Rabu, 29 Januari 2014

Rahmat Allah untuk Jalan ke Surga




Ide penulisan buku ini muncul hampir setahun yang lalu, tepatnya di awal Maret 2013. Saat itu saya baru saja selesai menulis 42 esai al-Qur’an yang diminta oleh Penerbit Al-Mizan, salah satu unit perusahaan PT Mizan Pustaka yang khusus menerbitkan al-Qur’an. Hampir genap dua bulan menulis 42 esai al-Qur’an memberi saya banyak pengalaman berkesan. Secara khusus, saya sangat tertarik dengan gagasan penulisan esai pendek untuk memperkaya pemahaman satu atau serangkaian ayat terpilih dari al-Qur’an yang digagas oleh Al-Mizan.

Setelah penulisan 42 esai al-Qur’an itu rampung, saya tertarik untuk menulis esai-esai al-Qur’an dengan konsep serupa untuk kelompok tema yang berbeda. Saya kemudian mulai memperjelas gagasan saya itu dengan mencoba melihat berbagai kemungkinan. Hal pertama yang harus saya tentukan adalah pilihan tema. Singkat cerita, akhirnya saya memilih tema pernikahan dan keluarga.

Mengapa tema pernikahan dan keluarga? Alasan yang cukup praktis dari sisi perbukuan adalah bahwa saya berpikir jika esai-esai bertema pernikahan dan keluarga ini terbit dalam bentuk sebuah buku mungil, rasanya akan banyak orang yang tertarik karena buku semacam ini di antaranya bisa menjadi kenang-kenangan di acara pernikahan. Tambahan lagi, buku-buku bertema pernikahan dan keluarga belum ada yang mengemas pembahasannya dengan bertolak dari ayat atau kelompok ayat al-Qur’an tertentu.

Selain itu, saya juga punya pikiran yang lebih bersifat personal. Saya juga berpikir bahwa rasanya akan menarik jika di acara pernikahan saya nanti buku semacam ini bisa hadir sebagai kenang-kenangan. Pikiran yang menggoda ini sebenarnya dapat dibilang agak tidak jelas (absurd), karena waktu itu saya belum punya bayangan kapan saya akan menikah dan siapa calon pasangan yang bersedia menikah dengan saya.

Alasan lainnya terkait dengan pokok tema itu sendiri. Ketertarikan saya pada tema pernikahan dan keluarga sebenarnya sudah dimulai sekitar 12 tahun yang lalu, yakni menjelang pertengahan 2002 saat saya baru saja selesai menyunting terjemahan buku karya Khaled M. Abou El Fadl berjudul Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam. Di antara kumpulan esai yang menuturkan semangat intelektual era kejayaan Islam itu, saya menemukan satu esai yang membahas tentang pernikahan. Abou El Fadl, intelektual kelahiran Kuwait yang kini menjadi profesor hukum Islam di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat, itu memberi bingkai menarik tentang pernikahan dengan berlandaskan pada nilai-nilai spiritualitas Islam.

Buku-buku tentang pernikahan dengan sudut pandang Islam sebenarnya kemudian cukup banyak saya temukan. Tapi hingga kini, esai Abou El Fadl yang berjudul “Partnership with God” (Kemitraan dengan Tuhan) itu masih selalu menarik untuk saya baca. Pada tingkat tertentu, ada nuansa mendalam pada esai itu yang tak saya temukan pada tulisan yang lain.

Sudut pandang Islam tentang pernikahan dan keluarga yang relatif lebih mendalam—katakanlah yang lebih filosofis dan memiliki nilai spiritualitas—menurut saya menarik dan penting jika kita melihat pernikahan dan keluarga sebagai sebuah terminal penting dalam rentang hidup seseorang. Saya teringat sebuah kutipan yang ada di salah satu buku terbitan Qanita, lini penerbit Mizan untuk buku-buku bertema perempuan. Kutipan dari Joseph Barth itu kurang lebih berbunyi: “Pernikahan adalah peluang terakhir kita, dan yang terbaik, untuk menjadi dewasa.”

Kutipan ini pada tingkat tertentu mengemukakan peran penting pernikahan dalam perkembangan pribadi seseorang. Kematangan diri seseorang mungkin belum teruji secara lebih utuh jika ia belum menikah. Demikian pula, dari sisi lain, peluang mematangkan diri bagi orang yang masih belum menikah sebenarnya masih terbuka karena kehidupan berkeluarga mungkin dapat mengantarkannya pada tingkat kematangan tertentu.

Selain dari sudut perkembangan (kedewasaan) pribadi, nilai penting pernikahan tampak dalam peran kependidikannya atau fungsi perwarisan nilai-nilai luhur. Melalui berbagai cara, pernikahan atau keluarga dapat menjadi sarana untuk memperluas dan merawat ajaran agama atau pahala kebajikan agar terus mengalir lintas-zaman. Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin misalnya menyebutkan bahwa di antara manfaat pernikahan adalah kehadiran anak (keturunan), yang darinya dapat diberikan kerangka pandang keagamaan. Memiliki anak di antaranya dapat diniatkan agar ia dapat ikut mendoakan kita sebagai orangtua kelak di kemudian hari. Selain itu, lanjut al-Ghazali, pernikahan juga dapat menjadi sarana jihad-diri (mujâhadah al-nafs). Merawat dan mendidik keluarga, membimbing keluarga agar tetap berada dalam petunjuk Allah, mengusahakan nafkah yang halal, dan peran-peran keluarga lainnya yang membutuhkan kegigihan dan kesabaran, semuanya adalah peran-peran yang nilai keutamaannya sangat besar.

Dalam konteks yang agak berbeda, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang pada tingkat tertentu juga menggambarkan keutamaan peran melestarikan generasi dengan memberikan pendidikan yang baik. Hadits dari Abu Sa‘id al-Khudri itu menuturkan sabda Nabi: “Barangsiapa yang menanggung tiga orang anak perempuan, lalu mendidiknya, menikahkannya, dan memperlakukannya dengan baik, maka ia berhak masuk surga.”

Berbagai keutamaan pernikahan dan kehidupan berkeluarga yang dihubungkan dengan agama sebagai titik utama serta janji surga di ujung lainnya memberikan dorongan tersendiri bagi saya untuk menulis esai-esai al-Qur’an ini. Lebih jauh, apa yang saya lakukan dengan menulis esai-esai al-Qur’an bertema pernikahan dan keluarga dalam buku ini mungkin bisa dikatakan sebagai semacam penggalian lebih lanjut tentang bagaimana Islam, khususnya al-Qur’an, memberikan kerangka pandang dan tuntunan tentang pernikahan dan kehidupan berkeluarga.

Sebagai jalan pencarian diri menuju janji surga dari Allah swt, serta dengan kesadaran bahwa al-Qur'an adalah rujukan dan pedoman dasar umat Islam, buku ini diharapkan juga dapat menjadi pengingat untuk sebuah keinginan agar saya dan istri saya pada khususnya dapat senantiasa menjalani kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat sesuai dengan tuntunan al-Qur'an. Selain itu, buku ini juga diharapkan dapat menjadi bagian dari upaya untuk merawat kecintaan pada al-Qur’an, termasuk pula menyebarkan kecintaan itu pada sesama muslim dan mungkin juga generasi mendatang.

Pada akhirnya, buku ini memang tidak hanya dibuat untuk memuaskan keingintahuan saya semata. Ada hal yang sangat istimewa dari buku ini yang pada tahun lalu, saat konsep buku ini muncul di benak saya, sama sekali masih belum terbayang. Hal yang sangat istimewa itu tidak lain adalah seseorang yang sangat istimewa yang mungkin karenanya pula buku ini bisa terbit saat ini.

Rasanya ada kebahagiaan yang berlimpah saat saya menyelesaikan esai al-Qur’an terakhir untuk buku ini. Ide yang tahun lalu masih tampak samar kini bukan hanya menjadi semakin terang. Sesuatu yang jauh lebih bernilai secara pribadi di balik ide itu saat ini juga telah semakin benderang.

Saya berharap ini semua adalah bagian dari rahmat Allah. Selanjutnya, saya juga berharap bahwa limpahan rahmat dari Allah swt ini dapat menjadi pembuka bagi pintu rahmat yang lain. Saya teringat pada firman Allah di surah Annahl [16] ayat 72 yang menggambarkan berbagai bentuk nikmat Allah dalam kehidupan berkeluarga.

Dengan penuh rendah hati dan penuh harap, saya berdoa semoga kehadiran istri saya, Mudifatul Jannah—sesuatu yang sangat istimewa di balik kehadiran buku ini—dapat menjadi seperti kehadiran Khadijah bagi Muhammad al-Mushthafa. Tariq Ramadan, cucu Hasan al-Banna yang kini berdakwah dan berkiprah di Eropa, pernah menulis bahwa dalam pengalaman spiritual Nabi Muhammad, Khadijah adalah “salah satu tanda gamblang tentang limpahan rahmat dan kecintaan Tuhan kepadanya.”

Untuk itulah, maka ucapan terima kasih yang pertama dan utama saya sampaikan kepada Mudifatul Jannah yang telah bersedia memilih hidup berkeluarga bersama saya. Saya juga berterima kasih dan sangat senang karena dia juga bersedia menulis dua esai dan satu tulisan penutup untuk buku ini.

Yang kedua, saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orangtua dan adik-adik saya yang dengan berbagai cara telah mengantarkan saya pada tahap kehidupan saya saat ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada guru-guru saya yang telah membekali saya dengan ilmu yang pasti akan sangat bermanfaat dalam kehidupan saya di dunia dan akhirat. Saya akan selalu berhutang budi kepada mereka semua.

Khusus untuk penerbitan buku ini, saya mengucapkan terima kasih kepada Cak Amar Faishal dari Penerbit Al-Mizan (PT Mizan Pustaka) yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk terlibat dalam penerbitan al-Qur’an yang juga memuat esai-esai saya (yang rencananya akan terbit dalam waktu dekat), yang dari situlah kemudian muncul ide penulisan buku kecil ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Qamaruddin SF dan Muhammad Husnil dari Penerbit Serambi (Penerbit Zaman), Jakarta, yang telah memberi masukan untuk konsep awal buku ini. Saya juga berterima kasih kepada beberapa sahabat yang telah memberi masukan pada naskah awal tulisan ini setelah saya tayangkan di blog pribadi saya. Tak lupa saya juga berterima kasih kepada Fahmi yang telah membantu teknis pencetakan buku ini.

Terakhir, saya mohon maaf jika ada hal yang tak sempurna dalam buku ini. Saya sadar sepenuhnya bahwa saya tak punya latar belakang akademik di bidang tafsir atau studi al-Qur’an. Bahkan latar belakang akademik saya di luar bidang keagamaan.

Selain itu, keterbatasan waktu, bahan rujukan, dan teknis lainnya juga membuat proses penulisan buku ini menjadi kurang ideal. Jika disederhanakan, proses penyusunan buku ini memakan waktu sekitar dua minggu. Kami sebenarnya ingin menulis lebih baik. Di beberapa bagian, kami melihat peluang untuk ulasan yang lebih mendalam. Namun, karena berbagai keterbatasan itu, maka misalnya, ada beberapa ayat pernikahan dan keluarga yang tidak dibahas dalam buku ini. Karena itu, kami terbuka untuk berbagai kritik dan masukan yang insya Allah akan dapat menyempurnakan buku ini.

Semoga Allah meridai kehadiran buku ini dan pilihan saya untuk menjalani kehidupan berkeluarga bersama Mudifatul Jannah.

Wa mâ tawfîq illâ bi l-Lâh.


Tulisan ini adalah kata pengantar untuk buku Jalan ke Surga: Esai-Esai al-Qur'an tentang Pernikahan dan Keluarga. Buku ini ditulis bersama Mudifatul Jannah dan diterbitkan sendiri untuk kenang-kenangan syukuran pernikahan saya dengan Mudifatul Jannah, 10 Februari 2014 mendatang.


Baca juga:
>> 42 Esai al-Qur'an
>> Peduli Keluarga, Peduli Masyarakat
>> Tegas dalam Mendidik Keluarga
>> Pesan Moral al-Qur'an untuk Menghargai Perempuan
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


Read More..

Senin, 27 Januari 2014

Peduli Keluarga, Peduli Masyarakat



Dan mereka (hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah itu) senantiasa berkata: “Tuhan Pemelihara kami, anugerahkanlah untuk kami, dari pasangan-pasangan kami serta keturunan kami, penyejuk mata (kami) dan jadikanlah kami teladan bagi orang-orang yang bertakwa." - Q., s. al-Furqan [25]: 74


Doa yang dibaca seseorang menggambarkan sosok kepribadiannya. Diceritakan bahwa saat dizalimi oleh kaum kafir, Nabi Muhammad saw. berdoa: “Ya Allah, berilah petunjuk pada kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui.” Doa ini menggambarkan kelembutan akhlak Nabi bahkan terhadap orang yang menyakitinya sekaligus juga memperlihatkan kecintaan Nabi yang besar pada umatnya.

Ayat di atas, yakni surah al-Furqan ayat 74, memuat kutipan doa yang cukup populer di kalangan umat Islam. Doa yang cukup singkat ini berisi permohonan kepada Allah untuk mendapatkan pasangan hidup dan keturunan yang dapat menyejukkan hati dan pandangan kita serta agar seluruh anggota keluarga dapat menjadi teladan bagi orang yang bertakwa.

Al-Qurthubi menjelaskan ungkapan “penyejuk mata” (qurrota a‘yun) dalam ayat ini dengan mengatakan bahwa berdasar asal makna katanya, “qurrah” berarti “dingin” (al-bard). Orang Arab pada umumnya merasa tidak nyaman dengan hawa yang panas di daerah mereka dan merasa senang dengan hawa dingin. Menurut M. Quraish Shihab, beberapa ulama mengemukakan bahwa dalam masyarakat Arab, air mata yang dingin itu menunjukkan kegembiraan, sedang air mata yang hangat menunjukkan kesedihan. Konon, dahulu ini dijadikan patokan saat seorang lelaki melamar seorang perempuan: jika air mata si perempuan ternyata dingin, berarti dia gembira dengan lamaran si lelaki. Sedang jika hangat, berarti si perempuan bersedih atau tidak suka dengan lamaran si lelaki.

Ulama-ulama tafsir menjelaskan makna “penyejuk mata” (qurrota a‘yun) ini dengan menggambarkan pasangan dan keturunan yang berperilaku baik, taat menjalankan perintah agama, dan menjaga diri dari perilaku tidak baik. Anggota keluarga yang demikian ini tentu akan menyejukkan hati karena tidak merepotkan dan menjadi biang masalah dalam keluarga atau masyarakat.

Doa agar pasangan dan keturunan kita dapat menjadi orang yang saleh di satu sisi menunjukkan semangat untuk merawat ketersambungan ibadah atau amal kebaikan lainnya. Kebajikan diharapkan tidak hanya berhenti pada diri orang yang berdoa itu, tapi juga bisa tersambung pada keluarga dan keturunannya. Ini sangat cocok dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Hadis tersebut menuturkan penjelasan Nabi bahwa amal manusia itu semuanya terputus saat ia meninggal dunia. Namun ada tiga amal yang masih akan menambah catatan amal kebaikannya meski ia sudah meninggal: sedekah jariah, ilmu yang diambil manfaatnya, dan anak saleh yang mendoakan orangtuanya.

Doa dalam ayat ini juga memuat permohonan agar anggota keluarga kita dapat menjadi teladan (imâm) orang-orang yang bertakwa. Permohonan ini pada tingkat tertentu mengandung semangat dakwah. Doa ini menggambarkan keinginan si pemohon agar dia dan anggota keluarganya dapat menjadi contoh dan pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Quraish Shihab menerangkan kata “imâm” yang digunakan dalam ayat ini. Menurut Quraish, kata “imâm” diambil dari kata “amma-yaummu” yang berarti “menuju, menumpu, meneladani”. Kata “umm” yang berarti “ibu” masih satu akar kata dengan kata “imâm” yang secara umum diartikan “pemimpin” ini. Jadi, menurut Quraish, dari asal usul kata ini kita dapat memahami bahwa pemimpin itu seharusnya menjadi tumpuan dan teladan bagi orang lain. Mungkin atas dasar inilah Ibrahim al-Nakha’i memahami potongan doa kedua ini bahwa yang diminta bukanlah kepemimpinan (riyâsah), tapi keteladanan (qudwah).

Sebagian ulama menerangkan bahwa potongan doa yang kedua ini menunjukkan bahwa Islam mendorong umatnya untuk tertarik dan berusaha berperan sebagai pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Doa yang tercantum dalam ayat ini sebenarnya merupakan rangkaian penjelasan Allah tentang ciri-ciri ‘ibâdurrahmân (hamba Allah Yang Maha Pemurah) yang untuk mereka dijanjikan tempat yang tinggi di surga. Rangkaian penjelasannya yang dimulai dari ayat 63 oleh Wahbah al-Zuhayli kemudian dirangkum dengan menguraikan 11 ciri ‘ibâdurrahmân ini. Ayat yang memuat doa di atas menurut Wahbah menunjukkan ciri ‘ibâdurrahmân yang terakhir.

Menutup ciri-ciri ‘ibâdurrahmân dalam rangkaian ayat tersebut, doa yang termuat dalam ayat di atas ini menunjukkan bahwa sosok ‘ibâdurrahmân tak hanya memiliki kualitas kesalehan yang bersifat pribadi berupa taat beribadah, konsisten menjauhi larangan agama, dan semacamnya. Ia juga dicirikan dengan sikap peduli pada keluarga dan masyarakat. Ia tidak hanya khusyuk sendiri dalam beribadah, tapi juga ingat, berusaha, dan menaruh harapan yang besar pada anggota keluarganya yang lain agar dapat juga taat kepada Allah, teguh pendirian dalam menyebar kebajikan, dan menjadi teladan.

Doa ini memberikan kerangka pandang yang sangat penting dalam meletakkan keluarga dan masyarakat dalam kehidupan beragama dan juga berkeluarga. Ia tampak ingin menegaskan bahwa pribadi yang baik harus juga memiliki sisi kepedulian sosial. Tuntunan ini sebenarnya akan menjadi lebih jelas dan nyata jika kita berkaca pada teladan kehidupan Nabi Muhammad saw.

Wallahua‘lam.



Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf Annawawi, Riyadlus Shalihin, Alharamayn, t.t., 2005.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Tegas dalam Mendidik Keluarga
>> Pesan Moral al-Qur'an untuk Menghargai Perempuan
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


Read More..

Sabtu, 25 Januari 2014

Tegas dalam Mendidik Keluarga


Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Di atasnya (yaitu yang menjaga neraka adalah) malaikat-malaikat yang kasar (hati dan perlakuannya), keras (dalam menyiksa), dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan mereka (senantiasa) mengerjakan apa yang diperintahkan - Q., s. Attahrim [66]: 6


Penanaman ajaran dan nilai-nilai keagamaan baik yang bersifat personal maupun sosial akan lebih mudah dilakukan bila bermula dari rumah. Keluarga adalah unit sosial terkecil yang berperan besar dalam menjalankan fungsi pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat. Kehancuran suatu kelompok masyarakat dapat berawal dari terkikisnya peran pendidikan keluarga yang di antaranya tergambar dari ketakpedulian para anggotanya terhadap anggota keluarga lainnya.

Ayat ini menegaskan kewajiban kita untuk menjaga diri dengan memastikan bahwa diri kita dan keluarga kita tidak melakukan pelanggaran nilai dan norma agama yang kelak dapat mengantar ke dalam kobaran api neraka. Secara lebih khusus Ibn ‘Asyur menulis bahwa ayat ini mengingatkan kita agar kecintaan kita pada anggota keluarga jangan sampai menghalangi kita untuk memberikan teguran atau peringatan atau nasihat kepadanya saat ia berbuat salah dengan melanggar nilai dan norma agama.

Terkadang, demi menyenangkan salah satu anggota keluarga kita, kita tidak tegas dalam mengingatkannya. Kita tidak mengacuhkannya. Bahkan, kadang tanpa sadar kita juga terikut pada perbuatan yang tidak benar itu.

Peringatan untuk menjaga keluarga agar tidak keluar dari nilai dan norma agama yang ditegaskan ayat ini tidak berdiri sendiri tanpa latar keadaan tertentu. Jika melihat pada lima ayat sebelumnya yang menjadi pembuka surah Attahrim ini dan cukup terkait dengan ayat ini, maka dalam kitab-kitab tafsir dikemukakan bahwa kelima ayat tersebut menuturkan satu peristiwa sekaligus turun sebagai peringatan Allah atas sikap Nabi saw. yang berjanji untuk tidak melakukan sesuatu demi menyenangkan salah seorang istrinya yang sedang cemburu.

Alkisah, suatu saat Hafshah dan ‘Aisyah diliputi rasa cemburu pada salah seorang istri Nabi, Zaynab binti Jahsy. Penyebabnya, suatu hari Nabi minum madu dan tinggal relatif lama bersama Zaynab. Kebetulan setelah itu Nabi kemudian masuk ke rumah Hafshah, dan Hafshah mencoba mengelabui Nabi dengan mengatakan bahwa dia mencium aroma kurang sedap dari mulut beliau. Singkat cerita, dengan niat untuk menghibur Hafshah, pada akhirnya Nabi berjanji untuk tidak meneguk madu lagi. Sebagai tambahan, Nabi menyampaikan kepada Hafshah agar tidak menyampaikan hal ini kepada ‘Aisyah karena khawatir akan timbul persoalan lain.

Namun ternyata Hafshah membocorkannya kepada ‘Aisyah. Nabi akhirnya mendapatkan informasi soal kebocoran ini dari Allah. Beliau marah dan menurut satu riwayat memisahkan diri dari istri-istrinya selama satu bulan.

Ayat keenam ini, yang merupakan kelanjutan dari rangkaian ayat yang menerangkan peristiwa masalah Nabi dengan Hafshah, memberikan pesan kepada Nabi dan kita semua untuk bersikap tegas dalam menjaga seluruh anggota keluarga agar tetap berada dalam garis norma agama. Nasihat, peringatan, dan petunjuk, haruslah diberikan jika ada anggota keluarga yang berperilaku di luar ajaran agama.

Ilustrasi yang disajikan dalam kitab-kitab tafsir klasik bisa berupa ketegasan dalam mengingatkan pelaksanaan kewajiban agama. Dalam hal ini, dikutiplah sebuah riwayat, bahwa Nabi saw. bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu untuk shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.”

Gambaran yang lain dapat berupa dorongan untuk melakukan ibadah atau kebajikan. Sebuah riwayat menuturkan bahwa Nabi bersabda: “Allah mengasihi seorang lelaki yang terjaga di malam hari lalu bershalat dan kemudian membangunkan keluarganya. Jika tidak mau bangun, ia lalu memercikkan air ke wajah keluarganya. Allah mengasihi seorang perempuan yang terjaga di malam hari lalu bershalat dan kemudian membangunkan keluarganya. Jika tidak mau bangun, ia lalu memercikkan air ke wajah keluarganya.”

Sikap tegas dalam mendidik anggota keluarga ini jika dicermati menunjukkan satu kerangka landasan kehidupan berkeluarga untuk menjadikan nilai dan norma agama sebagai rujukan utama dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Masalah apa pun yang dihadapi dalam keluarga mestilah diselesaikan berdasarkan petunjuk dan arahan agama. Sekali lagi, ini menegaskan bahwa kehidupan keluarga semestinya memang diletakkan dalam kerangka “kemitraan dengan Tuhan”, yakni dengan menempatkan Allah dalam puncak segitiga kemitraan bersama pasangan (suami/istri).

Bagaimana pendidikan dalam keluarga dilakukan? Ayat ini mengajarkan tiga nilai mendasar yang terangkum dalam tiga kata kunci: peduli, tegas, dan menghargai. Pertama, harus ada sikap peduli pada anggota keluarga. Elie Wiesel, penerima Nobel Perdamaian tahun 1986 pernah menulis: “Lawan dari cinta itu bukan kebencian, tapi sikap tidak acuh.”

Rasa peduli ini tentu terkait erat dengan rasa tanggung jawab dan kebersamaan. Tanggung jawab ini kelak pasti akan menjadi salah satu bagian yang akan ditagih dan diperhitungkan di Hari Akhir. Sebuah hadis sahih meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya akan kepemimpinannya. Seorang pemimpin masyarakat akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban.”

Kata kunci kedua, tegas. Sikap tegas dalam mendidik ini dapat tergambar dari kisah Nabi dan Hafshah di atas. Sikap tegas bisa dilihat sebagai bentuk keberanian dan kemampuan untuk mengatasi subjektivitas emosi atau perasaan yang terkadang dapat melunturkan komitmen seseorang pada kerangka dasar pernikahan sebagai “kemitraan dengan Tuhan”. Dalam kejadian di atas, tampak bahwa Nabi pun dapat tergelincir pada sikap yang keliru sampai-sampai mengharamkan hal tidak dilarang oleh agama (minum madu) hanya demi menyenangkan istri beliau. (Inilah latar peristiwa mengapa surah ini diberi nama “Attahrim” yang berarti “mengharamkan”).

Nilai ketiga, menghargai. Dalam ayat ketiga surah ini, al-Qur’an mengajarkan bahwa teguran kepada anggota keluarga haruslah disampaikan dengan cara yang penuh penghargaan, yakni dengan tidak menyebutkan nama orang yang bersalah di depan umum. Ayat ketiga surah Attahrim ini tidak secara khusus menyebutkan nama istri Nabi yang terlibat dalam masalah tersebut. Dikisahkan bahwa salah seorang sahabat Nabi yang juga penafsir al-Qur’an, Ibn ‘Abbas, tak kunjung mengetahui siapa yang dimaksud oleh ayat tersebut hingga sekitar setahun kemudian dari turunnya ayat ini ‘Umar bin al-Khaththab memberitahukannya tentang siapa yang dimaksud ayat itu.

Terakhir, penting untuk disampaikan bahwa perintah al-Qur’an tentang kerangka nilai pendidikan dalam keluarga ini tidak semata-mata ditujukan kepada laki-laki sebagai pemimpin keluarga. Meskipun redaksi ayat ini menunjuk kepada laki-laki, tetapi subjek yang dimaksud ayat ini bukan hanya laki-laki melainkan juga perempuan. Susunan redaksi serupa digunakan al-Qur’an dalam menuturkan perintah puasa. Poin ini juga perlu disampaikan karena sudut pandang ini akan menegaskan kembali status kemitraan dalam kehidupan berkeluarga.

Wallahua‘lam.


Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

‘A’isyah Bintusy-Syathi’, Istri-Istri Nabi saw, Pustaka Hidayah, Bandung, Cet. II, 2004.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Pesan Moral al-Qur'an untuk Menghargai Perempuan
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


Read More..

Kamis, 23 Januari 2014

Pesan Moral al-Qur’an untuk Menghargai Perempuan


Hai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mempusakai (harta atau diri) wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena (kamu) hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya (berupa maskawin atau mengambil warisan dari bekas suaminya), kecuali apabila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata (maka kamu boleh mengambil sebagian dari harta itu dengan menuntut cerai). Dan bergaullah dengan mereka secara ma‘ruf (patut). Selanjutnya apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah dan jangan terburu-buru menceraikannya) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Dan jika kamu (suami) ingin mengganti pasangan (istri) dengan pasangan yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (berupa maskawin), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan (melakukan) tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sungguh sebagian kamu telah bergaul luas (sebagai suami-istri) dengan sebagian yang lain. Dan mereka (istri-istri) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (untuk hidup bersama dan saling menjaga rahasia).

Q., s. Annisa’ [4]: 19-21


Pada saat Islam datang, cukup banyak tradisi masyarakat Arab jahiliyah yang tidak menghargai kaum perempuan. Misalnya, ada praktik pertukaran pasangan (nikah al-badal). Ada juga praktik mengizinkan istri yang baru tuntas dari menstruasi untuk “dihubungi” oleh lelaki yang dinilai punya bibit unggul. Praktik-praktik ini dipandang sebagai praktik yang sah.

Perlakukan semena-mena pada perempuan juga terdapat dalam masalah hubungan dalam keluarga. Dalam masyarakat Arab jahiliyah sebelum Islam, bila ada seorang suami meninggal, maka istrinya dianggap milik atau harta warisan untuk anak tiri atau keluarga si suami. Si anak tiri atau keluarga si suami dapat menikahi si perempuan tanpa mahar. Jika pun tidak hendak menikahinya, si anak tiri atau keluarga si suami dapat melarang si istri untuk menikah dengan motif keuntungan materi.

Praktik ini memang tidak direstui oleh kebanyakan masyarakat jahiliyah sehingga oleh mereka disebut nikah al-maqt (pernikahan yang dimurkai). Praktik seperti inilah yang ditegaskan pelarangannya oleh ayat ini. Demikian pula, ayat ini melarang untuk mengambil sebagian maskawin kecuali jika si istri memang terbukti berbuat keji (berzina).

Di samping menegaskan sikap Islam terhadap praktik masyarakat jahiliyah, tiga ayat ini pada dasarnya memang mengatur aspek hukum (fikih) dalam keluarga yang mengalami konflik (perceraian). Wahbah al-Zuhayli menyimpulkan bahwa ketiga ayat ini menegaskan empat ketentuan. Pertama, perempuan tidak boleh dijadikan barang warisan. Kedua, perempuan yang baru ditinggal suaminya tidak boleh dihalang-halangi atau dipersulit untuk menikah kembali. Ketiga, suami harus bergaul dengan istrinya secara patut. Keempat, perempuan harus mendapatkan maskawin secara utuh.

Di balik keempat hal yang disebutkan oleh Wahbah ini yang juga diulas oleh ulama-ulama tafsir lainnya, terdapat beberapa pesan moral Islam untuk menghargai perempuan, khususnya dalam hal kehidupan berkeluarga. Pertama, perempuan harus dipandang sebagai pribadi yang utuh yang juga memiliki harga diri yang sama dengan laki-laki. Ia bukanlah serupa barang atau harta yang dapat diwariskan begitu rupa sebagaimana dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah. Ia adalah seorang pribadi yang juga memiliki kehendak dan bisa membuat keputusan atas masa depan dirinya.

Jika kita coba mempertemukan pesan moral al-Qur’an dengan kerangka pandang filosof Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), maka berarti perempuan tidak boleh dipandang sebagai alat (Zuhandenes). Zuhandenes secara harafiah berarti “siap-untuk-tangan”. Keberadaan alat-alat menurut Heidegger berstruktur “untuk”. Gergaji “untuk” memotong. Uang “untuk” membeli sesuatu. Maka jika perempuan dipandang sebagai alat, ia berada “untuk” sesuatu yang lain, yakni untuk laki-laki, sehingga keberadaannya hanya untuk “diperalat”. Ia tidak memiliki nilai (martabat) pada dirinya sendiri.

Menurut Heidegger, manusia (laki-laki dan perempuan) berada dalam kerangka Mitsein (ada-bersama). Budi Hardiman merangkum gagasan Heidegger ini dengan menyatakan bahwa “kita mengenal Ada kita tidak hanya melalui diri kita sendiri, melainkan juga melalui Ada orang-orang lain”. Kerangka semacam inilah yang mungkin didukung oleh al-Qur’an dalam memandang dan memperlakukan kaum perempuan.

