Minggu, 31 Januari 2016

Penguatan Potensi Sosial-Budaya Madura di Era MEA


Noam Chomsky, profesor linguistik di MIT, menyatakan bahwa dalam genggaman hegemoni kapitalisme, masyarakat lokal cenderung didorong untuk mengabaikan kekuatan kultural mereka. Dalam How the World Works Chomsky menulis: “Mengosongkan pikiran seseorang dari kemampuan, atau bahkan semangat, untuk mengakses sumber daya kultural merupakan kemenangan terbesar bagi sistem kapitalis.” Saat individu dan masyarakat berpaling dari kekuatan kultural yang dimilikinya, secara perlahan namun pasti globalisasi dan kapitalisme datang menguasai.

Pertanyaannya: apa saja potensi sosial-budaya masyarakat Madura yang penting untuk diperkuat menghadapi tantangan pasar bebas dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)? Pertanyaan ini mendorong kita untuk melihat kembali ke dalam pada apa yang dimiliki dan disadari oleh kita sebagai sebuah entitas budaya. Pertanyaan ini menuntut kita untuk berefleksi.

Sebagai individu, Prof. Mien Ahmad Rifai dalam bukunya, Manusia Madura, mengungkapkan bahwa manusia Madura itu—di antaranya—bersifat sangat individualistis tetapi tidak egois, sangat menekankan ketidaktergantungannya pada orang lain, ulet dan tegar, suka berterus terang, suka bertualang, sangat menghormati tetua dan guru, dan sebagainya.

Dalam nada yang sama, Kuntowijoyo melihat karakter individu orang Madura itu terbentuk oleh ekologi fisik Madura yang gersang, bercurah hujan rendah, dan memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi, sehingga membentuk pola pemukiman yang tersebar dalam kelompok perdusunan kecil dengan hubungan keluarga sebagai faktor pengikatnya. Karena itu, hubungan sosial lebih berpusat pada individu dengan keluarga inti sebagai unit dasarnya. Karakter ini pada satu sisi kemudian membuat sulit terbentuknya solidaritas dalam skala yang lebih luas, seperti solidaritas desa.

Kekuatan kultural masyarakat Madura juga ada pada perjumpaan dan pertaliannya yang erat dengan Islam. Pada sisi tertentu, karakter orang Madura terbentuk secara beririsan dengan ajaran-ajaran Islam. Karakter Islam yang moderat dan lentur yang diperkenalkan kepada masyarakat Madura pada satu sisi mempermudah akulturasi budaya antara Islam dan kebudayaan Madura.

Pesantren di Madura dapat dilihat sebagai salah satu kekuatan kultural yang tidak bisa dipandang remeh. Karakter orang Madura yang umumnya dipandang religius menempatkan pesantren dalam posisi penting.

Namun, pesantren sebagai lembaga pendidikan menghadapi tantangan dalam ikut menyiapkan generasi masa depan masyarakat Madura. Pada titik ini, menarik kiranya untuk mendiskusikan bagaimana peran yang diharapkan masyarakat Madura dari pesantren. Apakah kita berharap bahwa peran pengembangan ilmu dan teknologi juga akan diberikan pada pesantren? Atau pesantren cukup menjadi penjaga moral dan pengilham perubahan? Lebih jauh lagi, bisakah pesantren berperan sebagai fasilitator untuk memperkuat ikatan di antara berbagai elemen kultural lainnya di Madura?

Kenyataannya, di era globalisasi, pesantren juga mengalami perubahan kelembagaan, baik itu berupa semakin beragamnya orientasi keilmuan yang berkembang di kalangan pesantren maupun orientasi formal yang semakin menguat dalam pendidikan pesantren sehingga juga berpotensi mengikis karakter uniknya.

Selain itu, tarikan iklim politik pasca-reformasi juga berpengaruh pada pesantren. Ada kekhawatiran bahwa tarikan pusaran politik yang kian banal dapat menggerogoti wibawa dan otoritas moral pesantren di masyarakat yang pada gilirannya akan menyurutkan potensi transformatif pesantren.


Ruang Publik dan Demokratisasi

Dalam bukunya tentang globalisasi, Anthony Giddens menyarankan penguatan kembali ide-ide demokrasi. Globalisasi yang berpotensi mencipta jurang ketidakadilan harus dikawal dengan memperkuat nilai-nilai demokrasi sosial seperti solidaritas, kesamaan, kebebasan, keamanan, dan juga peran aktif negara.

Bagi masyarakat Madura, demokrasi atau demokratisasi kadang terlihat sebagai sebuah ide yang masih cukup sulit untuk menyatu dengan kehidupan sosial-budaya mereka. Selain karena iklim politik negara yang memang masih bergulat dengan demokrasi, arus reformasi yang kadang terjatuh pada pemujaan berlebihan pada kebebasan semakin mempersulit pelembagaan demokrasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam hal tertentu ada arus balik demokrasi yang terjadi justru di jalur-jalur demokrasi prosedural.

Secara sederhana, demokratisasi adalah peningkatan partisipasi. Ini berarti bahwa berbagai unsur masyarakat memiliki ruang yang cukup leluasa untuk mengemukakan pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan untuk hal-hal terkait kepentingan mereka.

Dengan kerangka seperti ini, ruang publik apakah yang masih tersisa di masyarakat Madura? Krisis ruang publik sebagai salah satu masalah budaya yang dialami masyarakat Madura akan membuat masalah-masalah yang mungkin muncul seiring dengan terbukanya arus persaingan dalam MEA atau proses konstruktif dalam menyusun langkah bersama dalam menghadapi MEA kurang terartikulasikan secara mendalam dan luas.

Ruang publik tradisional, seperti keluarga, yang juga berfungsi sebagai media sosialisasi nilai, menghadapi tantangan yang luar biasa dari derasnya arus informasi sehingga pamor otoritasnya memudar. Demikian pula, kekuatan perkumpulan tradisional baik yang berbasis kesenian maupun keagamaan perlahan juga tampak berkurang.

Pada saat yang sama, ruang publik yang diproduksi dari proses modernisasi, seperti misalnya media massa (baik cetak, elektronik, maupun yang berbasis internet) tampaknya juga masih belum memperlihatkan tanda-tanda untuk menapaki jalan kematangannya. Berbagai keterbatasan, baik dari sudut pengelola maupun dari sisi masyarakat, membuat perkembangan media massa sebagai ruang publik dalam kerangka demokrasi partisipatif tampak masih cukup bermasalah.

Sementara itu, pengurus publik yang diharapkan dapat mengelola berbagai peluang penguatan ruang publik tersebut sering melihat persoalan kemasyarakatan secara dangkal—kurang radikal dan tidak substantif—sehingga langkah-langkah yang diambil memberi dampak yang kurang penting.


Anak Muda dan Masa Depan Madura

Globalisasi dan era pasar bebas tampaknya memang tak dapat ditolak. Perkembangan zaman di berbagai belahan dunia memperlihatkan jalur ke arah itu. Tantangan yang tampak berat dan situasi yang kadang dilematis pada akhirnya menuntut kerja keras dan kerja sama.

Menghadapi itu semua, harapan terbesar tampaknya patut diberikan kepada kaum muda Madura yang saat ini tersebar di berbagai tempat dan menempa diri dalam pengalaman individual mereka masing-masing. Mendengar berbagai potensi dan kreativitas yang ditunjukkan oleh mereka, kita patutlah bersikap optimistis bahwa perlu sedikit sentuhan yang bersifat kolaboratif dan terencana agar potensi anak muda ini dapat lebih menunjukkan dayanya bagi perubahan dan tantangan Madura.

Kita menunggu individu-individu yang tulus dan penuh passion untuk memperkuat optimisme ini, sebagaimana Margaret Mead (1901-1978), seorang antropolog Amerika, menyatakan: “Never depend upon institutions or government to solve any problem. All social movements are founded by, guided by, motivated and seen through by the passion of individuals.”


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 31 Januari 2016. Tulisan ini adalah versi ringkas dari makalah yang disampaikan dalam Sarasehan Kebudayaan Madura dengan tema “Dialektika Sosial Budaya Madura Menyongsong MEA” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan, pada 7 November 2015.


Read More..

Minggu, 17 Januari 2016

"Meradikalkan" Revolusi Mental di Sekolah


Judul buku: Strategi Pendidikan Karakter: Revolusi Mental dalam Lembaga Pendidikan
Penulis: Doni Koesoema A
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: xviii + 158


Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo, pemerintah memperkenalkan istilah ”revolusi mental” yang kurang lebih semangatnya mirip dengan pendidikan karakter. Namun, sejauh mana revolusi mental menjadi konsep yang dapat mengambil peran perubahan yang lebih nyata?

Sejak diluncurkan pada tahun 2010, konsep pendidikan karakter di dunia pendidikan tampaknya belum banyak memberi dampak nyata. Indikatornya bisa terlihat dari masih banyaknya kasus kekerasan di lingkungan sekolah baik yang melibatkan siswa ataupun guru.

Buku ini lahir dari keprihatinan bahwa konsep pendidikan karakter sulit untuk dapat berfungsi transformatif di sekolah karena masih banyak kultur nonedukatif di kalangan pendidik dan pengelola pendidikan. Misalnya kultur teknis, sikap yang terlalu berorientasi praktis dalam melihat pendidikan karakter sehingga mengabaikan hal-hal yang bersifat mendasar terkait dengan visi dan orientasi pendidikan. Akibatnya, pelaku pendidikan terjebak dalam kultur teknis dan tanpa sadar cenderung mengambil posisi sebagai robot yang bekerja hanya dengan berfokus pada petunjuk teknis atau prosedur operasi standar.

Doni Koesoema A, penulis buku ini, mengajak para pendidik dan pengelola pendidikan mencermati aspek mendasar dalam pendidikan karakter. Doni menegaskan bahwa praksis pendidikan memiliki fungsi transformatif bagi individu dan masyarakat. Visi radikal ini harus menjiwai praksis pendidikan karakter di sekolah.

Poin utama buku ini, Doni berusaha menyajikan cara mendesain strategi pendidikan karakter di sekolah sebagai sebuah revolusi mental. Namun, sebelum masuk ke uraian tentang strategi yang bersifat praktis, Doni mengajak pembaca untuk mula-mula membereskan terlebih dahulu aspek mendasar dalam pendidikan karakter. Doni percaya bahwa praksis pendidikan karakter dipandu pemahaman teoretis tentang posisi mendasar guru dan visinya dalam mengabdi di dunia pendidikan.

Lima tahap

Menurut Doni, ada lima tahap yang harus diperhatikan sebagai landasan pengembangan pendidikan karakter di sekolah. Pertama, harus dipastikan bahwa sekolah dapat menjadi lingkungan yang mampu memberikan perlindungan bagi individu sehingga ia merasa nyaman, diterima, dan merasa dihargai. Bagaimanapun, sekolah adalah perpanjangan dari pendidikan dalam keluarga. Komunitas sekolah harus dibentuk sebagai keluarga. Sebagai keluarga, nilai penghormatan, apresiasi, dan partisipasi harus dijunjung tinggi.

Setelah prasyarat lingkungan sekolah yang kondusif terwujud, maka pada tahap kedua sekolah harus mendefinisikan nilai yang akan menjadi prioritas pengembangan. Terkait hal ini, sekolah harus memfasilitasi para warganya untuk mengemukakan gagasannya. Warga sekolah dimaksud bukan hanya guru, melainkan juga petugas satpam, penjaga kantin, petugas kebersihan, dan yang lainnya. Langkah partisipatif ini penting agar semua pihak mampu memahami posisi perannya dalam konteks pendidikan karakter di sekolah.

Pada titik ini Doni mengkritik pemerintah yang dalam rumusan pendidikan karakter menentukan 18 nilai yang wajib diajarkan di sekolah negeri dan mengabaikan partisipasi dan penghargaan pada konteks lokal yang lebih berakar. Tahapan kedua ini selanjutnya dilengkapi dengan menyusun indikator dari nilai prioritas yang menjadi tujuan pengembangan pendidikan karakter. Indikator di sini berfungsi evaluatif sekaligus proyektif.

Setelah dua tahapan ini beres, tahapan ketiga adalah merancang program konkret pendidikan karakter. Menurut Doni, yang penting dipahami adalah bahwa proses penyusunan program pendidikan karakter ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membentuk ”habitus” dari nilai prioritas. Habitus di sini maksudnya nilai moral yang sudah terinternalisasi pada diri individu sehingga sikap yang lahir dari pemahaman nilai itu dilakukan secara spontan dan konsisten.

Agar habitus yang terbentuk dapat tetap stabil, pada tahap berikutnya (keempat) nilai-nilai prioritas itu harus dilembagakan ke dalam sistem sekolah. Ini penting dilakukan untuk memastikan keberlanjutan program pendidikan karakter di sekolah sehingga meski pemimpin atau pengelola sekolah berganti, program pendidikan karakter masih terus berlanjut.

Pada tahapan yang paling akhir (kelima), pendidikan karakter harus senantiasa dievaluasi dan direfleksikan. Nilai-nilai unggulan secara berkala perlu dicermati secara mendalam dan direfleksikan agar nilai-nilai tersebut tidak kehilangan relevansi dan nilai kontekstualnya.

Perspektif radikal

Pemaparan Doni Koesoema dalam buku ini menggunakan perspektif radikal berbasis filsafat. Dengan perspektif radikal, penjelasan tentang strategi pendidikan karakter yang dipaparkan terlihat bercorak kritis sekaligus begitu padu dan sistematis. Pertama, Doni mengkritik berbagai kecenderungan berpikir dangkal dalam praksis pendidikan di Indonesia, termasuk terkait program pendidikan karakter.

Selain itu, sudut pandang radikal yang digunakan Doni menghendaki para praktisi pendidikan terlebih dahulu mengokohkan landasan gagasannya dengan menjelaskan aspek mendasar pendidikan karakter. Setelah itu, tahapan strategi berikutnya harus diikat secara kuat dengan titik tolak landasan pemikiran teoretisnya itu.

Dengan sudut pandang radikal ini, Doni hendak mengembalikan watak humanis dan transformatif pendidikan yang secara nyata terancam oleh cara berpikir pragmatis dan teknis. Bagi Doni, proses pendidikan bukanlah proses mekanis dan teknis karena pelaku dan yang terlibat adalah manusia luhur yang harus dihargai. Kegagalan pendidikan karakter dan revolusi mental berakar dari asumsi teknis yang dangkal.

Selain itu, keunggulan buku ini terletak pada penyajian contoh konkret berbasis pengalaman yang diambil dari keterlibatan Doni saat menjadi guru di Yogyakarta dan Jakarta. Buku ini sangat penting dibaca oleh para guru, pengambil kebijakan di dunia pendidikan, dan siapa pun yang tertarik dengan dunia pendidikan agar pendidikan karakter dan revolusi mental benar-benar berkontribusi bagi perubahan.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 17 Januari 2016.


Read More..

Jumat, 08 Januari 2016

Teladan Spiritual Gus Dur


Judul: Gus Dur: Mengarungi Jagat Spiritual Sang Guru Bangsa
Penulis: Dr. Abdul Wahid Hasan
Penerbit: IRCiSoD, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2015
Tebal: 252 halaman
ISBN: 978-602-255-956-6


Gus Dur adalah sosok multidimensi. Dia seorang kiai, aktivis demokrasi, pemikir, juga budayawan. Namun demikian, menurut Greg Barton, Gus Dur hanya bisa dipahami jika kita mencermati keyakinan religius dan kehidupan batinnya.

Buku ini berusaha menggali sisi spiritualitas Gus Dur. Abdul Wahid Hasan, penulis buku ini, berusaha memotret akar terbentuknya spiritualitas Gus Dur, bentuk pendidikan spiritual yang diperjuangkan Gus Dur, serta strategi pendidikan spiritual yang dijalankan Gus Dur.

Abdul Wahid berasumsi bahwa seluruh visi, tindakan, dan gerakan yang dilakukan Gus Dur bertolak dari pemahaman keagamaan dan spiritualitasnya. Jika melihat biografi kehidupan Gus Dur, tampaklah bahwa benih spiritualitas yang tumbuh dan menjadi landasan orientasi visi hidupnya amatlah jelas. Dibesarkan di lingkungan keluarga berbasis pesantren, Gus Dur mendapatkan teladan pelayanan kepada umat dari lingkungan terdekatnya yang berangkat dari semangat penghayatan keagamaan.

Teladan yang inspirasinya pada tingkat dasar mengacu pada pribadi Muhammad Rasulullah ini melahirkan bentuk pemahaman spiritualitas dengan semangat dakwah transformatif. Prof. Abd. A’la dalam pengantar buku ini membandingkan dengan model spiritualitas yang dihayati oleh Rabiah al-Adawiyah meski berujung pada bentuk ekspresi yang berbeda (hlm. 13).

Menurut penelitian Abdul Wahid dalam karya yang semula merupakan disertasi di UIN Sunan Ampel Surabaya ini, terungkap bahwa sosok Gus Dur mempertunjukkan empat bentuk pendidikan spiritual, yakni spiritual humanis, spiritual inklusif-kosmopolit, spiritual dinamis-progresif, dan spiritual mistikal trans-eksistensial (hlm. 144).

Spiritualitas Gus Dur tiba pada pemahaman bahwa agama sejatinya hadir untuk misi kemanusiaan. Dalam pemahaman ini, pelayanan kepada sesama adalah hal yang sangat penting, termasuk pada kelompok marginal. Tidak heran jika Gus Dur sering hadir di pihak yang lemah, seperti saat membela Inul Daratista atau bahkan menemui Soeharto saat dalam posisi terpojok setelah lengser.

Lebih dari sekadar berorientasi kemanusiaan, spiritualitas Gus Dur menembus batas-batas agama sehingga juga bercorak inklusif-kosmopolit. Dalam pemahaman Gus Dur, Islam adalah agama universal sehingga kehadirannya melampaui batas-batas perbedaan manusia. Dengan cara ini, spiritualitas menjelma sebagai cahaya yang mengayomi dan anti-kekerasan.

Penghayatan personal yang bersifat mistik sebagai bentuk spiritualitas pada sosok Gus Dur juga mendorong sikap dinamis-progresif. Ada yang menyatakan bahwa keberanian dan kepercayaan diri Gus Dur saat mengambil tindakan yang terbilang kontroversial di antaranya terbangun atas pengalaman spiritual yang bersifat mistik setelah ia sering mendatangi makam para wali.

Dalam rentang perjalanan hidupnya, berbagai bentuk penghayatan pendidikan spiritual itu disampaikan Gus Dur dengan beberapa strategi. Menurut penelitian Abdul Wahid, ada tiga strategi yang digunakan Gus Dur, yakni strategi selebritasi, strategi kontroversi, dan strategi imitasi (hlm. 209).

Pertama, Gus Dur tampil sebagai selebriti di media sehingga ia memiliki ruang leluasa untuk menyampaikan visi dan perjuangannya. Kedua, Gus Dur sering melemparkan pernyataan atau menampilkan sikap kontroversial. Menurut Wahid, langkah ini diambil untuk memberi terapi kejut sekaligus mendorong masyarakat untuk berefleksi secara lebih mendalam atas hal-hal yang sebelumnya dianggap rutin dan biasa.

Ketiga, Gus Dur tampil memberi contoh, aksi nyata, dan keteladanan atas penghayatan spiritual yang diyakininya. Ia memberi contoh kesederhanaan, ketulusan, dan sikap kemanusiaannya yang mendalam.

Menurut Abdul Wahid, teladan spiritual Gus Dur, yang oleh Majalah Time pernah disebut sebagai The Spiritual Leader, meneguhkan pesan penting bagi pengembangan pendidikan spiritual yang humanis. Wujudnya berupa pendidikan keagamaan yang terbuka, berbasis moral, berakar di masyarakat, dan menghargai kebijaksanaan lokal (hlm. 228).

Buku ini mengisi kelangkaan kajian atas sosok Gus Dur yang menempatkannya sebagai pribadi unik yang penuh dengan penghayatan spiritualitas. Secara khusus, kajian ini juga bisa memberikan pemahaman yang baik atas salah satu corak penghayatan spiritualitas yang bertumbuh dari kalangan berlatar pesantren. Dari sosok Gus Dur, terbukti bahwa kaum santri tidak bisa dibilang kolot dan jumud.

Pengaruh dan apresiasi terhadap Gus Dur yang sangat kuat di kalangan santri pada khususnya menunjukkan bahwa corak spiritualitas ala Gus Dur bukanlah pandangan pinggiran. Buku ini memberi gambaran yang lebih utuh tentang bagaimana spiritualitas Gus Dur ini dapat berkontribusi lebih nyata bagi bangsa ini.


Versi yang sedikit berbeda dengan tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 8 Januari 2016.


Read More..