Jumat, 12 Februari 2016

Berkomunikasi dengan Anonim


Pernahkah Anda berkomunikasi dengan seseorang yang tak Anda kenal? Di mana? Seberapa lama? Untuk urusan apa? Bagaimana rasanya?

Saat media komunikasi sekarang semakin beragam dan juga semakin mempermudah kita, beberapa orang kadang melupakan hal-hal yang sebenarnya cukup mendasar dalam berkomunikasi. Bagi saya, komunikasi secara sederhana adalah upaya untuk menjalin hubungan dengan orang lain baik—bisa untuk keperluan yang hanya singkat atau bahkan untuk urusan yang akan berlangsung dalam waktu yang lama. Sebagai sebuah upaya menjalin relasi, tentu saja ada dimensi etis di situ.

Karena itu, menurut saya, hal yang penting dilakukan dalam menjalin komunikasi agar tetap berada dalam kerang etis adalah memperkenalkan diri. Saat hendak berhubungan dengan orang lain, sewajarnya pertama kali kita saling memperkenalkan diri jika memang salah satu atau keduanya belum saling kenal.

Dalam bentuk komunikasi langsung, yakni yang berlangsung secara tatap muka, hal ini mungkin bukan lagi hal yang perlu diingatkan. Tapi seiring dengan semakin bermacamnya media komunikasi, saya sering mengalami berkomunikasi dengan anonim atau dengan entah siapa. Itu bisa terjadi dalam pesan pendek atau sms, panggilan telepon, email, atau di jejaring sosial di internet.

Komunikasi anonim ini terjadi misalnya saat tiba-tiba ada nomor telepon baru yang menelepon dan langsung saja bicara pada poin utamanya. Padahal, saya masih belum kenal orang ini sehingga kadang saya masih butuh waktu untuk berpikir tentang arah atau topik pembicaraan si penelepon dan kaitannya dengan saya.

Ada pula bentuk komunikasi anonim yang lain. Si penelepon atau orang yang sms kadang hanya menyebut kelompok tertentu sehingga identitas spesifik si penelepon menjadi tak begitu jelas. Misalnya: “Saya pengurus xxx, Pak,” katanya di seberang. Ya, saya tahu bahwa xxx itu lembaga atau organisasi yang memang saya kenal. Tapi komunikasi ‘kan pada dasarnya juga bersifat personal meskipun sedang mewakili lembaga atau organisasi.

Dalam jalur komunikasi yang berlangsung di internet, komunikasi anonim cenderung semakin sering saya jumpai. Di Facebook, akun-akun anonim dengan nama organisasi, lembaga, atau perkumpulan, sering saya jumpai. Hal yang membuat saya kesal adalah bila akun-akun semacam itu, termasuk akun email (organisasi/lembaga/perkumpulan), menghubungi saya dan di dalam pesan yang dikirim tak ada nama orang yang mengirim.

Sekali lagi, saya memang sudah tahu lembaga atau organisasi itu. Tapi ‘kan yang mengirim pasti orang, bukan lembaga atau organisasi. Mengapa tidak dicantumkan?

Saya pernah menegur sebuah email yang dikirim dari akun organisasi/perkumpulan yang di situ tak tercantum nama orang yang mengirimkannya. Saya merasa tak nyaman. Komunikasinya terasa tidak manusiawi. Saya seperti berkomunikasi dengan “makhluk halus”. Akhirnya saya menyampaikan unek-unek saya itu. Saya sampaikan bahwa sebaiknya si pengirim mencantumkan nama sehingga saya tahu saat itu sedang berbicara dengan siapa.

Kadang saya terpikir bahwa pengirim email dari akun lembaga atau organisasi atau perkumpulan yang tak mencantumkan nama orang pengirimnya terkesan enggan untuk bertanggung jawab. Bukankah tanggung jawab merupakan salah satu dimensi etis dalam berkomunikasi?

Namun kadang saya tidak berani berpikiran terlalu jauh seperti itu, yakni bahwa si pengirim itu orang yang tak mau bertanggung jawab. Saya berpikir mungkin ini terjadi semata lantaran kekhilafan atau ketidaktahuan saja. Mungkin si pengirim lupa. Atau ini sebentuk sikap awam saat seseorang menggunakan media komunikasi baru dan kesadarannya masih belum menjangkau hal teknis yang ternyata juga terkait dengan dimensi etis itu.

Jadi, pesan moral dari pengalaman saya ini ada dua. Pertama, jika mau berkomunikasi dengan orang yang sekiranya belum mengenal kita, awalilah dengan perkenalan singkat sebelum masuk ke pokok pembicaraan. Kedua, jika menggunakan akun lembaga atau organisasi atau perkumpulan dalam berkomunikasi, jangan lupa untuk mencantumkan nama Anda sebagai orang yang mengirimkan pesan dengan akun tersebut. Kedua hal ini penting untuk mengingatkan kita bahwa ada dimensi etis dalam komunikasi sehari-hari—meski itu sifatnya sederhana—yang semestinya senantiasa kita jaga.

Wallahu a’lam.


0 komentar: