Minggu, 24 Mei 2015

Kuburan Peradaban di Balik Ijazah Palsu


Sekitar 10 tahun silam, kasus ijazah palsu terungkap di media. Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) yang memiliki 53 cabang di seluruh Indonesia dilaporkan telah mencetak sekitar sembilan ribu lulusan dengan berbagai gelar, mulai dari PhD, MBA, MSc, bahkan profesor, yang ternyata palsu.

Beberapa hari ini, kasus serupa kembali terungkap. Menristek Dikti, Muhammad Nasir, mendatangi dua kampus di Bekasi dan Jakarta yang diduga kuat menjual ijazah. Di sebuah kampus di Bekasi, dari jumlah lulusan yang mencapai tiga ribu orang, pihak kampus tidak bisa memberikan data identitas para alumninya. Sedang di sebuah kampus di Jakarta yang disidak, ditemukan ijazah yang mencatut nama seorang pejabat di Ditjen Dikti. Sampai kapan kasus ini akan terus muncul di kehidupan kita?

Ada beberapa hal mendasar yang sangat meresahkan dari kasus ijazah palsu ini. Selain memperlihatkan wajah masyarakat kita yang sakit karena gila gelar dan gila hormat, kasus ijazah palsu ini merupakan ancaman serius bagi masa depan peradaban bangsa.

Ancaman serius di balik kasus ijazah palsu ini akan menjadi jelas jika kita menyadari bahwa para pemegang ijazah palsu itu bisa saja kemudian menempati posisi strategis dalam tatanan masyarakat kita: entah menjadi pengurus publik (pejabat), pengajar atau pendidik, atau pelaku bisnis. Bila nyatanya bukti kompetensi mereka yang direpresentasikan dengan ijazah ternyata palsu maka jelaslah dampak turunannya.

Pengurus publik menjalankan tugas pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan bidangnya. Selain visi, kepekaan, dan komitmen, kompetensi yang juga bersifat teknis-operasional juga dibutuhkan dalam menerjemahkan visi dan menjalankan program kerja. Itulah yang di antaranya dibuktikan dengan ijazah.

Ditemukannya kasus ijazah palsu ini menjadi mengkhawatirkan: jangan-jangan beberapa pengurus publik yang menempati posisi strategis juga termasuk konsumen ijazah palsu ini. Sebagai ukuran kompetensi, ijazah palsu bisa juga berarti kompetensi palsu. Pertanyaannya, apa yang bisa diharapkan dari pengurus publik yang ternyata kompetensinya palsu?

Yang juga sangat mengkhawatirkan adalah jika konsumen ijazah palsu ini kemudian berperan sebagai pengajar atau pendidik di sekolah atau perguruan tinggi. Saat kesejahteraan profesi di dunia pendidikan berkat kebijakan sertifikasi guru menjadi semakin baik, banyak orang tertarik untuk terjun di bidang ini. Kasus ijazah palsu ini seharusnya membuat kita jadi benar-benar khawatir: jangan-jangan pengajar atau pendidik di lingkungan kita juga terkait dengan ijazah palsu ini.

Layanan publik dan dunia pendidikan merupakan salah satu ukuran mendasar dalam menakar mutu kehidupan suatu masyarakat dan bangsa. Layanan publik yang tak bermutu akan membuat mutu peradaban masyarakat mandek. Perubahan peradaban ke arah yang lebih baik akan berjalan timpang.

Demikian juga, dunia pendidikan sebagai medan penyiapan generasi masa depan bangsa akan sangat memprihatinkan manakala para pendidiknya ternyata berbekal ijazah palsu. Generasi seperti apa yang akan dihasilkan dari sistem pendidikan yang para pengelola, pengajar dan pendidiknya berijazah palsu?

Coba perhatikan bagaimana negara yang memiliki tingkat pendidikan terbaik di dunia, yakni Finlandia, mengelola pendidikan tinggi di bidang kependidikan. Kunci keberhasilan pendidikan di Finlandia di antaranya terletak pada tingginya persaingan para calon pendidik yang akan masuk di pendidikan tinggi yang menjadi salah satu indikasi keseriusan mereka dalam mengelola program studi keguruan. Leena Krokfoss, Wakil Dekan Fakultas Keguruan University of Helsinki dalam film dokumenter The Finland Phenomenon (2011) menyebutkan bahwa dari 1600 pendaftar di jurusan keguruan, hanya 10% yang diambil.

Penggunaan ijazah palsu dalam kaitannya dengan pengurus publik, tenaga pendidik, dan sebagainya memang masih berupa dugaan dan belum ada data teperinci. Namun, melihat jumlah yang ditemukan Menristek Dikti saat sidak beberapa hari lalu dan data-data serupa dalam 10 tahun terakhir, kita patut khawatir bahwa dugaan tersebut memang nyata.

Saat persaingan dunia global semakin nyata, tak ada toleransi untuk kasus ijazah palsu. Membiarkan kasus ijazah palsu ini tak tertangani secara tegas dan menyeluruh sama halnya dengan menyiapkan kuburan peradaban bangsa.

Pengurus publik dan masyarakat harus kompak untuk mengakhiri tragedi ini. Mentalitas pragmatis yang di antaranya berada di balik fenomena ini harus diputus dengan kebijakan tegas dan pengawasan yang ketat. Langkah mendasar yang menjadi tugas bersama adalah mengingatkan seluruh elemen bangsa ini bahwa ijazah palsu adalah benih awal hancurnya peradaban.

Konsumen potensial harus terus diingatkan ihwal kepalsuan nilai ijazah palsu dan kontribusi mereka pada penghancuran masa depan bangsa. Selain itu, harus ada langkah-langkah objektif di tingkat kebijakan untuk memastikan bahwa ijazah palsu tidak akan lolos bila digunakan untuk posisi-posisi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 24 Mei 2015.


Read More..

Jumat, 22 Mei 2015

Pesona Mulia Sang “Anak Asuh Wahyu”


Judul buku: ‘Ali ibn Abi Thalib: Khalifah Nabi Tercinta
Penulis: Khalid Muhammad Khalid
Penerbit: Mizania, Bandung
Cetakan: Pertama, Desember 2014
Tebal: 196 halaman


Di kalangan umat Islam, sosok ‘Ali ibn Abi Thalib tidak saja menempati posisi penting, tapi juga cukup kontroversial. Disebut penting karena ia adalah sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad saw. Selain itu, ia juga tercatat sebagai anak yang masuk Islam pertama kali. Namun begitu, ia juga cukup kontroversial karena diposisikan sebagai panutan atau imam kelompok syi’ah, golongan yang posisinya selalu menimbulkan perdebatan.

Posisi sulit ‘Ali ibn Abi Thalib menjadi nyata karena ia diangkat sebagai khalifah pada situasi yang genting, saat umat Islam mulai terseret dalam konflik politik yang menceraiberaikan persatuan dan persaudaraan yang telah dibangun mulai dakwah Nabi di Mekah.

Buku ini tidak memaparkan runtutan peristiwa di seputar kehidupan ‘Ali ibn Abi Thalib. Mengikuti alur kronologis kehidupan ‘Ali yang tidak disajikan secara kaku, Khalid Muhammad Khalid berusaha menampilkan “kemuliaan dan kemanusiaan yang tersirat di balik setiap rangkaian peristiwa” (hlm. 9) dalam alur kehidupan ‘Ali.

Buku ini dibagi ke dalam lima bab. Bab yang pertama berusaha menampilkan sosok ayah dan kakek ‘Ali—yang tak lain adalah juga paman dan kakek Nabi Muhammad saw—yakni Abu Thalib dan ‘Abdul Muththalib. Keduanya adalah tokoh terkemuka masyarakat Mekah yang disegani. Setelah menggambarkan beberapa fragmen kehidupan kedua sosok tersebut, Khalid menyimpulkan bahwa ‘Ali mewarisi sifat-sifat mulia dari keduanya, yakni berupa “sifat pantang menyerah, keteguhan dalam memegang pendirian, dan kekuatan dalam akidahnya” (hlm. 32).

Tak berhenti hanya pada kesimpulan ini, Khalid kemudian menguatkan: apalagi ‘Ali mendapat kesempatan untuk berada serumah dan bahkan dididik langsung oleh Nabi Muhammad saw. Maka tentunya karakter yang kemudian mendapatkan landasan keimanan Agama Tauhid tentu akan lebih kuat lagi.

Inilah yang diuraikan Khalid pada bab kedua. Khalid menyebut ‘Ali dengan julukan “Anak Asuh Wahyu”. Hal ini tak lain karena sejak usia 6 tahun ‘Ali sudah tinggal bersama Nabi, dan pada usia 10 tahun telah memeluk agama Islam sehingga ia dikenang sebagai orang yang pertama kali masuk Islam dari golongan anak-anak. Pada tahun-tahun pertama turunnya wahyu, ‘Ali selalu berada di dekat Nabi sehingga hal itu membentuk loyalitasnya secara total terhadap al-Qur’an.

Bab ketiga buku ini berjudul “Seorang Pahlawan dan Kesatria”. Bagian ini menggambarkan sosok ‘Ali yang memiliki semangat juang yang tinggi. ‘Ali digambarkan memiliki karakter prajurit sejati, pahlawan, dan kesatria yang luhur. Di antara kisah yang diangkat pada bab ini berasal dari peristiwa Perang Uhud. Pada waktu itu, ‘Ali memenangi duel bersama Abu Sa’ad ibn Abi Thalhah, salah seorang dari kaum musyrik. Namun, ‘Ali urung menghabisi Abu Sa’ad karena setelah terhempas ke tanah, tiba-tiba pakaian Abu Sa’ad tersingkap dan auratnya kelihatan. ‘Ali tak mau melihat aurat orang lain. Ia memejamkan matanya dan berpaling, lalu kembali ke pasukannya.

Dalam peristiwa Perang Unta, ‘Ali menegur keras dua orang pembesar kaum Anshar yang melemparkan cacian dan makian pada Muawiyah. ‘Ali melarang mereka mencela dan melaknat dan menyarankan agar lebih baik mendoakan pada kebaikan (hlm. 69).

Bagian terpanjang dalam buku ini adalah bab keempat. Bab ini menggambarkan periode kehidupan ‘Ali saat ia diangkat sebagai khalifah. Poin mendasar yang ditekankan adalah rasa akan tanggung jawab atas jabatan yang diemban. Sebagaimana banyak diulas oleh penulis sejarah Islam yang lain, Khalid dalam buku ini menegaskan keikhlasan dan sifat amanah empat khalifah Islam yang pertama (atau khulafaurrasyidin) serta kebersihan hati mereka dari ambisi pribadi dan hasrat atas kekuasaan. Kalaupun ada perselisihan atau perbedaan pandangan mereka dalam hal mengelola pemerintahan, itu bukan karena dorongan hal yang sifatnya duniawi (hlm. 100).

Selain praktik zuhud atau hidup sederhana yang dicontohkan oleh ‘Ali, ‘Ali menekankan visi kepemimpinannya untuk menyatukan umat Islam yang saat itu terpecah belah secara politik. Selain itu, ‘Ali juga mereformasi santunan dana dari Baitul Mal dengan mengembalikannya seperti kebijakan Abu Bakar, yakni dalam menentukan besarannya tak mempertimbangkan siapa yang lebih dulu masuk Islam.

Yang menarik dicatat, meski tampak berusaha netral, di beberapa bagian kita dapat menemukan bagian yang tampak memperlihatkan keberpihakan penulis pada ‘Ali dengan memposisikan Muawiyah serta pada pendukung dan kerabatnya pada posisi yang terkesan kurang baik. Namun begitu, di beberapa bagian yang seperti itu, buku ini kemudian merujukkan sejumlah catatan kaki yang di antaranya mementahkan validitas dasar pandangan penulis—di antaranya banyak bersumber dari penilaian ahli hadits Al-Albani.

Terlepas dari sisi kontroversial tersebut, buku ini menarik untuk dibaca karena bagaimanapun sosok ‘Ali ibn Abi Thalib memiliki posisi yang penting dalam Islam karena kedekatannya dalam banyak hal dengan Nabi Muhammad saw. Hanya memang mungkin untuk hal-hal yang sifatnya kontroversial, pembaca perlu memperkaya dengan rujukan yang lain sebagai penyeimbang.


Tulisan ini dimuat di Harian Kabar Madura, 21 Mei 2015.

Read More..

Selasa, 19 Mei 2015

Mutiara Pencerahan di Balik Kisah Jenaka

Judul buku: Tiada Sufi Tanpa Humor
Penulis: Imam Jamal Rahman
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2015
Tebal: viii + 240 halaman


Masyarakat modern dengan kehidupan yang bernuansa materialistis sering digambarkan mengalami kehampaan makna hidup. Spiritualitas dalam diri mereka mati dan terabaikan. Tasawuf tampil sebagai jalan untuk menghidupkan unsur mendalam pada diri manusia.

Buku ini mengambil sudut pandang yang unik dalam mengajukan tasawuf sebagai langkah reflektif menuju penyucian diri. Buku ini mengemukakan humor sebagai hal yang merupakan dasar kesamaan di antara berbagai aliran sufi yang ada. Menurut penulis buku ini, secara umum kaum sufi sering tertawa. Pada saat yang sama, banyak hikmah-hikmah tasawuf dituturkan melalui tokoh Nasruddin Hoja atau Sang Mullah yang digambarkan sebagai orang bahlul (hlm. 3-5).

Imam Jamal Rahman, penulis buku ini, percaya bahwa campuran antara kejenakaan dan kebahlulan dapat menerbitkan kebijaksanaan. Untuk itu, penulis menghimpun kisah-kisah jenaka yang populer di dunia tasawuf dan kemudian disusun secara tematis dalam buku ini. Ada 48 bab singkat yang terangkum dalam 9 tema besar. Di antaranya tentang kondisi manusia yang fana, perubahan dalam kesadaran, latihan spiritual, dan aktif dalam dunia. Meski sebagian besar kisah-kisahnya fiktif, namun nilai inspiratifnya tak dapat disepelekan.

Saat mengangkat tema tentang cara mengubah diri dalam kerangka spiritualitas, penulis menekankan bahwa spiritualitas adalah pengalaman langsung. Penulis mengangkat kisah seorang anak dokter yang mendapat tugas untuk membersihkan jamban di pondokan sufinya. Karena tahu bahwa jamban penuh dengan penyakit, sang ayah mengirimkan 12 budak Ethiopia untuk menggantikan tugas anaknya. Pada titik ini sang guru sufi memberi pertanyaan retoris: “Jika anakmu terkena radang empedu, apa kau akan memberikan obatnya pada seorang budak Ethiopia?” (hlm. 38-40).

Kisah ini menyinggung orang yang ingin mengubah dirinya tapi hanya berhenti di tingkat pemahaman yang bersifat formal. Padahal, inti perubahan ada pada diri, tepatnya pada pengalaman diri terjun pada jalan perubahan tersebut.

Di tingkat pemahaman pun, bahkan ada orang yang enggan menerima informasi atau pengetahuan yang dirasa akan merugikan bagi dirinya, tapi di saat yang lain dia dengan senang hati akan menerima informasi serupa bila dirasa akan menguntungkan. Inilah yang disebut dengan kebenaran selektif.

Alkisah seorang tetangga Mullah ragu untuk meminjamkan pancinya pada Mullah. Namun setelah dipinjamkan dan kemudian dikembalikan, Mullah memberi dua panci. Mullah bilang, panci itu hamil dan melahirkan saat dipinjamnya. Beberapa bulan kemudian, saat kembali meminjam panci, ternyata Mullah tidak mengembalikan panci itu. Katanya, pancinya meninggal saat proses melahirkan. Si tetangga protes bahwa itu tidak mungkin. Tapi Mullah mempertanyakan mengapa dulu si tetangga percaya bahwa pancinya bisa hamil (hlm. 79).

Perubahan diri sering membutuhkan keteguhan dan kesungguhan. Saat seseorang mengalami perasaan negatif, ego yang terluka perlu berusaha keras untuk keluar dari situasinya. Tapi kadang orang enggan untuk bertahan dalam situasi yang tidak mengenakkan dalam proses perubahan diri. Ini tecermin dalam kisah yang diangkat oleh Rumi tentang seorang pria yang ingin punya tato singa di bahunya. Saat jarum ditusukkan, si pria melolong kesakitan dan bertanya bagian singa mana yang sedang dikerjakan. Saat dijawab bahwa itu adalah bagian ekor, si pria bilang bahwa singanya tak usah ekor saja. Demikian seterusnya hingga akhirnya tato gagal dibuat (hlm. 144-145).

Meski kisah-kisah jenaka dan reflektif dalam buku ini sumbernya beragam dan tidak faktual, di setiap bab penulis buku ini menyajikan kutipan hikmah dari al-Qur’an, hadis, atau aforisme tokoh-tokoh sufi terkemuka terkait tema yang sedang diangkat. Sumber hadisnya diambil dari kitab hadis yang otoritatif. Selain itu, penulis juga memberi panduan praktis bagaimana untuk melatih hal yang terkait tema yang diangkat.

Saat mengangkat tema syukur, misalnya, penulis di antaranya memandu dengan latihan agar kita secara rutin membuat ritual bersyukur sebelum tidur. Kita diajak menghitung kenikmatan apa saja yang sudah diterima dalam satu hari. Melakukan hal ini, menurut guru sufi, sama dengan menciptakan bulu dan sayap pada burung rohani kita untuk terbang menjumpai Tuhan (hlm. 123).

Jika berbicara tentang perubahan diri, pendidikan karakter, atau bahkan revolusi mental, buku ini sangat tepat untuk dinikmati dan dijadikan bahan pengaya dan penuntun menuju perubahan sejati yang nyata.


Versi yang lebih pendek dari tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 19 Mei 2015.

Read More..