Rabu, 28 Mei 2014

Rasa Iba dan Perilaku Nista


Setiap manusia normal pasti memiliki sisi perasaan yang bisa membuatnya gembira, marah, sedih, haru, dan sebagainya. Mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, kita bisa gembira. Menyaksikan kesewenangan, kita bisa marah. Tertimpa musibah, kita bisa sedih. Menemukan ketulusan, kita bisa terharu.

Tak ada yang salah jika seorang manusia memiliki perasaan-perasaan itu. Yang penting takarannya tepat dan situasinya memang wajar, tidak dibuat-buat. Jika berlebihan atau tidak ditempatkan secara pas, perasaan-perasaan itu bisa saja menggiring kita untuk berbuat sesuatu yang tercela dan nista.

Kemarahan mungkin bisa membuat kita bertindak di luar batas hak dan wewenang kita. Kesedihan berlebihan mungkin bisa membuat kita putus harapan. Kegembiraan atau rasa haru mungkin juga bisa membuat kita lupa diri sehingga berbuat seenaknya, seperti mengambil hak orang lain, dan semacamnya.

Setan mungkin memang begitu cerdik menguntit kita di antara berbagai perasaan yang mungkin mendatangi kita secara wajar. Pada saat itu, setan mungkin mendorong kita dan membumbui perasaan kita dengan seribu satu resep yang kemudian bisa membuat kita tidak tepat dalam menyikapi perasaan manusiawi tersebut.

Terkait hal ini, saya punya pengalaman pribadi saat saya merasa begitu haru dan iba. Bukan pada siapa-siapa, tapi pada ibu saya.

Saat itu baru saja lebaran Iduladha tahun 2010. Ibu saya ingin mengunjungi salah satu adik saya yang mondok di Pondok Pesantren Darul Falah, Bangsri, Jepara. Mumpung liburan, ibu dan saya tidak punya tugas mengajar atau kesibukan khusus lainnya. Maka tepat pada malam hari di hari lebaran, dengan menggunakan angkutan umum, saya bersama ibu saya berangkat menuju Bangsri, Jepara.

Singkat cerita, setelah dari siang hingga sore berjumpa dengan adik saya, sowan ke kiai, melihat-lihat pondok, dan sebagainya, pada sore sekitar pukul 16.15 WIB kami berdua hendak pulang ke Madura.

Ibu dan adik saya di PP Darul Falah, Bangsri, Jepara

Kami menunggu angkutan umum menuju kota Jepara dari Bangsri. Cukup lama kami menunggu, angkutan umum rata-rata penuh sesak. Rupanya ini memang jam-jam terakhir angkutan umum menuju kota Jepara dan memang angkutannya terbatas. Akhirnya kami pun menemukan angkutan yang sebenarnya sudah cukup sesak. Saya bersama ibu naik ke angkutan dengan agak berdesakan. Untung kami bisa menemukan tempat duduk. Ternyata keadaan angkutan umum pedesaan di Jepara tak jauh berbeda dengan angkutan umum di kampung saya.

Tak sampai setengah jam, kami tiba di kota Jepara. Sekali lagi, kami cukup kesulitan menemukan angkutan ke Kudus. Para penumpang tampak memenuhi bus tanggung menuju Kudus sampai terlihat sebagian berdiri berdesakan. Cukup lama menunggu bersama beberapa orang yang tampaknya juga hendak ke Kudus, saya coba bertanya. Ternyata memang demikian angkutan ke Kudus jelang petang, selalu ramai dan sesak.

Daripada tak menemukan angkutan, akhirnya kami putuskan untuk ikut salah satu bus yang sudah penuh. Naik ke atas bus, saya dan ibu saya sudah tak menemukan tempat duduk lagi. Kami harus rela untuk berdiri berdesakan.

Saat itulah, di tengah perjalanan ke Kudus, saya sesekali menatap ibu saya yang berdiri sambil berpegangan di antara para penumpang. Saya merasa begitu haru dan iba. Ibu saya, yang usianya saat itu sudah hampir 60 tahun, tak memperlihatkan ekspresi yang kusut. Ibu tampak biasa saja. Sementara saya merasa gelisah menyaksikan ibu harus berdiri berdesakan di angkutan umum sore itu.

Jarak sekitar 30 km ke kota Kudus terasa lama. Pikiran saya melayang-layang memikirkan ibu yang masih tak kunjung menemukan tempat duduk. Orang-orang mungkin sama-sama kecapekan sehingga tak siap untuk berbagi tempat duduk. Saya berusaha untuk mengerti. Tapi ini ibu saya, ibu yang saya saksikan tiap hari ketulusannya dalam membesarkan anak-anaknya, ibu yang saya tahu juga begitu penuh perhatian kepada murid-muridnya di kelas dan di pondok, ibu yang saya tahu sangat peduli dengan para tetangga dan tamu-tamu yang berkunjung ke rumah.

Saya teringat ibu saya saat dia dulu menyiapkan daging abon untuk putrinya yang sedang belajar di Jombang. Dia menyiapkan sendiri di dapur, lalu tiba-tiba saat itu tangannya kecipratan minyak goreng yang sedang panas di atas penggorengan. Saya teringat ibu saya saat malam-malam mencucikan pakaian putra-putrinya di rumah dan rela menunda waktu istirahatnya setelah seharian penuh—ya, seharian penuh—ke sana kemari dengan berbagai hal. Saya teringat ibu saya yang kadang memanggil seorang tetangga yang kebetulan melintas di sebelah timur rumah saat ibu punya sesuatu yang bisa dibagi untuknya.

Pikiran saya terhenti berkelana saat sadar bahwa jalanan sudah cukup gelap. Cahaya lampu mulai menerangi jalanan dan bangunan-bangunan di kiri kanan.

Pada akhirnya, sekitar maghrib, kami tiba di Terminal Jetak yang merupakan terminal kedua di kota Kudus dan menjadi penghubung utama ke Jepara. Terminal tipe C itu sudah terlihat gelap. Bus yang kami tumpangi menurunkan penumpang di luar terminal.

Sadar dengan suasana terminal yang kelihatan lengang, pikiran saya jadi gelisah. Masih adakah angkutan kota ke Terminal Kudus untuk melanjutkan perjalanan ke Surabaya? Kami bertanya kepada orang di situ, dan katanya kadang masih ada. Kami pun menunggu. Cukup lama, yang ditunggu tak datang jua. Akhirnya kami pun putuskan untuk menunggu sambil berjalan ke arah kota.

Kami berjalan dengan pelan sambil sesekali melihat siapa tahu ada angkutan melintas. Kadang kami melihat ada angkutan kota yang mendekat, tapi ternyata ia sudah tak hendak ke Terminal Kudus. Sopirnya sudah mau pulang ke rumah.

Cukup lama juga kami berjalan. Saya mulai merasa agak gerah. Saya lihat ibu saya. Ibu tampak biasa saja. Saya berpikir untuk mencari sekadar tempat duduk di pinggir jalan untuk beristirahat sejenak. Tapi kebetulan di sekitar saya tak melihat tempat yang bisa menjadi tempat istirahat.

Akhirnya, setelah cukup lama, kami menemukan angkutan kota yang bisa mengantar kami. Bukan ke Terminal Kudus, tapi kata si sopir, kami bisa menunggu bus ke Surabaya di situ. Alhamdulillah.

Selama di angkutan itu, pikiran saya kembali pada bayangan ibu tadi sore yang berdiri di angkutan dan juga ibu yang berjalan cukup jauh sampai menemukan angkutan ini. Saya seperti menyesal, mengapa saya tidak mengusahakan untuk menyewa mobil untuk perjalanan ke Jepara ini. Ya, keluarga kami memang tidak punya kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor. Tapi saya pikir kami bisa menyewa mobil untuk perjalanan ini. Namun saya sadar bahwa menyewa mobil dari Sumenep ke Jepara tidaklah murah, paling tidak untuk ukuran kantong keluarga kami.

Andai kami membawa mobil sewaan ke Jepara, tentu ibu tidak harus berdiri berdesakan dari Jepara ke Kudus dan tidak harus berjalan kaki cukup lama saat petang ketika mencari angkutan yang dapat mengantar kami ke Terminal Kudus.

Saya membayangkan, pengalaman seperti tadi, perasaan iba menyaksikan ibu yang tampak “menderita”, saya jadi terpikir: mungkin pengalaman-pengalaman seperti ini bisa mengubah seseorang berpikir untuk melakukan sesuatu yang tidak semestinya. Andai saya kemudian, di waktu-waktu berikutnya, punya kekuasaan, atau punya pintu menuju kekuasaan, bisa jadi rasa iba saya pada ibu saya itu dapat menggiring saya untuk menyalahgunakan kekuasaan saya guna mengobati kekecewaan dan mungkin rasa bersalah saya karena telah membiarkan ibu saya punya pengalaman kurang nyaman seperti itu. Saya bisa saja berbuat sesuatu yang nista.

Saat itu saya jadi terpikir mungkin beberapa orang yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan tindakan korupsi ada yang di antaranya berangkat dari motif kompensasi atas derita atau rasa iba yang ia temui, termasuk iba atas diri sendiri atau orang-orang terdekat yang dicintainya. Untuk situasi seperti inilah maka mungkin muncul istilah nepotisme.

Perasaan iba itu lalu mungkin mengubah diri seseorang untuk melupakan nilai-nilai moral atau bentuk-bentuk ukuran kepatutan sosial lainnya. Tepat pada titik inilah mungkin terletak situasi yang membahayakan kita saat tenggelam dalam perasaan di luar takaran yang wajar. Rasa iba, sebagaimana perasaan lainnya, dapat melelapkan akal sehat sehingga mungkin saja kita berbuat sesuatu yang “tidak masuk akal” dengan melanggar norma-norma sosial.

Kembali pada rasa haru dan iba saya atas pengalaman bersama ibu tersebut, saya percaya bahwa bagaimanapun, ketulusan ibu saya juga menjadi salah satu kunci penting untuk tetap menjaga saya dari perasaan yang berlebihan. Ketulusan ibu saya untuk mengunjungi salah seorang adik saya di pondok di Jepara dan kerelaannya untuk dengan cara apa pun bisa memenuhi keinginannya itu menurut saya insya Allah turut menularkan semangat dan energi positif untuk saya sehingga—alhamdulillah—saya masih bisa terjaga dari sisi buruk perasaan yang melebihi takaran.

Sampai di sini, saya berdoa semoga Allah senantiasa menjaga ibu saya dan keluarga saya pada khususnya untuk senantiasa terhindar dari perasaan yang berlebihan sehingga dapat membuat kami lepas dari nilai-nilai dan norma yang kami yakini. Lebih khusus lagi, semoga Allah senantiasa menjaga ibu saya dan memberi rahmat dan keselamatan di dunia dan akhirat. Karena dari ibu saya, kami senantiasa belajar banyak hal tentang hidup yang mulia. Amien.


Baca juga:
>> Dunia Ayah Kian Menyempit

Read More..

Senin, 26 Mei 2014

Saat Kacamata Pengetahuan Mengubah Dunia


Pernahkah Anda merasakan situasi saat pengetahuan atau informasi tertentu menempatkan Anda di posisi yang berbeda di dunia? Bagaimana sebenarnya pengetahuan atau informasi mengubah cara pandang Anda dalam melihat dunia?

Bayangkanlah tiga sosok manusia yang tengah mengunjungi sebuah kebun binatang atau, sebagai contoh agar lebih jelas, Taman Safari Prigen, Pasuruan. Tiga sosok itu adalah anak kecil, seorang dewasa biasa, dan satu lagi seorang dewasa yang pernah berkenalan dengan ide tentang animal welfare (kesejahteraan binatang).

Seorang anak kecil yang baru pertama kali melihat aneka binatang liar di Taman Safari tentu saja akan merasa sangat heran dan mungkin juga merasa riang. Dari dalam kendaraan, ia dapat menyaksikan binatang-binatang yang sebelumnya mungkin hanya ia kenal melalui gambar atau cerita gurunya. Binatang-binatang itu tak pernah ia jumpai di lingkungan tinggalnya sehingga pertama-tama ia mungkin akan merasa takjub. Mungkin ada banyak pertanyaan yang ia lontarkan, mulai dari nama, habitat, makanan, atau hal teperinci lainnya, yang bisa membuat orang dewasa yang menemaninya merasa terganggu dan mungkin sedikit kesal.

Seorang anak kecil mungkin akan menilai aneka satwa itu sebagai sesuatu yang eksotis: istimewa dan aneh. Saat ia berkesempatan melihat hewan-hewan itu secara lebih dekat, bisa jadi rasa takjub dan riangnya semakin bertambah. Sebagian rasa penasarannya mungkin terjawab. Namun keheranannya bisa bertambah saat ia menyaksikan beberapa hewan menampilkan pertunjukan sirkus di hadapan para pengunjung.

Ia menyaksikan beberapa ekor gajah menampilkan sepenggal kisah mereka di hutan, dikejar pemburu liar, menyelamatkan dan membela diri, terluka, ditolong polisi hutan, dan seterusnya. Gajah-gajah itu tampak begitu pintar dan terlatih, bisa memahami pikiran dan ucapan manusia, mampu mengikuti alur cerita sedemikian rupa, dan secara sangat baik memperagakan beberapa atraksi dengan amat mahir. Di akhir bagian, gajah-gajah itu dengan tenang melayani para penonton yang hendak foto bersama.

Di lain tempat, beberapa ekor lumba-lumba ia lihat berdansa penuh gaya, mengejar bola yang dilempar si pelatih ke udara, atau melompati lingkaran yang digantung di ketinggian. Mereka tampak begitu pintar. Mereka tampak begitu riang saat mendapatkan tepuk riuh para penonton.



Di mata seorang dewasa pada umumnya, Taman Safari dan berbagai pertunjukan satwa itu nilainya mungkin tidak seheboh tanggapan anak kecil yang pikirannya masih sederhana. Mungkin orang-orang dewasa itu akan membawa pengetahuan umum mereka saat mereka berjumpa dengan berbagai satwa itu. Mereka yang memiliki pengetahuan cukup baik di bidang biologi mungkin akan berusaha mencocokkan pengetahuan yang ia punya dengan apa yang ia saksikan. Mereka yang hanya punya pengetahuan umum mungkin hanya akan berpikir tentang tempat asal satwa-satwa itu dan bagaimana mereka bisa bertahan hidup di habitat baru mereka ini. Mereka mungkin membayangkan betapa sibuknya pengurus Taman Safari ini memberi makan satwa-satwa itu setiap hari. Apalagi satwa-satwa itu berjenis karnivora. Bagaimana pula cara para penjaga merawat kesehatan mereka?

Namun mungkin dunia akan tampak berbeda saat pengetahuan memberi kita kacamata yang akan memberi warna baru pada apa yang ada di hadapan kita.

Mungkin memang benar. Pada pandangan pertama, kita semua mungkin akan merasa takjub dengan pemandangan aneka satwa itu. Namun, berikutnya, pengetahuan kita tentang dunia satwa akan menjadi kacamata yang akan memberi warna tertentu dalam melihat lebih jauh satwa-satwa itu.

Mereka yang sudah pernah bertemu dengan gagasan tentang animal welfare (kesejahteraan binatang) mungkin akan melihat satwa-satwa itu dari sudut pandang yang berbeda. Secara sederhana, animal welfare adalah keadaan satwa yang sehat, nyaman, aman, dan sejahtera. Tiga tahun lalu, saya pernah mengikuti pemaparan Drh. Wita Wahyu, salah seorang anggota dewan penasihat ProFauna, tentang animal welfare ini. Menurut Drh. Wita, setidaknya ada lima hal yang harus diperhatikan untuk menjamin terpenuhinya animal welfare ini, yaitu bahwa satwa itu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari rasa tidak nyaman, bebas dari rasa sakit, bebas mengekspresikan perilaku normal, dan bebas dari rasa tertekan.

Satwa liar dipandang punya hak untuk mendapatkan animal welfare. Manusia akan dianggap bersalah jika mengabaikan hak satwa liar ini.

Untuk contoh yang lebih konkret, kita bisa mengambil dari film The Cove. Film dokumenter tahun 2009 ini menuturkan perjalanan Rick O’Barry, seorang aktivis pembebas lumba-lumba, bersama rekan-rekannya dalam merekam penangkapan dan pembantaian lumba-lumba yang rutin dilakukan di sebuah teluk kecil di Taiji, Jepang. O’Barry, yang merupakan mantan pelatih lumba-lumba di serial televisi pertama yang menampilkan lumba-lumba, melalui film dokumenter yang mendapatkan penghargaan Academy Award 2010 sebagai film dokumenter terbaik ini membuka mata kita betapa lumba-lumba sirkus seperti di Taman Safari atau di tempat lainnya tak mendapatkan kenyamanan atau bisa kita sebut tersiksa.

Dalam The Cove, digambarkan bahwa di alam liar lumba-lumba bisa menempuh jarak sekitar 40 mil dalam sehari. Ia makhluk yang suka berkelana di tengah luas samudera. Bayangkanlah bagaimana rasanya saat ia dikurung dalam kolam yang luasnya tak seberapa.

Ric O’Barry juga menuturkan bahwa lumba-lumba itu makhluk akustik yang sangat peka dengan suara. Telinga adalah indra penting mereka. Di awal-awal industri hiburan lumba-lumba, kata O’Barry, banyak lumba-lumba yang tidak bisa bertahan lama di kolam karena sistem penyaringan suara yang buruk dan membuat lumba-lumba itu tertekan (stres) dan mati.

Bagaimana teknologi kolam lumba-lumba saat ini khususnya terkait dengan pengelolaan suara? Saya tidak tahu pasti. Yang jelas bisa kita lihat, seperti di Taman Safari, adalah soal ukuran kolam yang terbatas. Selain itu, saya juga teringat pemaparan O’Barry yang menjelaskan bahwa dalam industri hiburan lumba-lumba, digunakan obat-obatan tertentu untuk mengurangi tingkat stres lumba-lumba saat tampil menghibur.

Dalam The Cove digambarkan bahwa Taiji adalah penyedia terbesar lumba-lumba yang disalurkan ke tempat-tempat hiburan di dunia. Seekor lumba-lumba untuk sirkus bisa dihargai hingga 150.000 dolar Amerika. Di Taiji, lumba-lumba yang tidak cocok untuk sirkus diambil dagingnya. Diperkirakan, sekitar 23 ribu lumba-lumba ditangkap di Jepang setiap tahun.

Poster film The Cove dan foto Rick O'Barry. Sumber gambar: Wikipedia

Jadi, penampilan lumba-lumba sirkus yang kelihatan riang gembira itu tampaknya sungguh menipu. Apalagi para penonton yang hanya bisa melihat dari sisi luaran dan tidak mendapatkan informasi tentang lumba-lumba sirkus sebagaimana dalam film The Cove tersebut. Karena itu, di mata seorang dewasa yang sudah pernah menonton film The Cove, penampilan lumba-lumba di Taman Safari mungkin akan membuat ia sedih. Ia dapat memperkirakan penderitaan lumba-lumba yang tengah dipaksa menghibur ratusan penonton itu.

Apakah hewan-hewan sirkus semuanya menghadapi penderitaan seperti lumba-lumba itu? Saya tidak tahu pasti. Tapi konon hewan-hewan sirkus itu pada umumnya mula-mula dilatih dengan memadukan siksaan dan sistem reward and punishment. Ia dibuat paham dengan perintah tertentu yang dalam proses latihannya ia bisa disiksa bila tidak mengikuti perintah yang diinginkan dan akan diberi upah (dalam bentuk makanan) jika mau tunduk pada perintah.

Demikianlah. Pengetahuan tertentu kadang dapat memberi kita kacamata baru sehingga dunia akan tampak begitu berbeda dari biasanya. Memang kadang kacamatanya justru membuat kita gelisah, seperti dalam kasus lumba-lumba di atas. Kita tidak jadi terhibur menyaksikan lumba-lumba di Taman Safari, tapi mungkin jadi berpikir lebih jauh dan mungkin juga berempati. Ini mungkin termasuk jenis pengetahuan yang menggelisahkan—the awful truth, dalam istilah Michael Moore.

Jika dunia sudah tampak berbeda bagi seseorang yang punya pengetahuan, lalu bagaimana cerita selanjutnya? Apakah pengetahuan yang telah memberi kacamata berbeda itu dapat memberikan perubahan yang lebih nyata? Jika yang diharapkan adalah perubahan yang lebih nyata, dari manakah ia mestinya bermula? Bagaimana caranya? Hal apakah yang paling penting untuk mewujudkan dan memulai perubahan yang nyata ini?

Sampai di sini, alhamdulillah, saya diingatkan kembali dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menalikan pengetahuan dengan dunia dan perubahan nyata.

Wallahualam.

Baca juga:
>> Ironi Pengetahuan


Read More..

Sabtu, 17 Mei 2014

Keruwetan Berbiaya Mahal


Sebelumnya saya memohon maaf kepada para pembaca karena apa yang akan saya tulis ini bukanlah berangkat dari fakta dalam pengertian yang ketat. Saya tidak mengetahui atau menemukan sendiri sebagian besar fakta yang saya sebut dalam tulisan ini. Jadi, saya mungkin seperti bersandar pada dinding informasi yang tidak kuat, karena dinding itu hanya dibangun dari batu bata informasi yang bukan dari tangan pertama. Saya menulis ini di antaranya dengan harapan untuk mendapatkan ketegasan tentang dasar fakta yang saya asumsikan dari para pembaca sekalian.

Saya akan menulis tentang “keruwetan” yang terjadi setelah pemilihan calon anggota badan legislatif—selanjutnya saya singkat “pileg”—yang berlangsung bulan lalu, tepatnya hari Rabu, 9 April 2014. Saya kesulitan untuk menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan titik fokus hal yang akan saya tuturkan, sehingga saya akhirnya hanya bisa menggunakan kata “keruwetan”.

“Keruwetan” yang saya maksudkan adalah hal-hal buruk yang mungkin bisa disebut ekses dari pelaksanaan pileg tersebut. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ekses” berarti “hal (peristiwa) yang melampaui batas”. Mungkin ada beberapa atau bahkan banyak hal buruk yang merupakan sesuatu yang berada di seberang tujuan pelaksanaan pileg itu sendiri. Tapi saya hanya akan mencatat beberapa yang saya anggap cukup penting dan terlintas dalam pikiran saya.

Keruwetan pertama, pileg telah menghancurkan ikatan-ikatan sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat kita. Banyak orang mengatakan bahwa pileg kali ini sama halnya dengan pemilihan kepala desa (pilkades). Sebagaimana dalam pilkades, seolah-olah sudah tak ada lagi partai—mungkin juga ideologi. Yang ada adalah orang-orang yang maju—katanya—sebagai calon wakil rakyat. Dalam situasi seperti ini, para calon anggota badan legislatif berupaya keras untuk mencapai tujuannya, yakni duduk sebagai wakil rakyat, tanpa harus memperhatikan calon yang lain yang juga berasal dari partai yang sama (yang idealnya mengusung satu napas perjuangan yang sama).

Karena itu, tak heran, setelah coblosan, perseteruan soal hasil penghitungan suara tidak hanya melibatkan partai politik yang berbeda. Tidak sedikit perselisihan terjadi di antara sesama calon yang berasal dari bendera partai yang sama. Perselisihan di sini dalam bentuk konkretnya secara ekstrem berupa pengambilan (atau pencurian) suara. Di sebuah media dalam jaringan, saya membaca perselisihan macam ini yang terjadi di antara beberapa calon dari satu partai untuk tingkat DPR RI dari wilayah Jawa Timur.

Sebenarnya perseteruan macam ini juga bisa terjadi sebelum hari pemilihan. Bentuknya bisa berupa kampanye hitam—dengan tingkat yang berbeda-beda—di antara sesama calon yang bahkan bisa jadi berasal dari satu partai. Saya membaca hal semacam ini di media-media sosial untuk calon-calon yang sifatnya lokal, regional, juga nasional. Perseteruan memang tidak mesti melibatkan calon itu sendiri, tapi terjadi pada tim-tim sukses si calon.

Dalam lingkup yang lebih kecil, di satu desa misalnya, nuansa perseteruan ala pilkades dapat saya rasakan. Dalam kehidupan masyarakat desa, hubungan kekerabatan, faktor tetangga, dan jalinan sosial yang lain bisa menjadi pertimbangan penting. Di desa saya, saya mendengar ada sebuah keluarga membagi suaranya untuk DPRD tingkat kabupaten untuk beberapa calon dengan mempertimbangkan jalinan dan irisan sosial yang ada dalam keluarga mereka dengan beberapa calon.

Dengan model pilkades, biasanya hubungan calon dan pendukung atau mereka yang tidak mendukung akan berlanjut setelah pemilihan. Mereka yang sebelumnya tidak mendukung calon yang terpilih biasanya akan mendapatkan tempat di pinggiran. Situasi ini bisa bertahan beberapa lama—bisa hingga beberapa tahun.

Bahkan, saat pileg kemarin, saya mendengar ada calon yang menyebar uang dan menandai dan menghitung secara teperinci perkiraan dan perolehan suaranya di tiap tempat pemungutan suara (TPS) berdasarkan amplop yang telah disebar sebelumnya. Cara ini katanya diiringi dengan semacam ancaman: bahwa jika ternyata ada selisih suara antara amplop dan hasil di TPS, maka si calon tidak akan bertanggung jawab atas situasi keamanan di wilayah itu.

Beberapa contoh yang saya kemukakan ini menurut saya menunjukkan adanya pertanda terlepasnya ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat kita. Saya menangkap ada benih-benih penyekatan dalam ruang sosial di antara calon yang saling bersaing itu yang dampaknya bisa cukup mahal dan fatal. Dalam bentuk yang sederhana dan berskala kecil, mungkin sekali muncul kerenggangan antara dua orang atau lebih akibat perbedaan dukungan politik. Dalam bentuk yang lebih rumit, ini bisa meluas pada konflik di antara kelompok-kelompok di masyarakat.

Menurut saya, skala kerenggangan dan konfliknya di antaranya ditentukan oleh kedalaman (intensitas) keterlibatan seseorang dengan calon yang didukungnya, kematangan seseorang dalam melihat perbedaan, dan kerangka politik yang dimiliki si calon yang ditanamkan kepada tim atau pendukungnya. Jika berbagai faktor kunci ini berada dalam kutub negatif, maka mungkin tingkat kerenggangan yang akan dihasilkan bisa cukup ekstrem. Apalagi hal itu terjadi pada tokoh kunci dalam masyarakat yang bisa memengaruhi orang lain.

Hancurnya ikatan-ikatan sosial dalam kehidupan masyarakat kita dari satu sisi berarti hilangnya modal sosial kita sebagai komunitas atau masyarakat. Kehidupan sosial kita tidak akan berjalan dengan baik jika salah satu tali yang mengikat berbagai orang dalam rumpun kehidupan masyarakat lucut. Program-program pembangunan atau semacamnya akan menghadapi kendala yang cukup berarti jika ikatan-ikatan itu telah tercerai berai. Apalagi jika disusul oleh lucutnya tali yang lain. Jika ikatan-ikatan sosial itu lepas, maka itu berarti ancaman bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.

Selanjutnya, keruwetan kedua, dengan adanya politik uang yang luar biasa, pileg kali ini cenderung semakin mengarahkan putusnya ikatan suci dunia politik sebagai ranah pengabdian dan menggantinya dengan tujuan yang sifatnya duniawi. Dunia politik lalu cenderung ditampilkan sebagai panggung perebutan kekuasaan.

Para elite politik (partai) cenderung mempertontonkan perilaku, pernyataan, dan juga perseteruan yang menempatkan politik sebagai hal sangat material dan duniawi kepada masyarakat luas. Ini adalah bentuk “sekolah” atau pendidikan yang sangat manjur karena wujudnya langsung berupa contoh, bukan sekadar kata-kata. Bahkan kata-kata bisa berseberangan dengan teladan yang ditampilkan.

Jika ada slogan-slogan ideal yang mungkin kadang dikutip dari teks suci dalam panggung kehidupan politik kita, khususnya dalam kaitannya dengan suasana pileg yang lalu, masyarakat masih kesulitan untuk melihat keterkaitan ungkapan-ungkapan ideal itu dengan praktik politik yang tampak di depan mata. Masyarakat masih cukup sulit untuk menemukan teladan dalam kehidupan politik yang menunjukkan kemanjuran teks-teks suci itu sebagai pengarah laku politik mereka.

Lunturnya misi suci politik dalam kehidupan masyarakat tidak saja menjadi contoh pendidikan politik yang bersifat negatif. Ia juga menenggelamkan salah satu harapan kekuatan sosial yang dapat mengusung perubahan secara sistematis dalam kehidupan bermasyarakat. Politik sebagai proses tawar-menawar terkait tata kelola kehidupan bersama menjadi surut dalam tujuan jangka pendek yang dangkal dan duniawi.

Jika dicermati lebih jauh, dua sisi keruwetan yang saya gambarkan di sini ternyata berbiaya mahal. Banyak orang mengatakan bahwa pileg kali ini tampaknya memang telah semakin ramai dengan politik uang. Bisik-bisik di masyarakat di sekitar saya menunjukkan hal tersebut. Untuk calon anggota badan legislatif di tingkat kabupaten, saya mendengar beberapa calon mengeluarkan dana ratusan juta rupiah. Bahkan tidak sedikit yang di atas satu miliar!

Saya mencoba membayangkan, dari ratusan calon anggota badan legislatif di Sumenep, berapa miliar uang yang bertaburan dalam beberapa bulan di sekitar pileg tahun ini? Demikian juga, berapa dana yang masyarakat keluarkan untuk kepentingan pileg? Kemudian, apa yang mereka dan masyarakat akan dapatkan dari jumlah yang begitu besar itu, setidaknya dalam lima tahun ke depan?

Di media saya membaca berita tentang calon yang gagal yang kemudian berakhir dengan kondisi kejiwaan yang tertekan (stres). Ada pula yang tersiar berusaha menarik kembali uang atau sumbangan yang sebelumnya ia keluarkan. Pada tingkat perseorangan pun, ternyata keruwetan kadang ternyata harus bermodal mahal.

Membaca berbagai keruwetan setelah pileg di atas, masih layakkah kita menaruh harapan? Di kabupaten saya, melihat daftar anggota badan legislatif yang terpilih, saya bersyukur masih bisa melihat beberapa nama yang tampaknya masih bisa diberi harapan. Saya sadar bahwa memang tak ada orang yang sempurna. Tapi saya pikir ada beberapa orang yang insya Allah bisa berbuat sesuatu di sana.

Namun kadang pikiran saya masih terbentur lagi dengan gagasan tentang “dunia dewan” yang tampaknya memiliki aturan (“struktur”) tersendiri. Sebagai sebuah dunia yang secara relatif dapat berdiri sendiri, ia bisa memiliki kekuatan pengubah atau bahkan pengendali pada kehendak dan idealisme seseorang. Untuk mereka yang tadi saya sebut layak diberi harapan, saya bertanya-tanya apakah mereka dapat selamat dari ekses buruk struktur “dunia dewan” tersebut sehingga dengan segala keterbatasannya dunia ideal mereka dapat terus dibawa dan diperjuangkan di sana?

Dari jauh, saya mencoba merawat harapan yang rasanya cukup berat ini. Semoga Allah memberi kekuatan bagi mereka yang punya niat baik untuk berjuang demi kehidupan masyarakat yang lebih baik.


Baca juga:
>> Money Politics Around Us
>> For Whom the People (don't) Hope


Read More..

Sabtu, 10 Mei 2014

Dunia Ayah Kian Menyempit


Sekitar hampir setahun setengah ini, dunia ayah saya kian hari tampaknya semakin menyempit. Hari-harinya hampir sepenuhnya hanya dihabiskan dengan berbaring di kamar. Ayah tak bisa ke mana-mana. Untuk duduk saja ayah sudah mesti dibantu. Ia sudah tak kuasa berjalan tanpa dibantu kursi roda. Bahkan, untuk berdiri tegak pun, ia sudah sangat kesulitan meski dibopong.

Dunia ayah saya benar-benar telah semakin menyempit. Beberapa bulan terakhir, kata-katanya sudah sangat sulit dimengerti, bahkan oleh kami yang sehari-hari hidup bersama dengannya. Dengan wajah yang tampak begitu lelah dan kusut, terkadang ayah berteriak seperti memanggil-manggil orang. Namun kami tidak tahu pasti apa maksudnya.

Dengan pelafalan yang nyaris tak jelas, kami hanya bisa menerka makna yang ada di balik suara ayah yang lebih sering seperti gumaman itu. Kadang kami menangkap rasa pasrah, atau perasaan yang kosong, saat makna di balik lafal-lafalnya itu gagal ditangkap atau dijawab sekenanya. Kadang pula kami menangkap rasa serupa geram. Pada saat seperti itu, saya membayangkan mungkin ayah saya merasa tengah berada di perbatasan dunia. Ayah berusaha berpegang dan bertahan agar tetap berada di satu dunia bersama kami.

Bahasa memang bisa menyatukan dan memisahkan, seperti kisah Iskandar Dzulqarnain yang direkam al-Qur'an, saat ia tiba di antara dua gunung dan penduduknya menggunakan bahasa yang nyaris tak bisa dipahami. Itulah mungkin gambaran tentang batas dunia—dunia kita yang dibatasi bahasa.

Jika dikatakan bahwa makna kata-kata itu sifatnya manasuka, maka kini saya semakin paham betapa kata-kata atau bahasa tidak lebih hanya soal kesepakatan. Manusia belajar berbahasa dan merekam kata-kata dengan menyimpan makna yang sifatnya manasuka itu dalam ingatannya. Lalu bagaimanakah jika kata-kata yang dilontarkan pun dilafalkan dengan tidak jelas dan nyaris seperti manasuka?

Namun begitu, saya percaya bahwa di balik pelafalan yang terganggu, dunia ide ayah saya masih hidup meski mungkin tak semeriah saat ia masih sehat. Dunia ide ayah saya tampaknya masih mampu menangkap suasana bahagia, sedih, dan semacamnya, atau bahkan merekam nama-nama baru yang masuk ke dalam dunianya yang makin menyempit itu.

Saat saya membawa dan memperkenalkan istri saya untuk pertama kalinya ke hadapannya, ayah saya menunjukkan ketersambungannya dengan ungkapan haru dan sesenggukan tertahan. Pernah suatu hari saat saya hanya pulang sendiri ke rumah tanpa istri saya, saya mencoba menguji ingatan ayah saya tentang nama istri saya. Ternyata ayah saya bisa mengingat dan menyebutnya dengan baik.

Tapi bagaimanapun, dunia ayah saya memang kian menyempit. Mungkin kini ayah hanya menyimpan sejumlah gagasan dalam jumlah yang amat sedikit—yang mungkin tak lain hanya berkaitan dengan hal-hal mendasar terkait kebutuhan manusia untuk bertahan hidup ditambah dengan perbendaharaan yang berisi orang-orang terdekatnya.

Menyaksikan dunia ayah saya yang menyempit itu, kadang saya teringat pada saat ayah saya untuk pertama kalinya menyeberang Jembatan Suramadu di pertengahan Juni 2010 saat bersama kerabat yang lain menjemput kedatangan saya dari Eropa. Surabaya—itulah jarak terjauh yang ditempuhnya setelah pada akhir 2007 ayah diserang stroke ringan.

Apakah yang ayah rasakan saat itu, empat tahun yang lalu, saat kami bersama-sama berkumpul dengan lengkap untuk sebentuk rasa syukur atas tuntasnya studi dan kedatangan saya? Saya juga teringat Mei 2007, saat ayah menghadiri wisuda saya di Yogyakarta bersama kerabat-kerabat dekat. Saya melihat foto wisuda saya, menatap ekspresi bahagia ayah di antara istri dan anak-anaknya. Ya Allah, lama saya tak melihat raut wajah ayah yang seperti itu.

Kini, dalam dunianya yang semakin menyempit itu, ayah hampir pasti akan memanggil-manggil kami jika di kamarnya ayah hanya sendiri dan sedang terjaga. Ayah memang tak perlu apa-apa, hanya ingin ada salah satu dari kami di sana. Apakah dunia yang kian menyempit itu telah menghadirkan rasa cemas untuknya?

Ayah saya memang termasuk orang yang suka "kepikiran" saat anak-anaknya pergi ke tempat jauh. Saat untuk pertama kalinya saya berangkat kuliah ke Yogyakarta pada tahun 1997, kami dapat menangkap kecemasannya. Begitu juga saat adik-adik saya melanjutkan studi ke luar kota selang beberapa tahun kemudian.

Dunia ayah kian hari tampak kian menyempit. Beberapa pekan terakhir, saya menyaksikan betapa sulitnya ayah untuk bergerak atau ke kamar mandi meski sudah dibantu. Ya Allah, kadang saya merasa tidak tega saat menangkap ketakberdayaan dan rasa sakitnya saat ayah dibantu berjalan.

Kini, dalam dunianya yang semakin menyempit, saat saya berada di kamar mendampinginya, saya sering bertanya-tanya apakah ayah masih menyimpan gagasan tentang doa dan harapan. Saat pikiran dan dunianya semakin tergerus oleh penyakit dan usia, apakah ayah masih terpikir untuk mendoakan kami, putra-putrinya, seperti dahulu dilakukannya?

Beberapa bulan lalu pernah ada orang yang bertamu untuk meminta doa berkah dari ayah. Saya yang menemuinya di ruang tamu. Saat saya menyampaikan maksud kedatangan si tamu kepada ayah yang terbaring di kamar, ayah tampak masih tersambung. Saya memandu ayah untuk berdoa sesuai dengan maksud kedatangan si tamu, dan ayah terdengar membacakan doa.

Menyaksikan hal ini, saya merasakannya sebagai bagian dari setitik harapan. Menghadapi kehidupan baru dan merasakan beratnya tantangan hidup ke depan, saya tentu sangat berharap dari doa dan perkenan orangtua. Saya percaya bahwa doa mereka akan menjadi kekuatan berharga buat saya. Semoga Allah senantiasa memberkahi kedua orangtua saya. Amien.

Baca juga:
>> Ayah, Apa Kau Masih Bisa Memimpin Pembacaan Shalawat di Perayaan Maulid Tahun Ini?

Read More..