Minggu, 07 Desember 2014

Inspirasi al-Qur’an untuk Literasi


Al-Qur’an adalah kitab suci yang telah menjadi sumber inspirasi banyak orang di berbagai penjuru dunia. Inspirasi itu di antaranya mewujud dalam bentuk buku. Tak terbilang berapa buku yang sudah ditulis—baik oleh kaum muslim maupun nonmuslim—yang terilhami oleh al-Qur’an, mulai dari tafsir yang ditulis oleh ulama muslim klasik hingga kontemporer, buku bertema tertentu yang berperspektif al-Qur’an, hingga akhirnya al-Qur’an menjadi bidang keilmuan tersendiri sehingga kemudian melahirkan banyak karya tulis.

Di Indonesia kita punya Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab, Tafsir al-Azhar karya Buya Hamka, Tafsir al-Ibriz karya KH Bisri Mustofa yang berbahasa Jawa, dan karya-karya yang lain. Kajian keilmuan tertentu berperspektif al-Qur’an di kalangan intelektual Indonesia juga sudah dikenal, seperti buku Al-Qur’an dan Lautan (Penerbit ‘Arasy, 2007) karya Agus S. Djamil.

Beberapa buku yang disebutkan di atas dan yang sejenisnya bisa dikelompokkan sebagai karya yang coraknya relatif akademis. Karena itu, karya-karya tersebut mungkin hanya dikenal di kalangan tertentu saja.

Namun, seiring dengan makin meluasnya minat masyarakat Indonesia pada wacana keislaman pada beberapa dekade terakhir, kita menemukan produk-produk perbukuan populer yang terinspirasi dari al-Qur’an. Mungkin yang paling banyak kita temukan paling tidak dalam 10 tahun terakhir adalah berupa pengemasan mushaf al-Qur’an dalam bentuk yang lebih menarik dengan berbagai pernik kreasinya.

Di toko-toko buku, kita menemukan al-Qur’an yang dicetak dengan pengemasan dan tata artistik dengan diberi nilai tambah tertentu. Ada al-Qur’an yang ayat-ayat di dalamnya diberi tanda tertentu terkait cara bacanya sesuai dengan Ilmu Tajwid. Ada pula yang selain memuat terjemahan versi Kementerian Agama RI juga mencantumkan terjemah per kata. Yang demikian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca mendaras al-Qur’an secara benar dan membantu pembaca memahami makna literal al-Qur’an secara lebih teperinci.

Selain itu, pengembangan pengemasan al-Qur’an ini juga masuk pada minat-minat khusus. Salah satu edisi menyebut al-Qur’an yang diterbitkannya dengan istilah “edisi wanita” karena secara khusus juga memuat hal-hal yang berkaitan dengan perempuan, seperti kisah-kisah perempuan yang ada dalam al-Qur’an, ibadah tertentu terkait perempuan, dan semacamnya.

Ada juga al-Qur’an yang memberi tanda warna khusus pada ayat-ayat kauniah untuk menunjukkan keluasan cakupan al-Qur’an pada bidang sains. Ayat-ayat kauniah yang jumlahnya jauh lebih banyak dibanding ayat-ayat hukum itu diyakini merupakan isyarat al-Qur’an agar kita meneliti dan mengkaji isyarat-isyarat semesta dengan nalar.

Ada pula al-Qur’an yang disebut edisi “famy bi syauqin”. Edisi ini membagi seluruh surah al-Qur’an dalam tujuh bagian (yang lazim disebut “manzil”) yang dimaksudkan sebagai pedoman bagi mereka yang berkomitmen untuk mengkhatamkan membaca al-Qur’an selama sepekan.

Kreativitas penerbit dalam hal ini sudah menyentuh pada sisi teknologi. Penerbit Syaamil, misalnya, menerbitkan al-Qur’an yang selain memberi banyak nilai tambah dengan tafsir singkat, sebab turunnya ayat, doa terkait, dan sebagainya, juga melengkapinya dengan pena elektronik yang dapat bersuara atau melantunkan ayat al-Qur’an yang sedang ditunjuk.

Salah satu al-Qur’an yang terbit dikeluarkan oleh Penerbit Al-Mizan, Bandung berjudul al-Qur’an al-Karim: The Wisdom (Mei 2014). Selain memuat terjemahan versi Kementerian Agama RI dan terjemah per kata, al-Qur’an ini juga memuat 1420 artikel tafsir dan pengaya wawasan di setiap halamannya yang terpetakan dalam enam tema besar: akidah, akhlak, ibadah, muamalah, ilmu, dan kisah. Al-Qur’an yang penerbitannya melibatkan 17 kontributor artikel dan tebalnya mencapai 1236 halaman ini kemudian tampak seperti tafsir tematik terpilih yang penyajiannya bersifat populer. Rujukan yang digunakan meliputi kitab-kitab tafsir otoritatif, mulai dari tafsir klasik seperti al-Thabari hingga kontemporer seperti karya Wahbah Zuhaili.

Berbagai edisi pengemasan al-Qur’an dalam bentuk baru dan populer ini bisa dilihat sebagai kreativitas dan kejelian penerbit untuk melihat kebutuhan dan peluang pasar. Di media massa, khususnya televisi, kita dapat melihat bangkitnya minat keagamaan masyarakat muslim khususnya di kalangan kelas menengah perkotaan. Di industri mode, busana muslim juga mengalami peningkatan minat yang cukup luar biasa.

Seiring dengan inilah kreasi penerbit untuk mengemas al-Qur’an dengan sedemikian rupa juga muncul. Melihat semakin beragamnya kreasi penerbit dalam penerbitan al-Qur’an ini, kita dapat menilai bahwa berbagai versi al-Qur’an tersebut sangat laku di pasaran. Penerbit tampak tak ragu untuk mengeluarkan modal penerbitan yang cukup besar (tampak dari cetakannya yang rata-rata mewah) karena laba yang bisa diperoleh cukup menjanjikan.

Demikianlah, dalam bentuk yang lebih populer, kita belakangan ini menyaksikan bagaimana al-Qur’an menginspirasi dunia literasi. Sampai di titik ini, kita patut menggarisbawahi bahwa ayat al-Qur’an yang pertama diturunkan, yakni surah al-‘Alaq ayat 1-5, memang memuat semangat literasi yang kuat.

Berbagai versi al-Qur’an yang sifatnya kreatif itu memberi akses yang lebih mudah dan lebih luas pada masyarakat umum untuk dapat membaca, memahami, dan menggali pesan-pesan al-Qur’an sebagai pedoman hidup kaum muslim. Mereka yang awam di bidang ilmu keislaman dapat belajar al-Qur’an melalui produk populer ini. Tentu ini bisa menjadi kabar yang menggembirakan. Harapannya, semoga inspirasi al-Qur’an untuk literasi ini bisa memberi dampak yang lebih nyata bagi peningkatan mutu keberagamaan dan mutu kehidupan masyarakat.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Harian Radar Surabaya, 7 Desember 2014.


Read More..

Rabu, 03 Desember 2014

Ancaman Liberalisasi Pendidikan atas Kedaulatan Bangsa


Judul buku: Melawan Liberalisme Pendidikan
Penulis: Darmaningtyas, Edi Subkhan, Fahmi Panimbang
Penerbit: Penerbit Madani, Malang
Cetakan: Pertama, April 2014
Tebal: xxvi + 342 halaman


Dalam perbincangan publik, isu pendidikan sering kalah untuk mendapat perhatian masyarakat ketimbang isu politik praktis. Padahal, untuk membangun sendi utama kehidupan masyarakat yang bermutu dalam jangka panjang, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.

Perhatian yang kurang dari masyarakat atas isu pendidikan ini terlihat saat pembahasan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) mengemuka selama sekitar satu tahun pada 2007-2008. Tak banyak mahasiswa atau pihak kampus yang bersuara secara kritis atau turun jalan—tak seperti dalam menyoal isu BBM, misalnya. Padahal, kehadiran RUU BHP tersebut akan berdampak langsung pada mahasiswa dan kampus pada khususnya.

Buku ini membincang salah satu bentuk ancaman peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, yakni yang berbentuk liberalisasi di sektor pendidikan. Liberalisasi yang dimaksud adalah kecenderungan negara untuk melepas tanggung jawabnya dalam memenuhi salah satu hak dasar warga negara, yakni pendidikan. Dalam bentuk yang konkret, liberalisasi pendidikan yang dibahas dalam buku ini mewujud berupa UU Badan Hukum Pendidikan.

Kemunculan UU BHP sebenarnya dimulai cukup lama, yakni sejak tahun 2003, namun mengemuka pada 2007-2008 hingga kemudian disahkan pada 17 Desember 2008. Kepada masyarakat luas, disampaikan bahwa UU ini diterbitkan terutama bertujuan untuk memperkuat otonomi kampus dan meningkatkan transparansi dan akuntibilitas pengelolaan perguruan tinggi.

Buku ini menyingkapkan dengan kritis berbagai segi problematis penerapan UU tersebut. Pada intinya, UU tersebut dipandang mengubah arah perguruan tinggi menjadi tak ubahnya seperti perusahaan (korporasi). Ini terlihat dari penekanannya yang besar pada aspek tata kelola agar lebih efisien dan produktif. Pendidikan bukan dipandang terutama sebagai kewajiban negara, tapi lebih sebagai bentuk jasa yang diperdagangkan.

Jadinya, hal-hal yang lebih substansial terkait arah dan kebijakan pendidikan nasional dalam hubungannya dengan tantangan kebangsaan kemudian menjadi kurang diutamakan. Pada gilirannya, masalah kemudahan akses masyarakat kurang mampu untuk mengenyam pendidikan tinggi, dukungan negara untuk pendidikan swasta, dan sebagainya, menjadi terabaikan. Buku ini menunjukkan dengan lugas bahwa ruh dan substansi UU BHP tersebut benar-benar mengarah pada liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi sektor pendidikan.

Menurut para penulis buku ini, membiarkan pendidikan nasional masuk dalam perangkap liberalisasi hanya akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia. Saat pendidikan mahal dan akses pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup, maka berarti kelak tak akan banyak warga Indonesia yang dapat berpartisipasi dalam mengelola kekayaan alam di Indonesia. Ketergantungan pada bangsa asing dalam hal pengelolaan sumber daya alam, seperti sekarang sudah terlihat, akan bisa menjadi penghambat bagi pemanfaatan kekayaan alam Indonesia demi kemakmuran, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa.

Selain itu, pendidikan mahal hanya akan mereproduksi kelas elite yang cenderung memiliki kepedulian yang kecil pada kepentingan masyarakat umum. Mereka akan cenderung lebih berpikir untuk mengembalikan biaya pendidikan mahal yang telah mereka keluarkan. Ini berarti bahwa pendidikan mahal hanya mereproduksi kemiskinan. Mereka yang miskin akan kesulitan untuk melakukan mobilitas vertikal.

Dalam contoh yang lebih spesifik, buku ini mengangkat problem pendidikan kedokteran di Indonesia. Sejak beberapa kampus berubah menjadi PT BHMN, biaya masuk ke Fakultas Kedokteran sangat mahal, berkisar antara Rp 50 juta hingga Rp 150 juta. Bahkan untuk jalur internasional bisa lebih tinggi. Mahalnya biaya pendidikan kedokteran ini menurut para penulis buku ini dapat mengubah karakter pendidikan yang akan menyiapkan tenaga-tenaga kemanusiaan itu. Tak heran, belakangan ini kita menemukan berita tentang kecenderungan komersial layanan kesehatan atau bahkan terjadinya malapraktik di bidang kesehatan. Secara kontras, buku ini mengungkap kebijakan pendidikan kedokteran di Iran dan India yang menempatkan Fakultas Kedokteran sebagai salah satu fakultas termurah sehingga dapat menyerap siswa-siswa terbaik tanpa melihat kemampuan ekonomi mereka.

Secara lebih teperinci, buku ini membahas berbagai dampak negatif liberalisasi pendidikan, seperti kesenjangan yang semakin lebar termasuk antara lembaga pendidikan negeri dan swasta, disorientasi pendidikan nasional yang kemudian mengabaikan visi pendidikan sebagai upaya pencerdasan maupun pemerdekaan, hilangnya idealisme dan integritas intelektual kalangan kampus, dan sebagainya.

Buku ini bukanlah kajian yang bersifat teoretis atas isu liberalisasi pendidikan. Buku ini sebenarnya merupakan dokumentasi para penulisnya yang merekam perlawanan mereka bersama rakyat Indonesia atas liberalisasi dan privatisasi pendidikan di Indonesia yang berbentuk terbitnya UU BHP No 9 Tahun 2009. Strategi perlawanan mereka berupa perang wacana di media publik dan yang terpenting berupa pengajuan uji materi UU BHP ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU BHP dan Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menjadi landasan terbitnya UU BHP digugat ke MK karena dipandang bertentangan dengan UUD 1945.

Setelah berproses sekian lama, pada 31 Maret 2010 hakim konstitusi di MK yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mahfud MD akhirnya mengabulkan pembatalan UU BHP dan Pasal 53 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dokumentasi yang teperinci seperti termuat dalam buku ini—yang dilengkapi data lapangan dan kutipan dari berbagai media—sangatlah bernilai karena menurut para penulis buku ini ancaman liberalisasi di bidang pendidikan di Indonesia masih terbuka. Buku ini menengarai bahwa semangat liberalistik masih mungkin muncul sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang sempat diajukan ke MK untuk diuji materi namun ditolak.

Selain itu, pengaturan lembaga pendidikan asing sebagaimana termuat dalam pasal 65 UU No. 20/2013 juga berpotensi mengganggu kepentingan pendidikan nasional. Belum lama ini, kontroversi kasus pencabulan di Jakarta International School (JIS) sempat memunculkan diskusi tentang sekolah internasional vis-a-vis arah pendidikan nasional. Sayangnya, diskusi tersebut tergusur oleh isu pemilu calon anggota legislatif dan pemilu presiden.

Dengan adanya catatan yang tersusun rapi seperti buku ini, diharapkan bangsa Indonesia tidak lupa bahwa pernah ada regulasi pendidikan yang bersifat liberalistik, tidak pro-rakyat, dan bahkan bertentangan dengan UUD 1945, yang sangat mengancam masa depan kehidupan bangsa. Dalam posisinya sebagai dokumen sejarah inilah buku ini tak hanya pantas dicerna oleh para praktisi dan pengambil kebijakan di bidang pendidikan, tapi juga oleh mereka yang peduli dengan masa depan bangsa dan mereka yang meyakini bahwa pendidikan nasional yang bermutu akan menjadi kunci kemajuan dan kebangkitan bangsa Indonesia.


Versi pendek tulisan ini dimuat di Koran Jakarta, 3 Desember 2014.

Read More..