Pesan moral kedua, perempuan dalam kehidupan berkeluarga harus diperlakukan secara ma‘ruf (patut). Dalam tafsir-tafsir klasik, hal ini dijelaskan dengan kewajiban suami untuk berperilaku yang lembut, mencukupi nafkah keluarga, menyediakan tempat tinggal yang layak, dan semacamnya. Al-Qurthubi misalnya mengemukakan pendapat ulama secara khusus tentang kewajiban untuk menyediakan pelayan untuk istri. Seringkali, dikutip sebuah hadis untuk memperjelas pesan atau perintah untuk bergaul secara patut ini. Diriwayatkan bahwa Nabi pernah bersabda: “Sebaik-baik kamu sekalian adalah yang berperilaku baik kepada keluarganya. Dan saya adalah orang yang bersikap baik kepada keluarga.”

Perintah bergaul secara patut ini juga berlaku meskipun bahtera keluarga sudah tidak berada dalam situasi yang diharapkan (ideal). Quraish Shihab mengutip dan mendukung pendapat al-Sya‘rawi, ulama Mesir yang meninggal tahun 1999, dalam menjelaskan perintah al-Qur’an yang berbunyi “wa ‘âsyirûhunna bil-ma‘rûf” ini. Menurut al-Sya‘rawi, perintah ini tertuju kepada para suami yang tidak lagi mencintai istrinya. Struktur ayat ini menunjukkan bahwa situasi yang dibahas adalah situasi konflik atau ada hal yang kurang harmonis dalam keluarga. Jadi, walaupun cinta (juga mawaddah) telah pupus, perilaku yang ma‘ruf (patut) harus tetap dijaga.

Alkisah, dahulu ada seseorang yang hendak menceraikan istrinya karena sudah tidak cinta lagi. ‘Umar bin al-Khaththab menanggapi hal itu dengan pertanyaan retoris: “Apa rumah tangga hanya dibina atas dasar cinta? Jika begitu, lalu di mana nilai-nilai luhur? Mana pemeliharaan, mana amanah yang engkau terima?”

Mengiringi perintah untuk bergaul secara patut, ayat di atas berlanjut dengan sebuah peringatan bahwa bisa jadi sesuatu yang sedang dibenci oleh si suami itu memuat banyak kebaikan. Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa bagian ini memberikan petunjuk bagi kita untuk betul-betul berpikir secara matang dan mendalam sebelum membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan pernikahan. Jangan sampai kita tertipu oleh hal-hal yang bersifat lahiriah dan gagal menangkap hal-hal baik yang terdapat di balik itu semua. Atau jangan sampai kita membuat keputusan secara sembrono karena kita sedang dikuasai oleh emosi atau syahwat. Demikian penjelasan Ibn ‘Asyur.

Kedua pesan moral yang pada intinya mengingatkan kita semua untuk benar-benar menghargai perempuan atau istri dalam keluarga meskipun berada dalam situasi tidak ideal ini oleh al-Qur’an disajikan dengan dua latar atau alasan (argumen) yang cukup mendasar. Yang pertama, al-Qur’an mengingatkan para suami agar mereka mestinya tidak lupa bahwa antara diri mereka dan istri mereka telah bergaul luas tanpa batas. Untuk menyampaikan pesan ini, al-Qur’an menggunakan kata afdhâ yang berarti “luas”. Kata afdhâ ini biasa juga digunakan untuk menggambarkan keluasan angkasa.

Dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir bahwa kata afdhâ dipahami berbeda oleh para ulama. Kebanyakan ulama mengartikannya dengan “berjimak” (bersetubuh). Sebagian memaknainya dengan “berduaan di tempat sepi”. Pendapat mayoritas ulama ini menunjukkan bahwa akad pernikahan yang kemudian memberi status halal bagi pasangan laki-laki dan perempuan untuk berhubungan badan membuka jalan bagi keduanya untuk berbagi semua hal dalam lapisan diri mereka secara penuh. Seolah-olah, tak ada lagi rahasia lahir dan batin di antara mereka.

Dengan hilangnya sekat lahir-batin antara suami dan istri dalam jalinan hubungan pernikahan, maka dengan akal sehat yang cermat dan empati yang mendalam mestinya suami dapat tetap memperlakukan istrinya dengan baik dan penuh kesabaran meski kondisi rumah tangganya sedang retak. Dengan telah hilangnya batas lahir-batin itu, bagaimana mungkin suami akan tega untuk memberi tuduhan palsu kepada istrinya hanya demi memperoleh kembali sebagian maskawin yang telah diberikannya?

Ayat ketiga dalam rangkaian ayat ini menggunakan bentuk kalimat tanya bernada heran setelah didahului oleh bentuk negatif (istifhâm ta‘ajjubî ba‘da-inkâr). Dengan latar dan argumen ini, Ibn ‘Asyur menyebut suami yang melanggar poin ini sebagai seorang yang tidak punya sifat harga diri (murû’ah).

Argumen kedua, al-Qur’an menjelaskan ikatan pernikahan dengan ungkapan mîtsâqan ghalîzhâ (perjanjian yang kuat). Ungkapan ini digunakan al-Qur’an hanya di tiga tempat. Pertama, dalam ayat yang menggambarkan hubungan suami-istri pada ayat ini. Kedua, dalam menggambarkan perjanjian Allah dengan para nabi (Q., s. al-Ahzab [33]: 7). Ketiga, perjanjian Allah dengan bani Israil dalam konteks melaksanakan pesan-pesan agama (Q., s. Annisa’ [4]: 154).

Dari sini kita bisa melihat betapa Allah telah menempatkan ikatan pernikahan secara istimewa karena Dia menyejajarkan ikatan pernikahan itu dengan sesuatu yang agung: perjanjian Allah dengan para nabi.

Dalam sebuah esai menarik, Khaled M. Abou El Fadl menjelaskan status istimewa ikatan pernikahan ini untuk menjadi titik tolak seseorang dalam memahami pernikahan. Dalam ayat yang lain, Allah menyampaikan bahwa dalam pernikahan terdapat anugerah sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Abou El Fadl, ini dapat diraih jika kita menempatkan pernikahan sebagai hal yang serius dan istimewa, sebagaimana perjanjian Allah dengan para nabi. Abou El Fadl menawarkan kerangka pernikahan sebagai upaya membangun kemitraan dengan Tuhan (partnership with God).

Apa yang dimaksud dengan kemitraan dengan Tuhan? Abou El Fadl menjelaskannya dengan ungkapan bahasa Arab: “tu‘âmil Allâh fî mâ ta‘mal.” Artinya, “kau berurusan dengan Allah dalam apa saja yang kau lakukan.” Secara sederhana, maksudnya mungkin bisa digambarkan dengan menempatkan Allah dalam puncak segi tiga kemitraan bersama pasangan. Jadi, dalam pernikahan itu sepasang laki-laki dan perempuan menjalin hubungan kemitraan, dan Allah berada di titik ketiga yang menjadi poros jalinan kemitraan tersebut. Dalam bahasa Abou El Fadl, Tuhan adalah mitra-purna dalam pernikahan.

Namun, menjaga nilai mîtsâqan ghalîzhâ atau jalinan kemitraan dengan Tuhan ini tidak cukup mudah. Ia membutuhkan niat, ketekunan, dan keteguhan. Dalam konteks mencari pasangan, Abou El Fadl mengingatkan betapa pentingnya saat mempertimbangkan untuk memilih seseorang sebagai pendamping hidup agar mencari “seseorang yang berkomitmen untuk menjunjung tinggi kemitraannya dengan Tuhan”, “seseorang yang berkomitmen pada pernikahan yang dapat mengantarkan pada kebahagiaan ilahiah.”

Status istimewa dalam ungkapan mîtsâqan ghalîzhâ ini juga mengisyaratkan beratnya tanggung jawab untuk menjaga “perjanjian yang kukuh” tersebut. Kata “menjaga” di sini penting untuk digarisbawahi karena tampaknya nilai konservasi dalam perjanjian pernikahan bernilai cukup penting dan, sekali lagi, menuntut tekad yang kuat. Apalagi jika kita mencermati proses-proses sosial, khususnya dalam cara orang saling berhubungan, yang kian hari semakin rumit dan seperti tertebak—sebuah dunia yang oleh Anthony Giddens disebut “runaway world”.

Giddens dalam sebuah bukunya menggambarkan dampak globalisasi yang telah mengubah berbagai lembaga tradisional, termasuk keluarga (juga agama). Lalu-lintas informasi yang begitu dahsyat kini berpengaruh hingga ke lapisan masyarakat tradisional. Dari negara maju seperti Amerika hingga negara berkembang seperti di Afrika atau Asia, semua terkena dampak. Bedanya hanya tingkat dampaknya saja. Di antara dampak yang mengemuka adalah benturan antara nilai-nilai tradisional keluarga, seperti keintiman, tujuan pernikahan, hubungan anak-orangtua. Hal-hal semacam inilah yang akan menantang setiap pasangan untuk menjaga perjanjiannya itu.

Latar normatif (mîtsâqan ghalîzhâ) dan latar yang cenderung bersifat empiris-faktual (ungkapan afdhâ) ini kiranya penting untuk diperhatikan dan mungkin bisa menjadi salah satu benteng untuk bersiasat menghadapi tantangan globalisasi saat ini. Bagi kaum muslim, hal ini juga sangat penting untuk tetap memastikan bahwa jalinan pernikahan yang dibangun tidak terlepas dari dimensi religius dan ilahiah.

Wallahua‘lam.


Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Anthony Giddens, Runaway World: How Globalisation is Reshaping Our Lives, Profile Books, London, 1999.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2003.

Khaled M. Abou El Fadl, Conference of the Books: The Search for Beauty in Islam, University Press of America, New York, 2001.

M. Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabi Muhammad saw dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadits-Hadits Shahih, Lentera Hati, Jakarta, 2011.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.


Baca juga:
>> Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


Read More..

Minggu, 19 Januari 2014

Keagungan Allah dan Kecanggihan Sistem Kehidupan



Mahasuci Allah yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui - Q., s. Yasin [36]: 36


Dalam al-Qur’an, banyak sekali ayat yang menjelaskan keagungan Allah dengan cara merujuk pada fenomena alam. Demikian pula ayat ke-36 surah Yasin ini. Ayat ini memang tidak berkenaan langsung dengan fenomena alam yang bersifat konkret atau dapat langsung tertangkap oleh panca indra. Secara umum, ayat ini menunjukkan kemahasucian Allah dengan terciptanya (hukum) pasangan dalam kehidupan.

Al-Qur’an menggunakan kata “azwâj” (bentuk jamak dari kata “zawj”) untuk menggambarkan istilah “pasangan”. Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa kata ini digunakan untuk kesemua jantan dan betina pada binatang. Kata ini juga bermakna jenis tertentu dari semua yang ada yang menyerupai pasangan jantan dan betina tersebut. Quraish Shihab mengutip ar-Raghib al-Ashfahani yang menjelaskan bahwa makna keberpasangan pada kata ini bisa karena adanya unsur kesamaan atau bisa juga karena ada sisi yang bertolak belakang.

Terciptanya pasangan dalam tiga hal yang disebut pada ayat ini, yakni “apa yang ditumbuhkan bumi, “diri mereka (manusia)”, dan “apa yang tidak mereka ketahui”, secara umum dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir dengan gambaran adanya pasangan dengan ciri keberpasangan yang bermacam-macam, mulai dari sisi besar-kecil, warna-warni, siang-malam, dan sebagainya.

Seorang sarjana ilmu pertanian (agronomi) IPB, Achmad Chodjim, memberi sudut pandang yang cukup menarik dalam memahami ayat ini. Dengan latar pengetahuannya di bidang pertanian, Chodjim mengatakan bahwa jika kata “pasangan” ini dipahami secara sederhana, maka akan ada banyak hal yang tidak tercakup di dalamnya. Berdasarkan pengetahuan ilmiah saat ini, lanjut Chodjim, kita akan kesulitan menemukan pasangan virus, bakteri, dan amuba.

Chodjim menjelaskan perincian perbedaan pasangan pada pohon kurma, jagung, dan padi. Pada kurma, pasangan bunga jantan dan bunga betina berada pada pohon yang terpisah, sedang pada jagung keduanya terpisah tapi berada pada satu pohon. Sedangkan padi hanya memiliki satu macam bunga yang di dalamnya terdiri dari bagian yang berfungsi sebagai organ jantan dan organ betina.

Atas dasar ini, Chodjim mengusulkan pemaknaan kata “azwâj” (pasangan) pada ayat ini dipahami sebagai bersistem. Dengan demikian, ayat ini menyatakan bahwa “segala sesuatu di alam semesta ini terdiri dari sistem-sistem dan membentuk sistem yang lebih besar.”

Dalam pengertian sederhana, sistem bisa kita pahami sebagai sehimpunan unsur-unsur yang saling berkaitan dan memiliki tata aturan atau susunan struktural tertentu. Selain sebagai satu wujud (entitas) tertentu, sistem dapat pula dilihat sebagai metode, rencana, atau tata cara untuk mencapai sesuatu.

Ada tiga hal dalam ayat ini yang dijelaskan berada dalam naungan hukum pasangan atau memiliki sistem. Pertama, apa saja yang tumbuh di bumi. Poin ini tampaknya lebih merujuk pada sistem biologis, baik tumbuhan maupun hewan, yakni bahwa semua tumbuhan dan hewan berada dalam satu kerangka sistem yang tertata sedemikian rupa. Dalam ilmu biologi, kita mengenal adanya ekosistem yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai (1) “keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi di alam”; (2) “komunitas organik yang terdiri atas tumbuhan dan hewan, bersama habitatnya.”

Keterhubungan antarspesies biologis sebagai suatu sistem telah membentuk keteraturan alam semesta. Para ahli telah sepakat bahwa kelestarian alam dan spesies-spesias yang ada di dalamnya sudah teratur sedemikian rupa. Dalam sistem besar alam semesta, keberadaan setiap spesies memiliki tujuan sendiri yang tidak akan menjadi ancaman bagi spesies lainnya asalkan keseimbangannya tetap terjaga. Belakangan ini, saat roda kehidupan alam sehari-hari tampak tidak harmonis, diyakini bahwa campur tangan manusialah yang menjadi pangkal masalahnya (lihat, Q., s. Arrum [31]: 41).

Hal kedua yang disebutkan dalam ayat ini adalah diri manusia. Dalam tafsir-tafsir klasik, poin ini dihubungkan dengan keberpasangan manusia antara laki-laki dan perempuan yang kemudian dari merekalah lahir anak-anak dan seterusnya. Dari sudut pandang kerangka Chodjim, dalam diri manusia terdapat oposisi biner, seperti adanya ilham tentang kejahatan dan ketakwaan (al-Syams [91]: 8), unsur jasmani dan rohani, dan sebagainya. Bagi Chodjim, ayat ini juga sebenarnya mengajak kita untuk mengenal diri kita sendiri sebagai sebuah sistem, atau yang juga kadang disebut sebagai “mikrokosmos” (semesta kecil). Dari sini, tampaklah bahwa pengenalan diri menjadi hal yang penting diperhatikan termasuk dalam kerangka kodrat keberpasangan (sistem).

Hal ketiga yang disebutkan dalam ayat ini adalah hal-hal yang tidak diketahui manusia. Fakhruddin al-Razi menulis bahwa penyebutan hal-hal yang tidak diketahui manusia ini juga berada dalam konteks keagungan dan kemahasucian Allah dari segala sesuatu yang dapat mempersekutukanNya. Kemustahilan Allah untuk bersekutu tidak hanya dengan segala makhluk yang adanya diketahui oleh manusia, tetapi juga termasuk pada segala hal yang tidak diketahui oleh manusia.

Chodjim merefleksikan hal yang ketiga ini dengan menyatakan bahwa adanya sistem atau pasangan pada apa yang tidak diketahui manusia merupakan peringatan “agar kita tidak menganggap bahwa mekanisme kehidupan ini hanya terbatas pada yang kasatmata saja.”

Dalam menjelaskan hukum pasangan yang dijelaskan ayat ini, al-Qurthubi mengutip pendapat yang mengatakan bahwa ada makna ketakjuban yang tergambar dalam ayat ini. Ungkapan ketakjuban ini menjadi semakin jelas jika kita membaca ayat sebelumnya yang menggambarkan para pendurhaka Allah yang tidak mau bersyukur. Mereka yang kufur tentulah tidak mampu membaca pertanda keagungan Allah ini yang di antaranya tergambar dalam kecanggihan hukum pasangan dalam kehidupan.

Dasar ketakjuban inilah yang tampaknya mendorong manusia untuk mencermati berbagai sistem yang diciptakan Allah dalam kehidupan ini sehingga lahir dan berkembanglah berbagai macam ilmu. Sebagai sebuah sistem, ilmu bisa kita lihat sebagai sebuah sistem buatan yang berusaha meniru, mengembangkan, atau terilhami oleh sistem alamiah yang dibuat Allah. Ilmu biologi, misalnya, berusaha menangkap keutuhan ekosistem ciptaan Allah yang pada tahap lanjut kemudian dapat berkembang pada disiplin rekayasa genetika, misalnya, atau disiplin khusus lainnya yang belakangan mulai banyak muncul di berbagai cabang ilmu. Dalam dunia sains pada khususnya, selain dasar metode pengamatan (observasi) dan percobaan (eksprimen), pada gilirannya kemudian berkembang pendekatan model (sistem) yang berupaya mengabstraksikan realitas untuk mengembangkan kecanggihan sistem pada tahap lanjut.

Dengan sudut pandang ini, kita juga bisa melihat kehidupan berkeluarga dalam tingkatan yang paling kecil sebagai sebuah sistem sebagaimana kerangka yang dijelaskan ayat di atas. Dengan kerangka tiga poin yang disampaikan dalam ayat ini, kehidupan keluarga bisa merupakan tempat berkembang biaknya spesies manusia sebagai makhluk hidup biologis. Dengan sudut pandang kecanggihan sistem dan ketakjuban sebagaimana diungkap al-Qurthubi, pada sisi, poin ini dapat pula mengantarkan kita pada pemahaman keagungan Allah dalam proses kreasi atau perkembangan janin.

Lebih dari itu, kehidupan berkeluarga bisa juga menjadi tempat pencarian diri kedua unsur (pasangan) yang ada di dalamnya. Kehidupan berpasangan yang baik dalam keluarga akan sulit ditemukan jika kerangka pengenalan diri atau pencarian diri ini tidak dijadikan salah satu dasar atau titik tolak. Hubungan, interaksi, dan komunikasi, di antara pasangan mensyaratkan adanya tingkat pemahaman diri secara relatif untuk dapat terjalin dengan cukup baik.

Terakhir, kehidupan berkeluarga mungkin saja mengungkap keteraturan dan kesalinghubungan yang sebelumnya tak terpikirkan. Sebagai sebuah sistem, kehidupan berkeluarga dalam perjalanannya sangat mungkin mengungkap sisi-sisi lain yang lebih mendalam soal hakikat keberpasangan. Sudut pandang semacam ini mungkin penting juga untuk dimiliki oleh kedua pasangan agar keduanya dapat terbuka pada hal-hal baru yang terungkap di kemudian waktu untuk satu tingkat pengenalan diri atau kedewasaan yang lebih baik.

Dalam kerangka teori sistem, dijelaskan bahwa sebuah sistem itu pasti memiliki unsur-unsur penyusun, tujuan, dan proses. Maka jika kita mau melihat kehidupan berkeluarga secara lebih ilmiah melalui teori sistem ini, sangatlah penting, misalnya, untuk memastikan bahwa unsur-unsur penyusun yang ada di dalamnya itu berada dalam kerangka tujuan yang sama. Unsur sistem yang luput diperhatikan bisa akan mengurangi keutuhan sistem sehingga tujuan keberadaan sistem tak akan tercapai dengan baik.

Namun, penting untuk ditegaskan bahwa sudut pandang ilmiah dengan pendekatan sistem dalam melihat kehidupan berkeluarga akan menjadi kering jika tidak diberi muatan ilahiah atau keagamaan sebagaimana menjadi semangat dasar ayat ini, yakni bahwa semua sistem dan pasangan yang canggih, rumit, dan menakjubkan itu adalah pertanda keagungan Allah swt. Hanya dengan menyandarkan pada muatan ilahiah inilah kiranya hakikat dan hikmah hukum keberpasangan atau sistem yang terdapat pada berbagai unsur kehidupan ini akan dapat diraih dengan sempurna.

Wallahua‘lam.


Daftar Pustaka

Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‘ li-Ahkamil Qur’an, Dârul Hadits, Kairo, 2007.

Achmad Chodjim, Misteri Surah Yasin, Serambi, Jakarta, 2013.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur, al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Dâr Suhnun, Tunisia, 1997.

Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali Pers, Jakarta, Cet. VI, 1996.

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat, Gramedia, Jakarta, Cet. VII, 2013.


Baca juga:
>> Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan


Read More..

Kamis, 16 Januari 2014

Kisah Penciptaan dan Muatan Nilai Silaturrahim




Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Pemelihara kamu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Dia memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (nama)-Nya kamu saling meminta dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu - Q., s. Annisa’ [4]: 1


Islam bukanlah agama yang hanya mengurus soal peribadatan dengan Tuhan dalam arti yang sempit. Masalah tata hubungan antarmanusia dalam ajaran Islam juga mendapat perhatian yang cukup besar.

Ayat ini, misalnya, bahkan menempatkan perintah untuk menjaga silaturrahim dalam kerangka teologis yang sangat kuat. Melalui ayat ini, Allah memberikan perintah untuk menjaga silaturrahim. Redaksi ayat ini memerintahkan untuk menjaga “arhâm”. Kata “arhâm” merupakan bentuk jamak dari kata “rahim” yang berarti tempat peranakan. Kata ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkan kandungan atau tempat janin. Pada mulanya, kata “rahim” ini berarti “kasih sayang” (sebagaimana juga dalam makna kata serapan bahasa Indonesia). Kata “rahim” ini digunakan dalam arti “kandungan” untuk menjelaskan bahwa anak yang dikandung senantiasa mendapatkan curahan kasih sayang dari orangtuanya.

Quraish Shihab menerangkan bahwa rahim inilah yang menghubungkan seseorang dengan manusia yang lain. Semua manusia pasti pernah tinggal di dalam rahim seseorang yang kesemuanya itu akan memiliki simpul keterkaitan satu sama lain. Karena melalui rahim Allah mengikat erat hubungan antarmanusia, maka dari itu Allah pun mengancam siapa pun yang memutuskan atau tidak menjaga ikatan (shilat) rahim ini. Sebaliknya, Allah juga menjanjikan rahmat berupa rezeki dan panjang usia bagi mereka yang benar-benar merawat silaturrahim.

Gambaran tentang bagaimana sikap yang termasuk memutus silaturrahim ini dapat dibaca dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Nabi menerangkan bahwa di antara yang termasuk dosa yang tak terampuni adalah manakala ada seorang muslim yang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam. Mendiamkan di sini maksudnya tidak bertegur sapa atau malah membuang muka setiap kali berjumpa. Nabi menjelaskan bahwa yang paling baik di antara dua orang yang demikian ini adalah yang lebih dahulu sudi mengucapkan salam.

Makna silaturrahim ini dapat dilihat dari sisi “konservasi” atau pemeliharaan ataupun “restorasi” atau pemulihan. Dalam situasi asal, ikatan kasih sayang dan kekerabatan dalam arti yang luas memang sudah ada. Inilah yang perlu dijaga agar jangan sampai terputus. Sebaliknya, jika ada ikatan yang sudah renggang atau terputus, maka itu harus segera disambung.

Perintah untuk menjaga jalinan ikatan keluarga atau silaturrahim ini bahkan juga berlaku bagi mereka yang memiliki keyakinan agama yang berbeda. Wahbah al-Zuhayli dalam menjelaskan ayat ini mengutip sebuah riwayat bahwa Nabi pernah mengiyakan Asma’ bint Abu Bakar saat ditanya apakah ia tetap harus menjaga hubungannya dengan ibunya, Qutaylah bint 'Abdul 'Uzza, yang berstatus kafir-musyrik.

Lebih jauh, yang dimaksud ikatan kekeluargaan dalam kata “silaturrahim” ini menurut Wahbah meliputi mereka yang termasuk kategori mahram (keluarga dekat yang statusnya tidak boleh dinikahi, seperti paman/bibi dan keponakan dari jalur ayah atau ibu) ataupun yang di luar kelompok mahram (seperti saudara sepupu, dan sebagainya).

Perintah untuk menjaga ikatan persaudaraan ini dijelaskan Allah setelah pada bagian sebelumnya di ayat yang sama Allah menyeru umat manusia untuk bertakwa kepada Tuhan Pemelihara mereka yang telah menciptakan umat manusia dari “diri yang satu” (nafs wâhidah). Makna kata “diri yang satu” (nafs wâhidah) ini dalam khazanah tafsir diperdebatkan. Kebanyakan mufassir mengartikan “diri yang satu” (nafs wâhidah) ini sebagai “Nabi Adam as”. Jika diartikan demikian, maka pada bagian ayat selanjutnya muncullah penafsiran bahwa pasangan Adam, yakni Hawa, diciptakan dari Adam.

Pendapat mayoritas mufassir ini didasarkan pada hadis Nabi riwayat al-Tirmidzi melalui Abu Hurairah yang berbunyi: “Saling berwasiatlah untuk berbuat baik kepada perempuan karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Kalau engkau membiarkannya, ia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya, ia akan patah.” Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Berdasar hadis ini, kita akan menemukan penjelasan naratif bahwa pada saat Adam tidur, Allah mengambil tulang rusuk kirinya sehingga terciptalah Hawa. Begitu Adam terbangun, muncul rasa sayang kepada Hawa, karena memang Hawa tercipta dari bagian diri Adam.

Quraish Shihab tampak tidak sepakat dengan pendapat kebanyakan ulama tafsir ini. Quraish mengutip Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manâr yang menyatakan bahwa penjelasan atau pemahaman atas hadis di atas yang sedemikian rupa dipengaruhi oleh teks Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) yang menyatakan bahwa saat Adam terlelap, Allah mengambil tulang rusuk Adam untuk mencipta Hawa.

Dalam memahami hadis sahih tentang tulang rusuk yang bengkok tersebut, Quraish mengatakan bahwa tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya secara metaforis. Dengan pembacaan metaforis, hadis ini merupakan peringatan bagi kaum laki-laki agar memperlakukan perempuan dengan bijaksana dalam menghadapi kodrat sifat pembawaan perempuan yang berbeda.

Quraish juga mengutip Thabathaba’i yang memberikan pemahaman berbeda atas ayat ini, yakni bahwa Hawa diciptakan bukan dari Adam, tapi dari jenis yang sama dengan Adam. Penafsiran seperti ini juga dikemukakan oleh Abu Muslim al-Ishfahani sebagaimana dikutip oleh Fakhruddin al-Razi. Al-Ishfahani menguatkan pendapatnya dengan mengutip ayat-ayat lain dalam al-Qur’an yang juga memuat kata “min anfusikum”.

Nasaruddin Umar dalam disertasinya membahas ayat ini dengan panjang lebar. Senada dengan Quraish Shihab, Nasaruddin Umar juga mengutip pendapat Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Manâr yang menolak tafsir “diri yang satu” (nafs wâhidah) sebagai Adam. Abduh juga mengemukakan pendapat para filosof dalam memahami kata nafs dan juga mengutip pendapat al-Alusi tentang sosok Adam dalam al-Qur’an.

Namun demikian, terlepas dari perdebatan topik yang berkaitan dengan soal penciptaan perempuan ini, jika dikaitkan dengan perintah silaturrahim di bagian ayat berikutnya, semuanya tetaplah mengarah pada kesimpulan yang sama. Jika “diri yang satu” (nafs wâhidah) dipahami sebagai Adam, maka berarti semua manusia berasal dari leluhur yang sama sehingga sangatlah penting untuk menjaga ikatan persaudaraan di antara sesama. Demikian pula, jika “diri yang satu” (nafs wâhidah) dipahami dalam arti jenis yang sama dengan Adam, maka ikatan persaudaraan di antara sesama manusia juga tetaplah sama eratnya.

Atas dasar ini pula, maka kewajiban untuk menjaga silaturrahim tak dapat dielakkan. Ikatan persaudaraan antarmanusia, terlepas dari berbagai perbedaan yang dimilikinya, seperti perbedaan kelas sosial, perbedaan derajat ekonomi, termasuk juga perbedaan keyakinan (agama), harus tetap dijaga dalam situasi apa pun.

Dalam konteks yang luas berkaitan dengan penciptaan manusia dan ikatan persaudaraan di antara mereka, maka tentu saja ikatan pernikahan dalam kerangka sosiologis sebagai ikatan sah untuk melanjutkan keturunan juga penting untuk ditempatkan dalam kerangka silaturrahim. Artinya, penyebaran atau pengembangbiakan manusia melalui pernikahan haruslah juga berpegang pada nilai-nilai dasar silaturrahim yang sebagaimana tergambar di atas memiliki kerangka teologis yang kuat.

Dengan sudut pandang demikian inilah mungkin kita bisa memahami saran dari tuntunan fikih dalam mencari calon pasangan: yakni bahwa di antaranya hendaknya calon pasangan berasal dari orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Adapun pengertian kerabat dekat adalah mereka yang berada pada tingkat pertama dari jalur saudara ayah atau ibu (yakni sepupu). Jika berasal dari famili dekat, dikhawatirkan apabila ada konflik maka akan berpotensi memutus jalinan ikatan kekerabatan—sesuatu yang secara sosiologis memang mungkin terjadi di masyarakat. Namun, apabila sebab operatif (‘illat) tidak disarankannya menikah dengan kerabat dekat ini dapat dipastikan bisa dihindari, maka tentu saja tidak dipandang sebagai masalah.

Dari gambaran ini, maka penting digarisbawahi bahwa nilai-nilai silaturrahim ini harus dipegang teguh dalam ikatan pernikahan dan bahkan harus juga menjadi salah satu nilai utama dalam kehidupan berkeluarga. Karena itu, nilai-nilai silaturrahim ini juga harus mendapatkan perhatian yang kuat dalam kehidupan berkeluarga untuk dipupuk dan diwariskan pada semua anggota keluarga dalam pengertian yang luas.

Ini meliputi baik silaturrahim dalam pengertian konservasi maupun restorasi. Makanya, dalam tuntunan fikih dijelaskan bahwa menikahi kerabat jauh itu lebih utama daripada menikah orang yang tidak tersambung kekerabatannya (ajnabiyyah), karena diharapkan dengan menikahi kerabat jauh maka ikatan persaudaraan dapat erat kembali dan tidak terputus.

Wallahua‘lam.



Daftar Pustaka

Abu Zakariyya Muhyiddin bin Syaraf Annawawi, Riyadlus Shalihin, Alharamayn, t.t., 2005.

Fakhruddin Muhammad bin ‘Umar bin al-Husayn al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr (Mafâtîhul Ghayb), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 2004.

M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Quran, Mizan, Bandung, 2007.

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Lentera Hati, Jakarta, 2009.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an, Paramadina, Jakarta, 2001.

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dâr al-Fikr, Damaskus, 2010.

Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa al-Syarî‘ah wa al-Manhaj, Dârul Fikr, Damaskus, 2009.

Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibari, Fathul Mu‘in bi Syarh Qurratil-‘Ayn, Syirkah Nur Asiya, t.t.


Baca juga:
>> Keberagaman dan Tujuan Penciptaan

Read More..