Selasa, 23 Oktober 2012

Menepis Religiositas Instan

Judul buku : Doa Bukan Lampu Aladin: Mengerti Rahasia Zikir dan Akhlak Memohon kepada Allah
Penulis: Jalaluddin Rakhmat
Penerbit: Serambi, Jakarta
Cetakan: Pertama, Maret 2012
Tebal: 198 halaman


Ada satu kecenderungan kurang baik yang berkembang dalam kehidupan masyarakat saat ini: sikap hidup instan. Yang paling kasat mata berupa semakin banyak dan populernya makanan dan restoran cepat saji. Yang agak abstrak berupa sikap instan dalam belajar. Ini dapat dilihat dari semakin merebaknya lembaga pendidikan atau pelatihan yang—langsung atau tidak langsung—memberi iming-iming instan.

Agama atau spiritualitas juga termasuk wilayah yang terdera serangan semangat hidup instan ini. Seseorang yang merasakan dirinya sebagai pendosa tiba-tiba ikut bergabung dengan kelompok keagamaan yang tampaknya dipandang dapat memberi keteduhan spiritual. Maunya secara instan. Hadir dua tiga kali sudah merasa bersih dan tercerahkan.

Buku yang ditulis oleh intelektual muslim kondang, Jalaluddin Rakhmat, ini secara khusus membahas soal doa. Tapi kerangka besar yang ada di baliknya adalah semangat memerangi sikap instan dalam beragama. Judulnya saja secara metaforis sudah memperlihatkan gelora semangat tersebut: Doa Bukan Lampu Aladin.

Doa dalam semua agama merupakan salah satu titik sentral kegiatan ibadah. Doa adalah bentuk komunikasi para pemeluknya dengan Tuhan. Sayangnya, para penganut agama kadang memanjatkan doa dalam kerangka egoismenya. Mereka seakan ingin mendikte Tuhan dan berharap doanya dikabulkan seketika.

Inilah salah satu bentuk perilaku dan cara pandang instan dalam keberagamaan. Kang Jalal, sebutan populer Jalaluddin Rakhmat, melalui buku ini berusaha untuk meletakkan doa dalam kerangka keberagamaan yang lebih baik, yakni keberagamaan yang lebih dewasa. Menurut Kang Jalal, beragama yang matang adalah beragama yang dibangun di atas dasar cinta.

Jalal menerangkan bahwa kata doa berasal dari kata da‘â (bahasa Arab) yang berarti memanggil. Karena itu, pada makna terdalam, doa adalah panggilan pada Sang Kekasih. Doa bukan tuntutan, tapi harus berangkat dari ketulusan dan cinta. Jika doa, ibadah, atau segala amal kebaikan dilakukan untuk melayani kepentingan diri sendiri, pada tingkat spiritualitas tertinggi hal ini menjadi masalah yang serius karena akan dipandang sebagai kemusyrikan. Cukup masuk akal. Doa atau amal yang egois sebenarnya menduakan Tuhan dengan diri kita sendiri.

Dengan penuturan yang menarik, Jalal mengingatkan bahwa dalam sejarah, ada banyak kisah yang menceritakan betapa doa-doa para nabi atau kekasih Allah pun tidak langsung dikabulkan dalam sekejap. Doa Nabi Zakariyya untuk punya anak harus menunggu 60 tahun untuk dipenuhi Allah. Doa Nabi Musa agar Fir’aun dijatuhkan baru dijawab 40 tahun kemudian.

Doa dalam derajat tertinggi adalah doa yang merupakan bisikan cinta. Bagaimana menakar cinta kita kepada Allah? Jalal mengajak kita untuk merenung dengan mengajukan sebuah pertanyaan retoris: di manakah sebenarnya kita menempatkan Tuhan dalam hati kita serta dalam perilaku kita sehari-hari? Jalal menyebutkan bahwa di antara ciri pencinta Allah adalah bahwa ia kerap melakukan muhâsabah (koreksi diri) dan juga murâqabah. Yang terakhir ini berarti bahwa kita mengabdi kepada Allah seakan-akan kita melihat Allah, atau jika tidak demikian kita merasa bahwa Allah selalu mengawasi kita.

Landasan cinta adalah adab paling mendasar dalam berdoa. Adab lainnya, terang Jalal, hendaknya doa kita tidak meminta hal-hal yang sangat spesifik. Doa yang baik adalah doa yang lebih berisi pengakuan akan kehinaan dan kekecilan diri kita. Seperti doa Nabi Adam a.s. yang termuat dalam Alquran surat al-A‘râf/7: 23, “Ya Allah, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Sekiranya Engkau tidak mengampuni kami, pasti kami menjadi orang yang merugi.”

Di antara doa yang cukup populer di semua agama adalah doa permohonan ampun. Dalam Islam, doa ini disebut istighfâr. Dalam salah satu bagian di buku ini, Jalal mengingatkan bahwa istighfâr bukanlah pemutihan. Kelirulah anggapan yang mengatakan bahwa dengan hanya ber-istighfâr, kita bisa lolos dari hukuman Tuhan. Jalal meluruskan bahwa doa istighfâr secara khusus mengandaikan beberapa hal. Pertama, istighfâr menuntut adanya penyesalan, pengakuan terus terang atas kesalahan kita. Ini diwujudkan dalam bentuk permintaan maaf pada orang yang telah dilanggar. Kedua, istighfâr mengharuskan kita untuk berkomitmen tidak akan mengulangi lagi kesalahan serupa.

Buku ini tampaknya memang bukan buku yang ditulis utuh. Judul buku ini sebenarnya diambil dari salah satu esai Kang Jalal di Majalah Ummat yang terbit tahun 1990-an dan dimuat di buku kumpulan esai Kang Jalal yang berjudul Reformasi Sufistik (1998). Namun demikian, meski berupa antologi, buku ini sangat menarik untuk dibaca—sebagaimana buku-buku Kang Jalal yang lainnya.

Dalam bingkai yang besar, buku ini hendak menjaga kita agar tidak terjebak dalam religiositas atau spiritualitas instan. Dari sudut pandang yang lain, kita dapat melihat Kang Jalal melalui bukunya ini ingin menjaga agar agama tidak ikut menjadi bagian dari budaya populer yang dangkal. Bukankah keberagamaan yang dangkal bisa jadi akan memunculkan hal-hal yang kadang justru bertentangan dengan visi mendasar keagamaan itu sendiri?

Esai-esai reflektif dalam buku ini juga memuat hal-hal spesifik tentang doa. Misalnya, tentang amalan doa sebelum tidur, doa memohon perlindungan dan keluasan rizki, dan sebagainya. Jalal juga melampirkan doa-doa praktis sehari-hari. Ada doa memohon kesejahteraan dan keselamatan yang diambil dari doa Imam Ali Zainal Abidin—salah seorang imam Syiah—yang bagian-bagiannya oleh Jalal dibahas cukup mendalam. Maklum, Jalal memang identik dan menguasai ajaran-ajaran Syiah.

Buku ini bernilai penting untuk ikut mendewasakan keberagamaan masyarakat. Dengan beragama secara dewasa, kita bisa berharap bahwa agama dapat lebih strategis memainkan peran transformatif dalam kehidupan masyarakat.

Read More..