Kamis, 10 Maret 2016

Membaca Ulang Hukuman Mati

Judul Buku: Menolak Hukuman Mati: Perspektif Intelektual Muda
Editor: Lucia Ratih Kusumadewi dan Gracia Asriningsih
Pengantar: Franz Magnis-Suseno
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2015
Tebal: 222 halaman
ISBN: 978-979-21-4462-8


Hukuman mati adalah hukuman yang kontroversial. Ini terlihat saat seorang narapidana diputuskan akan dihukum mati, masyarakat dari berbagai kalangan ramai berkomentar di media, mulai dari akademisi, ahli hukum, agamawan, pengamat politik, dan masyarakat biasa.

Buku ini menggugat keberadaan hukuman mati dalam sistem hukum di Indonesia. Buku yang ditulis oleh sebelas intelektual muda ini membedah hukuman mati dari perspektif filsafat, sosiologi, psikologi sosial, sejarah, politik, dan budaya. Pandangan umum yang diusung secara tegas oleh para penulis buku ini adalah bahwa sudah waktunya hukuman mati dihapuskan dari segenap sistem hukum kita.

Lucia Ratih Kusumadewi, salah satu penulis sekaligus editor buku ini, menunjukkan bahwa adanya hukuman mati merupakan potret masyarakat yang sakit jiwa. Dalam masyarakat yang sakit, bentuk-bentuk kekerasan termasuk hukuman mati tidak hanya dilegalkan tapi juga dinikmati oleh masyarakat.

Lucia menunjukkan contoh konkretnya saat ia menemukan sebuah foto bocah kecil yang beredar di internet kala kontroversi hukuman mati mencuat di awal tahun 2015. Dalam gambar tersebut, anak kecil itu menyampaikan pesan dalam poster kecil bertuliskan: “Tante Anggun.. Biarkan gembong narkoba MATI”. Lucia merasa miris bahwa anak kecil di negeri ini telah mulai terlibat dalam wacana sadisme.

Dengan meminjam teori tentang masyarakat yang sehat dari Sigmund Freud, Lucia mengusulkan pentingnya penguatan etika biofilia yang menjunjung tinggi nilai kehidupan dan berdasar pada humanisme normatif. Dalam kerangka etika biofilia, ada tiga kondisi sosial yang perlu didorong agar penolakan hukuman mati bisa mendapatkan jalan keluar yang tepat dan manusiawi, yakni penguatan rasa aman, penegakan keadilan, dan jaminan kebebasan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab.

Dari sudut pandang hukum dan politik, terungkap bahwa hukuman mati di Indonesia lebih banyak terkait dengan pertimbangan politik daripada pertimbangan hukum dan keadilan. Benny Hari Juliawan dalam buku ini menyebut hukuman mati sebagai pertunjukan kekuasaan negara. Dalam kilasan sejarah Indonesia, hukuman mati dalam berbagai periode menegaskan hal ini, seperti dalam kasus eksekusi mati Kartosoewirjo pada 1962, operasi penembakan misterius pada 1982-1985, dan sebagainya.

Dilihat dari perspektif grasi dan praktiknya di Indonesia, hukuman mati juga tampak sangat politis. Robertus Robet, pengajar di program sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menganalisis penolakan grasi Presiden Joko Widodo dalam kasus hukuman mati terpidana narkoba tahun 2015 lalu. Menurutnya, keputusan presiden untuk menolak memberikan grasi lebih sebagai sarana yang mudah dan “murah” untuk mendapatkan simpati publik di tengah keterjepitannya akibat kisruh calon kapolri saat itu.

Salah satu argumen yang paling populer untuk mendukung hukuman mati adalah efek jera sehingga diharapkan kejahatan berat serupa tidak akan muncul di masa depan. Untuk mematahkan argumen ini, Poengky Indarti, salah satu penulis dalam buku ini yang juga direktur eksekutif Imparsial, memberikan analisisnya.

Di antara sanggahannya disebutkan bahwa berdasarkan statistik di beberapa negara nyatanya kasus kriminalitas justru ditemukan rendah jumlahnya di tempat yang tak menganut sistem hukuman mati. Selain itu, jika dianalisis karakter kejahatan yang diberi sanksi hukuman mati, ditemukan bahwa ia berada dalam jenis kejahatan yang tidak terpengaruh pada hukuman, yakni dalam kategori instrumental-acts yang bersifat high commitment.

Kontroversi hukuman mati di Indonesia tampaknya memang masih akan panjang ceritanya. Buku ini dapat ditempatkan sebagai upaya untuk membuka ruang diskusi yang lebih terbuka dan kritis atas masalah penting tersebut karena berdasarkan analisis beberapa penulis di buku ini terungkap bahwa hukuman mati selain banyak yang bersifat politis juga banyak melibatkan unsur emosi.

Selain itu, buku ini mengajak kita untuk melihat kasus kejahatan dalam kerangka yang lebih luas, seperti juga dalam kaitannya dengan isu kemiskinan, lemahnya penegakan hukum, dan kecenderungan aparat negara yang korup.


Tulisan ini dimuat di Majalah Gatra, 10-16 Maret 2016.

Read More..