Senin, 25 April 2016

Bumi dan Beban Konsumsi


Tujuh miliar manusia saat ini semakin hari semakin terasa membebani bumi. Masalahnya, beban itu bukan semata terkait jumlah penduduk bumi yang terus bertambah. Beban yang mendera sehingga wajah bumi kini menjadi kusut terkait dengan hal yang lain, yakni gaya hidup konsumtif.

Perubahan drastis wajah bumi dicatat oleh Paul Crutzen, seorang ahli kimia dari Belanda, dengan istilah Era Manusia (Antroposen). Istilah ini dibuat untuk menggambarkan zaman ketika dampak kehadiran manusia benar-benar terasa (membebani) bagi bumi. Crutzen mengusulkan bahwa Era Manusia dimulai pada akhir abad ke-18. Ukurannya, sejak saat itu kadar CO2 di bumi meningkat secara teratur (Kolbert, 2011).

Para ilmuwan lainnya mengukur dampak kehadiran manusia dengan rumus IPAT. Dampak kehadiran manusia (Impact) ditentukan oleh jumlah penduduk (Population), tingkat kemakmuran (Affluence), dan perkembangan teknologi (Technology).

Jika dibaca secara cermat, rumus IPAT ini masih memperlihatkan hasrat para ilmuwan untuk menampilkan ilmu sebagai perkakas objektif. Akibatnya, mereka mengabaikan unsur subjektif manusia yang justru berperan besar dalam mengukur dampak kehadiran manusia. Unsur subjektif itu terkait dengan hasrat konsumsi.

Filsuf kontemporer seperti Jean Baudrillard menyatakan bahwa dalam kegiatan konsumsi saat ini ada logika sosial dan logika hasrat. Kegiatan konsumsi tidak hanya urusan pemenuhan kebutuhan belaka. Ia bisa terkait dengan identitas, status, atau pengakuan sosial. Demikian pula, bisa saja hasrat konsumsi ditumbuhkan dari meniru hasrat orang lain (Haryatmoko, 2016: 63-85).

Iklan mendorong kegiatan konsumsi berlebih sehingga salah satu nafsu purba manusia, yakni keserakahan, mendapatkan ruang aktualnya. Kita ingat Mahatma Gandhi pernah menyatakan bahwa ketamakan manusialah yang membuat bumi ini tak cukup untuk memuaskan segelintir manusia.

Namun, mesin hasrat yang menggelora pada diri manusia saat ini tidak datang begitu saja. Dari Herbert Marcuse, penulis buku One-Dimensional Man (1964), kita mengetahui bahwa mekanisme ekonomi kapitalis telah memanipulasi pengertian tentang kebutuhan sehingga manusia dijebak dengan kebutuhan palsu. Dalam masyarakat kapitalis, kata Marcuse, semua segi kehidupan—pendidikan, sosial, kebudayaan, politik, juga agama—diarahkan untuk tujuan keberlangsungan budaya kapitalis yang konsumeristis. Masyarakat dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan alur yang dirancang oleh sistem kapitalis ini.

Sistem kapitalis terus berusaha mendongkrak produktivitas barang yang kemudian dibarengi dengan upaya untuk mendorong konsumsi habis-habisan. Senjata utamanya adalah iklan. Iklan mendorong perilaku konsumsi dengan mengubah definisi sederhana tentang kebutuhan. Iklan diam-diam juga memperkenalkan konsep baru tentang barang yang usang dan ketinggalan (mode) zaman.

Annie Leonard, kritikus fenomena konsumerisme dari Amerika yang membuat video animasi The Story of Stuff (2007), mengutip sebuah data yang menyebutkan bahwa warga Amerika Serikat setiap hari diserbu oleh tiga ribu iklan—Anda berapa? Iklan-iklan inilah yang membuat kehidupan mereka tidak tenang. Mereka didikte untuk terus berbelanja dan mengikuti ritme produksi barang-barang baru yang terus dikampanyekan tiada henti.

Serbuan iklan inilah di antaranya yang membuat nafsu konsumtif kita hampir tak terbendung. Setidaknya ada dua hal yang kemudian hilang dari kesadaran kita dalam aktivitas konsumsi dan menyampah yang dilakukan setiap hari. Pertama, kesadaran bahwa sumber daya alam yang ada di bumi ini bersifat terbatas. Kedua, kesadaran bahwa barang yang kita konsumsi semuanya berasal dari alam dan akan berakhir menjadi sampah.

Kegiatan konsumsi telah benar-benar mengubah wajah bumi. Seorang biolog kelautan, Rachel Carson, pada 1962 menulis buku fenomenal berjudul Silent Spring. Buku itu mencatat kepekaan Carson dalam membaca alam saat musim semi terasa menjadi sepi. Serangga-serangga dan kehidupan liar lainnya terganggu akibat penggunaan pestisida DDT.

Penggunaan pupuk dan bahan-bahan kimia lainnya dalam dunia pertanian saat ini sudah disadari dapat berdampak buruk pada alam. Namun umat manusia saat ini sangatlah sulit untuk menghentikan laju beban berat yang mereka berikan pada alam akibat aktivitas bercocok tanam itu. Apa sebabnya? Di era konsumsi saat ini, pertanian tak hanya dilakukan untuk memberi makan umat manusia, tapi juga untuk peternakan besar-besaran demi menghasilkan daging dan juga untuk bahan bio-solar (BBM).

Menghadapi dorongan hasrat konsumsi yang terus menggempur tiap saat, umat manusia harus terus dibangunkan kesadarannya akan makna kehadirannya yang singkat dan tanggung jawabnya bagi kelestarian alam. Hasrat konsumtif manusia menguat di antaranya karena dia lupa akan kefanaan hidup dan dampak perilakunya bagi alam dan generasi mendatang.

Manusia terus berlari mengejar mimpi kemajuan dan produktivitas melalui proses produksi dan konsumsi yang tiada henti. Pada saat yang sama, manusia lupa bahwa jejak-jejaknya di jalan konsumtif itu sudah terlalu jauh hingga benar-benar membebani bumi.

Butuh revolusi kesadaran yang sifatnya radikal untuk menghentikan jalan kehancuran bumi melalui konsumsi berlebih ini. Ini adalah sebentuk jihad diri, karena lawan sebenarnya yang dihadapi manusia dalam hal ini adalah dirinya sendiri yang berbentuk keserakahan yang tak mengenal batas.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 24 April 2016.


Read More..

Minggu, 24 April 2016

Nasionalisme Kaum Minoritas


Judul buku: Mencari Sila Kelima: Sebuah Surat Cinta untuk Indonesia
Penulis: Audrey Yu Jia Hui
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Oktober 2015
Tebal: xxiv + 162 halaman


Dalam konteks kehidupan kebangsaan, nasionalisme kadang menjadi konsep yang mengawang-awang. Hal ini di antaranya terjadi jika konsep nasionalisme itu tidak pernah direfleksikan dan didialogkan dengan kehidupan konkret para warga. Malah terkadang nasionalisme dijadikan pembenaran untuk tindakan yang melanggar hak individu.

Buku ini adalah suara warga tentang nasionalisme yang sangat patut didengar. Nilai penting buku ini bukan saja karena suara itu berasal dari kelompok minoritas dalam konteks kehidupan kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena selama ini tidak banyak pembahasan tentang nasionalisme yang sifatnya reflektif dengan bertolak dari pengalaman konkret individu warga negara.

Penulis buku ini, Audrey Yu Jia Hui, adalah gadis keturunan Tionghoa dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa. Ia menamatkan S-1 di Amerika Serikat pada usia 16 tahun dan pada saat berumur 10 tahun telah memecahkan rekor MURI untuk skor TOEFL 573.

Namun buku ini bukan tentang kegeniusan Audrey. Buku yang ditulis seperti surat ini menuturkan pengalaman keseharian Audrey yang direfleksikan dalam bingkai nasionalisme. Di antara hal yang direfleksikan adalah masih begitu banyaknya benih prasangka di antara berbagai kelompok masyarakat Indonesia sehingga pergaulan sosial mudah tersulut konflik.

Audrey yang dibesarkan dalam keluarga berkecukupan di Surabaya bercerita tentang prasangka terhadap asisten rumah tangga. Mereka dikesankan bodoh dan tak bisa dipercaya. Akibat prasangka, sisi kemanusiaan pada asisten rumah tangga itu sering tak terlihat, misalnya tentang perjuangan mereka untuk menghidupi keluarganya, kesulitan hidup yang mereka hadapi, dan sebagainya.

Audrey, yang kini bekerja di Changzhou, Tiongkok, bercerita tentang pengalamannya saat bertemu dengan para TKW di penerbangan Hongkong-Surabaya. Saat menyaksikan tingkah para TKW yang memalukan, Audrey merasa terdorong untuk memisahkan identitasnya dengan mereka: bahwa ia berbeda, dan karena itu tak perlu dipedulikan.

Pergulatan eksistensial semacam ini dirasakan Audrey sebagai ujian bagi nasionalisme dan rasa persaudaraannya sebagai sesama warga Indonesia. Dalam momen seperti ini, Audrey tertantang untuk tetap memperlakukan mereka sebagai tóng bāo, yakni sebagai orang yang “lahir dari rahim yang sama”, yakni Indonesia.

Tidak mudah untuk menghadapi prasangka seperti ini, bukan hanya karena prasangka itu begitu telah ditanamkan berulang-ulang tapi juga kadang didukung dengan pembenaran oleh para pemuka agama atau kasusnya beririsan dengan prasangka yang berlatar agama—selain juga prasangka berbasis etnis.

Rasa kebangsaan ini harus dipulihkan dengan pendidikan sejati. Pendidikan sejati akan mengembalikan hati nurani dan status primordial warga negara sebagai manusia. Selain itu, pendidikan sejati juga diharapkan dapat menumbuhkan kasih sayang di antara sesama warga, sebagaimana yang menjadi ruh dan inti pesan agama.

Pada bagian ini, Audrey memberi perbandingan dengan pengalamannya di Tiongkok. Di sana ia melihat proses pendidikan banyak digali dari khazanah lokal, seperti filosofi dan tradisi leluhur.

Audrey juga mengkritik sekolah-sekolah internasional di Indonesia yang menurutnya gagal membangun identitas kebangsaan. Bahkan, murid-murid di sana cenderung menyimpan sikap superior yang pada titik tertentu dapat mengikis rasa persaudaraan kebangsaan.

Sementara itu, di sisi lain, negara tampak gagal membangun identitas dan persaudaraan di antara sesama warga. Padahal Indonesia memiliki filosofi kebangsaan yang luar biasa, yakni Pancasila. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari, banyak pengurus publik yang justru sering mempertunjukkan sikap yang bertentangan dengan Pancasila. Bentuknya banyak yang berupa ketimpangan dan absennya keadilan sosial dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Selain sebagai refleksi kebangsaan, buku ini memperlihatkan tantangan kebangsaan Indonesia di hari depan. Dalam tatanan dunia yang semakin menyatu, Audrey menunjukkan generasi muda bangsa yang mengalami kegalauan dalam merumuskan identitas kebangsaan. Jika semua tinggal diam, ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia.

Buku ini adalah panggilan yang tulus kepada seluruh elemen bangsa untuk lebih membumikan Pancasila.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 24 April 2016.


Read More..

Jumat, 15 April 2016

Pesan Cinta Buku untuk Anak dan Remaja

Judul buku: The Magic Library: Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken
Penulis: Jostein Gaarder dan Klaus Hagerup
Penerbit: Mizan, Bandung
Cetakan: Pertama, Januari 2016
Tebal: 284 halaman
ISBN: 978-979-433-924-4


Jostein Gaarder adalah penulis Norwegia yang karya-karyanya telah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sisi paling menarik dari karya-karyanya adalah bahwa ia mengangkat tokoh anak dan remaja serta memberi nuansa reflektif yang kental.

Dalam karya Gaarder yang ditulis bersama Klaus Hagerup ini, tokoh remaja kembali tampil sebagai pemeran utama. Novel ini mengambil tema yang relatif lebih ringan, bukan dengan bobot filosofis yang cukup berat, yakni tentang dunia kepenulisan dan perbukuan. Cara penyajiannya khas Gaarder: berlapis, mengandung unsur cerita detektif dan misteri, dan ada unsur petualangan yang khas anak-anak dan remaja.

Novel ini berkisah tentang dua saudara sepupu, Berit dan Nils, yang tinggal di kota yang berbeda di Norwegia. Keduanya berkorespondensi dengan menggunakan buku-surat yang mereka kirimkan via pos. Nah, bersamaan dengan awal mereka saling berkirim surat itu, Berit dan Nils mengalami beberapa kejadian aneh yang berhubungan dengan seorang perempuan misterius.

Di sebuah toko buku, perempuan misterius, yang belakangan diketahui bernama Bibbi Bokken itu, membayari buku yang dibeli Nils dan tampak ngiler menyusur dan memandangi buku-buku. Sementara Berit secara tak sengaja menemukan dan membaca surat untuk Bibbi Bokken dari seseorang yang menyinggung soal “perpustakaan ajaib” dan “buku yang akan terbit tahun depan di Norwegia” (hlm. 11-15).

Jadilah kemudian buku-surat Berit dan Nils itu dipenuhi dengan tema peristiwa misterius itu. Semakin tebal misteri yang menyelimuti beberapa kejadian terkait dengan Bibbi Bokken itu, semakin Berit dan Nils diliputi rasa penasaran yang kadang bercampur dengan rasa ketakutan. Ada dugaan bahwa Bibbi Bokken, yang kadang disebut si Nyonya Buku dan si Penyihir Buku, bersama komplotannya sedang mengincar buku-surat Berit dan Nils. Dan itu tampak terbungkus dalam sebuah rencana rahasia berbau konspirasi yang berkaitan dengan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken dan dunia perbukuan di Norwegia.

Yang unik, dan ini khas Gaarder, di sepanjang petualangan bak detektif penuh misteri itu, ada banyak hal menarik yang tersaji ke hadapan pembaca tentang dunia perbukuan dan kepenulisan. Berit dan Nils dalam buku-suratnya berbicara tentang Winnie the Pooh karya A.A. Milne, penulis buku anak-anak dari Swedia Astrid Lindgren, HC Andersen yang masyhur dari Denmark, Anne Frank yang meninggal di usia remaja sebagai korban Perang Dunia II dengan catatan hariannya yang kemudian cukup melegenda, penulis drama dari Norwegia Henrik Ibsen, dan sebagainya (hlm. 36-52).

Surat-surat Berit dan Nils serta alur novel ini juga banyak menyajikan pengenalan tentang dunia perbukuan dan perpustakaan. Misalnya tentang sistem klasifikasi desimal Dewey, yang digunakan untuk memudahkan pengkategorian buku di perpustakaan (hlm. 63-66). Ada juga dialog dan pemaparan tentang sejarah buku dan penerbitan, penemuan mesin cetak yang dikenal dengan Revolusi Gutenberg, teori sastra, teori fiksi, proses kreatif kepengarangan (teori menulis), dan semacamnya (hlm. 215-219).

Novel ini memang tepat dikatakan sebagai “sebuah surat cinta kepada buku dan dunia penulisan”—sebutan yang diberikan oleh sebuah terbitan di Jerman untuk karya ini. Novel ini tampaknya sengaja disusun untuk mempromosikan budaya baca-tulis dan mengenalkan lika-liku dunia kepustakaan dan kepenulisan kepada anak dan remaja.

Strategi tekstual yang dimainkan karya ini cukup kena dan cocok untuk segmen pembaca yang disasar. Alih-alih memaparkan secara kronologis atau sistematis, karya ini justru menyelipkan pesan cinta buku dan menyuguhkan pesona karya-karya dari dunia aksara dalam jalinan kisah misteri petualangan yang menarik dan enak diikuti—sesuai dengan selera kaum remaja dan anak-anak.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 15 April 2016.


Read More..

Minggu, 10 April 2016

Pesan Spiritual dalam Kisah Menawan

Judul buku: Secawan Anggur Cinta: Ajaran-Ajaran Inti Tasawuf dalam Kisah-Kisah
Penulis: Syekh Muzaffer Ozak
Penyunting: Robert Frager, Ph.D.
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, Februari 2016
Tebal: 211 halaman
ISBN: 978-602-1687-86-4


Semua agama membawa pesan spiritual. Bentuk dan polanya bisa berbeda, tapi semangatnya kurang lebih sama.

Dalam Islam, pesan spiritual ini tersampaikan dalam tasawuf. Jalan tasawuf bertujuan mengantar seseorang agar berlaku selaras dengan Tuhan dan mampu bertindak sebagai perpanjangan kehendak-Nya. Buku Secawan Anggur Cinta memaparkan ajaran-ajaran pokok tasawuf. Yang menarik, ajaran inti tasawuf itu dalam buku ini disampaikan dalam kisah-kisah.

Naskah buku ini semula merupakan ceramah dan kuliah yang disampaikan penulisnya, Syekh Muzaffer Ozak, pada rentang tahun 1980 hingga 1985 di Amerika. Penyuntingnya adalah murid Syekh Muzaffer bernama Robert Frager, psikolog lulusan Harvard University dan pendiri Institute of Transpersonal Psychology.

Buku ini memuat 11 bab yang menjelaskan ajaran inti tasawuf, di antaranya tentang cinta, pengenalan diri, berserah diri pada Tuhan, sikap sabar, macammacam godaan, dan sikap murah hati. Menurut Syekh Muzaffer, jika tasawuf adalah upaya untuk menyingkap tabir antara seseorang dan Tuhan, maka jalan sufi tak lain adalah jalan cinta. Langkah awalnya adalah mensyukuri semua pemberian Tuhan (hlm. 29, 41). Dalam menempuh jalan sufi, seseorang harus bisa mengelola bilik batinnya sehingga tidak dikuasai oleh nafsu duniawi.

Tampilan luar kadang menipu. Dikisahkan bahwa ada seorang nelayan miskin yang menjadi guru sufi di kampungnya. Suatu saat, ada salah seorang muridnya yang hendak mengunjungi kota tempat tinggal guru si nelayan sufi tersebut di negeri yang jauh. Si nelayan sufi menyampaikan pesan agar ia mendapatkan nasihat dari gurunya. Murid si nelayan cukup kaget saat tiba di kediaman guru nelayan sufi tersebut.

Tempat tinggalnya sangat mewah dan pakaiannya lebih bagus daripada orang kaya di daerah itu. Murid si nelayan tambah merasa aneh karena Sang Guru memberi nasihat agar si nelayan sufi “jangan terlalu terikat pada dunia.” Pesan itu terasa aneh berhadapan dengan fakta kemewahan yang dilihatnya. Namun nyatanya, si nelayan sufi terkejut saat menerima nasihat itu. Dia mengakui bahwa ternyata selama ini hati dan pikirannya masih sering berpikir tentang dunia.

Saat makan kepala ikan hasil tangkapannya di laut, dia sering berharap menikmati makanan mewah yang jauh lebih nikmat (hlm. 57-60). Cerita ini menegaskan bahwa dalam jalan tasawuf yang lebih penting adalah cara menguasai nafsu yang sering kali begitu tersembunyi. Kisah lainnya mengingatkan tentang betapa godaan iblis kadang begitu sederhana tetapi dampaknya bisa berantai. Suatu saat, iblis protes karena selalu dipersalahkan sebagai yang menyesatkan manusia.

Padahal, kata si iblis, ia kadang hanya melonggarkan pasak seekor domba yang sedang diikat. Namun, gara-gara dilonggarkan, domba itu mengamuk di rumah seseorang. Akibatnya, suami-istri di rumah itu bertengkar hingga bercerai. Pertengkaran pun meluas ke pihak dua keluarga (hlm. 167-169).

Ajaran inti tasawuf yang lain mendorong manusia untuk berbuat baik kepada sesama dengan bermurah hati. Ada kisah-kisah menarik yang diangkat di buku ini untuk menggambarkan sikap murah hati dengan sederhana, seperti senang melayani dan memuliakan tamu, membantu tetangga meski harus menggagalkan rencana untuk naik haji, dan sebagainya (hlm 181-189). Sikap bermurah hati dengan mendahulukan pelayanan kepada orang lain adalah latihan dasar dalam jalan sufi untuk menaklukkan ego yang merusak.

Kisah-kisah dalam buku ini mengangkat cerita bertema sederhana tapi mengilhamkan agar kita dapat mereguk secawan anggur cinta di jalan spiritual yang terjal. Di tengah kehidupan yang cenderung semakin materialistis, kisah-kisah dalam buku ini dapat membantu pembaca untuk menghidupkan dimensi batin dalam dirinya sehingga dapat menerangi jalan hidup yang kian membingungkan dan kadang sulit dicerna nalar.


Tulisan ini dimuat di Harian Koran Sindo, 10 April 2016.

Read More..