Kamis, 28 Maret 2013

Guru Annuqayah Merancang Buku Tafsir Juz ‘Amma



Menindaklanjuti Temu Guru Penulis di SMA 3 Annuqayah 21 Maret lalu yang merupakan forum diskusi guru untuk menyemarakkan semangat membaca dan menulis, tadi sore 13 guru berkumpul di SMA 3 Annuqayah. Mereka berasal dari beberapa sekolah di Annuqayah, yakni SMA 3 Annuqayah, Madrasah Aliyah 1 Annuqayah, dan Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Putri. Beberapa guru yang semula berniat hadir, termasuk dari beberapa sekolah yang lain, ternyata izin karena beberapa hal.

Pertemuan ini merupakan pertemuan pertama yang dimaksudkan sebagai langkah pertama untuk menebitkan buku karya bersama guru Annuqayah. Kepada guru-guru Annuqayah, saya menawarkan untuk menulis buku yang bertajuk “Tafsir Juz ‘Amma”. Setelah beberapa hari sebelumnya saya berjumpa dan berdiskusi dengan beberapa guru Annuqayah yang kira-kira berminat untuk bergabung dalam proyek ini, saya menyusun kerangka acuan dan melampirkan contoh tulisan saya yang kira-kira serupa dengan model tulisan yang akan disusun nanti. Alhamdulillah banyak guru yang berminat. Tercatat 20 guru yang menyatakan siap bergabung dalam proyek penerbitan buku karya bersama ini.

Saya menawarkan tafsir juz ‘amma atas beberapa pertimbangan. Pertama, belajar menulis yang mudah itu adalah jika kerangka tulisannya sudah cukup jelas. Menurut saya, dengan target menulis karangan yang kira-kira bertujuan untuk memperkaya pemahaman pembaca pada ayat atau sekelompok ayat tertentu dengan tema yang sudah ditentukan, maka prosesnya relatif akan lebih mudah. Kedua, saya melihat guru Annuqayah banyak yang cukup akrab dengan pustaka kitab klasik karya ulama-ulama terdahulu, termasuk kitab tafsir. Jadi, guru-guru ini sudah punya jalan masuk yang cukup mulus untuk mengisi kerangka karangan yang sudah tersedia itu.

Selain dua pertimbangan ini, saya sebenarnya juga punya pertimbangan subyektif. SMA 3 Annuqayah membutuhkan bahan pengayaan pelajaran al-Qur’an khusus untuk juz ‘amma, karena SMA 3 Annuqayah sejak 2008 mencanangkan fokus pembelajaran al-Qur’an pada juz terakhir tersebut. Jadi, proyek ini secara tidak langsung juga akan membantu SMA 3 Annuqayah untuk memenuhi kebutuhannya itu.

Pertimbangan-pertimbangan di atas sebenarnya muncul setelah saya terinspirasi oleh faktor yang lain, yakni keterlibatan saya dalam sebuah proyek penerbitan al-Qur’an yang digagas oleh Penerbit Al-Mizan, salah satu anak perusahaan PT Mizan Pustaka, Bandung, yang bergerak secara khusus dalam penerbitan al-Qur’an. Setelah mengerjakan pesanan tulisan untuk proyek yang saya kerjakan selama hampir dua bulan itu, saya merasa bahwa menulis esai atau artikel pengayaan untuk ayat al-Qur’an akan cukup mudah dilakukan oleh guru-guru pesantren pada umumnya.

Diskusi tadi sore dimulai pukul 14.00 WIB, telat 30 menit dari rencana semula karena para peserta terhalang oleh hujan deras. Saya memulai pertemuan tadi dengan memaparkan kerangka acuan yang telah saya buat, mulai dari latar belakang, tujuan, dan desain buku yang saya tawarkan. Diskusi cukup menghangat saat kami mendiskusikan desain buku yang akan ditulis. Setelah beberapa guru mengemukakan pendapatnya, kami sepakat bahwa buku yang akan disusun ini sifatnya adalah pengayaan pembelajaran yang sekaligus bisa dinikmati oleh pembaca umum. Para guru bersepakat untuk menggunakan rujukan utama kitab tafsir klasik ditambah dengan pustaka masa kini. Adapun panjang tulisan tiap judul disepakati paling sedikit 400 kata.

Diskusi menjadi panjang saat masuk pada tahap penentuan tema dan kelompok ayat yang akan dibahas. Akhirnya, kami membagi juz ‘amma dalam enam bagian yang masing-masing bagian ditugaskan kepada 2-3 orang guru untuk mengangkat tema dan menentukan kelompok ayatnya. Guru yang tidak hadir tapi bersedia bergabung juga akan diminta untuk memilih tema yang akan ditulis nanti.

Rencananya, jika nanti sudah terkumpul semua, kami akan mendiskusikan dan memilih tema-tema yang telah ditentukan oleh guru yang ditunjuk. Kami akan memilih tema-tema apa saja yang nantinya akan ditulis untuk buku ini. Kami sepakat untuk menyelesaikan pemilihan tema ini di kelompok masing-masing pada tanggal 8 April, dan 11 April kami akan mendiskusikannya bersama-sama. Setelah itu, tema terpilih akan dibagikan kepada para guru yang bersedia menulis.

Sampai pada titik ini, rasanya kami optimis bahwa karya bersama para guru Annuqayah ini telah menemukan jalan yang cukup lapang. Di bagian akhir, saya menambahkan sedikit dorongan kepada para guru yang hadir untuk mencoba mengembangkan proyek penulisan buku yang dilakukan secara pribadi. Saya memberi contoh kemungkinan model buku yang bisa ditulis oleh para guru yang bahan dasarnya berangkat dari al-Qur’an. Jika kemampuan membaca bahan-bahan rujukan utama sudah dimiliki, para guru ini tinggal maju beberapa langkah saja untuk bisa menerbitkan buku karya sendiri. Dan dengan sering berjumpa dan saling memberi semangat, saya pikir kekuatan kami bisa tetap terjaga dan mungkin akan bertambah.

Semoga Allah meridai dan memberi kami kemudahan untuk niat baik ini.

Read More..

Rabu, 27 Maret 2013

Menyemarakkan Semangat Membaca dan Menulis di Sekolah


Perhatian lembaga pendidikan pada kemampuan membaca dan menulis tampak masih kurang. Tidak banyak kebijakan yang dibuat untuk mendukung pada penguatan kedua hal tersebut. Membaca dan menulis tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting. Di antara fakta yang dapat membuktikan hal ini adalah lemahnya dukungan sekolah pada perpustakaan dan penerbitan. Guru-gurunya pun tidak didorong untuk rajin membaca dan atau menulis.

Dengan keadaan seperti ini, saya bersama beberapa rekan guru yang menaruh perhatian pada membaca dan menulis merancang kegiatan yang dimaksudkan untuk menyemarakkan semangat membaca dan menulis di sekolah. Kami menamakannya Gerakan Literasi.

Gerakan Literasi ini sudah dimulai pada 14 Maret lalu. Bersama K. A. Dardiri Zubairi dan Asy’ari Khatib, saya berbincang di hadapan guru-guru belasan sekolah di wilayah timur Sumenep. Acara yang diberi judul Temu Guru Penulis ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Nasy’atul Muta’allimin Gapura yang dikepalai oleh Kiai Dardiri. Diskusi yang berlangsung hampir 3 jam ini berlangsung penuh semangat.

Momentum Gerakan Literasi ini secara kebetulan juga bersamaan dengan baru saja diterbitkannya buku yang ditulis oleh kami bertiga yang menjadi narasumber di Gapura. Kiai Dardiri baru saja menerbitkan buku Rahasia Perempuan Madura: Esai-Esai Remeh Seputar Kebudayaan Madura (Pena Pesantren, 2013), Pak Asy’ari belum lama menerbitkan Tobat Itu Nikmat (Zaman, 2013), dan saya sendiri baru saja menerbitkan buku di LKiS, berjudul Sekolah dalam Himpitan Google dan Bimbel.

Kegiatan di Gapura menyepakati beberapa tindak lanjut, seperti pelatihan menulis untuk guru, pembuatan media komunikasi di internet, dan sebagainya. Yang tak kalah penting, forum menyadari akan pentingnya berjejaring.

Dalam kerangka membangun langkah bersama, kegiatan serupa kemudian juga dilaksanakan di SMA 3 Annuqayah sepekan kemudian, yakni pada hari Kamis (21/3) yang lalu. Dalam acara ini, hadir pula K. M. Faizi, pengasuh muda Annuqayah yang sudah menerbitkan banyak buku. Jika kegiatan di Gapura menghadirkan guru-guru dari wilayah timur Sumenep, dalam acara ini guru-guru yang diundang berasal dari sekolah-sekolah di wilayah barat Sumenep, yakni meliputi Kecamatan Guluk-Guluk, Ganding, dan Pragaan. Hadir pula beberapa guru dari Kecamatan Bluto dan Rubaru. Semuanya berjumlah sekitar 100 orang.

Sebelum diskusi dimulai, sambil menunggu peserta, mulai pukul 8.30 WIB diputar film Science and Islam, sebuah film dokumenter produksi BBC (2009) yang memaparkan cikal bakal kemajuan peradaban Islam abad pertengahan.

Pukul 9.40 WIB, diskusi dimulai. Setelah saya memberi pengantar yang menjelaskan tentang latar belakang dan tujuan kegiatan ini, Asy’ari Khatib memaparkan pengalamannya bergelut dengan dunia buku dan kepenulisan. Selain sering menulis puisi, dia telah banyak menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab.

Pak Asy’ari menuturkan bahwa dalam pandangan masyarakat awam, membaca dan menulis itu dianggap bukan pekerjaan—dipandang tidak bernilai. Guru yang kini tinggal di Pekamban, Pragaan, itu menceritakan pengalamannya di lingkungan keluarganya dalam menilai kegiatan membaca dan menulis. Meski semula dipandang dengan kurang simpatik, namun kini dia berhasil menunjukkan bahwa menulis dapat menghasilkan uang. Lebih dari itu, dia menyampaikan pengalamannya dalam menerjemahkan sejumlah buku yang mengangkat tema kehidupan Nabi Muhammad saw. yang memberinya banyak hikmah terutama yang bersifat spiritual.

Setelah Pak Asy’ari, giliran Kiai Faizi yang menyampaikan pemaparan. Kiai muda yang pada tahun 2011 diundang ke Berlin untuk membacakan puisi ini berkisah tentang beberapa eksprimen kepenulisan di sekolah. Sekitar delapan tahun yang lalu, dia pernah mendorong dua siswa Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah untuk menulis sampai akhirnya diterbitkan oleh sebuah penerbit di Yogyakarta. Untuk mendorong semangat membaca dan menulis, dia pernah mengadakan lomba meresensi buku di perpustakan sekolah. Pemenangnya diberi hadiah buku yang dibelinya dari buku-buku obral di Yogyakarta.

Selain itu, Kiai Faizi juga bercerita tentang proses kreatif menulis. Dia menyampaikan bahwa penting sekali untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang tak biasa. Maksudnya, dengan membebaskan imajinasi sehingga ide yang muncul menjadi menarik. Dia memberi contoh kreativitas pembuat film Tom & Jerry yang ide-idenya kaya dan melabrak logika.

Kiai Faizi juga memaparkan pengalamannya dalam menerjemah buku dan menulis buku anak. Dalam kesempatan ini, dia juga membawa contoh buku-buku yang diterbitkannya serta buku karya murid-murid yang lahir dari proses pendampingan yang dilakukannya.

Sesudah Kiai Faizi, Kiai Dardiri mengisahkan pengalaman menulisnya, khususnya di media blog. Dia mulai membuat blog sejak tahun 2009. Sejak itu, dia berusaha menulis dua tema utama, yakni kebudayaan Madura serta keluarga dan pendidikan. Khusus tentang kebudayaan Madura, dia melihat bahwa banyak hal menarik di Madura yang belum diangkat ke permukaan, seperti tentang memelihara ayam, kebiasaan merokok dan minum kopi, naik haji, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dia pikir akan dapat memperkenalkan kebudayaan Madura yang penuh nilai-nilai menarik kepada khalayak lebih luas. Beberapa tulisan tentang kebudayaan Madura di blognya itulah yang kemudian baru saja diterbitkan menjadi buku.

Selanjutnya, saya berusaha merangkum pemaparan ketiga narasumber dengan memberikan gambaran betapa nilai membaca dan menulis ini sangat penting dalam mendukung proses pendidikan. Membaca dan menulis bisa menjadi penyelamat dalam keterbatasan sistem dan fasilitas pendidikan yang ada. Saya menggambarkan betapa potensi membaca dan menulis bisa memberi nilai lebih bagi proses pendidikan. Saya juga mencoba menampilkan beberapa upaya yang telah dilakukan SMA 3 Annuqayah untuk menyemarakkan semangat membaca dan menulis di sekolah, seperti program Perpustakaan Masuk Kelas, dan sebagainya.


Dalam sesi tanya-jawab, banyak sekali guru yang mengajukan pertanyaan. Namun, karena keterbatasan waktu, pertanyaan dan tanggapan hanya diberikan kepada empat penanya. Setelah ditanggapi, sesi dilanjutkan dengan rencana tindak lanjut. Peserta dari Rubaru, Raudlatun Odax, meminta narasumber untuk bersedia menghadiri kegiatan serupa di sekolah di Rubaru. Peserta juga menyarankan untuk mengadakan pertemuan rutin di antara guru-guru untuk berbagi pengalaman membaca sambil belajar menulis. Forum juga merekomendasikan agar sekolah-sekolah yang ada berjejaring, termasuk dengan jaringan guru di wilayah timur Sumenep.

Kegiatan ini diakhiri pada pukul 13.00 WIB. Sebelum ditutup, beberapa peserta mendapatkan buku gratis dari narasumber. Selain itu, 30 perwakilan lembaga yang hadir masing-masing mendapatkan 10 eksemplar buku saya yang berjudul 10 Bulan Pengalaman Eropa untuk koleksi perpustakaannya masing-masing. Ada 383 judul yang dibagikan dalam acara ini. (Di Gapura, saya membagikan 296 buku yang sama kepada peserta dan perwakilan sekolah).

Pembagian buku gratis ini terlaksana atas dukungan Satria Dharma, ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI), yang mengganti biaya cetak buku yang dibagikan tersebut. Selain itu, Pak Satria, yang punya semangat luar biasa untuk mendorong literasi di sekolah, juga membantu pendanaan kegiatan ini, baik kegiatan di MA Nasy’atul Muta’allimin Gapura maupun di SMA 3 Annuqayah. Terima kasih, Pak Satria. Jazakumullah khayral jaza’. Semoga langkah ini akan dapat memberikan hasil bagi peningkatan mutu pendidikan kita semua.

Read More..

Minggu, 17 Maret 2013

Menjadi Kepala Sekolah yang Cakap



Sejak diangkat menjadi kepala sekolah pada pertengahan 2010 yang lalu, saya belum pernah mendapatkan arahan atau pelatihan secara khusus yang berkaitan dengan kecakapan (kompetensi) kepala sekolah. Secara lebih terperinci, saya tidak tahu persis tugas-tugas sebagai kepala sekolah. Sementara itu, latar belakang atau riwayat pendidikan saya bukan dari jurusan kependidikan.

Namun bukan berarti saya bekerja tanpa arahan sama sekali. Di tahun pertama, bersama pengurus sekolah, saya mencoba menegaskan tata kerja struktur pengurus sekolah yang memang sudah ada. Butir-butir dalam tata kerja ini dibuat lebih jelas dan ditegaskan maksud serta cakupan pengertiannya.

Melihat jauh ke belakang, di tahun 2008 saya sebenarnya pernah mengikuti pelatihan untuk kepala sekolah yang diadakan oleh Teacher Institute Sampoerna Foundation, Jakarta. Kebetulan pada waktu itu Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, sedang menjalin kerja sama dengan Sampoerna Foundation untuk peningkatan mutu madrasah, dan saya bekerja sebagai petugas setempat di Annuqayah yang membantu mengelola kegiatan dalam kerja sama tersebut. Jadi, meski waktu itu saya bukan kepala sekolah, saya juga mengikuti kegiatan pelatihan kepala sekolah itu.

Silabus kegiatannya meliputi beberapa tema, di antaranya: kepemimpinan, pengembangan visi dan misi sekolah, pengembangan kebijakan, pengelolaan keuangan, dan sebagainya.

Namun kegiatan tersebut bagi saya terasa kurang secara jelas memberikan gambaran tugas dan kecakapan yang harus dimiliki seorang kepala sekolah. Mungkin kesan kurang jelas ini saya dapatkan karena waktu itu saya sendiri belum menjadi kepala sekolah.

Karena itu, ketika di pertengahan Januari lalu saya mendapatkan informasi bahwa Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan (Pusbang Tendik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI akan merekrut tim penulis Bahan Pembelajaran Utama (BPU) untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala sekolah, saya seperti menemukan sesuatu yang saya tunggu-tunggu. Ini kesempatan untuk belajar tentang bagaimana menjadi kepala sekolah “yang benar” dalam sudut pandang yang lebih utuh. Tambahan lagi, ini juga kesempatan untuk terlibat dalam sebuah tim kerja yang akan berperan cukup penting di tingkat nasional.

Singkat cerita, pertengahan Februari saya mendapatkan kabar bahwa saya lolos seleksi masuk sebagai salah satu anggota tim penulisan Bahan Pembelajaran Utama (BPU) untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala sekolah tersebut.

Lokakarya Penulisan Bahan Pembelajaran Utama (BPU) untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan kepala sekolah dilaksanakan selama 5 hari di Hotel Grand Mercure, Jakarta, tepatnya pada tanggal 4-8 Maret yang lalu. Ada sekitar 100 anggota tim yang hadir pada kegiatan ini.

Kenapa anggota timnya bisa banyak sekali?

BPU pengembangan profesi keberlanjutan kepala sekolah dibuat dengan bertitik tolak pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah. Dalam peraturan tersebut, disebutkan ada 33 kecakapan yang harus dimiliki oleh kepala sekolah yang meliputi lima dimensi, yakni kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Nah, BPU yang disusun ini menargetkan untuk secara berkelanjutan memberi bekal semua kecakapan tersebut kepada kepala sekolah.

Berbeda dengan modul, BPU ini menggunakan pendekatan in-on-in dan berbasis kegiatan. Pendekatan in-on-in maksudnya adalah rancangan kegiatan yang terdiri dari tiga tahapan. Tahap pertama, in service learning (disingkat in-1), kepala sekolah mendapatkan pelatihan awal untuk bekal kecakapan tertentu. Selanjutnya, di tahapan on the job learning (disingkat on), kepala sekolah diberi tugas belajar mandiri untuk melakukan sesuatu di sekolahnya terkait kecakapan tertentu tersebut. Di tahapan ketiga, in service learning (disingkat in-2), kepala sekolah kembali berkumpul untuk berbagi pengalaman dan mengevaluasi atas apa yang sudah dilakukan pada tahap on the job learning.

Tim penyusun BPU dari Pusbang Tendik yang bekerja sama dengan Australia’s Education Partnership with Indonesia (AEPI), School System and Quality (SSQ)-AusAID, telah memetakan ketiga puluh tiga kecakapan tersebut dengan juga mempertimbangkan 8 Standar Nasional Pendidikan. Dalam peta yang dibuat itu, dirumuskan ada tiga level kecakapan kepala sekolah yakni pemula, berpengalaman, dan mahir. Di level pemula, kecakapan yang dimasukkan sifatnya mendasar. Maksudnya, kecakapan yang menjadi syarat utama kepala sekolah untuk dapat melaksanakan tugas dasarnya. Di level berpengalaman, kecakapannya sudah lebih rumit karena beberapa merupakan gabungan dari sejumlah butir kecakapan yang ada dalam Permendiknas 13/2007. Di level mahir, kecakapannya lebih bersifat pengembangan tingkat lanjut.

Secara kasar, dari ketiga level ini, ada 24 BPU yang akan disusun untuk masing-masing jenjang pendidikan. Padahal, BPU ini akan dibuat untuk jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Artinya, target kasarnya nanti ada sekitar 96 BPU.

Sebenarnya, Pusbang Tendik sudah memiliki BPU tingkat SD/MI untuk level 1, 2, dan 3. BPU tingkat SD inilah yang kemudian dikaji dan dikembangkan untuk tingkat SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK. Sekitar seratus anggota tim yang diundang kemudian dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang.

Saya kebagian BPU Kewirausahaan. BPU Kewirausahaan ini termasuk dalam kelompok BPU level 2. Anggota tim BPU Kewirausahaan ini adalah Drs. Achmad Ghozin, M.Pd. (pengawas TK/SD pada Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh), Drs. Sunnaidi Solihin, M.M. (Kepala SMK Yapentob Toboali, Kab. Bangka Selatan, Provinsi Bangka Belitung), Ahmad Fadloli, M.Pd. (Kepala SMP Negeri 7 Karawang Barat, Karawang, Jawa Barat), dan saya sendiri.

Semua tim bekerja mengikuti arahan dari panitia dengan runtutan, alokasi waktu, dan pelaporan kemajuan yang terus dipantau. Alur pertama adalah mencermati BPU jenjang SD/MI dengan membuat ringkasannya dalam bentuk tabel. Kemudian masing-masing tim memberikan rekomendasi atas BPU SD tersebut. Rekomendasi di sini bisa dibilang sama dengan kerangka baru untuk BPU yang akan disusun. Pada tahapan ini diskusi di tim terasa cukup serius. Argumen bertaburan dan menghangatkan ruangan yang cukup dingin itu.

Setelah rekomendasi selesai dibuat, tim diminta untuk memasukkan kerangka yang sudah disusun ke dalam template yang telah disediakan panitia untuk kemudian dikembangkan sebagai draft BPU yang dikumpulkan di acara penutupan lokakarya.

Dalam proses penyusunan, tim BPU Kewirausahaan terbilang perlu bekerja lebih keras. Pasalnya, menurut salah seorang peserta yang pernah terlibat dalam proses penyusunan BPU SD/MI, BPU Kewirausahaan termasuk BPU yang paling banyak disorot karena mutunya di bawah rata-rata dibandingkan dengan BPU lainnya. Jadinya, tim BPU Kewirausahaan memang sejak awal sudah merasa tertantang untuk bekerja sebaik mungkin.

Hari Jum’at tanggal 8 Maret sekitar pukul 10.00 WIB, lokakarya ditutup. Berkas BPU dari semua tim dikumpulkan untuk kemudian dievaluasi oleh tim Pusbang Tendik dan SSQ. Alhamdulillah, BPU Kewirausahaan dengan segala keterbatasan akhirnya selesai meski anggota tim memang merasa belum puas. Ada beberapa hal yang belum tuntas. Akan tetapi, karena keterbatasan waktu bagaimanapun naskah BPU harus dikumpulkan.

Perjalanan BPU ini masih panjang. Menurut Pusbang Tendik, sebagaimana disampaikan dalam acara penutupan, dalam satu atau dua bulan ini Pusbang Tendik akan menyelenggarakan lokakarya lanjutan. Namun tidak semua peserta akan diundang. Pusbang Tendik terlebih dahulu masih akan melihat laporan hasil kerja seluruh tim dan laporan pemantauan kerja seluruh peserta selama lokakarya kemarin.

Ya, perjalanan BPU masih panjang untuk benar-benar selesai dan digunakan dalam kegiatan pelatihan peningkatan kecakapan kepala sekolah. Setelah BPU ini selesai disusun, menurut Pusbang Tendik BPU akan diujicobakan di beberapa daerah terlebih dahulu dan dimintakan masukan dari para ahli pendidikan. Baru setelah melewati proses ini, maka BPU secara definitif dianggap selesai, siap dipergunakan, dan diperbanyak sesuai kebutuhan.

Banyak hal baru yang saya peroleh dari kegiatan ini. Jika mau disebutkan, ada tiga manfaat pokok yang saya dapatkan. Pertama, sekarang saya punya pemahaman yang lebih utuh tentang apa yang disebut kepala sekolah yang cakap (kompeten). Dan kecakapan tersebut sudah dipetakan secara baik sehingga dapat lebih mudah dipahami. Memang daftar kecakapan dan pemetaannya itu tidak bersifat statis. Masih terbuka kemungkinan untuk menambahkan bentuk kecakapan yang baru yang belum termuat dalam dokumen Permendiknas 13/2007. Namun daftar kecakapan yang ada saya pikir sudah bagus.

Kedua, saya punya pengalaman baru dalam menyusun buku yang mirip dengan modul, atau buku yang akan dipergunakan untuk pelatihan. Dengan pendekatan in-on-in untuk membekali kepala sekolah dengan sejumlah kecakapan yang telah dirumuskan, model buku yang disusun tentu tak semata menuntut keluasan wawasan dan penguasaan teori yang memadai. Tim penulis dituntut untuk dapat merangkai sejumlah kegiatan (dalam kerangka pendekatan in-on-in) dengan target penguasaan kecakapan tertentu.

Sedangkan manfaat ketiga, melalui kegiatan lokakarya ini saya berjumpa dan berkenalan dengan para pegiat pendidikan yang memiliki latar belakang bermacam-macam. Ada kepala sekolah, pengawas, dosen, pejabat Kemendikbud, penulis, dan sebagainya. Dengan kata lain, kegiatan ini telah memperlebar jaringan kependidikan saya.

Semoga kegiatan ini dapat memberi manfaat kepada saya, dan yang terpenting kegiatan ini dapat terus berlanjut sehingga tujuan untuk meningkatkan mutu kepala sekolah dapat terwujud. Jika lembaga-lembaga pendidikan di negeri ini dikelola oleh kepala sekolah yang baik, saya pikir kita bisa punya harapan yang lebih besar untuk perbaikan mutu kehidupan bangsa ini di hari-hari yang akan datang.

Read More..

Sabtu, 16 Maret 2013

Air Hujan Mencari Jalan Pulang

Air menggenang di tepi jalan masuk ke kompleks PP Annuqayah setelah hujan lebat mengguyur. Foto diambil pada 21 November 2008, dengan kamera Nokia E50.

Di musim hujan, tak ada orang mengeluh soal kekurangan air. Namanya saja musim hujan. Air tumpah nyaris tiap hari dari langit. Tanah lebih sering basah. Tak ada debu beterbangan. Pohon-pohon segar menghijau dan bermekaran.

Namun coba ingat musim kemarau. Tanah kerontang. Debu akan sangat cepat menebal di bangku dan meja yang sehari dua hari tak dibersihkan. Pohon-pohon gersang. Orang akan enggan menanam pohon di musim kemarau, kecuali ia bersiap untuk secara rutin memberinya jatah air setiap satu atau dua hari.

Ke manakah perginya air hujan yang turun selama beberapa bulan di musim penghujan? Di manakah ia berada saat musim kemarau tiba?

Air hujan yang turun ke bumi itu selalu merindukan pulang. Tapi hamparan bumi telah memberinya nasib yang berbeda-beda.

Bersyukurlah kau, wahai air hujan, jika di saat musim hujan kau menemukan jalan yang lapang untuk masuk ke kedalaman tanah. Kau akan mengikuti akar-akar tanaman yang menghunjam ke perut bumi. Atau bisa saja kau akan menyusuri terowongan-terowongan mini yang dibor oleh si lemah cacing yang tak berkaki. Atau mungkin kau menemukan orang yang berbaik hati yang memberimu celah lebar, sumur resapan, sehingga kau lebih mudah diantar ke kedalaman.

Tapi jika tanah telah ditutupi aspal atau dilapisi semen, kau akan berjalan ke sana kemari, wahai air hujan. Catatan nasib dan perjalananmu akan lebih panjang. Kau harus berkelana lebih lama untuk menemukan jalan menuju pulang. Kau harus bergentayangan. Kau harus bekerja keras mencari sisa-sisa celah di antara sampah-sampah plastik yang menghadang jalanmu. Aspal, semen, dan plastik, terlalu keras untuk kau tembus. Dan perjalananmu mungkin harus lebih banyak di permukaan.

Jika kau harus bergentayangan dan bersusah payah mencari jalan pulang, mungkin akhirnya kau akan kesal. Lalu pikiranmu digelayuti hasrat untuk membalas dendam. Kau lalu berhimpun dan bergandeng tangan menyatukan kekuatan. Dan pesta pembalasan pun kau rayakan. Itulah yang mungkin secara langsung kau lakukan di musim hujan.

Sedang bila tiba musim kemarau, kau telah berada di sana di kejauhan, di sungai yang mengering dan lautan yang mulai kotor dengan sampah plastik. Kau tak menemukan tempat yang leluasa untuk berdiam di daratan, di kedalaman.

Jadi jangan heran, wahai manusia, bila saat kemarau air begitu jauh di sana, entah di mana. Karena tanah tak memberinya pintu untuk sekadar bertamu. Dan pohon-pohon pun mengerang kepanasan diterpa terik setiap siang. Dan tanah tak bisa lagi merasakan sejuknya pelukanmu, wahai air hujan.

Namun begitu, wahai manusia, jangan hanya bisa mengutuk pada nasib. Berbuatlah sesuatu. Mumpung masih musim hujan, mari bantu air menemukan jalan pulang.


Baca juga:
>> Diguyur Hujan

Read More..

Jumat, 15 Maret 2013

42 Esai al-Qur’an


Dua bulan tidak posting tulisan di blog ini, saya sebenarnya tetap menulis. Namun, tulisan-tulisan yang saya buat sepanjang Januari hingga Februari 2013 ini tak bisa saya tayangkan di sini karena pada rentang waktu tersebut saya mengerjakan 42 tulisan pesanan Penerbit al-Mizan. Al-Mizan adalah salah satu unit penerbitan PT Mizan Pustaka Bandung yang khusus bergerak di bidang penerbitan al-Qur’an.

42 tulisan tersebut adalah pesanan al-Mizan untuk sebuah proyek penerbitan buku. Karena itu, saya pikir tulisan-tulisan tersebut kurang etis jika tampil terlebih dahulu di sini sementara buku yang dimaksud belum terbit.

Bagaimana kisah penulisan 42 esai tersebut?

***

Saat pertama kali dihubungi Mizan untuk menulis esai-esai tersebut pada akhir November 2012, saya sempat ragu. Saya tak memiliki latar belakang keilmuan yang mendalam di bidang studi al-Qur’an. Pengetahuan keagamaan saya rasanya tidak cukup mendalam untuk menulis esai sepanjang sekitar 400 kata tiap satu judul yang dimaksudkan untuk memperkaya ayat atau sekelompok ayat tertentu yang telah dipilih oleh Mizan untuk sebuah proyek penerbitan al-Qur’an.

Saya menyampaikan keraguan ini secara langsung kepada Cak Amar Faishal, perwakilan Mizan yang menghubungi saya lewat telepon. Namun Cak Amar meyakinkan saya bahwa saya bisa menulis seperti apa yang diinginkan Mizan. Dalam pembicaraan telepon, Cak Amar menjelaskan secara singkat jenis tulisan dan tujuan yang diinginkan Mizan serta kerangka besar proyek penerbitan al-Qur’an tersebut.

Akan tetapi, keraguan saya masih terus menggantung di pikiran. Lebih dari sekadar soal penguasaan keilmuan, keraguan saya sebenarnya juga bersumber dari pikiran yang lain. Menulis esai yang dimaksudkan untuk menjelaskan atau memperkaya ayat al-Qur’an buat saya memberi beban psikologis tersendiri. Apa yang akan saya tulis berkaitan dengan subjek yang bernilai suci dan agung. Ini tidak sama dengan menulis kisah tentang salju yang masih turun di bulan Mei di sebuah kota terpencil di dekat kutub utara. Atau menulis makalah tentang cara menulis artikel atau resensi buku. Atau menyusun bahan ajar Bahasa Indonesia untuk kelas X SMA.

Berhadapan dengan subjek agung yang akan saya tulis, saya merasa diri saya terlalu kotor sehingga saya bertanya-tanya: tulisan seperti apa yang akan lahir dari diri yang kotor ini saat menulis sesuatu yang agung?

Pertanyaan ini mengganggu saya cukup lama sehingga saya tak kunjung memulai menulis esai-esai yang diminta oleh Mizan itu. Jika akhirnya saya mulai menulis, itu karena saya menemukan penjelasan yang bagi saya rasanya cukup melegakan. Melalui komentar atas status Facebook saya tanggal 26 Desember 2012 yang menggambarkan kegelisahan saya, Cak Amar memberi kerangka pikir bahwa bisa jadi menulis esai-esai sebagaimana dipesan Mizan buat saya akan menjadi bagian dari penyucian dari kotoran-kotoran diri itu.

Singkatnya, awal Januari 2013 saya mulai menulis.

Pemaparan latar belakang atau kisah ini saya harapkan bisa menjadi bagian dari permakluman pembaca jika esai-esai yang saya tulis itu sangatlah jauh dari mutu yang dibayangkan. Saya mohon maaf jika esai-esai saya itu tidak banyak memberi kilau cahaya meski subjek yang diulas adalah Sumber-Maha-Cahaya. Keterbatasan wawasan dan pengetahuan serta mutu diri pribadi saya sangat mungkin menjadi penghalang untuk lahirnya tulisan yang lebih baik dan menggerakkan pembaca.

Namun saya berusaha untuk melakukan yang terbaik. Dalam menulis esai-esai itu, saya berusaha menggunakan rujukan dari kitab tafsir klasik. Inilah hikmah yang saya rasakan dalam proses penulisan esai-esai itu: saya jadi bersemangat membuka kitab-kitab tafsir koleksi saya yang sebelumnya sangat jarang disentuh. Proses penulisan esai-esai tersebut sekaligus memperkuat kecintaan saya pada al-Qur’an.

Dalam menyusun satu esai, paling tidak saya membuka Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhayli, dan Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab. Setelah saya menemukan titik tertentu dari ketiga rujukan itu yang bisa saya gunakan sebagai fokus tulisan, saya berusaha memperkaya dengan bacaan yang lain. Jika tidak mendapatkan referensi tambahan, saya berusaha menguatkan sudut pandang dan fokus bidikan sehingga butir gagasan yang hendak disampaikan paling tidak bisa lebih jelas.

Dari keempat puluh dua esai yang saya susun itu, saya hitung ada 34 buku rujukan yang saya gunakan. 13 di antaranya berbahasa Arab, 1 berbahasa Inggris, dan sisanya berbahasa Indonesia. Namun di antara rujukan berbahasa Indonesia yang saya gunakan itu, ada yang merupakan buku terjemahan. 7 buku diterjemahkan dari bahasa Inggris, 1 buku terjemahan dan 1 buku saduran dari bahasa Arab.

Empat puluh dua esai yang saya tulis itu memiliki dua tema besar: akidah dan akhlak. Adapun fokus ayat dan tema yang diangkat memang sudah ditentukan oleh Mizan. Proses penulisannya dimulai pada tanggal 2 Januari dan berakhir pada 21 Februari 2013. Saya mengerjakannya di sela-sela kegiatan utama saya di SMA 3 Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Kebanyakan esai-esai itu ditulis di penghujung hari menjelang saya beristirahat atau setelah subuh sebelum memulai aktivitas di sekolah.

Ada beberapa kejadian menarik yang saya alami selama saya menulis esai-esai tersebut. Saat baru saja menulis beberapa judul tulisan, secara kebetulan saya berada di sebuah forum yang juga membahas tema atau bahkan ayat yang saya ulas tersebut. Sehari setelah menulis ulasan surat al-Anfal ayat 17 bertema “perbuatan” Tuhan, pada tanggal 16 Januari saya ikut menyambut Syekh Khalil ibn Abdul Qadir dari Lebanon yang berkunjung ke Annuqayah. Dalam kesempatan itu, beliau sempat berdiskusi dengan pengasuh Annuqayah dan juga santri. Nah, di antara fokus pembahasan diskusi, beliau sempat membahas ayat yang baru sehari saya tulis ulasannya itu.

Sabtu malam tanggal 26 Januari, saya mengikuti pengajian Drs. K.H. A. Hanif Hasan dengan alumni Annuqayah di Kecamatan Ambunten. Dalam ceramah keagamaan yang disampaikan, beliau mengangkat tema yang serupa dengan ayat yang baru sehari saya tulis, yakni surat al-An‘am ayat 160.

Pada Rabu siang tanggal 30 Januari saya mengikuti pengajian Drs. K.H. A. Warits Ilyas dengan alumni Annuqayah di Kecamatan Rubaru. Dalam pengajian itu, beliau mengupas ayat yang isinya serupa dengan ayat yang baru saja saya tulis ulasannya di pagi hari yang sama, yakni surat al-Maidah ayat 69.

Kejadian terakhir, setelah di pagi hari tanggal 5 Februari saya selesai menulis esai yang membahas tentang zihar, yakni surat al-Mujadalah ayat 2-4, saya masuk ke salah satu kelas saya di SMA 3 Annuqayah. Ternyata, guru sebelum saya baru saja membahas tentang zihar.

Saya mencatat kejadian-kejadian ini karena bagi saya ini tampak sebagai sebuah kebetulan yang cukup unik. Saya berharap ini menjadi pertanda baik bahwa saya tidak salah menerima tawaran Mizan untuk menulis esai-esai al-Qur’an itu.

Saya menyampaikan terima kasih kepada Mizan yang telah memberi kepercayaan kepada saya untuk terlibat dalam proyek penulisan esai-esai al-Qur’an tersebut. Saya juga berterima kasih kepada Cak Amar Faishal yang telah meyakinkan saya sehingga saya cukup percaya diri untuk menerima tawaran Mizan dan akhirnya saya dapat menulis esai-esai tersebut.

Semoga Allah meridai.

Read More..