Minggu, 30 Oktober 2016

Kota dan Potret Keterasingan Manusia


Judul buku: Orang-Orang Bloomington
Penulis: Budi Darma
Penerbit: Noura Books, Jakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Tebal: xiv + 298 halaman
ISBN: 978-602-385-021-1


Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, kota mula-mula merupakan pusat pergerakan kemajuan peradaban manusia. Sejak mengakhiri periode hidup nomaden dan mulai bertani pada sekitar 20.000 tahun yang lalu, manusia membangun kota dan unit-unit peradaban pendukung lainnya. Namun demikian, sebagai fenomena modern, kota ternyata juga menghadirkan potret kehidupan masyarakat yang mengandung kontradiksi.

Ajip Rosidi menggambarkan kontradiksi kota dalam salah satu puisinya yang berjudul “Djembatan Dukuh” (1956). Ajip Rosidi menulis: “...karena antara kita dan kota yang kita tinggali; karena antara rumah dan kita sendiri; tiada lagi hubungan.”

Orhan Pamuk, dalam karya memoarnya yang berjudul Istanbul (2003) menggambarkan kota Istanbul yang mengalami peralihan dari fase Dinasti Utsmani ke era Turki Modern. Pamuk mencatat bahwa dalam proses transisi tersebut ada kemurungan (huzun) yang hadir dalam kehidupan kota masyarakat Istanbul.

Jika Pamuk melihat Istanbul sebagai sebuah fenomena kemasyarakatan dalam konteks sosial, politik, dan kebudayaan yang cukup luas, kumpulan cerpen karya Budi Darma yang berjudul Orang-Orang Bloomington ini merekam fenomena kota modern dari sudut pandang pergulatan individu yang hidup di dalamnya. Pergulatan yang lebih bersifat individual ini pada satu sisi mencoba memperlihatkan cara kota menghadirkan masalah bagi manusia dalam menjalin hubungan dengan sesama.

Tujuh cerpen dalam buku ini mengangkat tujuh potret kehidupan warga kota Bloomington, Indiana, Amerika Serikat, dalam latar paruh kedua tahun 1970-an. Kota Bloomington, tempat Budi Darma menempuh pendidikan jenjang magister dan doktor pada dekade 1970-an, menurut Budi Darma dalam kata pengantar yang termuat dalam versi cetakan Penerbit Sinar Harapan tahun 1980—yang sayangnya tak dapat dibaca pada versi penerbitan ulang ini—“hanya bertindak sebagai sebuah kebetulan.” Bloomington bisa saja digantikan dengan kota lainnya. Dengan demikian, Budi Darma tampaknya memang ingin memperlihatkan fenomena kota dan pergulatan kejiwaan manusia yang bersifat universal.

Bloomington pada akhir dekade 1970-an sebenarnya bukan terbilang kota besar di Amerika Serikat. Penduduknya hanya sekitar 50 ribu jiwa. Namun, cerpen-cerpen dalam antologi ini membuat pembaca bisa merasakan kota Bloomington sebagai fenomena kehidupan modern. Semua cerpen secara khusus menggambarkan kehidupan para tokohnya di apartemen atau tempat kos dengan ciri kehidupan yang individualistis dengan berpijak pada konsep privasi yang cukup ketat. Nomor telepon bukan sesuatu yang biasa diobral kepada orang lain. Hubungan dengan orang lain tidaklah guyub, cukup kaku dan hanya seperlunya.

Lihatlah misalnya cerpen pertama yang berjudul “Laki-Laki Tua Tanpa Nama”. Dalam cerpen ini, tokoh “saya” menjadi lensa untuk memotret kehidupan tetangga kosnya yang misterius: seorang tua yang tak diketahui namanya dan suka membidik-bidikkan pistol ke tanah dari kamarnya di loteng. Cerpen ini menuturkan kisah tokoh saya yang berusaha mengenal lebih dekat sosok misterius ini. Meski oleh induk semangnya sudah diperingatkan untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain, tokoh saya tetap saja berusaha mengejar lelaki tua yang kabarnya veteran Perang Dunia Kedua itu.

Cerita berakhir dengan cukup tragis: si lelaki tua dalam sebuah drama yang singkat ditembak oleh Ny. Nolan, salah satu tetangga yang juga suka berperilaku aneh, yang ternyata menyimpan prasangka buruk pada lelaki tua itu berdasarkan pembicaraan dengan tokoh saya (hlm. 28-32).

Cerpen-cerpen dalam antologi ini mengungkap jalan pikiran tokoh utamanya yang di antaranya banyak suka ikut campur urusan orang, suka usil, merasa kesepian, dan juga dengki dan diliputi prasangka. Cerpen berjudul “Keluarga M” menceritakan kehidupan apartemen dengan tokoh saya yang dirundung kesepian. Di tengah kesepiannya itu, ia tampak begitu iri dengan kehidupan “keluarga M”, suami-istri dengan dua anak yang semua namanya berawalan huruf M. Gara-gara dua anak keluarga M itu membuat beret cat mobilnya, tokoh saya kemudian dikisahkan berusaha untuk mengganggu keluarga M, mulai dari usulan memasang mesin penjual Coca Cola dengan maksud agar dua anak itu suatu saat terkena pecahan botol, hingga pikiran-pikiran jahat bercampur doa agar keluarga M celaka (hlm. 77-83).

Saat keluarga M mengalami kecelakaan dan tokoh saya ingin membantu, keluarga M justru menolak. Sikap tokoh saya yang sering tampak dengki tapi kadang juga iba melihat keluarga M memperlihatkan konflik kejiwaan manusia yang pelik. Sayangnya, dalam cerpen ini, tokoh saya tak berhasil mengatasi kesepiannya dan juga upayanya untuk menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.

Tema serupa juga menjadi pokok pikiran cerpen yang lain, yakni cerpen berjudul “Charles Lebourne” yang menceritakan seorang anak yang secara tak sengaja menemukan ayah yang telah meninggalkan ibunya dan memperlakukan ibunya secara aniaya. Pertemuan tak sengaja di lingkungan apartemen ini mengarah pada pergolakan batin tokoh saya yang ingin membalaskan derita ibunya tapi kadang juga muncul rasa iba melihat penderitaan ayahnya yang sakit-sakitan (hlm. 270-296).

Tujuh cerpen yang masing-masing sedikitnya terdiri dari sekitar 5 ribu kata ini—yang bisa dibilang relatif cukup panjang—ditulis dengan teknik yang baik oleh Budi Darma. Setiap cerpen memperlihatkan keutuhan cerita yang padu. Tak heran jika Budi Darma dianggap sebagai pengarang yang memberi warna baru dalam penulisan prosa di Indonesia.

Ketujuh cerpen dalam buku ini merupakan refleksi atas kondisi kejiwaan manusia modern yang hidup di lingkungan perkotaan. Dalam lingkungan yang cenderung individualistis, beberapa sifat dasar manusia yang luhur seperti belas kasih, rasa empati dan rasa peduli, tertantang oleh arus kehidupan yang juga berpotensi menyuburkan sikap batin negatif. Tak dapat dinafikan bahwa kala karakter negatif itu tumbuh, pada saat yang sama manusia juga bisa merasakan keterasingan, batin yang kosong, dan hidup yang hambar.

Momentum penerbitan kembali cerpen-cerpen Budi Darma, profesor emiritus di Universitas Negeri Surabaya, ini sangatlah tepat. Masyarakat Indonesia saat ini secara perlahan tengah mengalami proses peralihan ke pola kehidupan modern yang cenderung individualistis. Ini terjadi tak hanya di kota. Akibat revolusi teknologi informasi, jiwa kehidupan modern merambah ke mana-mana hingga ke desa.

Penerbitan ulang karya sastra Indonesia bermutu seperti buku ini sangat bernilai bagi pembaca sastra remaja dan belia yang kesulitan untuk mendapatkan buku-buku sastra Indonesia karya penulis terkemuka yang sudah tidak diterbitkan dan sulit didapat.

Kiranya, cerpen-cerpen Budi Darma yang secara berani menelanjangi pikiran-pikiran terdalam manusia-manusia Bloomington sebagai cerminan diri manusia modern ini dapat menjadi pendamping refleksi dalam membaca perubahan zaman dan pergulatan manusia yang hidup di dalamnya. Bisa jadi, di antara tokoh-tokoh yang diangkat dalam kumpulan cerpen ini ada “saya” yang tersembunyi yang diam-diam dengan keakutan masalah kehidupan modern saat ini.


Tulisan ini dimuat di Basabasi.co pada 29 Oktober 2016.

Read More..

Selasa, 25 Oktober 2016

Percik Kecil Sejarah dan Ikatan Tali Kebangsaan


Judul buku: Indonesia Poenja Tjerita: Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Indonesia
Penulis: @SejarahRI
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2016
Tebal: xviii + 226 halaman
ISBN: 978-602-291-238-5


Menyajikan peristiwa sejarah dalam penuturan yang menarik memang menjadi tantangan tersendiri. Sejarah yang identik dengan nama tokoh-tokoh atau tanggal-tanggal terkait peristiwa penting dalam perjalanan bangsa atau masyarakat kerap tersaji secara kering dan datar. Akibatnya, membaca buku sejarah kurang diminati.

Padahal, dalam kerangka kemasyarakatan dan kebangsaan sejarah sangatlah penting sebagai kekuatan kultural untuk memaknai kekinian dan tantangan masa depan.

Buku ini dihimpun dari tulisan-tulisan di media online “Sejarah RI” yang berfokus pada edukasi sejarah Indonesia. Melalui laman SejarahRI.com dan akun twitter @SejarahRI dan juga akun Facebook, Sejarah RI berupaya menyajikan percik sejarah-sejarah kecil atau alternatif atau yang di luar arus utama demi mendapatkan gambar utuh sejarah Indonesia dalam upaya membangun paradigma keindonesiaan (hlm. 221-222).

Membaca buku ini, tampaklah bahwa percik-percik sejarah di luar arus utama memang juga memiliki potensi yang kuat untuk menjadi tiang penyokong persatuan bangsa. Misalnya, di satu bagian, buku ini bercerita tentang perancang lambang Garuda Pancasila, yaitu Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II, putra sulung Sultan Pontianak. Sultan Hamid II ini berdarah Indonesia-Arab.

Pembuatan lambang negara ini mulanya disayembarakan, dan yang masuk “final” adalah karya Sultan Hamid II dan M. Yamin. Namun karya M. Yamin ditolak karena pada gambar yang dia buat ada unsur sinar matahari yang dianggap menunjukkan pengaruh Jepang. Setelah melewati beberapa proses, lambang rancangan Sultan Hamid II diperkenalkan oleh Presiden Soekarno kepada khalayak pada tanggal 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta (hlm. 144-149).

Terkait dunia penerbitan, orang-orang Tionghoa peranakan sejak abad ke-19 telah menerbitkan surat kabar, majalah, dan buku sastra. Mereka menerbitkan karya dalam bahasa Melayu dengan berbagai variasinya. Kemudian pemerintah Hindia Belanda pada 14 September 1908 membentuk Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang nyatanya berperan sangat penting dalam merangsang minat baca masyarakat. Yang diterbitkan komisi ini bukan hanya karya lokal, tapi juga ada terjemahan novel berbahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan juga Arab. Komisi ini pada gilirannya berkembang hingga menjadi lembagai yang dikenal dengan nama Balai Pustaka (hlm. 178-180).

Sebuah tulisan dalam buku ini juga mempersaksikan peran masyarakat luar Jawa, yakni bahwa surat kabar bumiputra yang pertama terbit adalah Warta Berita. Tulisan ini mematahkan pandangan umum yang mengatakan bahwa surat kabar bumiputra pertama adalah Medan Prijaji yang terbit di Bandung pada tahun 1907. Warta Berita ini terbit di Padang pertama kali pada tahun 1901, dengan pemimpin redaksi Datuk Sunan Marajo (hlm. 18-21).

Beberapa tulisan lain mengangkat tema kecil tapi menarik, seperti serba-serbi peristiwa yang menyertai Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, asal-usul lomba panjat pinang, sejarah tahu Sumedang, sejarah rokok kuno di Indonesia, dan lainnya.

Ada juga yang mengangkat keteladanan para pemimpin bangsa, seperti kisah Sultan Hamengkubuwono IX yang memberi tumpangan kepada seorang ibu pedagang beras di Yogyakarta (hlm. 114-115).

Selain gaya bertutur yang renyah, buku ini menarik dan sangat penting untuk dibaca dalam kerangka kehidupan kebangsaan Indonesia. Di tengah berbagai persoalan bangsa dan tantangan zaman yang kian berat, buku ini kiranya mampu untuk menjadi tali pengikat semangat persatuan bangsa.


Tulisan ini adalah naskah awal dari tulisan yang dimuat di Koran Jakarta, 25 Oktober 2016.


Read More..