Minggu, 06 November 2016

Beres-Beres Rumah dan Gaya Hidup Minimalis


Judul buku: The Life-Changing Magic of Tidying Up: Seni Beres-Beres dan Metode Merapikan ala Jepang
Penulis: Marie Kondo
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2016
Tebal: xviii + 206 halaman
ISBN: 978-602-291-244-6


Tak jarang hal yang dipandang remeh, kecil, dan biasa jika ditekuni dapat melahirkan hal yang luar biasa. Marie Kondo membuktikan hal ini saat namanya masuk di antara 100 Most Influential People of 2015 versi majalah Time berkat ketekunannya mendalami seni beres-beres dan metode merapikan rumah.

Urusan beres-beres dan merapikan rumah selama ini dianggap hal sepele yang tak perlu dipelajari secara khusus. Kenyataannya, menurut Marie Kondo, para “veteran” di bidang mengurus rumah, yakni perempuan 50-an tahun yang rata-rata mengurus rumah sekitar 30-an tahun, kewalahan mengurus rumah karena pendekatan konvensional mereka yang keliru.

Buku ini dapat dilihat sebagai buku yang bersifat praktis, yakni panduan untuk merapikan rumah. Namun, ketekunan, kecermatan, dan kedalaman penelaahan penulisnya yang saat ini berusia sekitar 31 tahun pada bagian tertentu buku ini memperlihatkan sisi yang mendalam, kritis, dan radikal, sehingga mungkin berada pada level yang cukup “filosofis”.

Merapikan rumah, menurut Marie, harus dilakukan secara total dan tuntas dalam satu jangka waktu. Perubahan drastis dan total akan menjadi terapi kejut untuk membentuk pola pikir dan gaya hidup yang rapi. Karena itu, berbenah menuntut tekad dan kesungguhan. Secara praktis, Marie kemudian memberi panduan untuk beres-beres rumah secara tuntas.

Pertama, Marie menerangkan bahwa berbenah itu sebenarnya meliputi dua aktivitas: membuang barang (yang sebenarnya tidak diperlukan) dan menyimpan atau meletakkan barang di tempatnya. Dari pengalamannya sebagai konsultan berbenah, Marie menemukan bahwa kliennya rata-rata menyimpan banyak sekali barang yang sebenarnya sudah tidak digunakan. Seorang klien, misalnya, membuang barang-barangnya hingga 200 kantong sampah bervolume 45 liter.

Ada juga klien yang menumpuk persediaan barang terlalu banyak di rumahnya: tisu toilet hingga 80 gulung, 60 sikat gigi, atau 100 kotak korek kuping yang masing-masing berisi 200 korek kuping.

Klien Marie yang mengoleksi buku banyak yang tak pernah menyentuh dan membaca beberapa bukunya. Saat diminta untuk memilah untuk menentukan buku yang akan dibuang, klien biasanya menjawab: “Siapa tahu saya ingin membacanya kapan-kapan.” Marie menimpali bahwa menurut pengalamannya, yang namanya “kapan-kapan” itu tak akan pernah datang.

Pada tahap membuang ini, terungkap bahwa ternyata orang-orang banyak yang takut akan menghadapi kesulitan hidup gara-gara kekurangan barang. Akhirnya mereka menimbun. Tapi pada giliran berikutnya ternyata timbunan barang itu membuat rumah mereka tidak rapi dan membuat mereka tidak bahagia. Menurut Marie, kita mestinya hanya menyimpan barang-barang yang dapat memberikan kebahagiaan dan membangkitkan kegembiraan.

Menurut Marie, dengan tuntas membuang barang yang sebenarnya tidak diperlukan hingga benar-benar pas sesuai kebutuhan, kita sebenarnya sedang merevitalisasi hubungan kita dengan benda-benda milik kita. Barang-barang yang diabaikan di rumah kita, bagi Marie, adalah barang-barang yang “terpenjara”. Mereka sebenarnya ingin pergi. Dengan membuangnya atau memberikannya pada orang lain, barang-barang itu menghirup udara kebebasan.

Setelah tuntas membuang barang-barang yang tak dibutuhkan, langkah berikutnya adalah disiplin meletakkan barang pada tempatnya. Marie menyarankan agar semua barang di rumah kita harus memiliki tempat yang jelas, tidak tersebar-sebar. Sering kali kita memiliki barang yang tak jelas tempat penyimpanannya sehingga bisa menjadi pangkal kesemrawutan di rumah. Selain kejelasan tempat, disiplin mengembalikan juga penting. Itulah pentingnya “alamat” yang jelas dari barang-barang kita di rumah.

Keajaiban berbenah adalah level kedua yang dipaparkan buku ini. Jika level pertama bersifat praktis, level kedua ini cukup bersifat filosofis. Pada level ini, pertama, kita diajak untuk “memanusiakan” barang-barang kita. Saat melipat baju, kata Marie, kita tidak saja sedang berusaha menghemat tempat penyimpanan pakaian. Ketika melipat baju, kita menyalurkan energi pada pakaian kita, kita juga berdialog, dan berterima kasih atas jasa pakaian kita yang telah menyokong kehidupan kita. Dengan memanusiakan barang-barang itu, kita belajar untuk mengapresiasi dan mensyukuri takdir barang-barang yang telah menjadi bagian dari hidup kita.

Selain itu, berbenah dapat mengantarkan pada pembentukan keterampilan membuat keputusan. Dalam berbenah, kita dilatih untuk membuat keputusan tentang barang yang benar-benar dibutuhkan. Pada saat yang sama, kita dilatih untuk mengikhlaskan barang yang sejatinya kita telantarkan.

Meski bertolak dari hal yang bersifat praktis dan secara eksplisit tak menyebut unsur ideologis yang menjadi landasannya, Marie Kondo dalam buku ini terlihat sedang mempromosikan gaya hidup minimalis atas dasar kesadaran kepedulian akan kelestarian alam. Kehidupan modern yang konsumtif membuat nafsu manusia untuk menumpuk barang kian tak terkendali sehingga kesadaran akan asal-muasal dan nasib barang kita menjadi terabaikan dan terlupakan.

Gaya hidup konsumtif ini tidak saja merusak kelestarian alam. Ia juga merusak kondisi psikologis manusia. Nafsu menumpuk barang nyatanya hanya membuat kita tidak tenang. Menurut beberapa ahli, hidup efisien, yakni hidup secukupnya, juga memberi manfaat psikologis—bukan hanya keuangan.

Lebih dari itu, gaya hidup minimalis yang diusung Marie Kondo dalam buku ini tampak memiliki muatan spiritual yang cukup kental. Jika dirumuskan dalam bahasa agama, mereka yang tak berhasil berbenah bisa saja termasuk orang yang “kufur nikmat”. Selain itu, penimbun barang dapat pula termasuk pada kelompok pemuja barang yang takut kehilangan dan begitu tergantung pada benda-benda duniawi.


Tulisan ini adalah naskah awal tulisan yang dimuat di Harian Jawa Pos, 6 November 2016.


0 komentar: