Minggu, 04 Oktober 2015

Teladan Sultan Para Wali

Judul buku: Syekh Abdul Qadir Al-Jailani: Biografi Sultan Para Wali
Editor: Syekh Tosum Bayrak & Saleh Ahmad al-Syami
Penerbit: Zaman, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2015
Tebal: 250 halaman
ISBN: 978-602-1687-49-9


Di kehidupan komunitas muslim Indonesia sehari-hari, nama Syekh Abdul Qadir al-Jailani sangat terkenal. Hal ini tidak saja karena dia adalah pendiri Tarekat Qadiriyah yang punya banyak pengikut di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Syekh Abdul Qadir juga menyandang gelar Sultan Para Wali. Karena itu, di pembukaan acara-acara doa bersama, masyarakat muslim tradisional Indonesia sering tidak lupa untuk turut mendoakan Syekh Abdul Qadir.

Dalam kepercayaan muslim tradisional, para wali (seperti Wali Songo yang sangat populer di Indonesia) dihormati karena mereka dipandang menyandang karamah dan menjadi penghubung silsilah keimanan mereka pada Islam. Lebih dari itu, para wali juga menjadi saluran “penghubung” (wasilah) spiritualitas dan doa pada Allah swt.

Buku ini memuat biografi singkat Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang ditulis oleh Syekh Tosum Bayrak dan Saleh Ahmad al-Syami. Selain biografi, buku ini juga memuat petikan terpilih dari karya-karya al-Jailani.

Al-Jailani hidup hampir persis sezaman dengan Imam al-Ghazali (450-505). Dia dilahirkan di al-Jil atau Jailan yang kini termasuk wilayah Iran pada tahun 470 dan meninggal pada tahun 562 dalam usia 92 tahun (hlm. 16, 71).

Pendidikan keagamaan dan spiritualitasnya diperoleh di Bagdad yang ketika itu menjadi pusat peraban Islam di masa Dinasti Abbasiyah. Al-Jailani tiba di Bagdad ketika ia berusia 18 tahun. Pada saat yang sama, al-Ghazali meninggalkan kota Bagdad di tengah krisis spiritual yang dialaminya.

Ada kisah menarik saat al-Jailani dalam perjalanan ke Bagdad. Dengan bekal harta peninggalan ayahnya yang juga dibagi dengan saudaranya, al-Jailani berangkat ke Bagdad dengan 40 keping emas. Sebelum berangkat, ibunya berpesan agar al-Jailani senantiasa jujur. Nah, di tengah perjalanan, rombongan al-Jailani dicegat oleh perampok. Dengan polos, al-Jailani memberi tahu bahwa ia membawa 40 keping emas di balik bajunya.

Setelah menggeledah dan membuktikan pengakuan al-Jailani, si perampok malah terkejut dan tertegun. Yang luar biasa, para perampok itu justru terilhami untuk bertobat. Oleh para penafsir kisah orang-orang suci, ini disebut sebagai pertanda keberkahan al-Jailani untuk menuntun orang ke jalan kebaikan (hlm. 18-19).

Sebelum memasuki kota Bagdad, al-Jailani dikisahkan dicegat oleh Nabi Khidir dan memberinya jalan pada penempaan spiritual di pinggiran kota Bagdad selama 6 tahun. Setelah lewat 6 tahun, mulailah al-Jailani belajar di Bagdad. Guru spiritual al-Jailani adalah Syekh Hammad ibn Muslim al-Dabbas. Ia juga belajar ilmu-ilmu agama kepada Ali Abul Wafa al-Qayl, Qadhi Abu Sa’id al-Mubarak ibn Ali al-Muharrimi, dan sebagainya. Dari yang terakhir inilah al-Jailani dianugerahi jubah darwis, simbol silsilah spiritualitas yang tersambung ke Nabi (hlm. 27-28).

Saat al-Jailani menerima banyak murid dan menjadi guru ruhani bagi mereka, al-Jailani memberikan teladan spiritual yang luar biasa. Dikisahkan bahwa al-Jailani pernah bertutur tentang dua belas sifat sebagai kriteria guru ruhani sejati. Dua di antaranya adalah menyembunyikan aib manusia dan bersedia memberi maaf untuk orang lain (hlm. 35). Sikap yang sangat lembut ini dilapisi dengan keikhlasan dan tawaduk yang luar biasa sehingga tak heran hingga sekarang banyak orang yang percaya akan keberkahan yang dipancarkan al-Jailani.

Hidup di tengah kota Bagdad yang menjadi pusat kekuasaan tidak membuat al-Jailani menjadi penjilat. Ia dikenal tak pernah berusaha mendekat apalagi berteman dengan penguasa. Dikisahkan bahwa ia tak pernah memberi penghormatan berlebihan pada penguasa yang melebihi penghargaan dan penghormatannya pada orang-orang biasa.

Ini menegaskan sikap para kaum spiritualis yang memandang kehidupan dunia dengan berbagai godaannya, seperti harta, kedudukan atau kekausaan, dan popularitas, sebagai potensi penghalang bagi tersucikannya diri.

Namun demikian, bukan berarti al-Jailani antidunia. Menurut al-Jailani, dunia haruslah dikejar sebagai kebutuhan pokok saja. Kebutuhan terhadap dunia, bagi al-Jailani, hanyalah sebatas bekal orang yang bepergian (hlm. 151). Ini berdasar pada pandangan bahwa dunia hanyalah sementara, sedang tujuan dari perjalanan adalah akhirat.

Al-Jailani memang tidak menulis banyak karya tulis. Ada 3 karya yang disepakati dinisbahkan kepadanya, yakni al-Gunyah, al-Fath al-Rabbani, dan Futuh al-Ghayb (hlm. 80). Namun demikian, al-Jailani penting dan berpengaruh terutama bukan lantaran karyanya tapi karena inspirasi keteladanan dalam hal spiritualitasnya.

Dalam konteks seperti itulah maka buku ini menjadi menarik dan penting untuk dibaca. Teladan orang-orang suci seperti al-Jailani yang memberi keteduhan dalam beragama dan merangkul mereka yang tersesat untuk kembali ke jalan kebaikan sangatlah penting untuk terus disampaikan, agar agama senantiasa tampak sebagai jalan yang memberi terang.


Tulisan ini dimuat di Harian Radar Madura, 4 Oktober 2015.


0 komentar: