Senin, 28 November 2016

Belajar dari Kepemimpinan Fergie


Judul buku: The Legend’s Leadership Sir Alex Ferguson: Sukses Tiada Henti
Penulis: Jennie S. Bev
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2016
Tebal: 160 halaman
ISBN: 978-979-21-4481-9


Sir Alex Ferguson, yang akrab dipanggil Fergie, adalah legenda klub sepakbola Inggris Manchester United (MU). Dalam masa kepemimpinannya sebagai pelatih klub—sekitar 27 tahun—Fergie telah mempersembahkan puluhan trofi bergengsi.

Buku ini mengangkat nilai-nilai kepemimpinan yang menjadi ruh Sir Alex Ferguson sehingga dapat berhasil mengantarkan MU menjadi klub ternama. Pada bagian pertama, buku ini menyajikan sekilas biografi Fergie.

Fergie lahir pada penghujung tahun 1941 di kota Govan, Skotlandia, dari keluarga buruh. Fergie dikenal aktif di dunia politik dan mendukung Partai Buruh Inggris Raya. Pada tahun 2012 dia mendukung referendum agar Skotlandia tetap menjadi bagian dari Inggris Raya.

Di dunia sepakbola, Fergie memulai kariernya sebagai pemain dari tahun 1957 hingga 1974. Pada tahun 1974, saat usianya belum genap 33 tahun, Fergie memulai karier manajerialnya di klub East Stirlingshire. Kariernya di klub Manchester United dimulai pada 6 November 1986. Di masa awal, Fergie harus menghadapi para pemain yang “jago minum” dan dituntut cerdas untuk mendisiplinkan pemain.

Pada pertengahan dekade 1990-an, Fergie berhasil mengorbitkan beberapa pemain muda yang kemudian menjadi legenda Manchester United. Di antara mereka adalah David Beckham, Paul Scholes, Gary Neville.

Fergie tidak saja lihai memoles pemain muda hingga menjadi bintang lapangan. Ia juga pandai mengelola pemain bintang agar bisa tampil sebagai anggota tim yang saling mendukung. Di tengah persaingan keras Liga Primer Inggris, Fergie tampil cerdik mengelola berbagai potensi pemain dan juga mengelola isu—termasuk media—demi kekuatan dan keunggulan tim.

Dari sejarah hidup dan karier di dunia sepakbola, buku ini merekam 14 nilai-nilai hidup yang menjiwai perjalanan Fergie. Di antara nilai-nilai itu, dikemukakan bahwa Fergie adalah sosok yang senang akan tanggung jawab. Sejak muda, Fergie mengambil alih tugas ayahnya sebagai pencari nafkah keluarga. Inilah mungkin yang membuatnya memiliki standar kegigihan dan etos kerja keras yang tinggi. Fergie juga sangat menghargai kehangatan keluarga. Dari latar keluarga pekerja, ia belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil, hidup sederhana, dan peduli pada orang lain.

Latar kehidupan keluarga Fergie yang termasuk “berkerah biru” membentuk karakter kerja keras dan juga rendah hati. Tensi emosi yang tinggi dalam persaingan Liga Inggris kadang dipenuhi dengan ejekan dan umpatan dari para pendukung tim lawan. Tapi Fergie berhasil melewati semuanya dengan baik.

Masa kerja Fergie yang cukup lama di MU menunjukkan bahwa ia berhasil melewati berbagai tekanan mental di dunia sepakbola Eropa yang semakin ketat persaingannya. Sesekali ia memperlihatkan gaya kepemimpinan yang cukup kontroversial seperti berkonfrontasi dengan media atau keras memarahi pemainnya.

Sebagai pemimpin, Fergie menerjemahkan disiplin pada aspek yang luas. Disiplin tidak hanya dalam soal mengendalikan dan mengelola pemain, tapi juga dalam hal memberikan arahan yang jelas dan jernih, mengelola perubahan, dan mendorong sikap berani.

Nilai-nilai kepemimpinan Fergie ini tidak saja terlihat dalam setiap pertandingan yang dipimpinnya. Nilai kepemimpinan Fergie ini juga berada pada lapis pengelolaan musim pertandingan dan pengelolaan klub. Dalam mengelola klub, nilai-nilai kepemimpinan dan kecerdasan Fergie terlihat dari fakta bahwa ia bertahan begitu lama di MU.

Buku ini memperlihatkan kepada pembaca bahwa sepakbola tidak saja menjadi ajang hiburan dan industri tapi juga sarat dengan nilai-nilai pembentukan karakter. Di tengah situasi persepakbolaan nasional yang tampak sulit untuk maju, kiranya buku ini dapat menjadi inspirasi perubahan untuk mendorong pengelolaan sepakbola dalam berbagai level secara lebih baik agar sepakbola juga dapat berkontribusi dalam perubahan mental dan ikut memajukan masyarakat.


Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 27 November 2016.
.


Read More..

Minggu, 06 November 2016

Beres-Beres Rumah dan Gaya Hidup Minimalis


Judul buku: The Life-Changing Magic of Tidying Up: Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang
Penulis: Marie Kondo
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: xviii + 206 halaman
ISBN: 978-602-291-244-6


Tak jarang hal yang dipandang remeh, kecil, dan biasa jika ditekuni dapat melahirkan hal yang luar biasa. Marie Kondo membuktikan hal ini saat namanya masuk di antara 100 Most Influential People of 2015 versi majalah Time berkat ketekunannya mendalami seni beres-beres dan metode merapikan rumah.

Urusan beres-beres dan merapikan rumah selama ini dianggap hal sepele yang tak perlu dipelajari secara khusus. Kenyataannya, menurut Marie Kondo, para “veteran” di bidang mengurus rumah, yakni perempuan 50-an tahun yang rata-rata mengurus rumah sekitar 30-an tahun, kewalahan mengurus rumah karena pendekatan konvensional mereka yang keliru.

Buku ini dapat dilihat sebagai buku yang bersifat praktis, yakni panduan untuk merapikan rumah. Namun, ketekunan, kecermatan, dan kedalaman penelaahan penulisnya yang saat ini berusia sekitar 31 tahun pada bagian tertentu buku ini memperlihatkan sisi yang mendalam, kritis, dan radikal, sehingga mungkin berada pada level yang cukup “filosofis”.

Merapikan rumah, menurut Marie, harus dilakukan secara total dan tuntas dalam satu jangka waktu. Perubahan drastis dan total akan menjadi terapi kejut untuk membentuk pola pikir dan gaya hidup yang rapi. Karena itu, berbenah menuntut tekad dan kesungguhan. Secara praktis, Marie kemudian memberi panduan untuk beres-beres rumah secara tuntas.

Pertama, Marie menerangkan bahwa berbenah itu sebenarnya meliputi dua aktivitas: membuang barang (yang sebenarnya tidak diperlukan) dan menyimpan atau meletakkan barang di tempatnya. Dari pengalamannya sebagai konsultan berbenah, Marie menemukan bahwa kliennya rata-rata menyimpan banyak sekali barang yang sebenarnya sudah tidak digunakan. Seorang klien, misalnya, membuang barang-barangnya hingga 200 kantong sampah bervolume 45 liter.

Ada juga klien yang menumpuk persediaan barang terlalu banyak di rumahnya: tisu toilet hingga 80 gulung, 60 sikat gigi, atau 100 kotak korek kuping yang masing-masing berisi 200 korek kuping.

Klien Marie yang mengoleksi buku banyak yang tak pernah menyentuh dan membaca beberapa bukunya. Saat diminta untuk memilah untuk menentukan buku yang akan dibuang, klien biasanya menjawab: “Siapa tahu saya ingin membacanya kapan-kapan.” Marie menimpali bahwa menurut pengalamannya, yang namanya “kapan-kapan” itu tak akan pernah datang.

Pada tahap membuang ini, terungkap bahwa ternyata orang-orang banyak yang takut akan menghadapi kesulitan hidup gara-gara kekurangan barang. Akhirnya mereka menimbun. Tapi pada giliran berikutnya ternyata timbunan barang itu membuat rumah mereka tidak rapi dan membuat mereka tidak bahagia. Menurut Marie, kita mestinya hanya menyimpan barang-barang yang dapat memberikan kebahagiaan dan membangkitkan kegembiraan.

Menurut Marie, dengan tuntas membuang barang yang sebenarnya tidak diperlukan hingga benar-benar pas sesuai kebutuhan, kita sebenarnya sedang merevitalisasi hubungan kita dengan benda-benda milik kita. Barang-barang yang diabaikan di rumah kita, bagi Marie, adalah barang-barang yang “terpenjara”. Mereka sebenarnya ingin pergi. Dengan membuangnya atau memberikannya pada orang lain, barang-barang itu menghirup udara kebebasan.

Setelah tuntas membuang barang-barang yang tak dibutuhkan, langkah berikutnya adalah disiplin meletakkan barang pada tempatnya. Marie menyarankan agar semua barang di rumah kita harus memiliki tempat yang jelas, tidak tersebar-sebar. Sering kali kita memiliki barang yang tak jelas tempat penyimpanannya sehingga bisa menjadi pangkal kesemrawutan di rumah. Selain kejelasan tempat, disiplin mengembalikan juga penting. Itulah pentingnya “alamat” yang jelas dari barang-barang kita di rumah.

Keajaiban berbenah adalah level kedua yang dipaparkan buku ini. Jika level pertama bersifat praktis, level kedua ini cukup bersifat filosofis. Pada level ini, pertama, kita diajak untuk “memanusiakan” barang-barang kita. Saat melipat baju, kata Marie, kita tidak saja sedang berusaha menghemat tempat penyimpanan pakaian. Ketika melipat baju, kita menyalurkan energi pada pakaian kita, kita juga berdialog, dan berterima kasih atas jasa pakaian kita yang telah menyokong kehidupan kita. Dengan memanusiakan barang-barang itu, kita belajar untuk mengapresiasi dan mensyukuri takdir barang-barang yang telah menjadi bagian dari hidup kita.

Selain itu, berbenah dapat mengantarkan pada pembentukan keterampilan membuat keputusan. Dalam berbenah, kita dilatih untuk membuat keputusan tentang barang yang benar-benar dibutuhkan. Pada saat yang sama, kita dilatih untuk mengikhlaskan barang yang sejatinya kita telantarkan.

Meski bertolak dari hal yang bersifat praktis dan secara eksplisit tak menyebut unsur ideologis yang menjadi landasannya, Marie Kondo dalam buku ini terlihat sedang mempromosikan gaya hidup minimalis atas dasar kesadaran kepedulian akan kelestarian alam. Kehidupan modern yang konsumtif membuat nafsu manusia untuk menumpuk barang kian tak terkendali sehingga kesadaran akan asal-muasal dan nasib barang kita menjadi terabaikan dan terlupakan.

Gaya hidup konsumtif ini tidak saja merusak kelestarian alam. Ia juga merusak kondisi psikologis manusia. Nafsu menumpuk barang nyatanya hanya membuat kita tidak tenang. Menurut beberapa ahli, hidup efisien, yakni hidup secukupnya, juga memberi manfaat psikologis—bukan hanya keuangan.

Lebih dari itu, gaya hidup minimalis yang diusung Marie Kondo dalam buku ini tampak memiliki muatan spiritual yang cukup kental. Jika dirumuskan dalam bahasa agama, mereka yang tak berhasil berbenah bisa saja termasuk orang yang “kufur nikmat”. Selain itu, penimbun barang dapat pula termasuk pada kelompok pemuja barang yang takut kehilangan dan begitu tergantung pada benda-benda duniawi.


Tulisan ini adalah naskah awal tulisan yang dimuat di Harian Jawa Pos, 6 November 2016.


Read More..