika.jpg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" width="320" data-original-height="878" data-original-width="1175" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4w8WwWR6W7TwXMd6tDgMw-kiHVKpfq9yxpqCPbRrA85v1HjbFNKWBQa_K7QSmLg5SNE5DktnreqtVSZSsKIE1K2nVaq6z3Vu9iTrXx0NQBztYOoh8ma5us8DzN9YQ-T0YCAy3Mlw9husPn7-yvnUvaS6bk2RZ3zW5LDXSCWHORenDdwdKsBMq/s320/jpika.jpg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
<b>Abstrak</b>
<br />
<br />
Kelahiran setiap agama pada mulanya selalu berupaya untuk mewujudkan kedamaian bagi semesta. Agama lahir untuk meredam kekerasan, egoisme, dan nafsu rendah dan sifat-sifat kebinatangan. Namun demikian, dalam konteks agama Islam misalnya, visi agama untuk menyebarkan kedamaian dan kasih sayang bagi semesta itu kurang mendapatkan titik tekan dari umat pemeluknya. Ada semacam keterputusan epistemologis yang terjangkit dalam konstruksi kesadaran keberagamaan umat Islam. Keterputusan epistemologis ini terjadi tidak hanya dalam level pemaknaan segi-segi ajaran keberagamaan, tapi lebih jauh lagi sudah relatif cukup meresap dalam perilaku dan pola pikir kehidupan beragama sehari-hari, bahkan dalam bentuk yang sederhana. Tulisan ini hendak menelusuri titik epistemologis keterputusan visi Islam ini dengan melihat dari sisi makrohistoris dan mikrohistoris. Bagian pertama dilakukan dengan mencermati titik-titik sejarah krusial yang menjadi landasan berpikir umat Islam untuk mengejawantahkan ajaran agamanya. Bagian kedua berkaitan dengan dimensi subjektif keberagamaan, yakni berhubungan dengan “dunia kecil” yang membentuk subjektivitas seseorang. Misalnya, lingkungan sosial budaya, pendidikan, dan sebagainya. Dengan mencermati melalui dua perspektif epistemologis tersebut, tulisan ini menawarkan model pembacaan dimensi normatif dan historis untuk merawat visi Islam yang damai.
<br />
<br />
Tulisan selengkapnya <a href="https://jurnal.instika.ac.id/index.php/jpik/article/view/472" target="_blank">bisa dibaca di sini</a>.
<br />
<br />M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-89149406148784287822022-11-27T18:51:00.002+07:002022-11-27T18:51:17.050+07:00Sekelumit tentang Internasionalisasi Santri<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_uag73wYvKYasBWaBfnLFNlYs_YgRtFCMAmA4umnTvUGPNFBnMrWDHZssJqWQpE8LO_ML4e9FUAuiX-W6RIohpkboYlj2E1vzbRh8SJ6Prmxe4tqCa6tjzUHVq7CSeeOSRPRMA0gIt1kolt_qlanBv3HTblJVRZLigMiJXTsMv6LniwKbbA/s1358/Internasionalisasi%20Santri%20-%20Foto%20oleh%20Fadllan%20Hanif%20IAIN%20Madura.jpeg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" width="400" data-original-height="734" data-original-width="1358" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_uag73wYvKYasBWaBfnLFNlYs_YgRtFCMAmA4umnTvUGPNFBnMrWDHZssJqWQpE8LO_ML4e9FUAuiX-W6RIohpkboYlj2E1vzbRh8SJ6Prmxe4tqCa6tjzUHVq7CSeeOSRPRMA0gIt1kolt_qlanBv3HTblJVRZLigMiJXTsMv6LniwKbbA/s400/Internasionalisasi%20Santri%20-%20Foto%20oleh%20Fadllan%20Hanif%20IAIN%20Madura.jpeg"/></a></div>
<br />
<i>Mengapa pembicaraan tentang internasionalisasi santri ini muncul dan mengemuka?</i>
<br />
<br />Secara kebahasaan, internasionalisasi santri menunjukkan adanya kesadaran kaum santri untuk menempatkan diri dalam kancah dunia internasional atau tatanan peradaban dunia. Kesadaran tentang internasionalisasi santri dalam pengertian yang sedemikian ini mengemuka dalam setidaknya dua dekade terakhir ini terkait dengan dua fenomena yang semakin tampak ke permukaan.
<br />
<br />
Pertama, fenomena globalisasi yang semakin kuat dan masuk ke wilayah-wilayah yang semakin luas. Penetrasi internet yang kian kuat dan luas pada satu sisi berhasil menghubungkan simpul-simpul komunitas dari berbagai kelompok hingga ke wilayah maupun bermacam sektor sehingga membuka peluang untuk bekerja sama dan berjejaring secara lebih intens dan luas. Kedua, kalangan santri itu sendiri semakin banyak yang merambah dunia internasional baik secara wilayah geografis maupun juga dalam bidang minat kajian keilmuan. Hal ini juga ditandai dan diikuti dengan semakin kuatnya komunitas-komunitas berbasis santri di berbagai wilayah geografis di dunia dan juga yang berbasis minat atau bidang tertentu.
<br />
<br /><span class="fullpost">
Selain dua hal tersebut, dalam konteks keindonesiaan, kaum santri dalam beberapa waktu terakhir ini mendapatkan tempat yang semakin baik dalam pergaulan kehidupan kebangsaan. Misalnya, dengan ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh pemerintah pada tahun 2015, ini berarti bahwa peran santri mendapatkan pengakuan resmi yang lebih kuat dari pemerintah dalam kaitannya dengan peran kebangsaan yang tidak terbatas hanya dalam kerangka <i>concern</i> keagamaan yang sempit.
<br />
<br />
Hal-hal tersebut membuka dan memperkuat peluang bagi kaum santri untuk memberikan kiprah dan peran yang lebih baik lagi dalam kehidupan masa kini yang akan mendatang di tingkat yang lebih luas, termasuk dunia.
<br />
<br />
<br />
<i>Selain hal-hal yang telah dijelaskan di atas, kira-kira adakah landasan historis bagi upaya untuk memperluas peran santri di kancah dunia?</i>
<br />
<br />
Iya, kita bisa melihatnya pada beberapa titik. Misalnya, pada abad ke-17, saat wacana dan pemikiran Islam mulai berkembang di Nusantara, ulama nusantara juga membangun jaringan yang cukup intens antara Melayu-Indonesia dan Timur Tengah. Abdurrauf Assinkili (1615-1693) misalnya membawa kasus fatwa Nuruddin Arraniri tentang kelompok Wujudiyyah, pengikut Hamzah Fanshuri, ke diskursus ulama Timur Tengah sehingga kemudian ditulis oleh Ibrahim al-Kurani (1615-1690) dalam sebuah manuskrip yang ditulis sekitar tahun 1675. Al-Kurani secara khusus juga menulis sebuah kitab berjudul Al-Jawabah al-Gharawiyyah ‘an al-Masa’il al-Jawiyyah al-Jahriyyah yang membahas masalah-masalah keagamaan “orang Jawa” (sebutan muslim Nusantara waktu itu).
<br />
<br />
Selain itu, kita juga memiliki tokoh seperti Syekh Yusuf Makassar (1626-1699), tokoh muslim dari Sulawesi, yang setelah pengembaraan ilmiahnya ke berbagai wilayah di Timur Tengah, kemudian gencar melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda hingga diasingkan di Sri Lanka dan Afrika Selatan. Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf aktif berdakwah sehingga atas jasa-jasanya, pada tahun 2009, Syekh Yusuf dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Afrika Selatan oleh Presiden Afrika Selatan.
<br />
<br />
<br />
<i>Bentuk internasionalisasi santri itu dalam situasi masa kini kira-kira bisa seperti apa?</i>
<br />
<br />
Pengalaman ulama dan santri Indonesia dalam merawat Islam di Nusantara merupakan khazanah budaya yang kaya dan bernilai penting, yang dapat diperkenalkan secara lebih luas kepada warga dunia. Pengalaman yang cukup panjang tersebut telah membentuk sebuah karakter Islam yang khas yang mampu hidup secara damai di tengah masyarakat yang beragam.
<br />
<br />
Akumulasi pengalaman muslim Indonesia tersebut dapat membentuk sebuah perspektif ala santri yang khas. Misalnya, Gus Dur sebagai tokoh dan pemimpin muslim Indonesia memiliki banyak pengalaman dalam mengorganisasi masyarakat muslim dan kegiatan sosial lainnya. Saat menjabat sebagai presiden, Gus Dur juga melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi konflik bernuansa separatis di Indonesia. Ahmad Suaedy secara khusus meneliti dan mendokumentasikan strategi Gus Dur dalam melakukan resolusi konflik separatis tersebut, dan menemukan bahwa strategi yang diambil berlandaskan pada metodologi Islam post-tradisional yang merupakan salah satu khazanah Islam Nusantara.
<br />
<br />
Selain memperkenalkan perspektif santri kepada dunia, internasionalisasi bisa juga berupa kerja-kerja kolaborasi dalam berbagai bidang oleh simpul-simpul komunitas yang memungkinkan.
<br />
<br /><br />
<i>Apa yang harus dipersiapkan untuk menyongsong peran kaum santri yang lebih mendunia tersebut?</i>
<br />
<br />
Yang utama adalah bahwa santri masa kini perlu memiliki visi dunia. Artinya, sejak dini santri harus mempunyai pandangan bahwa dia mempunyai ruang di masa depan untuk berkiprah di kancah global. Ruang-ruang yang mungkin dapat dia masuki kelak perlu juga diberi gambaran.
<br />
<br />
Dalam situasi ketika akses internet untuk mendunia relatif semakin mudah, yang penting digarisbawahi adalah bekal orientasi dan pemahaman tentang peta jalan yang mungkin dilakukan. Benar, bahwa secara teknis, saat ini tidaklah sulit bagi santri untuk, misalnya merambah dan menyiarkan karya dan aktivitasnya pada khalayak yang lebih luas. Namun demikian, penting kiranya untuk memberikan arahan atau orientasi yang mencukupi demi mengantisipasi salah jalan atau meningkatkan efektivitas upaya santriuntuk mendunia.
<br />
<br />
Orientasi ini juga bisa dilakukan dengan memberikan wawasan sejarah yang mencukupi, baik itu sejarah singkat dunia hingga pada titik peradaban global saat ini. Dalam pemahaman historis ini, santri diberikan penekanan pada titik-titik penting yang juga memperlihatkan sumbangan Islam dan pesantren pada khususnya pada peradaban dunia saat ini.
<br />
<br />
Lebih dari itu, kesiapan mental penting juga untuk dilakukan. Peradaban global saat ini bergerak pada tingkat kecepatan yang luar biasa. Dengan keragaman dan dinamikanya, mental santri perlu dibekali utamanya dengan memperkuat internalisasi nilai-nilai kosmologi santri. Ini sangat penting terutama jika santri mengambil peran dalam bidang-bidang yang baru, di luar bidang keagamaan atau bidang yang selama ini mendominasi minat aktivitas santri. Internalisasi nilai dan kosmologi santri ini penting agar aktivitas yang dilakukan di tingkat yang lebih luas tetaplah terhubung dengan tradisi dan komunitas tradisional santri.
<br />
<br />
<br />
Naskah ini adalah penggalan pengantar untuk seminar bertajuk Internasionalisasi Santri di IAIN Madura pada tanggal 14 November 2022. Foto kegiatan oleh Fadllan Hanif (IAIN Madura).
<br /><br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-80930703784967825682022-06-16T16:42:00.005+07:002022-06-24T08:51:14.363+07:00Urgensi Sekolah Melek Ekologi<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIpmxRprodHUGgoJyLazO9ppY1IIU1lBKrlObgKXAdOdM5d5DQGJzs_qaDD7b8AR2jEullKbTfaTXcxmqQXkr9k-ZbbxrJIf67N0aPCIHYdUH8pbvwERlBlYhlRBdWlK7Hq_KQDbWYfZfwtDSNWj-WxUSURPFLqRXQmbhO4ocAgCFWgla8RQ/s1168/header%20Urgensi%20Sekolah%20Melek%20Ekologi%20Kompas.jpg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" width="400" data-original-height="1034" data-original-width="1168" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIpmxRprodHUGgoJyLazO9ppY1IIU1lBKrlObgKXAdOdM5d5DQGJzs_qaDD7b8AR2jEullKbTfaTXcxmqQXkr9k-ZbbxrJIf67N0aPCIHYdUH8pbvwERlBlYhlRBdWlK7Hq_KQDbWYfZfwtDSNWj-WxUSURPFLqRXQmbhO4ocAgCFWgla8RQ/s400/header%20Urgensi%20Sekolah%20Melek%20Ekologi%20Kompas.jpg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
<br />Kerusakan alam dan lingkungan beberapa tahun terakhir menjadi fakta yang tersiar secara luas melalui berbagai media. Masyarakat sering disuguhi berita bencana alam atau fenomena iklim yang berdampak buruk bagi kehidupan. Apakah berita dan informasi tersebut mendorong adanya langkah perubahan mendasar yang diambil individu dan kelompok untuk meningkatkan mutu kehidupan melalui terobosan strategis dalam pengelolaan alam dan lingkungan?
<br />
<br />
Fritjof Capra dalam salah satu karyanya memperkenalkan istilah <i>ecoliteracy</i> yang merupakan singkatan dari <i>ecological literacy</i>, berarti melek ekologi. Istilah ini dimaksudkan untuk menggambarkan manusia yang sudah memiliki kesadaran tinggi tentang pentingnya merawat lingkungan hidup untuk kelangsungan hidupnya sehingga bersikap arif demi kelestarian alam.
<br />
<br /><span class="fullpost">
Bagaimana kesadaran ekologis itu dapat tercipta? Menurut Capra, kita perlu merevitalisasi komunitas-komunitas di masyarakat agar prinsip-prinsip ekologi bisa diwujudkan secara nyata. Di antara komunitas yang disebut Capra adalah komunitas pendidikan.
<br />
<br />
Iwan Pranoto pada tulisan berjudul ”Arah Baru Pendidikan” di harian <i>Kompas</i> (23/4/2022) mengutip laporan komisi masa depan pendidikan UNESCO yang menegaskan perlunya arah dan tujuan baru dalam praksis pendidikan, yang di antaranya dikaitkan dengan kerapuhan Planet Bumi. Dengan demikian, melek ekologi seharusnya menjadi menjadi bagian yang menyatu dengan visi kegiatan pendidikan di sekolah.
<br />
<br />
Isu lingkungan merupakan isu yang sangat penting untuk diintegrasikan dengan proses pendidikan di sekolah. Salah satu alasannya, di satu sisi sekolah merupakan tempat untuk menyiapkan generasi yang mampu dan siap menjawab tantangan masa depan yang di antaranya tantangan kelestarian alam. Sementara, di sisi yang lain, masalah lingkungan hidup termasuk masalah mendasar karena berhubungan langsung dengan pemenuhan kebutuhan manusia dan juga keberlanjutan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
<br />
<br />
<b>Buta krisis</b>
<br />
<br />
Namun, mengupayakan melek ekologi melalui sekolah tidaklah mudah. Secara umum, dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah mendasar, seperti yang terkait dengan mutu guru, visi untuk menyambungkan kegiatan pembelajaran dengan isu-isu konkret dan aktual di masyarakat, fasilitas pendukung, serta kebijakan pemerintah yang dapat mendukung dan kondusif bagi pengembangan pendidikan.
<br />
<br />
Secara khusus, di kalangan pendidik dan pengelola lembaga pendidikan belum ada pemahaman yang kuat akan situasi krisis yang dihadapi manusia dalam kaitannya dengan kerusakan lingkungan hidup. Hendro Sangkoyo, peneliti pada <i>School of Democratic Economics</i>, menyatakan bahwa masyarakat kita masih buta krisis. Lembaga pemerintah dan masyarakat sipil belum terlihat mengambil langkah strategis dan kolaboratif yang baik untuk menanggulangi dan mengantisipasi krisis sosial-ekologis yang lebih buruk lagi (<i>Kompas</i>, 24/1/2010).
<br />
<br />
Dari sudut visi dan arah pengembangan, ada kecenderungan sekolah lebih banyak mendorong kegiatan yang memperkuat dimensi produktivitas sehingga aspek konservasi yang merupakan nilai penting dalam konteks solusi menghadapi krisis lingkungan menjadi kurang mengemuka. Sekolah, misalnya, kadang lebih getol mendorong siswa untuk memburu piala pada aneka lomba bergengsi daripada merawat khazanah lokal tertentu, seperti makanan dan permainan tradisional.
<br />
<br />
Roh peningkatan produksi dan produktivitas dalam kebijakan pengembangan sekolah ini tampak cukup sejalan dengan semangat ideologi kapitalisme yang saat ini dapat dikatakan menguasai dan menyusupi berbagai lini arus kehidupan. Inilah mungkin yang berada dalam kerangka pikir Herbert Marcuse (1964) saat dia mengemukakan bahwa sekolah kadang juga cenderung berada dalam bingkai mekanisme ekonomi kapitalis sehingga pada satu sisi diarahkan pada kepentingan sektor industri yang bisa jadi eksploitatif dan di sisi lain secara tersembunyi mendorong iklim konsumsi berlebihan.
<br />
<br />
Peningkatan produksi yang eksploitatif yang diiringi dengan dorongan konsumsi besar-besaran semakin meminggirkan perhatian dan kepekaan masyarakat, termasuk insan pendidikan, terhadap nilai-nilai konservasi. Pada titik yang paling jauh, kecenderungan ini ikut mempercepat proses pemutusan kesadaran akan hubungan yang erat antara manusia dan alam sehingga manusia tak lagi memperlakukan alam sebagai bagian integral dari diri dan kehidupannya.
<br />
<br />
Situasi buta krisis dan kerumitan tatanan ideologi kapitalisme menjadi tantangan terbesar komunitas sekolah untuk menanamkan dan menguatkan visi melek ekologi di sekolah. Selain itu, visi kritis guru dan pengelola lembaga pendidikan untuk membawa orientasi pendidikan pada aspek yang bersifat kekinian dan antisipatif, khususnya yang terkait isu lingkungan hidup, tampak masih sulit tumbuh di tengah tantangan lainnya berupa kecenderungan besarnya beban administratif yang cukup memberatkan guru dan pengelola sekolah.
<br />
<br />
<b>Berbasis proyek</b>
<br />
<br />
Dalam konteks pendidikan, pendidikan lingkungan hidup di sekolah memiliki potensi yang sangat besar untuk dapat menjadi salah satu bentuk praksis pendidikan kontekstual. Melalui isu lingkungan hidup, proses pendidikan di sekolah dapat membawa siswa dan guru untuk tidak terpaku kepada teks belaka (<i>text book oriented</i>).
<br />
<br />
Siswa dan guru didorong untuk memahami gugus pengetahuan dan ilmu teoretis tentang kealaman dari sudut pandang yang luas mulai dari sains, sosial, ekonomi, bahkan politik untuk didialogkan dengan kenyataan sehari-hari di sekitar mereka. Tujuan pokoknya agar melek ekologi dapat terbentuk dan berlanjut pada aksi nyata meski sifatnya sederhana. Siswa dan guru diajak untuk mencapai tingkat melek ekologi untuk kemudian berbuat sesuatu untuk perubahan demi kelestarian lingkungan.
<br />
<br />
Upaya membentuk melek ekologi melalui sekolah merupakan peluang strategis untuk mengatasi suasana pembelajaran yang membosankan dan terkesan terputus dengan realitas kekinian. Karena itu, upaya untuk mengintegrasikan pencapaian melek ekologi dalam proses pendidikan di sekolah sangatlah penting untuk terus diupayakan.
<br />
<br />
Selain fasilitas yang bersifat material dan juga guru pendamping dalam proses pembelajaran, melek ekologi di sekolah harus didukung dengan fondasi filosofis dan aspek kurikuler secara integratif. Pertama, harus ada landasan normatif yang menjadi nilai dan roh dari upaya penumbuhan kesadaran lingkungan.
<br />
<br />
Landasan normatif ini dapat mengacu pada norma dan nilai keagamaan, kearifan lokal, atau pendekatan dan teori yang lebih bersifat ilmiah. Landasan normatif ini dibutuhkan untuk menjadi visi dan kerangka etis yang menjadi rujukan nilai pembelajaran sehingga terpatri dalam kesadaran guru dan murid.
<br />
<br />
Kedua, melek ekologi membutuhkan butir-butir informasi yang dijalin dengan baik untuk mengilhamkan perubahan mulai dari tingkat perorangan hingga kelompok. Kesadaran individu untuk bisa bersikap peduli kepada upaya pelestarian alam perlu ditopang dengan data dan fakta-fakta menggugah yang bisa membuat individu atau kelompok mengambil jeda sejenak dan merenungkan gaya hidup yang selama ini dipraktikkan. Pada titik ini pula, guru dan murid dilatih untuk mengasah kepekaan mereka atas kenyataan sehari-hari di lingkungan terdekat terkait dengan isu-isu lingkungan.
<br />
<br />
Ketiga, melek ekologi harus ditumbuhkan melalui kegiatan nyata dengan pengorganisasian yang baik. Siswa dan guru perlu mendapatkan pengalaman belajar alternatif yang bersifat nyata atas problem-problem lingkungan melalui serangkaian kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan bersama dalam jangka waktu tertentu dan dengan target tertentu.
<br />
<br />
Unsur yang ketiga ini sebenarnya dapat menyatukan dua unsur sebelumnya, yakni apabila upaya menanamkan melek ekologi kemudian diwujudkan dalam bentuk proyek. Maksudnya, siswa dan guru dalam jangka waktu tertentu secara bersama-sama membuat sebuah proyek untuk mengatasi masalah lingkungan tertentu yang ada di sekitar sekolah. Dengan berbasis proyek, siswa dan guru didorong untuk peka menemukan masalah dan menetapkan target yang akan dicapai dalam bentuk upaya nyata mengatasi masalah tersebut.
<br />
<br />
Untuk mengembangkan melek ekologi di sekolah, ketiga hal tersebut di atas membutuhkan dukungan dari para pemegang kebijakan di dunia pendidikan, termasuk juga guru yang dalam hal ini dapat diposisikan sebagai pendamping, fasilitator, dan pengilham perubahan. Pada pokoknya, para pelaku utama di dunia pendidikan, juga termasuk pengambil kebijakan, haruslah memiliki visi yang kuat untuk mengintegrasikan isu lingkungan dalam proses pendidikan. Guru dan kepala sekolah menjadi kunci penting. Di tangan para insan pendidikan ini jugalah dunia mendatang yang lestari akan ditentukan.
<br />
<br />
Tulisan ini dimuat di rubrik <a href="https://www.kompas.id/baca/opini/2022/06/12/urgensi-sekolah-melek-ekologi">Opini Kompas.id, 16 Juni 2022</a>.
<br />
Berkas tulisan ini dapat diunduh <a href="https://drive.google.com/file/d/1IBhes1C6bEKtq6IAvXm6dsRi_TYVRwGz/view?usp=sharing" target="_blank">di sini</a>.
<br /><br />
<br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-37853461172671498552021-12-18T06:35:00.002+07:002021-12-18T06:35:07.377+07:00Tawaran Konkret Solusi Bencana Iklim<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjs5DB3uFmoi-lwb5nqtHPJNOReZUccXgPX5L_CEM12hm_cM5Kvj8TrHyGPKqSWmRd9YnbwlwjGtOi4F4LGGno8A5uZprzowtYEEQ7tF_jXXHcCHRcEnqIeInReXdLnb9jhgWFXq7ILY-sWVCiyHZYTV0fD8jz_U_lDYphk0mryCHvJsOT04A=s1766" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" width="400" data-original-height="1134" data-original-width="1766" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjs5DB3uFmoi-lwb5nqtHPJNOReZUccXgPX5L_CEM12hm_cM5Kvj8TrHyGPKqSWmRd9YnbwlwjGtOi4F4LGGno8A5uZprzowtYEEQ7tF_jXXHcCHRcEnqIeInReXdLnb9jhgWFXq7ILY-sWVCiyHZYTV0fD8jz_U_lDYphk0mryCHvJsOT04A=s400"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
HOW TO AVOID A CLIMATE DISASTER
<br />Solusi yang Kita Miliki dan Terobosan yang Kita Perlukan
<br />Penulis: Bill Gates
<br />Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
<br />Cetakan: Pertama, Mei 2021
<br />Tebal: 252 halaman
<br />ISBN: 978-602-06-5284-9
<br />
<br />
<br />
Bencana iklim sudah di depan mata dan terjadi di mana-mana. Badai, kebakaran hutan, kenaikan permukaan laut, krisis pangan, dan juga pengungsi iklim, adalah sebagian contoh bencana iklim yang bisa saja semakin parah. Kenaikan suhu global setidaknya 1 derajat Celcius sejak era praindustri sudah memicu dampak yang cukup terasa. Perkiraan kenaikan suhu hingga setidaknya 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad ini menuntut langkah konkret bagi kita untuk mengantisipasi dampak yang lebih berat.
<br />
<br />Bill Gates, pendiri Microsoft, melalui buku ini turut urun rembug untuk menyetop pemanasan global dan menangkal bencana iklim yang mungkin terjadi. Ide yang diusulkan adalah dengan menghentikan emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Bill Gates mengajak kita untuk bergerak menuju nol emisi.
<br />
<br /><span class="fullpost">
Mengapa harus nol? Memang, Gates mengakui bahwa nol yang dimaksud adalah “dekat nol netto”, karena untuk nol emisi, kita semua harus benar-benar lepas dari bahan bakar fosil—sesuatu yang belum terbayang untuk saat ini atau dalam waktu dekat. Visi menuju nol harus ditanamkan dengan kuat karena kita berkejaran dengan waktu. Apalagi jejak karbon yang dihasilkan sekarang sekitar seperlimanya masih akan terjebak di atmosfer dalam 10 ribu tahun ke depan.
<br />
<br />Gates menegaskan bahwa harus ada langkah untuk menuju nol emisi. Kita memiliki beberapa modal berharga: ambisi dan cita-cita, dan banyak orang muda dan pemimpin yang peduli pada isu lingkungan. Namun langkah konkret harus dirumuskan yang juga melibatkan terobosan-terobosan baru demi memperkuat daya untuk menangkal bencana iklim yang mungkin datang.
<br />
<br />Dalam menyusun langkah konkret itu, Gates bekerja sebagai teknokrat sekaligus inovator. Gates menganalisis secara jernih dan runtut peta jalan menuju nol emisi. Dasarnya adalah data—data yang jelas dan relevan.
<br />
<br />Di antara pokok gagasan Gates adalah bahwa kunci peta jalan menuju nol emisi ada pada energi atau listrik. Meski menurut data Breakthrough Energy listrik menyumbangkan 27 persen emisi gas rumah kaca dari total 51 miliar ton per tahun, namun aktivitas utama manusia lainnya, seperti pembuatan barang (yang menyumbangkan emisi 31 persen), juga tak lepas dari listrik.
<br />
<br />Gates membahas panjang lebar kemungkinan pengembangan energi ramah lingkungan dan beberapa tantangan yang dihadapi. Termasuk di dalamnya kemungkinan pengembangan energi nuklir.
<br />
<br />Salah satu tantangan pengembangan energi hijau adalah bahwa riset di bidang energi bersih saat ini masih sangat minim, baik yang dilakukan oleh negara maupun korporasi. Dari sudut bisnis, industri energi membutuhkan biaya modal yang besar sehingga perubahan atau transisi teknologinya tidak bisa cepat. Dari sudut politik, hukum dan kebijakan di bidang energi yang ada saat ini dibuat bukan untuk mengatasi masalah bencana iklim dalam konteks menyeluruh.
<br />
<br />Beberapa sumber energi alternatif ramah lingkungan, seperti tenaga surya dan angin, menurut Gates, tidak memberi jaminan kepastian ketersediaan yang baik. Padahal, pasokan listrik, terutama dalam konteks bisnis, membutuhkan jaminan ketersediaan yang pasti. Tenaga surya dan angin juga bermasalah dengan soal teknologi penyimpanan (batere) dan juga distribusinya ke wilayah yang lebih luas.
<br />
<br />Visi transisi energi menuju sumber yang ramah lingkungan menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di antaranya terkait fakta bahwa saat ini sebagian penduduk dunia keluar dari jurang kemiskinan dengan ditopang oleh akses dan penggunaan energi fosil murah, seperti yang terjadi di Tiongkok. Tiongkok dan mungkin beberapa negara berkembang akan sulit untuk segera beralih ke sumber energi hijau dalam waktu dekat. Namun Gates menegaskan bahwa negara yang lebih awal membangun perusahaan dan industri nol karbon kemungkinan akan memimpin ekonomi dunia di masa mendatang.
<br />
<br />Tawaran konkret yang diajukan Gates terangkum dalam tiga unsur pokok: kebijakan, teknologi, dan pasar. Harus ada intervensi kebijakan dari pemerintah, seperti dukungan dalam anggaran riset energi, juga usaha memperluas pasokan inovasi teknologi, dan upaya agar inovasi tersebut dapat diserap oleh masyarakat dan dunia usaha secara luas.
<br />
<br />Tiga tawaran ini menuntut keterlibatan banyak pihak dan juga banyak disiplin ilmu, baik sains dan teknologi bidang energi, politik, ekonomi, dan mungkin juga humaniora. Merajut kolaborasi dari banyak pihak dan lintas ilmu ini tentu juga menjadi tantangan tersendiri.
<br />
<br />Untuk mendorong kerja sama ini, Gates mengemukakan bahwa tiap pihak mesti juga memandang dari sudut pandang kepentingan diri sendiri. Pandangan altruistik mungkin dianggap kurang cukup meyakinkan untuk mendorong kerja sama pada bidang yang cukup rumit ini.
<br />
<br />Jika dicermati secara mendalam, tampak bahwa buku ini ditulis dengan perspektif pengusaha dan inovator teknologi. Kelebihannya, proposal solusi Gates penuh perhitungan detail dan menimbang faktor risiko dan sisi negatif. Namun, kekurangannya, Gates kurang memberi porsi pada dimensi politis tatanan energi yang ada saat ini, baik pada tingkat negara maupun dalam konteks global. Padahal, masalah konflik antara negara dan korporasi yang terkait dengan energi misalnya dapat juga menjadi penghambat signifikan dalam perumusan kebijakan energi bervisi hijau.
<br />
<br />Buku ini dapat menjadi bahan berharga untuk mendorong pembicaraan yang lebih intens dan multi perspektif tentang upaya bersama mengantisipasi bencana iklim global. Setidaknya, semua pihak mau untuk menaruh perhatian dan mau membicarakannya bersama-sama. Tanpa upaya bersama, rasanya sulit untuk menghadapi tantangan perubahan iklim di masa depan.
<br />
<br />
<br />Tulisan ini dimuat di <i><a href="https://nasional.sindonews.com/read/631851/15/tawaran-konkret-solusi-bencana-iklim-1639782761/">Koran Sindo</i>, 18 Desember 2021</a>.
<br />
<br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-75484532220047588762021-12-16T19:51:00.013+07:002022-11-27T19:57:40.595+07:00Sebuah Percakapan Singkat tentang Pengembangan Literasi Digital Mahasiswa
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe class="BLOG_video_class" allowfullscreen="" youtube-src-id="XQ3fzv9hGcE" width="400" height="322" src="https://www.youtube.com/embed/XQ3fzv9hGcE"></iframe></div>
<br />
<i>Mengapa mahasiswa perlu memiliki dan mengembangkan literasi digital?
</i><br />
<br />Kita hidup di era digital. Era digital ini telah memberikan pengaruh yang sangat luas dan mendalam bagi kehidupan manusia, baik pada tataran kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan bahkan pada tataran eksistensial.
<br />
<br />
<i>Apa yang dimaksud dengan era digital?
</i><br />
<br />Era digital adalah suatu periode waktu Ketika informasi begitu mudah dan cepat diperoleh dan disebarluaskan. Penyebabnya adalah semakin masifnya teknologi digital yang digunakan oleh manusia, bahkan hingga ke wilayah pelosok. Teknologi digital itu pun juga berkembang dengan cepat, sehingga era digital memberikan dampak perubahan yang cepat dan luas. Secara kebahasaan, KBBI menjelaskan arti kata “digital” sebagai “berhubungan dengan angka-angka untuk sistem perhitungan tertentu; berhubungan dengan penomoran”. Namun, secara asal Bahasa, kata ini berasal dari kata Latin “digitalis” yang berarti “jari”. Di era digital, manusia telah berubah menjadi “manusia jari” yang memusatkan aktivitasnya saat menggali informasi dengan menggerakkan jarinya pada sebuah perangkat digital.
<br />
<br />
<span class="fullpost"><i>Apa saja dampak atau pengaruh era digital dalam kaitannya dengan pembicaraan kita pagi ini?</i>
<br />
<br />Tema diskusi ini sudah memperlihatkan satu hal: bahwa era digital mendorong lahirnya industry 4.0, yakni sebuah model pengelolaan industri yang memanfaatkan sistem otomatisasi berbasis computer secara lebih menyeluruh sehingga keputusan-keputusan tertentu dibuat secara otomatis oleh mesin pintar.
Secara lebih luas, dampak atau pengaruh era digital bisa dijelaskan secara lebih luas. Yang pertama, pada tataran yang paling mudah terbaca, kita mengalami banjir informasi yang belum pernah dialami sebelumnya. Sekitar 25 tahun yang lalu, kita, termasuk atau terutama pelajar/mahasiswa, akses untuk mendapatkan informasi relatif sulit. Saat ini, kita bahkan mengalami banjir informasi. Jutaan berita atau informasi disebarkan melalui perangkat digital.
Kedua, pada tataran yang lebih jauh, banjir informasi dan teknologi digital yang semakin massif ini membentuk cara baru dalam berinteraksi, termasuk dalam kaitannya dengan cara menggali informasi. Dengan kemudahan akses tersebut, manusia cenderung menjadi bersikap instan dan dangkal dalam mendapatkan informasi. Nicholas Carr, penulis buku <i>The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains</i> (2011) menjelaskan bahwa internet telah menurunkan kemampuan kita untuk berpikir secara mendalam serta menggerus kemampuan kita untuk berkonsentrasi dan merenung—hal-hal yang sangat mendukung kreativitas dan inovasi. Internet mendorong cara berpikir yang dangkal, serba instan, cepat, dan massal. Di satu bagian, Carr menggambarkan kecenderungan ini dengan metafor yang menarik: “yang sedang kita alami adalah pembalikan dari sejarah awal peradaban: kita berevolusi dari pengolah pengetahuan pribadi menjadi pemburu dan peramu di belantara data elektronis”.
Ketiga, menurunnya kemampuan membaca secara intensif ini pada gilirannya berpotensi untuk menyesatkan manusia dengan penyebaran informasi yang disalahgunakan. Berita palsu atau pembingkaian untuk kepentingan tertentu belakangan menjadi hal yang cukup sering kita temukan.
<br />
<br /><i>Kalau dirangkum secara singkat, bagaimana gambaran dampak era digital ini?</i>
<br />
<br />Ada tiga poin. Pertama, ketakterbendungan arus informasi. Kedua, kedangkalan muatan informasi. Ketiga, kecenderungan untuk mengacaukan pola hubungan masyarakat.
<br />
<br />
<i>Kalau demikian, lalu apa yang perlu kita lakukan, utamanya terkait dengan pelajar/mahasiswa sebagai insan Pendidikan?</i>
<br />
<br />Apa yang tergambar dalam tema ini sudah tepat, yakni bahwa kita perlu membekali pelajar/mahasiswa dengan literasi digital.
<br />
<br /><i>Apa itu literasi digital?</i>
<br />
<br />Merangkum dari berbagai sumber, sebuah buku yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam kaitannya dengan Gerakan LIterasi Nasional menjelaskan bahwa literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari definisi ini, literasi digital berarti memiliki lapisan atau tingkatan, mulai dari level sederhana, yakni pemanfaatan secara dasar seperti menyerap informasi, hingga level kreatif yakni mencipta informasi.
<br />
<br /><i>Jadi, jika ingin mengembangkan literasi digital, apa yang harus kita lakukan?</i>
<br />
<br />Kita sedang berhadapan dengan suasana budaya yang menyeluruh dan membentuk keseharian kita. Jadi, upaya untuk mengembangkan literasi digital harus juga dilakukan secara utuh. Yang pertama, dari sudut beberapa lapis makna literasi digital itu, kita harus menanganinya satu per satu. Secara sederhana, ada tiga lapis, yakni menyerap informasi, mencipta informasi, dan menyebarkan informasi. Keterampilan terkait tiga hal ini perlu diberikan kepada mahasiswa kita dengan satu rencana yang rapi dan tertata.
Di era digital seperti sekarang ini, literasi digital harus diperlakukan atau dipandang sebagai keterampilan dasar, sama seperti keterampilan membaca pada Pendidikan dasar. Karena jika pelajar/mahasiswa kita tidak memiliki keterampilan dasar ini, maka dampak buruk era digital akan sulit untuk dihindari.
<br />
<br /><i>Selain itu, apa hal lain yang harus dikerjakan?</i>
<br />
<br />Secara umum, masalah atau tantangan yang muncul terkait dampak era digital ini juga berakar pada kemampuan berpikir sebagai salah satu keterampilan dasar. Literasi digital pada akhirnya adalah soal kemampuan berpikir. Katakanlah, kemampuan berpikir kritis. Beberapa tahun yang lalu, sebuah data mengemukakan tentang krisis kemampuan matematika dasar pada siswa/pelajar kita, yang pada satu sisi bisa menunjukkan kemampuan berpikir pelajar kita yang masih bermasalah.
<br />
<br /><i>Apakah dua hal ini cukup untuk mengembangkan literasi digital?</i>
<br />
<br />Dua hal ini terkait secara langsung dengan literasi digital. Selain itu, di era digital dan terus berkembangnya model industri berbasis komputasi, mahasiswa kita juga perlu dibekali dengan wawasan global. Artinya, mahasiswa didorong untuk berpikir bukan hanya pada tingkat wilayah/regional sekitarnya semata, tapi harus selalu diajak berpikir dalam konteks konstelasi dunia. Kita tahu, globalisasi adalah bagian dari dampak era informasi yang dipercepat dengan era digital saat ini.
<br />
<br /><i>Apa ada strategi yang bersifat lebih konkret?</i>
<br />
<br />Sementara, yang tergambar dalam pikiran saya, pada tingkat yang paling sederhana adalah berupa pendampingan peningkatan keterampilan membaca. Mahasiswa didampingi untuk meningkatkan keterampilan membaca atau menyerap informasi. Kalau bisa sesuai dengan bidang atau minat keilmuannya, itu tentu lebih baik.
<br />
<br /><i>Wah, kok strateginya terkesan sederhana ya?</i>
<br />
<br />Ya, mungkin tampak klasik, dan sederhana. Tapi ini hal mendasar. Dan kita sejauh ini belum selesai dengan hal-hal yang mendasar seperti ini. Jadi tetap harus dikerjakan, tidak bisa dilewatkan begitu saja. Kalau dipaksa dilewatkan, jalan yang ditempuh berikutnya bisa kurang sempurna atau bahkan bermasalah. Kita mungkin akan melihat produk pemikiran mahasiswa yang dangkal, atau mereka di era industri ini tidak mampu menjadi knowledge worker yang keahliannya ditentukan oleh penguasaan atas pengetahuan mendasar.
Untuk lebih detailnya, nanti kita diskusikan lebih lanjut ya. Terima kasih.
<br />
<br />
Pengantar diskusi di STIT Aqidah Usymuni Sumenep pada tanggal 30 September 2021.
<br /><br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-25979308725027201532021-06-20T20:24:00.001+07:002021-12-18T06:57:46.802+07:00Membangun Dunia dengan Asumsi Baik Sangka<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjPDLkxp03coxGHp0MIUJfnRheYTHxgj09illA2R-1a5GAJxmy5CR7gHpT6ZXPsBuhFvNBKbNhlzySM99mNdAjSzSql9QNMFxwgQLaiNj-BAtoPDHW86icxqKOgev3cgwOo08Ipt3g60pvup13qdvoZET-dDs9LIH7boWAjFFEEWq_htP6QOQ=s1646" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" height="400" data-original-height="1646" data-original-width="1214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjPDLkxp03coxGHp0MIUJfnRheYTHxgj09illA2R-1a5GAJxmy5CR7gHpT6ZXPsBuhFvNBKbNhlzySM99mNdAjSzSql9QNMFxwgQLaiNj-BAtoPDHW86icxqKOgev3cgwOo08Ipt3g60pvup13qdvoZET-dDs9LIH7boWAjFFEEWq_htP6QOQ=s400"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
Judul buku: Humankind: Sejarah Penuh Harapan
<br />Penulis: Rutger Bregman
<br />Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
<br />Cetakan: Pertama, Februari 2021
<br />Tebal: xxiv + 444 halaman
<br />ISBN: 978-602-06-4919-1
<br />
<br />
Saat ini dunia dikelola di atas pandangan dasar yang suram. Dunia bisnis, pendidikan, juga negara, ditata dengan asumsi bahwa manusia itu bersifat dasar egois dan digerakkan oleh kepentingan pribadi.
<br />
<br />
Adam Smith, ahli ekonomi pencerahan, dalam karya klasiknya, <i>The Wealth of Nations</i> (1776), menjelaskan bahwa roda ekonomi berputar bukan karena dorongan kemanusiaan, tapi karena rasa cinta individu pada diri sendiri. Karena itu, egoisme jangan diredam.
<br />
<br /><span class="fullpost">
Buku ini mengajukan argumen yang berbeda, yakni bahwa manusia itu pada dasarnya baik. Manusia itu memiliki naluri untuk bekerja sama, bukan bersaing. Manusia itu cenderung menaruh kepercayaan pada sesama, bukannya saling curiga.
<br />
<br />
Rutger Bregman, sejarawan muda dari Belanda yang menulis buku ini, menggambarkan betapa pandangan suram bahwa hakikat manusia itu bersifat durjana begitu dominan. Persepsi keliru ini utamanya terbentuk karena kita setiap hari mengonsumsi berita di berbagai media. Berita, menurut Bregman, cenderung mengangkat hal-hal yang negatif sehingga akhirnya membentuk persepsi bahwa manusia itu bersifat dasar buruk.
<br />
<br />
Bukan hanya berita, dari sisi ilmiah, banyak teori atau penemuan ilmiah yang menegaskan sisi muram manusia. Penelitian Philip Zimbardo pada 1971 menemukan bahwa manusia biasa berubah menjadi monster jika berada dalam situasi tertekan. Penelitian Milgram pada 1961 menunjukkan bahwa manusia patuh berbuat jahat saat berada dalam tekanan otoritas.
<br />
<br />
Untuk membongkar pandangan yang sudah mendarah daging ini, Bregman merangkum dan menelaah kembali beberapa penelitian mutakhir di bidang sejarah, humaniora, dan sains secara kritis. Pertama, Bregman membahas kemunculan homo Sapiens dan bagaimana ia bisa bertahan hingga kini.
<br />
<br />
Berdasar beberapa penelitian dari perspektif evolusioner, Bregman menyimpulkan bahwa manusia tidak dibentuk oleh gen egois seperti digagas Richard Dawkins. Jenis homo yang bertahan adalah yang ramah. Keramahan dan kerja sama melahirkan kecerdasan yang jauh lebih dahsyat ketimbang genius individual yang egois seperti Neanderthal.
<br />
<br />
Bregman membahas penyebab sifat baik manusia yang berubah menjadi jahat. Menurut Bregman, paling tidak ada dua pokok penyebab manusia menjadi jahat, yakni empati dan kekuasaan. Empat itu tak sepenuhnya baik. Empati bisa membutakan, membuat sifat baik manusia digusur oleh sifat buruk. Sebuah penelitian psikologis atas tentara Nazi mengungkapkan bahwa mereka bisa berperang dengan luar biasa bukan karena daya tarik ideologi Nazi, tapi karena persahabatan (<i>Kameradschaft</i>).
<br />
<br />
Sementara itu, kekuasaan cenderung membuat orang kehilangan sifat baik dan kebersahajaannya –sesuatu yang mungkin membuat dia terpilih sebagai pemimpin. Dari beberapa riset, Bregman menulis bahwa kekuasaan itu seperti obat bius yang mematikan kepekaan seseorang pada orang lain.
<br />
<br />
Bregman menjajaki kemungkinan membangun dunia dan lembaga-lembaga masyarakat dengan pandangan berbaik sangka. Prasangka baik atas sifat dasar manusia ini adalah sebuah harapan atau optimisme atas masa depan sejarah dunia.
<br />
<br />
Ada beberapa contoh konkret praktik lembaga yang menurut Bregman dikelola dengan asumsi sifat baik manusia. Di antaranya adalah pengelolaan dua penjara di Norwegia (Halden dan Bastøy) yang tak biasa karena dibangun dengan pendekatan yang lebih manusiawi –tak ada sel dan jeruji di sana.
<br />
<br />
Bregman menunjukkan bahwa dua penjara yang dibangun dengan asumsi bahwa manusia pada dasarnya baik itu justru lebih berhasil dan efektif dalam mengembalikan para narapidana pada kehidupan normal di masyarakat. Setelah dua tahun keluar dari Bastøy, misalnya, hanya 16 persen yang kembali dipenjara sesudah dua tahun –sedangkan di Amerika, angkanya mencapai 60 persen.
<br />
<br />
Gagasan reformasi yang diajukan Bregman diakuinya tidak mudah untuk diterima. Selalu ada alasan yang dikemukakan untuk berpegang bahwa manusia itu jahat. Selain itu, membela sifat baik manusia bisa menantang kekuasaan. Asumsi bahwa sifat manusia itu dasarnya adalah baik menuntut jenis kepemimpinan yang berbeda dengan yang lazim dipraktikkan saat ini.
<br />
<br />
Ide besar yang digagas buku ini menarik untuk dicermati lebih lanjut dan dikontekstualisasikan dengan situasi masyarakat kita. Reformasi kelembagaan di masyarakat kita sangat pantas untuk mempertimbangkan perspektif baru yang diajukan buku ini.
<br />
<br />
Selain gagasan dasar yang ditawarkan, kelebihan buku ini terletak pada kekayaan data dan argumentasinya yang dibangun secara kritis di atas banyak penelitian ilmiah mutakhir. Ketajaman analisisnya berpadu dengan gaya bertutur yang renyah dan nyaman dicerna. Namun sayang, edisi terjemahan buku ini tidak dilengkapi dengan indeks yang dapat memudahkan pembaca untuk mencari subjek penting tertentu secara lebih cepat.
<br />
<br />
Tulisan ini dimuat di Harian <i><a href="https://www.jawapos.com/minggu/buku/20/06/2021/membangun-dunia-dengan-asumsi-baik-sangka/?page=all">Jawa Pos</i>, 20 Juni 2021</a>.
<br />
<br /><br /></span>
M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-6741568877546612932020-05-05T11:43:00.000+07:002020-05-05T11:44:18.128+07:00Agama dan Urgensi Literasi Sains<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSCbqoMNJLCAfI1Vqf0av_-vjLIvcDJQ1v-yAJ6ObrT1SQn-oJtXOd2ye9xKUPcNZPrreXh9IRlk2lXTLUsIJkio2LkePCn-KGuSznbv55iKcdoam7VODQBsiYZv2UNoGDuPtI/s1600/Jaws+Pos+2020_05_03+Agama+dan+Urgensi+Literasi+Sains+vblog.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgSCbqoMNJLCAfI1Vqf0av_-vjLIvcDJQ1v-yAJ6ObrT1SQn-oJtXOd2ye9xKUPcNZPrreXh9IRlk2lXTLUsIJkio2LkePCn-KGuSznbv55iKcdoam7VODQBsiYZv2UNoGDuPtI/s400/Jaws+Pos+2020_05_03+Agama+dan+Urgensi+Literasi+Sains+vblog.jpg" width="400" height="315" data-original-width="776" data-original-height="612" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
<br />Judul buku: Memahami Sains Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim
<br />Penulis: Nidhal Guessoum
<br />Penerbit: Qaf, Jakarta
<br />Cetakan: Pertama, Februari 2020
<br />Tebal: 204 halaman
<br />ISBN: 978-602-5547-68-3
<br />
<br />
<br />Saat wabah corona merajalela ke seluruh pelosok dunia, sering kali kita berjumpa dengan mitos-mitos yang bertebaran di berbagai media. Contohnya, bahwa infeksi virus corona dapat disembuhkan dengan mengonsumsi bawang putih, atau bahwa jika kita bisa menahan napas selama 10 detik tanpa batuk maka berarti kita tidak terpapar virus tersebut.
<br />
<br />Mitos-mitos tersebut menyebar terutama melalui media sosial sehingga ketika dicerna oleh orang awam, hasilnya bisa beraneka rupa: ketakutan yang berlebihan, gelisah, dan semacamnya. Mitos semacam ini relatif mudah menyebar karena terkait dengan rendahnya literasi sains masyarakat.
<br />
<br /><span class="fullpost">Literasi sains yang rendah, menurut penulis buku ini, Nidhal Guessoum, dapat mengganggu kebijakan publik yang terkait dengan masalah kesehatan, lingkungan hidup, pangan, energi, dan sebagainya. Pengendalian wabah corona saat ini misalnya tentu akan lebih mudah andaikan kita memiliki tingkat melek sains yang cukup baik. Faktanya, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat menurut data penelitian tahun 2008 tingkat melek sains di kalangan orang dewasa hanya mencapai sekitar 28%.
<br />
<br />Menurut Guessoum, tingkat literasi sains terkait dengan pelajaran sains di tingkat sekolah menengah atas dan pendidikan tinggi dan juga sumber informasi sains informal seperti di koran, buku populer, internet, atau museum. Bagaimana dengan faktor agama, seperti Islam?
<br />
<br />Guessoum menjelaskan bahwa kaum muslim beranggapan Islam itu tidak punya masalah dengan sains. Namun faktanya dalam beberapa tahun terakhir perspektif antisains berbasis agama mulai muncul. Beberapa pemuka Islam menolak pengetahuan sains dengan dasar tafsir literal atas al-Qur’an. Mereka juga lalu menempatkan sains dalam skema konspiratif: bahwa sains digunakan Barat untuk menyuburkan pandangan dunia materialistis.
<br />
<br />Buku ini disusun oleh Guessoum sebagai bimbingan untuk kaum muda muslim agar bisa memahami sains modern secara proporsional. Setelah menguraikan pentingnya literasi sains, Guessoum memberikan gambaran singkat sejarah sains mulai era kuno hingga modern. Secara khusus, Guessoum juga menjelaskan ciri sains modern yang berbasis pada observasi dan eksperimen, berbasis pada matematika, serta profesionalisasi dan institusionalisasi kegiatan sains.
<br />
<br />Dalam menempatkan sains modern dan agama, Guessoum menegaskan bahwa segala sesuatu yang ditemukan dan dirumuskan oleh saintis yang kemudian disebut dengan fakta alam atau hukum sains itu hanyalah pendekatan bertahap dan progresif menuju hukum alam <i>sejati </i>(yakni hukum Tuhan). Dengan argumen ini, Guessoum menempatkan sains sebagai usaha objektif yang bersifat ilmiah yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan agama—bahkan bisa mendukung.
<br />
<br />Dalam kaitannya dengan Islam, Guessoum juga bersikap kritis terhadap berkembangnya literatur <i>i’jaz ‘ilmi</i> (mukjizat sains dalam al-Qur’an dan sunnah) belakangan ini dan juga konsep sains sakral yang digagas oleh Seyyed Hossein Nasr. Yang pertama menurut Guessoum muncul lebih karena kaum muslim kalah mental di bidang sains dan mencari kepercayaan dirinya pada kitab suci, dan yang kedua muncul karena Nasr memandang naturalisme metodologis dalam sains secara negatif. Memang betul bahwa sains modern perlu dikritik. Tapi usulan sains tradisional ala Nasr justru mengorbankan karakter objektif sains yang sudah mapan.
<br />
<br />Guessoum mendukung sains modern yang berkembang berdamping bersama agama—demikian juga sebaliknya. Dari sains, kaum beragama bisa menemukan jalan lain mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Selain itu, sains dapat mengangkat martabat manusia melalui ilmu dan juga membantu kebutuhan hidup sehari-hari. Di sisi yang lain, agama dapat ikut meneguhkan kaidah-kaidah etis dalam praktik sains sehingga dapat membantu menekan ekses negatif sains modern dan mengarahkannya ke jalan yang lebih baik.
<br />
<br />Buku yang ditulis oleh guru besar Fisika dan Astronomi ini sangat penting dan bisa mengilhamkan untuk masyarakat Indonesia. Kemampuan sains pelajar Indonesia berdasarkan laporan PISA 2018 menempatkan Indonesia di peringkat ke-70 dari 78 negara yang diteliti—persis di bawah Kazakhstan dan Azerbaijan. Buku ini bisa menginspirasi upaya peningkatan melek sains dan juga bisa menjadi titik tolak diskursus agama dan sains yang lebih kontekstual, agar sains maupun agama dapat lebih mudah berkontribusi dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan seperti wabah corona saat ini.
<br />
<br /><br />
Tulisan ini dimuat di <a href="https://www.jawapos.com/minggu/buku/03/05/2020/agama-dan-urgensi-literasi-sains/"><i>Jawa Pos<i></i></i> Minggu, 3 Mei 2020</a>.
<br />
<br />
<br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-76098201290964627752020-01-31T19:22:00.006+07:002022-12-01T19:25:24.517+07:00Menanam Gus Dur di Hati Kita<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuInZG-9rxQR_6TgvLsZfzPQo1om7uc5JUH0JM4LQCxTlOXqhLyAd0ws1x1Sk4k32Y02p_Z6nzCkSknTY6QeyHg9Bf-XSszuMIG_XdUgl_b1ldHPad2PJh2gpP-6l2ycnzPPgNrfOn_YMJsp9AlhluNfJaWUrP2F2ddy0kMEyIczxCGh7Y5Q/s1280/84682841_10221093336979058_5898557665981759488_n.jpg" style="display: block; padding: 1em 0; text-align: center; "><img alt="" border="0" width="400" data-original-height="576" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuInZG-9rxQR_6TgvLsZfzPQo1om7uc5JUH0JM4LQCxTlOXqhLyAd0ws1x1Sk4k32Y02p_Z6nzCkSknTY6QeyHg9Bf-XSszuMIG_XdUgl_b1ldHPad2PJh2gpP-6l2ycnzPPgNrfOn_YMJsp9AlhluNfJaWUrP2F2ddy0kMEyIczxCGh7Y5Q/s400/84682841_10221093336979058_5898557665981759488_n.jpg"/></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
<br />"Menanam Gus Dur di hati kita." Itu adalah frasa yang disebutkan Mas Inung (Zainul Hamdi) di acara Gusdurian Pamekasan 28 Januari lalu. Menurut beliau, membahas gagasan dan pemikiran Gus Dur itu jauh lebih mudah daripada menanam Gus Dur di hati kita. Kalau berhasil, itu bisa menjadi jalan keluar untuk penyelesaian masalah-masalah bangsa.
<br />
<br />
Dr Abdul Wahid Hasan membahas Gus Dur dari sisi spiritualitasnya—tema yang menjadi penelitian disertasinya. Spiritualitas adalah akar kekuatan kepribadian Gus Dur yang kemudian mewujud dalam sosok humanis dan perjuangan-perjuangannya.
<br />
<br /><span class="fullpost">
Saya yang sejak awal hadir ke forum ini dengan niat untuk ngalap berkah dari Gusdurian senior seperti Mas Inung dan Pak Wahid, serta Gusdurian lain yang berasal dari berbagai unsur, berbicara sekadarnya tentang bagaimana Gus Dur merawat kebhinnekaan terutama dalam jalur politik selama menjadi presiden RI. Saya menyampaikan ulang beberapa gagasan pokok Mas Ahmad Suaedy dalam disertasinya yang telah diterbitkan oleh Gramedia. Menurut Mas Suaedy, Gus Dur mempraktikkan model kewarganegaraan bhineka yang bisa dikatakan dipadukan dari konsep kewarganegaraan multikultural yang berpendekatan sosiologis dan kewarganegaraan yang berperspektif budaya. Dalam perspektif ini, semua kelompok warga dipandang setara. Tidak seperti pada waktu sebelumnya. Pemerintah mendefinisikan beberapa kelompok masyarakat sebagai musuh yg kemudian direpresi, seperti kelompok separatis, komunis, atau fundamentalis.
<br />
<br />Untuk menerjemahkan kesetaraan, keadilan haruslah diperjuangkan . Karena kesetiaan pada negara mestinya akan terbit jika keadilan sudah diwujudkan.
<br />
<br />Dalam kesempatan ini, saya mengajak Gusdurian Pamekasan untuk bisa menerjemahkan gagasan Gus Dur dalam memperjuangkan kebhinnekaan ini dalam konteks lokal, yakni Pamekasan pada khususnya. Salah satu yang sedang dikerjakan Gusdurian Pamekasan saat ini adalah upaya untuk mengkaji ulang konsep Gerbang Salam di Pamekasan yang ditengarai kadang digunakan sebagai alat politik yang tidak mencerminkan makna kesetaraan sebagaimana di atas. Katanya ide proyek kajian ini diinisiasi oleh Kiai Habibullah Bahwi dari Sumberanyar. Saya pikir, kalau perspektif kewarganegaraan bhineka digunakan sebagai perspektif untuk membedah, mungkin menarik.
<br />
<br />Acara keren ini dihadiri oleh banyak elemen pegiat kantong kantong budaya di Pamekasan, menunjukkan bahwa sosok Gus Dur bisa menjadi magnet bagi unsur masyarakat yang beragam.
<br />
<br />Sukses terus Gusdurian Pamekasan.
<br />
<br />
Sumber foto : Taufiq, ketua Gusdurian Pamekasan.
<br />
<br /><br /></span>
M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-85431734595599768332019-12-06T19:09:00.006+07:002022-11-27T19:58:32.777+07:00Annuqayah and the Environmental Concern<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe class="BLOG_video_class" allowfullscreen="" youtube-src-id="JSwUMcQ-IkE" width="400" height="322" src="https://www.youtube.com/embed/JSwUMcQ-IkE"></iframe></div>
<br />
This video is an example of environmental program in Annuqayah islamic boarding school (Pesantren Annuqayah) Guluk-Guluk, Madura, East Java. Indonesia.
<br />
<br />
Mrs. Hasbiyah, as you’ve seen in the video, has been involving with this program since 2002 when she was a student (santri) in Annuqayah. Now she is a leader of local community (Sumber Makmur) that actively conserve, develop, produce, and promote the use of herbal medicine particularly in her nighbourhood. Basically, she has a weekly informal meeting with the community member (the member is about fourty women), and initially they pray together, recite the Qur’an, and learn about religious teaching. Beside that, the community produce herbal medicine and local food.
<br />
<br />Through this traditionally typical local community in Madura, she has made an important effort and contribution to change the way of people think about health, medicinal plant that recently tend to be abandoned by the young generation in Madura, and also about the importance of caring and preserving the biodiversity in the environment to improve the quality of life.
<br />
<br /><span class="fullpost">This kind of program has been initiated and assisted by Annuqayah Community Service Bureau (Biro Pengabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah) since its foundation in 1979. The foundation of this bureau affirm the religious orientation of the religious leader (kiai) in Annuqayah. They believe that religion is not only deal with ritual and eschatological things but also must have a contribution to concrete situation of the people. To do so, in the pesantren, it is not enough for students to learn only religious knowledge. Not all the students in the pesantren are expected to become a kiai (religious leader). The most important goal of religious based education in pesantren is that after they are graduated, the students could make a contribution, or give assistance and service to the people based on religious values.
<br />
<br />In the first years after it was founded, the bureau has several program, such as reforestation and encouraging people to plant trees in their yard (Guluk-Guluk, Madura is a barren area, the soil is dominantly lime store rock), helping people to have access to clean water, and other program to improve the economy of the people. The idea and the implementation of these programs mainly take advantage of the local community that routinely carried out a meeting. The kiai, the religious leader of the typical local community, facilitate a discussion and propose the idea of the environmental project.
<br />
<br />Thanks to hard work and participation of the community, in 1981 Pesantren Annuqayah received the prestigious Kalpataru environmental award from the Ministry of Environment Republic of Indonesia for reforestation program.
<br />
<br />The program of the Bureau since its foundation has been developed based on the values of participation and cooperation. Through the program, the bureau tries to encourage people autonomy to improve the quality of life. But the most important message of the program is that religion should play a role to a better world and environment.
<br />
<br />In the recent time, the program to promote and nurture environmental awareness in Pesantren Annuqayah not only carried out by the bureau. Environmental awareness now is also become one of the main focus in the boarding and formal education in Pesantren Annuqayah. Madrasah/schools in the pesantren now have a strong attention to environmental program and try to respond to contemporary challenge of environmental problem. One of the example is the attention to reduce the plastic waste in the school neighbourhood and also in the boarding. The school and the boarding make a strict rule to control the plastic waste.
<br />
<br />
The other important thing to be underlined is that the effort to raise environmental awareness in Pesantren Annuqayah also depends on the availability of exemplary figure that consistently practice the ecogreen life style in the daily life. Some figures of kiai in Pesantren Annuqayah actively promote the environmental awareness through their practice.
<br />
<br /><br />
Short speech at Eco-Islam Conference, Karachi, 23 November 2019.
<br /><br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-60508548151863390612019-06-15T15:49:00.000+07:002019-06-15T15:49:41.367+07:00Tahlilan, Strategi Dakwah ala Islam Nusantara
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinM0fDbFM7XNK6ZEDslIb1gm7YxyIzhiWeb0TUGU40Ki5fCnPeFwuQ1xz5tz2VV7BQMf4GYmZFGZJLPCN5VbB4ihz_39pFGm_sJ6b4nAR6KC_sotMcrOv2BXX22UXfKrjtnQ_Y/s1600/Suasana+tahlil+pada+hari+lebaran+5+Juni+2019+PANO_20190605_164334.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEinM0fDbFM7XNK6ZEDslIb1gm7YxyIzhiWeb0TUGU40Ki5fCnPeFwuQ1xz5tz2VV7BQMf4GYmZFGZJLPCN5VbB4ihz_39pFGm_sJ6b4nAR6KC_sotMcrOv2BXX22UXfKrjtnQ_Y/s400/Suasana+tahlil+pada+hari+lebaran+5+Juni+2019+PANO_20190605_164334.jpg" width="400" height="150" data-original-width="1600" data-original-height="601" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Di desa tempat saya tinggal saat ini, di pedalaman Madura, ada tradisi tahlilan bersama di pemakaman umum desa di sore hari di hari lebaran Idulfitri. Sekitar pukul empat sore, sebagian warga desa—tua, muda, laki-laki, perempuan, remaja, anak kecil—berbondong-bondong datang ke pemakaman umum <a href="https://www.google.com/maps/place/Taro'an,+Tlanakan,+Pamekasan+Regency,+East+Java/@-7.1705581,113.4312527,15z/data=!3m1!4b1!4m5!3m4!1s0x2dd77e483955e2f3:0x39fee2359d029639!8m2!3d-7.1708681!4d113.4404024">Desa Taro’an</a>, Kecamatan Tlanakan, Kabupaten Pamekasan. Beberapa warga yang mudik dari tempat mereka merantau pun turut hadir.
<br />
<br />Tradisi tahlil bersama di hari lebaran sebenarnya sesuatu yang lazim khususnya di Madura. Di tanah kelahiran saya di Desa Guluk-Guluk, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep, tahlilan dilakukan tepat setelah salat Idulfitri di masjid.
<br />
<br /><span class="fullpost">Berbeda dengan tahlilan yang dilaksanakan setelah salat Idulfitri yang juga digelar di tempat saya salat Id, tahlilan di pemakaman umum Desa Taro’an di sore hari di hari lebaran ternyata punya sedikit latar cerita yang cukup menarik.
<br />
<br />Menurut para tetua di desa kami, dulunya di hari lebaran pemakaman umum desa kami sering ditempati orang-orang bermain taruhan atau judi. Waktunya biasanya antara setelah asar hingga jelang maghrib. Orang-orang bergerombol di sudut-sudut lokasi pemakaman. Warga resah. Tak ada yang berinisiatif mengambil tindakan.
<br />
<br />Kemudian salah satu tokoh masyarakat desa mengajukan usulan. Namanya Kiai Zainuddin Abdul Mu’thi. Dengan beberapa tokoh masyarakat, dia mengajak warga untuk tahlil bersama di pemakaman umum di sore hari di hari lebaran. Tujuan utamanya agar orang-orang yang biasa main taruhan di pemakaman umum jadi sungkan dan berhenti main taruhan di sana.
<br />
<br />Walhasil, usulan ini disambut baik oleh warga. Di sore hari di hari lebaran, warga berduyun-duyun ke pemakaman umum Desa Taro’an. Beberapa orang membawa alas. Ada juga yang menyiapkan pengeras suara. Tahlil pun digelar secara rutin tiap lebaran Idulfitri—juga Iduladha.
<br />
<br />Sejak saat itu, orang-orang yang bermain taruhan di pemakaman tak ada lagi. Tak terdengar kabar apakah orang-orang itu masih melanjutkan kebiasaannya di tempat yang lain.
<br />
<br />Dalam tahlilan yang rutin dilaksanakan, Kiai Zainuddin yang memimpin tahlilan juga mengingatkan warga pada leluhur desa yang makamnya ada di pemakaman umum tersebut. Memang, orang-orang di Desa Taro’an tidak tahu tentang riwayat dan silsilah tetua desa yang makamnya ada di pemakaman umum desa. Makamnya pun cukup unik. Dua makam yang dari batu nisannya teridentifikasi jenis kelamin laki-laki dan perempuan terletak di tengah pemakaman umum desa. Dua makam ini dikelilingi oleh batu karang setinggi sekitar setengah meter. Cukup aneh, karena lokasi Desa Taro’an berjarak sekitar 6,5 km dari pantai.
<br />
<br />Jadi, selain memberantas maksiat, kegiatan tahlilan ini juga menjadi sarana untuk menyambungkan silsilah keimanan dan dakwah warga dengan leluhur desa yang dipercaya merintis dakwah Islam di desa kami. Hal ini terus diingatkan setiap acara tahlil digelar, sambil juga ditambahi dengan pesan-pesan keagamaan yang bersifat kontekstual.
<br />
<br />Tahun demi tahun, perhatian masyarakat Desa Taro’an pada pemakaman umum di desanya semakin membaik. Dua tahun yang lalu, secara bergotong royong masyarakat desa membangun <i>congkop </i>atau pendopo kecil tepat di tengah lokasi pemakaman umum, di sekitar dua makam leluhur desa. Ukurannya sekitar 10 x 8 meter.
<br />
<br />Setelah bangunan ini selesai, masyarakat juga membuat kegiatan rutin bulanan. Setiap hari Jum’at legi, masyarakat Desa Taro’an menggelar acara khataman Alquran, dimulai dari pagi-pagi benar setelah subuh hingga siang. Selain mendoakan para leluhur, khataman juga diniatkan untuk keselamatan desa dan masyarakatnya.
<br />
<br />Bagi saya, kisah ini memberikan sedikit gambaran tentang pola dan strategi dakwah ala Islam Nusantara yang teduh dan tidak menggunakan cara kekerasan. Saya yakin, model dan strategi dakwah Islam yang seperti ini cukup banyak untuk ditemukan di tingkat akar rumput, meski minim publikasi.
<br /><br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-32797090488977368882019-06-04T15:05:00.000+07:002019-06-04T15:05:25.583+07:00Pesan Kebangsaan Idul Fitri<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvIQGLrJRj1DC92LwspWQNmS6wfo7ZjGvdMXmGMqqH7SYCPqNv6gm1WEAZIJav8X_K9bwoEsQABDr8gJcFTP3HkCL_WzpuIob8W6xOaseJiJAaePYEJXD2EwECkVR_Ro6-Jc2g/s1600/Pesan+Kebangsaan+Idul+Fitri+-+Koran+Jakarta%252C+4+Juni+2019_blog.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvIQGLrJRj1DC92LwspWQNmS6wfo7ZjGvdMXmGMqqH7SYCPqNv6gm1WEAZIJav8X_K9bwoEsQABDr8gJcFTP3HkCL_WzpuIob8W6xOaseJiJAaePYEJXD2EwECkVR_Ro6-Jc2g/s400/Pesan+Kebangsaan+Idul+Fitri+-+Koran+Jakarta%252C+4+Juni+2019_blog.jpg" width="316" height="400" data-original-width="669" data-original-height="848" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
<br />
Idul Fitri memiliki makna spiritual yang bersifat individual dan sosial. Pada tingkat perorangan, Idul Fitri adalah perayaan kembalinya seseorang ke fitrah kemanusiaan yang suci setelah melalui tempaan puasa satu bulan penuh. Melalui olah rohani pengendalian diri selama bulan puasa, pribadi yang berhasil akan meraih kemenangan dengan kembali ke status asal penciptaan—seperti terlahir suci.
<br />
<br />Pemahaman tentang makna spiritual Idul Fitri secara sosial dapat berangkat dari pemahaman fitrah individual manusia. Menurut M Quraish Shihab, penamaan manusia dengan kata <i>al-insan</i>—dalam bahasa Arab yang kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia—diambil dari kata <i>uns </i>yang berarti senang atau harmonis. Artinya, manusia memiliki fitrah mendasar untuk menjalin hubungan baik yang bersifat harmonis dengan sesama.
<br />
<br /><span class="fullpost">Manusia yang jalinan hubungannya dengan orang lain terganggu pasti juga akan mengalami kegelisahan. Hidupnya tidak akan bisa tenang. Manusia yang menyakiti orang lain, mendendam, atau melakukan dosa, berarti telah mengotori fitrah kemanusiaannya.
<br />
<br />Dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, di antara pesan Idul Fitri yang penting digarisbawahi, dorongan untuk menjaga dan memperkuat jalinan harmoni antarmanusia. Berbagai fenomena kehidupan kebangsaan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan, ancaman terhadap harmoni kebangsaan tidak pernah usai. Memang benar di balik keragaman bangsa juga tersimpan potensi bekerja sama menuju bangsa yang unggul. Namun, tidak sedikit pula gejala yang menunjukkan bahwa harmoni itu dapat terganggu.
<br />
<br />Salah satu pengganggu yang semakin mengkhawatirkan adalah persebaran hoaks karena intensitasnya semakin meningkat dan dampaknya semakin meluas mulai dari lokal hingga nasional. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam empat bulan pertama tahun 2019, persebaran hoaks media sosial terus meningkat. Kemenkominfo mencatat ada 175 hoaks di bulan Januari 2019, 353 di bulan Februari, 453 di bulan Maret, dan 486 di bulan April.
<br />
<br />Hoaks yang mengancam harmoni kebangsaan ini terutama berkaitan dengan isu politik. Identifikasi Kemenkominfo, periode Agustus 2018 hingga April 2019, dari 1.731 hoaks, 620 di antaranya masuk dalam kategori politik dan 210 masuk kategori pemerintahan.
<br />
<br />Hoaks di bidang politik terkait pemilu yang baru usai digelar. Dampak persebarannya membuat masyarakat terbelah ke dalam kubu-kubu politik yang terus membangun narasi disharmoni yang tidak sehat. Beberapa dampaknya bahkan berupa tindak kekerasan seperti Mapolsek Tambelangan di Kabupaten Sampang pada 22 Mei lalu akibat hoaks yang ditelan mentah-mentah.
<br />
<br />Narasi disharmoni terus terbangun terutama di media sosial, disusun oleh kaum awam yang memang kurang berpendidikan hingga dilakukan oleh mereka yang secara formal sudah cukup terdidik. Narasi disharmoni dan ancaman perpecahan sangat mengganggu kehidupan berbang-sa dan bernegara karena jalan untuk membangun dan meningkatkan mutu kehidupan masyarakat akan terhambat. Nalar dan emosi warga banyak dikotori informasi sesat, sehingga ruang kerja sama untuk berbuat kebajikan menyempit.
<br />
<br />Secara teknis, hoaks dapat diatasi dengan klarifikasi dan peningkatan literasi. Kemenkominfo sendiri tak hanya berhenti mengidentifikasi hoaks di internet, tapi juga memverifikasi dan memvalidasi, sehingga diharapkan dapat memulihkan keadaan. Selain Kemenkominfo, banyak komunitas yang juga gigih mengidentifikasi dan mengklarifikasi hoaks.
<br />
<br />Harmoni kebangsaan yang terancam hoaks dapat juga dilawan dengan memperkuat makna spiritual Idul Fitri khususnya dalam konteks fitrah harmoni manusia sebagai makhluk sosial. Dengan merayakan Idul Fitri, umat Islam khususnya didorong menjernihkan sikap batin dalam memandang dan berinteraksi dengan orang lain.
<br />
<br />Dalam literatur dan tasawuf, umat Islam sering diingatkan tentang bahaya prasangka, dengki, dan dendam. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw mengingatkan agar kita berhati-hati dengan prasangka karena bisa serupa berita bohong. Dalam hadis yang lain dikatakan, jika di benak terlintas prasangka buruk tentang orang lain, jangan melayani dan melanjutkannya dengan tindakan lain.
<br />
<br />Hoaks tentang “polisi Tiongkok” dalam aksi demo yang berlanjut rusuh pada 21-22 Mei lalu dapat menjadi cermin dan pelajaran tentang tindakan ceroboh dan <i>grusa-grusu</i> yang dipupuk oleh prasangka. Pelaku tanpa menyadari dapat mengganggu harmoni dan mengancam keutuhan bangsa.
<br />
<br />Sikap dengki juga tak kalah berbahaya. Imam Syafi’i (w 820) mengingatkan, setiap permusuhan sejatinya dapat diharapkan bisa membaik, kecuali yang didasari sikap dengki. Sikap dengki mengotori pikiran seseorang, sehingga menutup pintu nalar dan hati yang jernih.
<br />
<br />Maaf dan Cinta
<br />
<br />Prasangka dan dengki mengotori hati, sehingga mengganggu fitrah harmoni sebagai modal pokok dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Idul Fitri mengajarkan agar umat terus belajar mencapai tingkat ketulusan maaf yang sejati. Maaf adalah wujud kesadaran bahwa dendam, kebencian, dan kemarahan hanyalah penghalang kebebasan yang justru memerangkap kita di ruang ego yang sempit dan pengap.
<br />
<br />Orang yang mampu memberi maaf dapat menahan diri dari upaya membalas dendam. Menurut ajaran Islam sebagaimana tertuang dalam Surah Annahl ayat 125, membalas dengan setimpal itu diizinkan. Akan tetapi, memaafkan itu jauh lebih baik. Jalaluddin Rakhmat menerangkan, memaafkan itu lebih baik. Menurutnya, manusia cenderung membalas lebih buruk, sehingga terjerembap ke perilaku zalim.
<br />
<br />Dalam kehidupan sosial, maaf di sini tentu saja tidak berarti kita menafikan nilai dan dampak perilaku buruk, zalim, dan tidak adil. Perbuatan buruk tetap harus diadili. Namun, maaf di sini lebih sebagai sebuah sikap batin dalam melihat dan membuka jalinan dengan orang lain. Sebab, tertutupnya pintu maaf juga berarti tertutupnya kemungkinan jalinan harmoni dan kerja sama dengan orang lain.
<br />
<br />Pada lapisan makna yang terdalam, memaafkan adalah ungkapan cinta. Memberi maaf dengan tulus merupakan ungkapan cinta pada orang yang dimaafkan. Ini tingkat tertinggi sikap batin memaafkan. Jika terus dipupuk akan menjadi kekuatan besar dalam merawat harmoni kebangsaan.
<br />
<br />Umat Islam yang sudah menjalani puasa harus berbesar hati bahwa dirinya sudah berhasil melewati jihad dan latihan batin menaklukkan berbagai bentuk nafsu sepanjang bulan. Inilah yang perlu terus dijaga. Sebab di antara pesan kebangsaan Idul Fitri yang cukup kontekstual saat ini adalah panggilan untuk senantiasa menjaga fitrah harmoni kemanusiaan sebagai dasar bagi upaya untuk terus menebarkan kebajikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
<br />
<br />Tulisan ini dimuat di <i><a href="http://www.koran-jakarta.com/pesan-kebangsaan-idul-fitri/">Koran Jakarta</i>, 4 Juni 2019</a>.
<br />
<br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-33191011819527477042019-04-18T14:51:00.000+07:002019-04-18T14:52:39.821+07:00Para Pengilham dan Bahan Baku Harapan<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eFCvq479L_rMOO1hkNK7CDFxBFqiJKKcFRPplI8VdPDz3wKXFI6hIQsO3PkudaRRJ0lbCVCk8cOtROwFm-U_KahJtBdaTjbdAVdm1syllwP4d_KNIyAyA2WuJw0Ve5HUFMHq/s1600/Koran+Jakarta%252C+18+April+2019+-+DI%2527s+Way+-+blog.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj3eFCvq479L_rMOO1hkNK7CDFxBFqiJKKcFRPplI8VdPDz3wKXFI6hIQsO3PkudaRRJ0lbCVCk8cOtROwFm-U_KahJtBdaTjbdAVdm1syllwP4d_KNIyAyA2WuJw0Ve5HUFMHq/s400/Koran+Jakarta%252C+18+April+2019+-+DI%2527s+Way+-+blog.jpg" width="400" height="322" data-original-width="891" data-original-height="718" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Judul buku: DI’s Way: Pribadi-Pribadi yang Menginspirasi<br />
Penulis: Dahlan Iskan<br />
Penerbit: Noura Books, Jakarta<br />
Cetakan: Pertama, Februari 2019<br />
Tebal: 200 halaman<br />
ISBN: 978-602-385-765-4
<br />
<br />Harapan adalah penggerak untuk mendorong perubahan di tengah situasi yang menantang. Bangsa yang mau bangkit harus bisa mengindustrialisasi harapan (<i>manufacturing hope</i>)—istilah yang diperkenalkan Dahlan Iskan setelah diangkat menjadi Menteri BUMN pada tahun 2011. Untuk mengindustrialisasi harapan, kata Dahlan Iskan, bahan bakunya adalah niat baik, ikhlas, kreativitas, tekad, dan totalitas.
<br />
<br />Buku ini memuat 25 kisah sosok-sosok mengilhamkan yang dijumpai Dahlan. Melalui esai-esai renyahnya, Dahlan menjadi corong untuk menyuplai bahan baku harapan untuk bangsa ini.
<br />
<br /><span class="fullpost">Dahlan berkisah tentang Irwansyah, pribadi inspiratif dari Desa Untoronadi, Magetan. Irwansyah menjadi semacam Bulog di desanya. Setelah panen, dia membeli gabah petani yang harganya sedang anjlok. Tapi harga belinya tidak lantas ikut anjlok juga dan selesai setelah transaksi. Irwansyah menjual gabah tersebut saat harga sudah naik. Hasil jualnya dihitung ulang: uang yang sudah diterima petani dihitung, dipotong biaya proses pengeringan, dan sisanya dikembalikan ke petani.
<br />
<br />Dari mana Irwansyah mengambil keuntungan? Dia mengambil laba dari pekerjaannya sebagai penjual pupuk. “Strategi Bulog” Irwansyah digunakan untuk mempertahankan loyalitas konsumennya.
<br />
<br />Irwansyah sejauh ini hanya mampu membeli gabah dari 40 petani di desanya. Tapi peran dan strateginya luar biasa. Kata Dahlan, Irwansyah menggabungkan peran Bulog, Bank Indonesia, Bappenas, Kementan, dan BUMN untuk level desa (hlm. 132-137).
<br />
<br />Esai-esai dalam buku yang semula terbit di “rumah baru” Dahlan, disway.id, ini juga menuturkan kehebatan sosok-sosok pengilham di bidang teknologi. Dahlan berkisah tentang Profesor Raldi Artono Koestoer yang di kartu namanya tak mencantumkan gelar apa pun. Kata Dahlan, Profesor Raldi bukan intelektual biasa. Dia intelektual egaliter. Kerja intelektulanya tak hanya dengan disiplin berpikir keras. Dia juga membawa misi. Misi kemanusiaan.
<br />
<br />Profesor Raldi membuat inkubator murah untuk mengatasi masalah meninggalnya bayi prematur. Inkubator buatan Profesor Raldi hanya butuh listrik 50 watt. Beratnya 13 kg. Tapi inkubatornya ini hanya dijual khusus. Yakni khusus untuk pembeli yang mau jadi relawan: meminjamkan untuk orang miskin (hlm. 17-21).
<br />
<br />Dahlan juga menulis tentang Garuda Maintenance Facility (GMF), salah satu anak perusahaan Garuda yang sukses besar. GMF yang dipimpin oleh Ir. Iwan Joeniarto MM ini ternyata dipercaya melayani perawatan pesawat banyak maskapai asing, seperti KLM. Total, GMF yang berlokasi dekat landasan pacu bandara Soekarno-Hatta melayani maskapai dari 15 negara (hlm. 26).
<br />
<br />Namun kadang inovasi, niat baik, dan kreativitas anak negeri menghadapi kendala yang cukup ironis. Rudy Tavinos membuat ide brilian dengan membuat kilang di dekat sumur minyak sehingga minyak mentah tidak perlu diangkut ke sana kemari.
<br />
<br />Membangun kilang butuh biaya besar. Sekitar 100 triliun rupiah. Balik modalnya lama. Jadinya rencana membangun kilang tak kunjung nyata sehingga BBM impor terus. Rudy muncul dengan ide sederhana tapi jitu: membuat “kilang mulut tambang”. Meskipun kapasitasnya kecil, tapi mangkus. Tantangan teknis berhasil diatasinya. Hasilnya, produksi sumur minyak Exxcon Cepu diolah di kilang Rudy.
<br />
<br />Akan tetapi, kisah Rudy berakhir menyedihkan. Kata Dahlan, lumbung itu tidak untuk ayam. Keluar aturan pemerintah yang melarang jual minyak mentah di mulut tambang. Ironis. Akhirnya kilang Rudy tutup (hlm. 124-128).
<br />
<br />Pada titik ini, kita melihat bahwa Dahlan dalam esai-esainya ini tidak hanya menyodorkan bahan baku harapan. Dahlan juga memercikkan cara pandang kritis. Bahwa bahan baku harapan pada akhirnya juga harus dikelola dan disinergikan dengan kebijakan oleh para pengurus publik.
<br />
<br />Seperti juga saat Dahlan berkisah tentang Erika Eriyanti, petani wortel dari Batu, Malang, yang hanya lulusan SMA. Dia memimpin rekan-rekannya untuk belajar dan berinovasi, termasuk belajar kepada para petani di Berastagi, Sumut. Di esai ini, Dahlan menyentil dengan humor, dengan mengatakan bahwa petani seperti Erika ini terlihat kian mandiri, berusaha maju tanpa “bantuan dari pemerintah, misalnya pemerintah Tiongkok” (hlm. 41).
<br />
<br />Kisah para pengilham di buku ini adalah senjata ampuh untuk menyuburkan harapan dan melawan sikap pesimistis dalam menatap masa depan. Kisah-kisah dalam buku ini penting untuk dicerna dan disebarkan, agar model kreativitas, tekad, ketulusan, dan kerja positif lainnya dapat ditiru dan dikembangkan di tempat lainnya.
<br />
<br />
<br />
Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di <i><a href="http://www.koran-jakarta.com/kisah-kisah-inspiratif-dari-para-pengilham/">Koran Jakarta</i>, 18 April 2019</a>.
<br />
<br />
<br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-71595792719446865322019-01-25T14:47:00.001+07:002023-12-21T05:30:37.155+07:00Melawan Hoaks, Merawat Demokrasi
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxzzS3cOqzBAPJso_JSyUjz2gg2kP6aOhom6nnXzZwmrktOJh3d6s7F_GJi2wKIKXndx6SLHj_PkAtlxnSWCPDNygltRoQ6_Zu6xaiFOE-q-gVKPbtlgv2n2P3Nhvj7hVpleuJ/s1600/Koran+Jakarta%252C+24+Januari+2019+-+Kebohongan+di+Dunia+Maya+-+blog.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxzzS3cOqzBAPJso_JSyUjz2gg2kP6aOhom6nnXzZwmrktOJh3d6s7F_GJi2wKIKXndx6SLHj_PkAtlxnSWCPDNygltRoQ6_Zu6xaiFOE-q-gVKPbtlgv2n2P3Nhvj7hVpleuJ/s400/Koran+Jakarta%252C+24+Januari+2019+-+Kebohongan+di+Dunia+Maya+-+blog.jpg" width="400" height="322" data-original-width="822" data-original-height="662" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Judul buku: Kebohongan di Dunia Maya: Memahami Teori dan Praktik-Praktiknya di Indonesia
<br />Penulis: Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono
<br />Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta
<br />Cetakan: Pertama, 2018
<br />Tebal: xvi + 166 halaman
<br />ISBN: 978-602-424-868-0
<br />
<br />Belakangan ini, berita bohong (<i>hoax</i>) dan berita palsu (<i>fake news</i>) semakin merajalela. Pembuat, penyebar, dan konsumennya bahkan melibatkan orang-orang terdidik. Dampaknya, kehidupan sosial menjadi kacau. Harmoni dan kesatuan masyarakat terancam.
<br />
<br />Ancaman ini kian nyata jika kita melihat data Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018 yang menyebutkan bahwa penanganan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian pada tahun 2017 meningkat sembilan kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
<br />
<br /><span class="fullpost">Buku ini membedah fenomena hoaks yang menjamur di Indonesia pada beberapa tahun terakhir ini. Uraiannya yang ringkas, kaya data, dan memberi pemetaan dan solusi konkret adalah kelebihan buku ini. Apalagi kedua penulisnya berpengalaman di berbagai jabatan di instansi kepolisian dan saat ini bekerja di Badan Intelijen Negara (BIN).
<br />
<br />Hoaks muncul bersamaan dengan munculnya media baru di jagat maya khususnya media sosial. Platform media baru ini mendorong berkembangnya budaya partisipasi (<i>participatory culture</i>) yang tidak saja menempatkan masyarakat sebagai konsumen teknologi, tetapi juga sebagai produsen yang siap menyumbangkan konten sesederhana apa pun di dunia internet.
<br />
<br />Melalui media baru yang lazim disebut media sosial inilah hoaks di Indonesia pada khususnya menyebar dengan cara yang cukup mudah dan juga murah. Murah, karena memang tanpa biaya. Mudah, karena pengguna media sosial di Indonesia khususnya terus meningkat.
<br />
<br />Pola produksi berita hoaks pada dasarnya masih memanfaatkan media arus utama. Para pembuat hoaks mengamati berita yang berpotensi menimbulkan kontroversi, meramunya dengan fiksi diberi bumbu SARA dan ujaran kebencian, dan mengganti judul (kadang juga gambar) dengan gaya bombastis dan provokatif.
<br />
<br />Mesin penyebaran hoaks melalui media sosial menggunakan beberapa strategi. Di antaranya dengan membuat akun-akun anonim dan mengikuti situs-situs sumber hoaks, lalu membagikan berita-berita hoaks tersebut ke jaringan pertemanannya. Pengelola akun anonim ini membidik jaringan pertemanannya yang gemar membagikan postingan hoaks mereka untuk diteruskan pada kelompok pertemanannya masing-masing.
<br />
<br />Penyebaran hoaks kadang juga memanfaatkan pengamat politik atau politisi yang memiliki kesesuaian sikap politik dengan muatan hoaks secara sadar atau tidak didorong untuk dapat dijadikan mesin viralisasi.
<br />
<br />Penyebaran hoaks terutama dilatarbelakangi oleh motif ekonomi dan politik. Situs-situs penyebar hoaks terbukti dapat meraup keuntungan yang besar dari iklan. Situs postmetro.co misalnya memperoleh pendapatan iklan 25 hingga 30 juta rupiah per bulan dengan memproduksi sekitar 80 berita palsu. Sementara itu, portalpiyungan.co diperkirakan memperoleh penghasilan 379 dolar AS per tahun dari iklan, sedangkan seword.com 854 dolar AS per tahun. Secara politik, berita hoaks digunakan untuk menyerang lawan politik, menebar kebencian, dan juga meningkatkan rasa percaya diri dan untuk <i>personal branding</i>.
<br />
<br />Di sini kita dapat melihat bahwa hoaks sangatlah mengancam kehidupan demokrasi. Saat ruang publik dikotori oleh berita-berita palsu, masyarakat dapat digiring pada sikap tertentu dengan lebih mengandalkan sentimen emosional dan mengabaikan nalar sehat mereka. Di sisi lain, hoaks juga memperlihatkan cara-cara yang tidak sehat dan tidak bermoral untuk meraih pengaruh kekuasaan.
<br />
<br />Menghadapi fenomena hoaks ini, buku ini mengajukan solusi dengan pendekatan <i>reflexive security </i>dengan melibatkan unsur negara, pasar, dan masyarakat. Negara harus memperkuat aturan dan perangkat terkait pemberantasan hoaks, seperti sanksi atas laman pembuat dan pelaku penyebar hoaks. Pasukan siber pemerintah juga harus lebih berdaya dan sigap cara kerjanya. Selain itu, korporasi atau pelaku pasar, seperti yang terkait sumber iklan yakni Google dan Facebook, harus didorong agar dapat bekerja sama baik dalam hal menghentikan iklan pada sumber-sumber hoaks maupun dalam hal penyaringan informasi.
<br />
<br />Yang tak kalah penting, masyarakat perlu terus didorong untuk kritis dan aktif memerangi hoaks. Melek informasi atau literasi digital harus terus diupayakan.
<br />
<br />Beriringan dengan fakta-fakta mutakhir yang semakin jelas di depan mata, buku ini mengingatkan kita semua bahwa ancaman hoaks harus segera dilawan dan diantisipasi bersama. Tujuan utamanya demi menyelamatkan mutu kehidupan demokrasi, agar masyarakat dapat menemukan ruang publik yang jernih dan dapat menghasilkan keputusan-keputusan yang lebih baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
<br />
<br />
<br />
Tulisan ini adalah naskah awal yang kemudian disunting redaksi dan dimuat di <i><a href="http://www.koran-jakarta.com/bersama-melawan-hoaks-guna-merawat-demokrasi/">Koran Jakarta</i>, 24 Januari 2019</a>.
<br />
<br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-9817316793621986262018-12-09T09:25:00.000+07:002019-04-18T14:50:13.660+07:00Warisan Gus Dur untuk Resolusi Konflik
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAMqG44_tHDEmjJs5kEMVTpjqNxyGKRUVUqVkBA0PGuiZHKxJlVQo-4JjCjf65JEZUp9UgGsOoGQn3U_XuxYGskawbnIw72JA_I-if-R5Z0Bcz4Agh7jij5GVgQNQFB83LfKfL/s1600/Gus+Dur%252C+Islam+Nusantara%252C+Kewarganegaraan+Bineka+-+Jawa+Pos%252C+9+Desember+2018+-+rindupulang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjAMqG44_tHDEmjJs5kEMVTpjqNxyGKRUVUqVkBA0PGuiZHKxJlVQo-4JjCjf65JEZUp9UgGsOoGQn3U_XuxYGskawbnIw72JA_I-if-R5Z0Bcz4Agh7jij5GVgQNQFB83LfKfL/s400/Gus+Dur%252C+Islam+Nusantara%252C+Kewarganegaraan+Bineka+-+Jawa+Pos%252C+9+Desember+2018+-+rindupulang.jpg" width="400" height="346" data-original-width="989" data-original-height="856" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Judul buku: Gus Dur, Islam Nusantara, dan Kewarganegaraan Bineka: Penyelesaian Konflik Aceh dan Papua 1999-2001
<br />Penulis: Ahmad Suaedy
<br />Penerbit: Gramedia, Jakarta
<br />Cetakan: Pertama, November 2018
<br />Tebal: xxxiv + 488 halaman
<br />ISBN: 978-602-06-1813-5
<br />
<br />Diceritakan bahwa suatu hari Presiden Abdurrahman Wahid—yang akrab dipanggil Gus Dur—menerima laporan bahwa di Papua ada pengibaran bendera Bintang Kejora–bendera Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kalangan tentara melihat ini sebagai bentuk ancaman separatisme. Setelah mengetahui bahwa ada juga bendera merah putih yang dikibarkan dengan posisi lebih tinggi, Gus Dur dengan santai menanggapi, “Anggap saja Bintang Kejora itu umbul-umbul.”
<br />
<br />Jawaban ini bukan sekadar guyonan khas Gus Dur. Jawaban ini dapat menjadi pintu masuk untuk memahami strategi penyelesaian konflik ala Gus Dur khususnya dalam kasus Aceh dan Papua secara lebih menyeluruh, sebagaimana yang dipaparkan dengan baik oleh Ahmad Suaedy dalam buku ini.
<br />
<br /><span class="fullpost">Menurut Suaedy, Gus Dur mendobrak asumsi dan visi mendasar dalam penanganan konflik Aceh dan Papua yang sebelumnya hanya parsial, belum radikal, bahkan salah jalur. Untuk konflik Aceh, misalnya, Presiden Habibie memberi jalan keluar dengan diterbitkannya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengakomodasi penerapan syariah Islam di Aceh. Padahal, masalah pokok konflik Aceh adalah ketidakadilan ekonomi dan represi militer. Demikian pula, penanganan konflik di Papua pada masa pemerintahan Soeharto cenderung manipulatif, represif, dan melibatkan kekerasan oleh tentara.
<br />
<br />Bagi Gus Dur, konflik Aceh dan Papua berakar pada visi kewarganegaraan yang keliru yang membuat kepedulian negara pada warganya cenderung formalistik belaka. Sentralisme Orde Baru ala Soeharto menempatkan protes rakyat sebagai ancaman. TNI masa itu mendefinisikan tantangan nasional di antaranya dalam wujud separatisme.
<br />
<br />Gus Dur memperjuangkan visi kewarganegaraan bineka yang berusaha menempatkan seluruh unsur warga negara secara setara. Masyarakat Papua dan Aceh bukanlah musuh negara. Mereka juga warga negara yang setara, sama-sama memiliki aspirasi dan juga ingin mendapatkan perlakuan yang adil dari negara.
<br />
<br />Kesetaraan ini diterjemahkan dengan memberikan pengakuan (<i>recognition</i>) terhadap eksistensi masyarakat Papua atau OPM dan Aceh atau GAM. Pengakuan ini kemudian diikuti dengan penghormatan (<i>respect</i>) yang berwujud kesediaan untuk memberikan kebebasan berekspresi, berkumpul, dan juga jaminan keamanan.
<br />
<br />Tentu saja, langkah-langkah ini oleh Gus Dur dimulai dengan membangun hubungan saling percaya (<i>trust</i>) yang sebelumnya tidak ada antara pemerintah dan kelompok-kelompok di Aceh dan Papua. Kebijakan Gus Dur untuk mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua dan Bulan Bintang di Aceh juga dalam kerangka tersebut. Gus Dur juga menunjuk Jacobus Perviddya Solossa, yang ikut menandatangani pernyataan tuntutan merdeka kepada Presiden Habibie, sebagai Gubernur Papua.
<br />
<br />Langkah Gus Dur dalam usaha menyelesaikan konflik Aceh dan Papua secara damai berpuncak pada capaian tersusunnya RUU Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua yang mengakomodasi aspirasi politik, ekonomi, dan budaya masyarakat Aceh dan Papua. Proses pembahasan RUU ini di DPR mendapatkan pengawalan oleh gerakan masyarakat sipil sehingga meskipun Gus Dur dilengserkan semangat UU tersebut tidak berubah arah.
<br />
<br />Buku yang semula merupakan disertasi penulisnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini adalah karya yang sangat berharga yang berusaha merekam warisan pemikiran dan aksi nyata Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua yang telah banyak memakan korban. Suaedy dalam buku ini juga menunjukkan bahwa pemikiran dan aksi Gus Dur dalam penyelesaian konflik Aceh dan Papua ini berlandaskan pada metodologi Islam post-tradisional yang merupakan khazanah Islam Nusantara. Gus Dur, menurut Suaedy, memilih jalan non-ideologis sebagai landasan penyelesaian konflik dengan memberi penekanan pada tujuan dan misi Islam untuk kesejahteraan masyarakat yang dalam terma Islam Nusantara populer dengan istilah <i>rahmatan lil ‘alamien</i>.
<br />
<br />Kita tahu bahwa hingga kini penyelesaian konflik Aceh dan Papua masih belum benar-benar tuntas. Dengan demikian, buku ini mengingatkan bahwa perjuangan visi kewarganegaraan bineka yang menjadi semangat Gus Dur harus terus dikawal ketat, termasuk mengawal unsur keadilan kepada kelompok-kelompok yang (dulunya) terpinggirkan. Sebab, kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
<br />
<br />
<br />Tulisan ini dimuat di Harian <i>Jawa Pos</i>, 9 Desember 2018.
<br /><br /><br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-62970843931094323122018-11-30T14:52:00.000+07:002018-12-01T14:53:03.553+07:00Bersyukur, Rahasia Hidup Bahagia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-bGyW3bbXYwM-DPRNkMmGUfML6wzw_-cIwG22-l1lwD_fbrfvfKazLzh3DVFa0UdDfEwYlwy-FRp50t1aDBKFHlAyCK3k_26AeymxRricYtEQKBqQCOOlsRQ8ksHoWEzs1mkf/s1600/Bersyukur%252C+Rahasia+Hidup+Bahagia+-+Koran+Jakarta%252C+30+November+2018.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-bGyW3bbXYwM-DPRNkMmGUfML6wzw_-cIwG22-l1lwD_fbrfvfKazLzh3DVFa0UdDfEwYlwy-FRp50t1aDBKFHlAyCK3k_26AeymxRricYtEQKBqQCOOlsRQ8ksHoWEzs1mkf/s400/Bersyukur%252C+Rahasia+Hidup+Bahagia+-+Koran+Jakarta%252C+30+November+2018.jpg" width="400" height="313" data-original-width="821" data-original-height="642" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;">
<br />Judul buku: Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Bersyukur (101 Kisah tentang Berterima Kasih yang Dapat Mengubah Hidup)
<br />Editor: Amy Newmark dan Deborah Norville
<br />Penerbit: Gramedia, Jakarta
<br />Cetakan: Pertama, 2018
<br />Tebal: xviii + 504 halaman
<br />ISBN: 978-602-03-8103-9
<br />
<br />
<br />Meraih hidup bahagia sebenarnya banyak tergantung pada sikap batin kita. Penderitaan atau bahkan kesengsaraan hidup sering kali terjadi karena sikap batin yang tidak tepat.
<br />
<br />Buku ini menyajikan kisah-kisah inspiratif tentang kekuatan bersyukur sebagai salah satu sikap batin yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan. Bersyukur dalam 101 kisah yang tersaji dalam buku ini dimaknai melalui pengalaman yang beragam sehingga nuansa maknanya menjadi sangat kaya.
<br />
<br /><span class="fullpost">Dalam pengantar editor ditegaskan bahwa bersyukur itu tidak sama dengan mengucapkan terima kasih. Memang benar bahwa ucapan terima kasih sebagai salah satu wujud sikap sopan santun dapat membantu memperlancar hubungan sosial. Namun, berterima kasih memiliki makna yang jauh lebih mendalam (hlm. xii).
<br />
<br />Elizabeth Atwater menceritakan perubahan cara pandangnya tentang kakeknya saat sang kakek meninggal dunia. Sejak kecil hingga remaja, dia memandang kakeknya sebagai laki-laki yang tak punya apa-apa. Kakeknya hidup pas-pasan dan bekerja sebagai tukang. Rumahnya sesak dan lusuh. Perabotnya tidak menarik. Dalam hati, Atwater kerap mencemooh saat kakeknya bercerita tentang keberuntungan hidupnya.
<br />
<br />Namun pandangan Atwater berbalik ketika hadir pada pemakaman kakeknya. Atwater terkesiap saat melihat nyaris orang sekota hadir pada acara pemakaman itu. Bill Fletcher, hartawan di kota kecil itu memberi kesaksian yang luar biasa tentang kakeknya. “Dia tidak pernah punya banyak uang, tetapi betapa berharganya harta yang dimilikinya,” kata Fletcher.
<br />
<br />Atwater tersadar bahwa kakek yang di matanya tak punya apa-apa itu ternyata dipandang dengan iri hati oleh orang yang memiliki segalanya yang dapat ditawarkan oleh dunia (hlm. 316-318).
<br />
<br />Kakek Atwater adalah sosok yang hidup dengan penuh syukur atas anugerah hidup yang dimilikinya. Sang kakek melihat segala sesuatu dengan hatinya yang bening sehingga semua nikmat dapat benar-benar terasa dan merasuk dalam batinnya. Itulah yang membuatnya bahagia.
<br />
<br />Bersyukur pada dasarnya juga adalah tentang perspektif. Orang yang sulit bersyukur lebih sering berpikir negatif sehingga tidak mampu melihat berkah hidup yang diterimanya.
<br />
<br />Kisah Diane Stark dalam buku ini dapat mewakili orang-orang yang suka mengeluh saat menghadapi hal-hal sepele yang tidak disukainya dan menutupi limpahan kebaikan lainnya. Stark mengomel saat kehabisan krim kopi kesukaannya, mengeluh saat merasa tidak suka dengan warna mobilnya, dan sebagainya. Padahal, di Afrika ada anak-anak yang kesulitan mendapatkan sepatu dan berisiko terkena kutu <i>jiggers</i> sehingga kakinya kadang harus diamputasi.
<br />
<br />Stark sadar bahwa kegembiraannya selama ini sering direnggut oleh cara pandangnya yang membuat dia sering mengeluh. Bersyukur adalah jalan keluarnya (hlm. 194-198).
<br />
<br />Kesadaran untuk bersyukur kadang tidak mudah diraih. Ia membutuhkan latihan. Membuat perbandingan, seperti yang dilakukan Stark, adalah salah satu bentuknya. Ada juga cara yang lain, seperti dalam kisah Earlene yang mengeluhkan suaminya yang mulai memasuki masa pensiun dan sering membuatnya kesal. Temannya lalu menyarankan Earlene untuk menulis daftar kebaikan suaminya. Daftar inilah yang kemudian membuatnya berubah dan mulai bersyukur (hlm. 90-92).
<br />
<br />Kisah-kisah dalam buku ini mengungkapkan bahwa bersyukur dapat menekan beban hidup dan mengikis stres. Ada emosi positif yang ditularkan dalam sikap syukur yang kita pilih. Karena itu, bersyukur dapat menyegarkan hidup kita yang suntuk dan dipenuhi dengan pikiran jelek tentang situasi yang sedang dihadapi.
<br />
<br />Di tengah kehidupan kita saat ini yang terasa semakin penuh beban, buku ini memberikan pelajaran penting tentang cara membentuk sikap batin positif untuk meraih kebahagiaan. Kisah-kisahnya yang bertolak dari pengalaman hidup sehari-hari yang sederhana membuat buku ini tidak terkesan menggurui sehingga pelajarannya terasa sangat membumi.
<br />
<br />
<br />Tulisan ini dimuat di <i><a href="http://www.koran-jakarta.com/bersyukur--rahasia-hidup-bahagia/">Koran Jakarta</i>, 30 November 2018</a>.
<br />
<br />
</span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-54016240712342645922018-10-22T06:35:00.000+07:002018-10-22T06:35:40.802+07:00Menyoal Pengembangan Literasi di Indonesia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5XrixegbFZ7yQiwSZVo5RN07-3_3Zv6c2-VQ2vLmRYgCq8u8aDe5paFFGxhEQi-U4nF2E6G9csf5qiKSpnPN3ptlUoahqdhXCgHJhkHBZKUpr1eHbcK57nqjgRQdhzJ8Wy3JB/s1600/Menyoal+Pengembangan+Literasi+di+Indonesia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5XrixegbFZ7yQiwSZVo5RN07-3_3Zv6c2-VQ2vLmRYgCq8u8aDe5paFFGxhEQi-U4nF2E6G9csf5qiKSpnPN3ptlUoahqdhXCgHJhkHBZKUpr1eHbcK57nqjgRQdhzJ8Wy3JB/s400/Menyoal+Pengembangan+Literasi+di+Indonesia.jpg" width="400" height="228" data-original-width="1600" data-original-height="912" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Judul buku: Dongeng Panjang Literasi Indonesia: Sehimpun Esai
<br />Penulis: Yona Primadesi
<br />Penerbit: Kabarita, Padang
<br />Cetakan: Pertama, 2018
<br />Tebal: x + 110 halaman
<br />ISBN: 9786026106278
<br />
<br />
<br />Beberapa tahun terakhir, dunia literasi di Indonesia tampak mendapatkan tempat yang semakin baik. Kebijakan publik yang mendukung untuk pengembangan literasi bermunculan. Perhatian lembaga, masyarakat, dan perorangan pada pengembangan literasi juga tampak semakin meningkat.
<br />
<br />Salah satu tanda meningkatnya perhatian pada dunia literasi tampak pada munculnya produk-produk edukasi untuk anak baik berupa buku dan media pembelajaran berbasis teknologi begitu populer. Linimasa media sosial dipenuhi dengan promosi produk-produk tersebut. Orangtua muda yang terobsesi agar anak-anaknya dapat gemar membaca, menjadi pintar, dan akhirnya sukses nyaris tak ragu untuk membeli produk-produk tersebut.
<br />
<br /><span class="fullpost">Namun, muncul pertanyaan kritis: apakah langkah seperti itu bagus untuk menumbuhkan kegemaran membaca dan menjadikan anak literat? Demikian juga, apakah kebijakan publik yang dibuat juga telah berada pada jalur yang tepat untuk mendorong kemajuan dunia literasi sebagai salah satu pilar kemajuan peradaban?
<br />
<br />Yona Primadesi, dosen Ilmu Perpustakaan dan juga aktivis literasi dari Padang, dalam buku ini memberikan banyak catatan kritis atas pengembangan literasi di Indonesia, termasuk tentang cara sebagian orang memperkenalkan dunia literasi kepada anak-anak.
<br />
<br />Menurut Yona, literasi dini (<i>emerging literacy</i>) tidak bisa dilakukan hanya dengan cara menyediakan bahan bacaan untuk anak-anak. Yona justru mengajukan gagasan untuk menghidupkan kembali tradisi yang berbasis kearifan lokal. Dalam masyarakat Minangkabau, misalnya, ada tradisi <i>manjujai</i>, yakni bentuk komunikasi antara ibu dan anak yang intens dengan berdendang, mendongeng, dan semacamnya. Dalam tradisi <i>manjujai</i>, legenda, sejarah, dongeng, dan anekdot lokal diperkenalkan. Pada tahapan selanjutnya, menurut tradisi masyarakat Minangkabau, anak laki-laki usia balig akan belajar secara informal di surau bersama rekan-rekan seusianya.
<br />
<br />Mendongeng di sini bagi Yona tidak sama pengertiannya dengan membacakan buku dongeng. Mendongeng secara lebih mendasar adalah mengenalkan wawasan dan menanamkan minat pada pengetahuan. Karena itu, literasi dini yang lebih mendasar bukanlah dengan “memperlihatkan” atau menyediakan buku pada anak. Minat anak bukan diarahkan pada media, tapi pada materi atau topik-topik tertentu.
<br />
<br />Pandangan Yona ini didasarkan pada pemahaman yang lebih luas tentang literasi. Di beberapa bagian buku ini, Yona mengkritik pandangan umum yang memahami literasi dalam kaitannya dengan membaca dan menulis belaka. Yona mengutip penjelasan Deklarasi Praha yang digagas PBB pada tahun 2003 tentang literasi yang mengelompokkan literasi dalam beberapa tahapan, yakni literasi dasar, kemampuan untuk meneliti dengan menggunakan referensi, kemampuan menggunakan media informasi, literasi teknologi, dan kemampuan mengapresiasi grafis dan teks visual.
<br />
<br />UNESCO bahkan mendefinisikan literasi sebagai proses pembelajaran seumur hidup. Atas dasar ini, gagasan-gagasan Yona tentang literasi dalam buku ini berusaha keluar dari pemahaman umum yang menyempitkan makna literasi dengan hanya mencukupkan pada semboyan “Ayo Membaca!”.
<br />
<br />Bagi Yona, literasi diarahkan untuk membentuk minat belajar dan mempertajam kepekaan anak pada kenyataan hidup di sekitarnya. Betul, kemampuan membaca dan menulis adalah kompetensi mendasar. Akan tetapi, kemampuan itu harus dilanjutkan dengan keterampilan mengelola, menganalisis, mengemas, dan membagikan informasi dengan baik.
<br />
<br />Yona sendiri mempraktikkan literasi dini ini kepada putrinya, Naya, dengan cara yang cukup mengilhamkan. Yona tidak cukup mendongengkan cerita Si Kancil atau Malin Kundang, tapi juga menceritakan figur-figur sastrawan. Misalnya, Yona bertutur tentang Pramoedya Ananta Toer dengan berbagai sisi heroik, melankoli, dan dramatisasinya.
<br />
<br />Yona, yang juga terlibat aktif dalam pengelolaan rumah baca, secara khusus menggarisbawahi pentingnya memperkenalkan sastra kepada anak. Tak hanya memupuk kecintaan pada buku, mendekatkan sastra pada anak juga membantu anak bersikap kritis dan peka memahami diri dan lingkungannya. Pada bagian ini Yona menyayangkan masih minimnya upaya untuk mengadaptasi dan mengemas ulang karya-karya sastra Indonesia agar lebih ramah anak.
<br />
<br />Tanggung jawab pemupukan budaya literasi juga menjadi bagian kritik dalam buku ini. Selama ini, banyak orangtua yang berpikir untuk menyerahkan urusan pengembangan literasi pada sekolah, pemerintah, atau rumah baca. Padahal, tanggung jawab pertama mestinya ada pada keluarga. Pada titik ini, Yona juga menekankan pentingnya teladan dalam keluarga.
<br />
<br />Orangtua yang hanya membelikan buku pada anaknya tapi tidak dapat menjadi figur sosok yang cinta buku dan literat maka rasanya akan tampak kurang padu di mata anaknya. Anak-anak belajar mencintai buku pertama-tama terutama dengan melihat orang-orang terdekatnya—siapa lagi kalau bukan orangtua—yang memiliki kebiasaan membaca yang baik.
<br />
<br />Buku ini memuat banyak gagasan yang mengilhamkan untuk pengembangan literasi di Indonesia. Sudut pandangnya yang kritis dan juga berbasis pengalaman membuat buku ini memiliki kekuatan argumentasi yang kuat baik untuk diangkat sebagai saran untuk perorangan maupun sebagai rekomendasi kebijakan publik bagi pengembangan literasi.
<br />
<br /><br />
Tulisan ini dimuat di <i><a href="http://koran-sindo.com/page/news/2018-10-21/0/11/Menyoal_Pengembangan_Literasi_di_Indonesia">Koran Sindo</i>, 21 Oktober 2018</a>.
<br /><br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-42506300887876905572018-07-28T07:08:00.002+07:002018-07-28T16:39:08.481+07:00Ternyata, Ada Pengurus Publik yang Tidak Melunasi Pajak Kendaraannya
<p style="line-height: 18px;"><br />
<i>Ternyata, sebagian pengurus publik tidak melunasi pajak kendaraannya</i>. Kalau dalam Ilmu Logika, pernyataan ini termasuk proposisi partikular negatif. Kalau dalam kehidupan sehari-hari, pernyataan ini dapat termasuk kategori fakta. Saya tahu ini fakta dari sebuah tulisan yang saya baca pagi ini:
<br />
<br />
<blockquote>"Cerita buruk DPR sepertinya nggak ada matinye. Ada saja perilaku buruk anggota legislataif mulai dari hampir setiap waktu tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena korupsi sampai ditangkap polisi di jalan. Tidak ada habis-habisnya anggota DPR tertangkap karena korupsi. Cerita negatif kali ini anggota DPR tertangkap polisi lantaran ngemplang pajak kendaraan bermotor.
<br />
<br />
Tidak tanggung-tanggung, dia menunggak pajak selama dua tahun. Adalah anggota DPR dari Gerindra bernama Kardaya Warnika yang tertangkap basah ngemplang pajak. Anggota Komisi VII DPR itu terjaring razia karena tidak membayar pajak kendaraan bermotor. Dia ditangkap polisi di Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur."</blockquote>
<br />
<br /><p style="line-height: 18px;">
<span class="fullpost">Ini adalah kutipan tajuk rencana <a href="http://www.koran-jakarta.com/anggota-dpr--ngemplang--pajak/">Koran Jakarta</a> hari ini, 28 Juli 2018 yang kebetulan saya baca. Isinya tentang anggota DPR yang tertangkap polisi karena kendaraan bermotornya tidak dilunasi pajaknya.
<br />
<br />
Sebagai murid <a href="https://facebook.com/mohammad.faizi">Kiai M Faizi</a> dalam hal urusan pemeriksaan pajak kendaraan bermotor melalui pemeriksaan plat nomor di situs Dinas Pendapatan Daerah, saya sudah sangat sering mendapatkan kendaraan bermotor (sering kali mobil-mobil yang tergolong menengah ke atas) yang tidak dilunasi pajaknya. Bahkan beberapa di antaranya saya ketahui mobil tersebut milik pengurus publik atau juga tokoh masyarakat.
<br />
<br />
Ya, tentu cerita saya ini tentang mobil yang lalu-lalang di sekitar wilayah yang biasa saya lintasi: Pamekasan-Sumenep khususnya. Kendaraan-kendaraan itu kebanyakan masih bisa saya cek status pajaknya melalui <a href="http://www.dipendajatim.go.id/page-info-pajak-kendaraan?uptd=dinas">laman Dinas Pendapatan Daerah Jawa Timur</a>. Kadang saya juga memeriksa pajak kendaraan bermotor di luar wilayah Jawa Timur yang juga bisa dilakukan dengan mudah di internet.
<br />
<br />
Tak hanya saat berjumpa di jalanan, saat menghadiri acara-acara umum baik di lembaga publik maupun acara lainnya saya kadang memeriksa nomor kendaraan yang saya temui. Tak mesti karena ingin tahu kelunasan pajaknya, tapi kadang hanya untuk mengetahui besaran pajak yang dibayarkan oleh si pemilik.
<br />
<br />
Pernah saat bersepeda motor saya berada di belakang sebuah mobil mewah yang nilai pajaknya lebih dari untuk membayar Mio J keluaran tahun 2014 yang saya kendarai. Saya dan mobil itu sama-sama terjebak macet di Pasar Keppo, Galis, Pamekasan. Saya tergoda untuk memfoto dan kemudian memeriksa pajaknya karena saya sudah pernah bertemu dengan mobil ini sebelumnya di sebuah acara. Oh, ternyata pajaknya tidak dibayar! Pada nomor kendaraannya, tahun pembayaran pajaknya saat itu ditutupi dengan bendera merah putih (untung tak ditambah stiker: NKRI Harga Mati!).
<br />
<br />
Kadang kalau ada berita kecelakaan di situs internet saya iseng juga memeriksa pajak mobil yang kecelakaan tersebut. Pernah ada berita iring-iringan mobil pejabat yang tabrakan beruntun. Situs Kompas mencantumkan nomor kendaraannya. Saya cek: eeeee salah satunya ternyata tak membayar pajak.
<br />
<br />
Pernah juga <a href="https://facebook.com/Addaroriibnuwardi">Addarori Ibnu Wardi</a> beberapa tahun lalu memposkan gambar aparat berseragam cokelat yang sedang parkir dengan sepeda motornya (kalau tidak salah saat mengantar jamaah umroh atau haji). Saya cek nomor kendaraannya: eeeee motornya ada yang masih menunggak pajak.
<br />
<br />
Saat saya mengetahui bahwa secara rutin Pemerintah Provinsi Jawa Timur kerap punya program pemutihan pajak kendaraan bermotor, saya jadi berpikir: mungkin saja orang-orang yang suka telat (atau tidak melunasi) pajak kendaraan bermotor itu tahu tentang hal ini sehingga mereka menunda pembayaran pajaknya (ada yang hingga beberapa tahun lho). Kan lumayan untuk dibuat biaya cetak banner atau modal usaha lainnya. Apalagi mobil yang tak dibayar pajaknya itu sekelas Innova atau bahkan Alphard.
<br />
<br />
Saat keterbukaan informasi publik seperti sekarang ini semakin lebar karena akses internet yang semakin mudah, masyarakat di antaranya dapat mengambil manfaat untuk juga ikut serta melakukan evaluasi atas program pemerintah dalam hal pajak kendaraan bermotor. Mungkin saja pemilik kendaraan bermotor yang saya jumpai yang belum bayar pajak itu lupa, seperti cerita anggota DPR dalam tajuk rencana Koran Jakarta di atas. Dengan begitu kita bisa mengingatkan. Lain lagi jika kita menduga kuat bahwa lupanya tersebut terjadi secara sistematis. Mungkin yang seperti ini perlu perlakuan berbeda.
<br />
<br />
Oiya, terakhir, kalau mau tahu lebih jauh tentang cara memeriksa pajak kendaraan bermotor atau hal lain tentang tertib lalu-lintas, silakan hubungi <a href="https://facebook.com/mohammad.faizi">Kiai M Faizi</a>.
<br />
<br /><br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-9718171.post-67593551392735826862018-07-27T06:21:00.000+07:002018-07-28T16:43:28.777+07:00Refleksi Futuristik atas Sejarah Manusia<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSVUwMrfP4WG71Evh_1KdOn6KAX-R2DXnn0QCsBFy9mxRiPm-o5PyAJ3ENf3g0P21A0346RXScRVEcjZfB5uQubdCcLzR_Jcv0j0A9K2xtjB2YGUcgVxpt1ulHfRjQzMR7iDez/s1600/Sapiens+IMG_20180515_133140_2+v+Rindupulang.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjSVUwMrfP4WG71Evh_1KdOn6KAX-R2DXnn0QCsBFy9mxRiPm-o5PyAJ3ENf3g0P21A0346RXScRVEcjZfB5uQubdCcLzR_Jcv0j0A9K2xtjB2YGUcgVxpt1ulHfRjQzMR7iDez/s400/Sapiens+IMG_20180515_133140_2+v+Rindupulang.jpg" width="400" height="271" data-original-width="765" data-original-height="519" /></a></div>
<p style="line-height: 18px;"><br />
Sapiens: Sejarah Ringkas Umat Manusia dari Zaman Batu hingga Perkiraan Kepunahannya (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Yanto Musthofa, Penerbit Pustaka Alvabet, Jakarta, Juli 2017, 530 halaman, ISBN: 978-602-6577-17-7)
<br />
<br />
Sapiens: Riwayat Singkat Umat Manusia (Yuval Noah Harari, diterjemahkan oleh Damaring Tyas Wulandari Palar, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia), Jakarta, September 2017, viii + 525 halaman, ISBN: 978-602-424-416-3)
<br />
<br />
<br />Kita hidup di zaman yang terus berlari. Orang-orang menjalani hidup dengan bergegas sehingga banyak yang tak sempat untuk menyediakan waktu sela dan berefleksi.
<br />
<br />Buku yang ditulis oleh Yuval Noah Harari, profesor sejarah dari Hebrew University of Jerusalem, ini mendedahkan sejarah umat manusia (<i>homo sapiens</i>) sejak kemunculannya pada sekitar 200 ribu tahun yang lalu di Afrika Timur hingga kini. Meski cukup ringkas jika dilihat dari periode yang dipaparkan dan tebal buku yang disajikan, buku ini mampu mengantarkan pembacanya ke ruang jeda yang reflektif dan futuristik untuk melihat jejak panjang dari titik pijak yang tengah didiaminya saat ini. Kerangka reflektif yang tersirat secara cukup kuat merupakan salah satu keunggulan buku yang tersaji dengan gaya tutur yang lincah ini.
<br />
<br /><span class="fullpost">Kita tahu bahwa saat ini manusia telah menjadi penguasa bumi. Nasib bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya nyaris tergantung pada manusia. Padahal, pada 70 ribu tahun yang lalu manusia adalah binatang remeh yang tak punya kuasa apa-apa atas nasib bumi. Keberadaannya tidaklah signifikan—seperti ubur-ubur, simpanse, atau harimau.
<br />
<br />Ini adalah pokok masalah yang dijawab buku ini di bagian awal. Dengan kilasan sejarah yang singkat dan padat, buku ini memulai dengan penjelasan tentang proses supremasi manusia atas makhluk lain di planet bumi. Harari menjelaskannya saat ia mulai menguraikan tiga periode revolusi penting dalam sejarah manusia, yaitu revolusi kognitif, revolusi pertanian, dan revolusi sains.
<br />
<br />Revolusi kognitif adalah awal kebangkitan manusia menuju puncak kekuasaannya. Menurut Harari, revolusi kognitif ini terjadi pada sekitar 70 ribu tahun yang lalu saat manusia menemukan cara baru dalam berpikir dan berkomunikasi. Mulai saat itu, manusia mampu menggunakan bahasa sebagai sarana berbagi informasi tentang dunia.
<br />
<br />Dengan keluwesannya, bahasa dengan fungsi baru itu mampu memerdekakan manusia dari kerangka makhluk biologis yang terbatas sehingga kemudian manusia mencatatkan dirinya sebagai makhluk yang menyejarah dan berbudaya. Revolusi kognitif mengunggulkan manusia menjadi binatang dengan kemampuan kerja sama secara fleksibel dalam level yang bersifat masif. Inilah kunci awal dominasi manusia di atas planet bumi.
<br />
<br />Kerja sama dalam level masif ini dapat terjadi karena manusia mampu memunculkan dan hidup di dalam realitas yang dikhayalkan (entitas fiktif), tak hanya dalam dunia material yang berupa realitas objektif. Entitas fiktif ini—yang dapat berupa mitos, agama, negara, korporasi, konsep hak asasi manusia (HAM), dan lain-lain—terbukti mampu menyatukan manusia untuk bergerak dalam satu landasan cerita dan norma tertentu.
<br />
<br />Penemuan pertanian sekitar 10 ribu tahun yang lalu tidak hanya mengubah pola hidup nomaden menjadi kehidupan menetap. Revolusi pertanian mendorong ledakan populasi. Tapi kemelimpahan hasil makanan dari pertanian bagi Harari adalah perangkap kemewahan yang pada gilirannya menuntut manusia untuk bekerja lebih keras.
<br />
<br />Revolusi pertanian pelan-pelan mengantarkan manusia pada penyatuan yang kini membuat dunia menjadi desa global. Harari mencatat tiga hal yang mempersatukan manusia, yaitu uang, imperium, dan agama. Uang berhasil menjadi dasar bagi tatanan moneter dunia. Imperium menyatukan beragam kelompok masyarakat dalam satu entitas politik tertentu yang terus berkembang dinamis. Agama mempertemukan orang-orang yang melimpahkan otoritas absolut pada Tuhan dan wakil-wakilnya di bumi untuk menjamin stabilitas sosial dalam kehidupan bersama.
<br />
<br />Namun revolusi pertanian tak ada apa-apanya dibandingkan dengan kedahsyatan dampak revolusi sains. Revolusi sains dimulai dengan “penemuan ketidaktahuan” sekitar 500 tahun yang lalu. Kesediaan untuk mengakui ketidaktahuan ini membuat sains modern menjadi lebih dinamis dan aktif untuk menjangkau hal-hal baru dibandingkan dengan tradisi pengetahuan sebelumnya. Dari rahim sains modern lalu lahirlah teknologi berbasis energi-energi baru.
<br />
<br />Menurut Harari, revolusi sains yang sebenarnya baru terjadi saat sains beraliansi dengan agama dan atau ideologi, termasuk juga imperium atau otoritas politik. Dari sini muncullah imperialisme. Dari sini pula lahir kapitalisme yang mendorong berputar cepatnya roda-roda industri—juga konsumerisme.
<br />
<br />Keberhasilan buku ini dalam mengurai titik-titik penting yang paling menentukan dalam perubahan sejarah kebudayaan manusia di antaranya tampak saat Harari menjelaskan titik mula dan dampak industrialisasi. Secara cerdik, Harari memberi gambaran pokok pergeseran dunia industri dengan mengangkat perubahan cara pandang manusia terhadap waktu. Harari menarasikan asal usul penggunaan jam sistem GMT (<i>Greenwich Mean Time</i>) secara global yang disusul dengan cara pemaknaan baru manusia pada waktu, adopsi cara pengaturan jam ala dunia industri oleh berbagai institusi seperti sekolah, dan juga dampak-dampak lanjutannya yang cukup revolusioner.
<br />
<br />Berbagai hal yang lahir dari revolusi sains akhirnya mengantarkan banyak revolusi penting dalam kehidupan manusia sekarang. Saat ini, revolusi terjadi tidak dalam hitungan ribuan tahun. Berbagai penemuan baru dalam dua abad terakhir telah mengantarkan pada situasi-situasi tak terduga. Internet, misalnya, dengan aneka inovasinya, saat ini telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan dengan berbagai dampaknya sehingga sekarang kita tak bisa membayangkan dunia tanpa internet.
<br />
<br />Di bagian akhir, Harari menggambarkan kehidupan manusia yang semakin maju saat manusia mulai menembus batas-batas biologisnya dan menerobos hukum seleksi alam. Yang menarik, dengan nada retoris Harari menyampaikan betapa berbahayanya kemampuan hebat hewan yang kini “nyaris menjadi Tuhan” ini jika ia senantiasa “tidak puas, tidak bertanggung jawab, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan”. Pada bagian ini, Harari tampak menunjukkan kepeduliannya pada dimensi etis sains dan teknologi dan kebutuhan akan nilai-nilai tertentu sebagai landasan orientasi masa depan.
<br />
<br />Edisi terjemahan bahasa Indonesia dari buku yang telah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa ini terbit dalam dua versi. Versi pertama diterbitkan oleh Pustaka Alvabet pada bulan Juli 2017 dengan penerjemah Yanto Musthofa dan editor Nunung Wiyati. Sedangkan versi kedua diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan September 2017 dengan penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar dan penyunting Andya Primanda.
<br />
<br />Secara umum, dua versi terjemahan ini bisa dibilang sama bagusnya. Saya sendiri membaca utuh versi terjemahan yang terbit lebih awal. Namun, saat versi kedua terbit, saya juga membeli dan membaca secara acak pada bagian-bagian yang sebelumnya sudah saya tandai sebagai bagian yang penting atau menarik.
<br />
<br />Pembacaan ini kemudian memberikan sedikit perbandingan bagi saya terkait aspek penerjemahannya. Sekilas, saya merasa bahwa terjemahan Yanto Musthofa yang diterbitkan Alvabet terasa lebih nyaman dan lebih lincah gaya tuturnya. Misalnya petikan terjemahan dari bagian buku yang menggambarkan cara pandang paradigma modern terhadap pengaturan waktu:
<br />
<br />Permulaan yang sederhana ini melahirkan jaringan global jadwal, yang diselaraskan sampai ke bagian terkecil, detik. Ketika media siaran—pertama radio, kemudian televisi—mulai bercokol, mereka memasuki sebuah dunia jadwal dan menjadi pendorong utama dan juru dakwahnya (hlm. 421).
<br />
<br />
Versi terjemahan Damaring Tyas Wulandari Palar seperti berikut:
<br />
<br />
Awal yang sederhana itu melahirkan jejaring jadwal global, yang disinkronisasi sampai sepersekian detik. Ketika media siaran—pertama-tama radio, lantas televisi—muncul untuk pertama kali, mereka memasuki dunia jadwal dan menjadi penegak dan penyebar utamanya (hlm. 423).
<br />
<br />
Pilihan terjemahan versi Alvabet untuk menggunakan frasa “mulai bercokol” dan “juru dakwah”, bukannya “muncul untuk pertama kali” dan “penyebar utama” sebagaimana di versi KPG, terasa lebih nyaman dan lebih berisi muatan maknanya untuk sampai ke ruang pemahaman saya. Versi lengkap bahasa Inggrisnya—saya membaca versi terbitan Vintage—adalah sebagai berikut:
<br />
<br />
This modest beginning spawned a global network of timetables, synchronised down to the tiniest fractions of a second. When the broadcast media—first radio, then television—made their debut, they entered a worl of timetables and became its main enforcers and evangelists (hlm. 396).
<br />
<br />
Namun demikian, saya menemukan penerjemahan bagian tertentu di versi Alvabet yang terasa kurang pas. Pengalaman saya sebagai editor buku karya terjemahan dulu di Penerbit Serambi dan di Penerbit Bentang Pustaka menunjukkan bahwa jika terdapat kalimat atau frasa yang kurang berhasil dipahami sepenuhnya maka biasanya penerjemah atau editor akan memilih untuk menerjemahkannya secara literal. Ini yang saya temukan di versi terjemahan Alvabet.
<br />
<br />Di halaman 6 misalnya di versi terjemahan Alvabet ada subjudul “Tulang Belulang dalam Kloset”. Dalam pemahaman saya, frasa ini tertangkap agak membingungkan dan kurang jelas maknanya. Ternyata, di versi bahasa Inggrisnya tertulis “Skeletons in the Closet” (hlm. 5), yang jika dicari di kamus bahasa Inggris akan ditemukan bahwa pengertian frasa tersebut adalah “rahasia yang tersimpan yang jika terbongkar akan mempermalukan pihak tertentu”. Di versi terjemahan KPG, teks tersebut diterjemahkan “Rahasia yang Tersimpan Rapat”.
<br />
<br />Di bagian lain, kasus serupa saya temukan. Ini kutipan dari versi terjemahan Alvabet:
<br />
<br />
Jutaan tahun evolusi telah mendesain kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota-anggota komunitas. Hanya dalam waktu dua abad kita sudah menjadi individu-individu teralienasi. Tak ada yang memberi kesaksian lebih baik tentang hebatnya kekuatan kultur (hlm. 428).
<br />
<br />
Teks berbahasa Inggris untuk terjemahan tersebut adalah sebagai berikut:
<br />
<br />
Millions of years of evolution have designed us to live and think as community members. Within a mere two centuries we have become alienated individuals. Nothing testifies better to the awesome power of culture (hlm. 403-404).
<br />
<br />
Kalimat terakhir pada versi terjemahan Alvabet tampak kurang jelas gagasan pokok yang akan disampaikan. Penerjemahannya cenderung literal. Saat membaca versi terjemahan KPG, gagasan pokok kalimat tersebut jadi lebih mudah tertangkap.
<br />
<br />
Jutaan tahun evolusi telah membentuk kita untuk hidup dan berpikir sebagai anggota masyarakat. Dalam dua abad saja kita telah menjadi individu-individu teralienasi. Itulah bukti terbaik mengenai dahsyatnya kekuatan budaya (hlm. 431).
<br />
<br />
Buku yang edisi pertamanya terbit di Israel pada 2011 dengan judul <i>Kitzur Toldot Ha’enoshut</i> ini sangat penting dibaca untuk merefleksikan noktah kecil kehidupan kita dalam bentang sejarah semesta yang lebih luas.
<br />
<br />Uraiannya yang kaya data, tajam, dan mengalir dalam alur dan cara tutur yang hidup mampu memberi pemaparan sederhana yang cukup jelas tentang bagian-bagian atau unsur-unsur paling menentukan hingga membentuk titik-titik perubahan penting dalam rentang sejarah manusia. Cara pembahasannya yang utuh meski singkat memberi pembaca perspektif yang baru, lebih padu, dan mencerahkan untuk memahami tantangan masa depan umat manusia.
<br />
<br />Yang paling mendasar, pesan penting yang hendak disuarakan buku ini juga adalah perihal tantangan etis manusia dengan segala pencapaiannya saat ini yang bisa dibilang cukup luar biasa. Tantangan yang menunggu jawaban mendesak inilah yang menjadi salah satu kesimpulan reflektif pemaparan Harari dalam buku ini.
<br />
<br /><br />
Tulisan ini dimuat di <a href="http://karepe.com/2018/07/17/refleksi-futuristik-atas-sejarah-manusia/">Karepe Dotkom, 17 Juli 2018</a>.
<br /><br /></span>M Mushthafahttp://www.blogger.com/profile/14972221113444541130noreply@blogger.com0