Selasa, 31 Januari 2012

Memaknai Nasionalisme dengan Keliling Nusantara

Judul buku : Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara
Penulis : Ahmad Yunus
Penerbit : Serambi, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juli 2011
Tebal : 372 halaman

Banyak penulis menyatakan bahwa perjalanan merupakan lumbung inspirasi. Di tangan seorang penulis, perjumpaan dengan orang-orang dan kenyataan yang ditemui sepanjang perjalanan bisa memantik ide-ide yang terpendam untuk muncul ke permukaan.

Dari sudut pandang seperti inilah kita bisa memulai mencerna buku yang ditulis oleh Ahmad Yunus ini. Yunus, seorang jurnalis, melalui buku ini menuliskan catatan perjalanannya selama hampir setahun keliling nusantara. Yang menarik, sebagai pengembara, sebelum memulai perjalanannya, Yunus telah menegaskan sudut pandangnya, yakni bahwa ia ingin bisa lebih menjiwai makna nasionalisme. Karena itu, ia, bersama rekan seperjalanannya yang juga seorang jurnalis, Farid Gaban, menyebut perjalanannya ini sebagai Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa.

Seperti Farid Gaban, Yunus dibesarkan sebagai anak gunung. Keduanya tak akrab dengan laut. Sedang Indonesia adalah bentangan negeri kepulauan yang memiliki lebih dari tujuh belas ribu pulau. Demi meneguhkan kecintaannya akan tanah air Indonesia, keduanya lalu menyusun rencana gila: keliling nusantara dengan sepeda motor.

Misi ekspedisi ini adalah untuk mengenal Indonesia lebih dekat dengan terutama mengelilingi pulau-pulau terluar nusantara serta merekam berbagai potret kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia di sana. Di sini, tampak jelas bahwa Yunus ingin memaknai nasionalisme dengan kategori objektif, yakni dengan melihat secara langsung pengalaman orang-orang biasa menjalani kehidupannya dalam bingkai kebangsaan Indonesia.

Perjalanan Yunus bersama Farid Gaban dimulai pada awal Juni 2009 dari Jakarta, bergerak ke arah Sumatera hingga Sabang, terus melintas kepulauan di Selat Malaka hingga Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Papua, Nusa Tenggara, dan terus ke arah barat hingga tiba kembali di Jakarta. Melalui rute ini, tercatat 80 pulau telah disinggahi.

Secara umum, Yunus menemukan dua hal sepanjang penjelajahannya dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote. Pertama, Yunus menemukan kekayaan dan keindahan alam nusantara yang luar biasa. Dalam buku ini, ditampilkan beberapa foto hasil jepretan Farid Gaban, di samping bonus DVD yang menampilkan ringkasan alur perjalanan ekspedisi ini. Namun demikian, Yunus dalam buku ini juga mempersaksikan berbagai ironi yang dialami masyarakat Indonesia. Ironi itu dapat berupa kekayaan dan keindahan alam yang dieksploitasi oleh segelintir orang, kesejahteraan masyarakat yang terhalang oleh kebijakan publik yang tak berpihak, atau “pengkhianatan” para aparat atas amanat kebangsaan yang mereka pikul.

Di sepanjang perjalanan, Yunus menjadi saksi atas jurang ketimpangan antara kondisi masyarakat di Pulau Jawa dan luar Jawa. Mulai menginjakkan kaki di daerah Lampung, tepatnya di Teluk Kiluan, Yunus sudah menjumpai perkampungan yang tak mendapat jaringan listrik. Jalanannya berbatu sehingga ketika hujan medannya menjadi semakin berat.

Di Pulau Enggano, Bengkulu, kondisinya tak jauh berbeda. Fasilitas publik sungguh mengenaskan. Rumah sakit di pulau yang dihuni sekitar 2.600 jiwa ini terlantar. Padahal pulau ini ke Bengkulu berjarak 156 kilometer. Bandara yang dijanjikan dibangun terbengkalai.

Sementara itu, di Kepulauan Mentawai, Yunus menyaksikan eksploitasi hutan yang sudah berlangsung sejak era Orde Baru yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekosistem kepulauan. Air laut menjadi keruh. Hutan bakau rusak, dan terumbu karang juga rusak. Kerusakan ekosistem juga terlihat dalam perjalanan Yunus di Kalimantan, mulai dari hutan yang terus ditebangi dan juga terbakar, perdagangan satwa liar, atau nasib Sungai Kapuas yang menyedihkan.

Di antara pengalaman yang cukup mengenaskan adalah kisah perompak di kawasan Selat Malaka. Dalam perjalanan dari Dumai ke Batam, kapal sayur yang ditumpangi Yunus empat kali dicegat petugas patroli (polisi laut). Ternyata mereka ini memalak kapal yang ditumpanginya, masing-masing dibayar antara 150-200 ribu rupiah. “Merekalah bajak laut yang diberi wewenang oleh negara,” tulis Yunus geram. Ironi ini semakin bertambah saat Yunus juga melihat bagaimana penyelundupan berlangsung di kawasan yang menjadi etalase pembangunan ekonomi nasional ini.

Perjalanan Yunus bersama Farid Gaban yang pembiayaannya secara swadaya ini banyak yang ditempuh dengan menggunakan jalur laut sehingga keduanya dapat merasakan secara langsung kondisi transportasi laut di berbagai daerah di nusantara. Secara umum, Yunus menulis bahwa negara tak berhasil menyediakan angkutan laut yang nyaman dan bersih. Berulang kali Yunus merasakan aneka ketidaknyamanan jalur laut, mulai dari sanitasi, makanan, hingga tempat istirahat yang layak dan manusiawi. Sayangnya, media massa sangat kurang mengangkat soal ini ke permukaan. Padahal, ini adalah isu publik yang menyangkut kehidupan banyak orang.

Buruknya transportasi laut ini sangat terasa bagi masyarakat kepulauan. Beban hidup mereka bertambah berat sehingga mereka kesulitan meningkatkan taraf kehidupan mereka. Mereka sering dicekik oleh harga bahan bakar yang melambung. Di Kepulauan Ayau Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, ada masyarakat yang perlu bensin 200 liter untuk ke Sorong, sedang harga per liternya mencapai dua belas ribu rupiah.

Selain memotret kehidupan masyarakat, dalam ekspedisi ini Yunus juga singgah di tempat-tempat bersejarah, seperti pengasingan Soekarno di Ende, pengasingan Hatta dan Sjahrir di Banda Neira, dan sebagainya. Memang, dalam buku ini Yunus juga banyak melengkapi penuturannya dengan data-data sejarah sehingga memperkuat refleksinya dalam melihat kehidupan masyarakat dalam kerangka kehidupan berbangsa.

Narasi Ahmad Yunus yang cukup lincah dalam buku ini akan sangat bernilai jika kita menempatkannya sebagai upaya seorang warga negara Indonesia dalam menemukan makna kehidupan kebangsaan yang nyata. Ini dilakukan ketika nasionalisme sering kali hanya dimunculkan sebagai jargon politik yang kering dan cenderung menipu. Juga ketika kebijakan pemerintah kurang mampu mempertimbangkan situasi sosial-ekonomi masyarakat yang nyata, seperti kondisi di luar Jawa.

Yunus menulis bahwa ini adalah cara sederhana mencintai Indonesia. Dalam hal ini, Yunus menunjukkan cintanya dengan berusaha untuk lebih dekat, sambil menyimak, melihat dengan cermat, serta berempati dengan kehidupan masyarakat biasa seantero nusantara.

Inilah yang patut diteladani oleh para pemimpin dan pemegang amanat kebangsaan di negeri ini. Kita menyaksikan bahwa belakangan para pemimpin negeri ini cenderung terkesan jauh dan berjarak dengan rakyat. Bahkan mungkin tak mengetahui masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga kebijakan yang diambilnya tak sejalan atau tak memberi solusi bagi masalah tersebut. Tentu para pemimpin kita itu tak harus keliling nusantara. Tapi buku ini memberi perspektif menarik yang tampaknya sudah mulai dilupakan oleh para pemimpin kita: bahwa menjadi pemimpin itu harus berusaha lebih dekat dan mendengar suara rakyat.

Secara tidak langsung, buku ini juga adalah semacam ajakan kepada seluruh warga negara Indonesia untuk mencoba belajar mengenali negerinya yang kaya dan indah dengan lebih baik. Dalam skala yang lebih kecil, mengenali secara lebih utuh dan mendalam lingkungan masyarakat kita adalah sebuah cara yang baik untuk menjadi titik tolak penghayatan atas kehidupan kebangsaan dan bermasyarakat. Selanjutnya, dari pengenalan yang lebih dekat itu, akan semakin benderanglah tantangan dan agenda yang harus dipikirkan dan dicarikan jawaban konkretnya.

Pada akhirnya, buku ini menghadirkan tantangan bagi kita semua untuk bersama-sama membangun semangat kebangsaan dalam wujud yang lebih nyata, sehingga nilai-nilai dasar kebangsaan yang dirumuskan oleh para pendiri republik ini dapat terwujud.

Sayangnya, buku yang memaparkan kisah menarik dan inspiratif ini tampaknya kurang disiapkan dengan cukup matang, terutama dari segi penyuntingannya, sehingga di beberapa bagian pembaca mungkin akan merasa kurang nyaman menikmati kisah petualangan keliling nusantara ini.

0 komentar: