Rabu, 08 Juli 2015

Menyoal Batas Barat dan Timur

Judul Buku: Antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi
Penulis: Al Makin, Ph.D.
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: xii + 258 halaman


Dalam konstelasi politik dunia, Barat dan Timur sering berhadapan dalam situasi yang cukup bersitegang atau bahkan berkonflik. Dalam dunia keilmuan, kita juga mengenal orientalisme, yakni bagaimana Barat menulis tentang Timur. Belakangan, muncul juga yang disebut oksidentalisme, yakni Timur menulis tentang Barat. Kedua bidang kajian ini sampai sekarang terus menjadi wilayah akademik yang berkembang di dunia intelektual.

Problem Barat dan Timur dalam kerangka ilmu orientalisme dan oksidentalisme inilah yang dikupas oleh buku ini. Buku yang tampaknya dirancang sebagai buku teks kuliah ini memberikan pemaparan relasi Barat dan Timur sejak era penjajahan hingga era globalisasi. Penulis buku ini, Al Makin, mengampu matakuliah orientalisme dan oksidentalisme di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sejak tahun 2000 (hlm. 3).

Al Makin memulai uraiannya dengan melacak awal mula ketertarikan Barat dalam mengkaji Timur yang dimulai pada era penjajahan. Dengan mengambil fokus pada pengalaman Indonesia, Al Makin memberikan kerangka uraiannya dengan sudut pandang yang khas Michel Foucault yang menempatkan pengetahuan dalam relasi kuasa. Menurut Al Makin, kekuasaan Belanda didukung oleh pengetahuan tentang masyarakat pribumi. Al Makin memberi contoh bagaimana pemahaman mendalam Snouck Hurgronje tentang Aceh dan juga pengetahuan Stamford Raffles tentang masyarakat Jawa dapat dimanfaatkan Belanda untuk kepentingan kekuasaan mereka (hlm. 20, 25).

Orientalisme mulai muncul setelah Barat bertemu Timur melalui penjajahan. Terlepas dari kepentingan kekuasaan, dalam mengkaji Timur para ilmuwan Barat memperlihatkan semangat dan dedikasi yang luar biasa. Kesungguhan ini tidak hanya tampak dalam keseriusan mereka mempelajari teks tapi juga dalam terjun ke lapangan dan meneliti kehidupan masyarakat Indonesia sehingga menghasilkan karya yang sering dikutip. Beberapa ilmuwan Barat yang bisa disebut antara lain Richard Bell, Clifford Geertz, dan William Liddle (hlm. 28-30).

Menyikapi berbagai hasil kajian ilmuwan Barat yang berada dalam lingkup orientalisme ini, masyarakat Timur menurut Al Makin banyak yang salah kaprah. Barat dipandang seolah berniat jahat dan mempelajari Islam untuk kepentingan menghancurkannya. Menurut Al Makin, persepsi semacam ini tidak terbukti secara ilmiah dan cenderung bersifat ideologis dan dibungkus dengan teori konspirasi (hlm. 61, 189).

Pada bagian berikutnya, Al Makin memaparkan pemikiran kaum orientalis mulai dari Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Montgomery Watt, hingga Benedict Anderson. Pada bagian ini Al Makin juga menggarisbawahi bahwa bagaimanapun kajian orientalisme ini telah berkontribusi bagi kajian keislaman (hlm. 131). Demikian juga, kajian kaum orientalis ini cukup beragam. Misalnya, buku Patricia Crone dan Michael Crook, Hagarism (1977), yang menguraikan sejarah Islam memperlihatkan sudut pandang Yahudi, Kristen, Yunani, dan Mesir, sehingga menyulut pro dan kontra. Atas karya ini, sejumlah intelektual Barat sendiri juga menilainya sebagai karya yang tidak cukup kuat argumennya (hlm. 138-144).

Setelah mengulas orientalisme, pemikiran Timur tentang Barat (oksidentalisme) kemudian dipaparkan melalui sudut pandang beberapa tokoh, seperti Hassan Hanafi, Mukti Ali, dan Burhanuddin Daya. Hassan Hanafi merintis sudut pandang dekonstruktif atas mitos Barat yang dipandang merepresentasikan seluruh umat manusia (hlm. 195).

Pada bagian akhir, buku ini mencoba merefleksikan situasi terkini saat batas-batas Barat dan Timur lebur akibat menguatnya globalisasi. Al Makin menyebut hadirnya teknologi internet sebagai faktor yang meleburkan batas-batas Barat dan Timur ini (hlm. 216-218).

Selain sebagai buku teks kuliah, buku ini dapat menjadi bahan refleksi kita bersama dalam melihat identitas ketimuran (dan keislaman) kita. Buku ini mengantarkan kita pada wawasan bahwa saat ini Barat memang dominan, sebagaimana halnya Timur pada masa keemasan Islam pernah juga berjaya di bidang sains. Dengan proses globalisasi, yang lebih penting saat ini adalah proses untuk saling membuka diri, saling belajar, dan saling berkontribusi bagi kemajuan peradaban dunia (global).

Selain kelemahan teknis seperti kalimat-kalimat yang tersusun kurang lengkap dan kadang agak rumit, buku ini memang sedikit terkesan mengagung-agungkan Barat dan relatif kurang memberi kritik tajam terhadap Barat, khususnya tentang eurosentrisme yang masih tampak kental dalam penulisan sejarah seperti yang ditunjukkan oleh Tamim Ansary dalam buku Destiny Disrupted: A History of the World through Islamic Eyes (2009).

Di sisi lain, saat mengulas leburnya batas Barat dan Timur, Al Makin masih lebih banyak mengulas fakta-fakta yang mungkin terkesan dangkal tentang hal ini dan tidak masuk ke soal tatanan sosial, politik, dan budaya global yang juga memperlihatkan dominasi Barat yang masih cukup kuat. Akibat globalisasi, batas Barat dan Timur mungkin memang lebur. Tapi tatanan politik global saat ini masih dalam dominasi Barat.

Al Makin kadang juga kurang cermat mengemukakan argumennya, seperti saat menilai Hassan Hanafi terlalu ambisius dalam melihat Eropa dengan mengemukakan argumen bahwa banyak ilmuwan Barat yang mencoba melihat Barat dari kacamata Timur. Contohnya, kata Al Makin, Carole Hillenbrand yang menulis tentang Perang Salib dari sudut pandang Islam. Padahal, jika kita lihat, kritik Hassan Hanafi dikemukakan dalam karyanya yang terbit tahun 1991 sedang karya Hillenbrand terbit tahun 1999.

Terlepas dari beberapa titik lemah tersebut, kehadiran buku ini patut diapresiasi karena bisa menjadi pengingat untuk merawat ruang dialog peradaban Barat dan Timur.


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 8 Juli 2015.


0 komentar: