Jumat, 20 Oktober 2017

Buku dan Pendidikan di Amerika

Perpustakaan Fordson High School di Detroit, Michigan 

Saat mendapatkan penjelasan dari Kepala Sekolah Al Fatih Academy (AFA), Ms. Afeefa Syeed, bahwa sekolah yang dikelolanya tidak menggunakan buku paket dalam proses pembelajaran di kelas, saya cukup terkejut. Apa alasannya? Menurut Afeefa, buku pelajaran dapat berpotensi membatasi ruang lingkup pembelajaran. Pembelajaran bisa menjadi kaku dan hanya terfokus pada buku teks yang digunakan.

Di Al Fatih Academy—sekolah swasta yang mengelola pendidikan dari jenjang PAUD hingga SMP di Reston, Virginia—pembelajaran lebih ditekankan pada arahan kurikulum yang telah disusun dengan pendekatan terpadu, interdisipliner, dan terutama menggunakan metode inquiry. Dengan arahan tema dan pembahasan sesuai kurikulum sekolah dan juga nilai-nilai pokok yang ingin dikembangkan, siswa difasilitasi untuk belajar dengan bertanya dan berpikir tentang hal-hal yang ada di sekitar mereka.

Saya melihat dokumen kurikulum mereka. Pada tingkat Kindergarten, saya menemukan satu halaman tema pembelajaran tentang “My Five Senses”. Saya dapat melihat bagaimana subjek-subjek pelajaran—sains, ilmu sosial, bahasa, seni, matematika, dan keislaman—dapat terintegrasi dalam tema tersebut. Saya juga sempat melihat dokumen kurikulum untuk Islamic Studies dengan konsentrasi akidah di jenjang SD, dan memperhatikan bagaimana di tiap jenjang tingkat kerumitan materi disusun dengan baik.

Pembelajaran tanpa buku pelajaran ala Al Fatih Academy, yang saat ini siswanya semua berjumlah 292 anak itu, dalam pandangan saya haruslah mengandalkan guru yang mumpuni dalam mengelola kelas sesuai dengan arahan dan target kurikulum. Selain itu, saya melihat peran ketersediaan fasilitas buku di perpustakaan sangatlah penting juga diperhatikan.

Di Perpustakaan Al Fatih Academy, saya menemukan buku-buku menarik yang rasanya akan cukup sulit saya temukan dalam versi bahasa Indonesianya. Saya cukup terkagum-kagum saat menemukan buku versi anak-anak yang dipetik dan diolah dari karya besar Imam al-Ghazali. Beberapa buku yang terlihat seperti serial terbitan Fons Vitae tersebut dicetak dengan kemasan hardcover dan full colour.

Ada yang isinya lebih dominan gambar, yakni dalam bentuk cerita bergambar, yang kemudian di bagian belakang disajikan terjemahan bahasa Inggris yang dipetik dari salah satu bab Ihya’ Ulumiddin. Untuk yang ditujukan pada pembaca yang levelnya lebih tinggi, gambar tidak terlalu dominan, tapi tetap dengan tata letak dan perwajahan yang menarik.



Di Perpustakaan Al Fatih Academy yang dapat dibilang tidak terlalu besar, saya juga menemukan buku-buku cerita yang menarik, seperti fabel lingkungan yang cukup ternama yang dikemas dalam buku berjudul When the Animals Saved Earth, dan juga buku-buku anak lainnya.

Terprovokasi dengan buku-buku semacam ini yang kemudian juga saya temukan dalam kunjungan ke sekolah-sekolah lainnya di Amerika selama tiga pekan di bulan September lalu, saya mencoba membeli beberapa buku anak di toko daring Amazon. Setelah memilih dan membeli beberapa buku yang di antaranya memang merupakan buku yang saya temukan di beberapa perpustakaan sekolah di Amerika, di Amazon saya menemukan buku-buku anak dan remaja yang menarik lainnya yang memperlihatkan kekayaan dunia bacaan berbahasa Inggris.

Selain itu, saya juga menemukan dugaan kuat bahwa dalam proses penyediaan sumber bacaan untuk kalangan anak dan remaja tersebut, pihak-pihak yang sangat berkompeten ikut serta dengan baik. Dugaan ini saya simpulkan dari salah satu buku yang saya beli yang berjudul Painting Heaven: Polishing the Mirror of the Heart (Ghazali Children) terbitan Fons Vitae. Buku komik tipis yang diolah dari bagian kecil dalam bab ‘Ajâibul-Qalb dari kitab Ihya’ Ulumiddin ini melibatkan Profesor Coleman Barks yang terkenal dengan terjemahannya atas puisi-puisi Rumi. Barks, penyair dan profesor emiritus di University of Georgia, menyiapkan naskah untuk buku yang saya beli dengan harga 16,71 dolar Amerika ini (sebelum pajak). Sedangkan yang menggarap ilustrasinya adalah Demi Hunt yang memang telah terlibat dengan penerbitan ratusan buku anak dan mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi.

Selain itu, saya juga ingat bahwa Ms. Afeefa Syeed, kepala sekolah Al Fatih Academy, juga tercatat sebagai konsultan untuk penerbit Simon & Schuster Children’s Book Division—penerbit yang di antaranya menerbitkan buku-buku karya William J. Bennett.

Nama William J. Bennett ini menjadi masuk dalam rekam ingatan saya lantaran dia menerbitkan sebuah buku yang cukup membuat saya penasaran karena saya temukan di hampir semua perpustakaan sekolah yang saya kunjungi di Amerika. Bukunya berjudul The Book of Virtues: A Treasury of Great Moral Stories. Setelah saya membaca sebagian isi buku ini di versi Kindle yang saya beli di Amazon, pertanyaan saya tentang pendidikan moral di Amerika sedikit terjawab.

Buku yang menghimpun cerita, puisi, dan esai-esai terpilih ini berusaha membantu menumbuhkan moral literacy (kesadaran moral atau melek moral) di kalangan anak-anak dan remaja. Caranya adalah dengan berbagi keutamaan (virtues) yang termuat dalam cerita, puisi, dan esai-esai tersebut, pada anak-anak, pelajar, orangtua, dan juga guru. Dalam pengantarnya, Bennett menjelaskan empat alasan penggunaan model pendidikan moral yang dikembangkan dalam buku ini.

Pertama, cerita-cerita yang terhimpun dalam buku ini dapat menjadi titik rujukan tentang praktik konkret berbagai keutamaan moral. Kedua, kisah-kisah dalam buku ini dapat menarik perhatian anak-anak. Ketiga, cerita-cerita dalam buku ini membantu anak-anak untuk menjangkarkan diri mereka dengan akar budaya, sejarah, dan tradisi mereka. Keempat, dengan mengajarkan kisah-kisah dalam buku ini berarti kita terlibat dengan usaha pembaruan dan pemaknaan kontekstual atas kisah-kisah tersebut.

Buku yang berfokus pada 10 sifat utama ini ternyata juga dibuat dalam versi yang lebih spesifik. Bennett juga menulis buku The Book of Virtues for Your People, The Children’s Book of Virtues, dan The Book of Virtues for Boys and Girls. Bennett juga menulis buku The Moral Compass: Stories for a Life’s Journey, The Children’s Book of Heroes, The Children’s Book of America, dan lain-lain.

Satu hal lain yang cukup menarik tentang buku dan pendidikan di Amerika saya temukan di University of Dallas di Texas. Saat kunjungan ke Departemen Pendidikan kampus tersebut, saya bersama teman-teman rombongan International Visitor Leadership Program (IVLP) berkesempatan mengikuti salah satu kelas perkuliahan di kampus berlatar Katolik tersebut. Nah, kebetulan kelas yang kami ikuti terkait dengan buku. Nama mata kuliahnya “Child and Young Adult Literature” yang diampu oleh Dr. Amie Sarker.



Pada saat kami mengikuti kelas tersebut, dosen sedang fokus pada pembahasan tentang bagaimana cara mempertimbangkan buku yang cocok untuk digunakan sebagai bahan pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan yang lebih rendah. Selain pemaparan yang menarik, dosen juga membagikan beberapa tulisan pendukung yang di antaranya juga memuat data-data tentang buku anak menarik dari berbagai belahan dunia. Dia juga membawa contoh buku-buku dan mengajak mahasiswa untuk mendiskusikannya di kelas.

Sepulang dari kunjungan di kampus tersebut, saya mencoba menjelajah ke laman kampus University of Dallas, dan ternyata saya menemukan mata kuliah yang lain di Department of Education yang juga berkaitan dengan buku. Ada mata kuliah Writing Children’s Books, Reading in the Secondary Schools, Developmental Reading, Diagnostic and Corrective Reading, dan juga Storytelling.

Lebih jauh, di laman kampus University of Dallas, saya menemukan satu hal yang sangat menarik, yakni bahwa kampus ini menyelenggarakan kelas-kelas dengan jumlah mahasiswa sekitar 16 orang per kelas yang membahas teks-teks babon untuk beberapa disiplin, seperti filsafat, teologi, ekonomi, sejarah, dan lain-lain. Kelas semacam ini diharapkan dapat mengantarkan profesor dan mahasiswa yang ikut serta untuk terlibat dalam dialog mendalam dan bermakna yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menginspirasi mereka untuk mencintai pengembaraan intelektual sehingga itu semua dapat bermanfaat untuk karier akademik dan kehidupan mereka secara umum kelak. Di laman kampus juga disebutkan buku-buku induk yang akan dibahas, seperti The Communist Manifesto karya Marx dan Engels, Crime and Punishment karya Fyodor Dostoevsky, The Question Concerning Technology karya Martin Heidegger, Genealogy of Morals karya Friedrich Nietzsche, dan sebagainya.

Pada titik ini, saya melihat kesadaran yang kuat akan pentingnya buku dalam proses pendidikan sehingga hal yang berkaitan dengan buku mendapatkan tempat yang istimewa dalam perkuliahan di bidang pendidikan atau kegiatan perkuliahan lain pada umumnya di University of Dallas.

Membandingkan antara keadaan dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik dunia pendidikan di Amerika dan situasi di Indonesia, saya melihat jurang yang cukup lebar dalam berbagai aspeknya. Ketersediaan buku-buku bermutu yang sangat menunjang pada proses pendidikan, mungkin termasuk juga kemudahan aksesnya oleh masyarakat dan pelajar pada khususnya, keterlibatan dan dukungan kalangan ahli dan akademisi untuk menghasilkan produk buku yang bermutu, perhatian dunia pendidikan termasuk kampus untuk memanfaatkan buku-buku tersebut dalam proses pendidikan, semuanya tampak begitu padu sehingga dengan jelas memperlihatkan jurang yang cukup lebar tersebut.

Mengakui adanya jurang yang lebar dalam hal mutu dunia perbukuan dalam kaitannya dengan praktik pendidikan antara di Amerika dan di Indonesia mungkin akan terdengar sebagai hal yang menyedihkan. Namun begitu, kita tahu bahwa pengakuan dan kesadaran semacam ini dapat juga menjadi peluang dan tantangan: bahwa ada sesuatu, atau bahkan banyak hal, yang masih harus kita lakukan dengan penuh kerja keras untuk bersama-sama membangun dunia pendidikan yang lebih baik dan membangun peradaban yang lebih maju di masa depan.

4 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Rapat tadi siang di dalem Kiai Muqsith sedikit mencolek tentang buku. Saya berharap perpus Pesantren akan kembali berjaya.

M Mushthafa mengatakan...

@M Faizi, ya, dengan begitu kita mulai menata dari tingkat lokal untuk sebuah potensi yang luar biasa.

Untung Wahyudi mengatakan...

Ini oleh-oleh dari Amerika tahun kemarin, ya. Mantap. Liputannya tak baca dulu. Hehehe, Kok kebalik. :)

M Mushthafa mengatakan...

Betul, Untung Wahyudi. Terima kasih atas kunjungannya dan jejak komentarnya.