Rabu, 02 Maret 2011

Bahasa Tubuh

Sekitar akhir 2009 yang lalu, saat saya masih di Utrecht, saya ingat pernah membaca sebuah tulisan di blog teman saya tentang kiat mengikuti tes wawancara untuk beasiswa luar negeri. Dalam tulisannya itu, ia menjelaskan tentang pentingnya mengelola bahasa tubuh yang baik selama wawancara.

Saya teringat tulisan teman saya ini setelah saya selesai mengikuti wawancara di Jakarta untuk seleksi program pertukaran pemuda ke Australia dan kemudian tepat keesokan harinya saya punya urusan pribadi di sebuah kantor pemerintahan di kawasan Senayan. Saya teringat tulisan teman saya tersebut gara-gara memperhatikan bahasa tubuh pejabat yang berhadapan dengan saya di Senayan.

Selama beberapa menit—mungkin sampai belasan menit—si pejabat berhadapan dengan saya, saya tak ingat dia sempat menatap mata atau wajah saya—bahkan sepertinya juga orang sebelum saya. Dia berbicara sambil melihat atau membolak-balik berkas-berkas yang saya bawa, atau melihat ke arah layar komputer. Benar, bahkan saya sungguh tak ingat dia melirik ke saya atau antrean orang setelah saya.

Saya rasa saya tak perlu cerita detail tentang bagaimana bahasa tubuh si pejabat ini. Namun jika Anda kebetulan warga Sumenep, rasanya Anda tak akan cukup sulit untuk bisa punya pengalaman serupa dan menangkap poin cerita saya. Cukup datang ke kantor pemerintahan untuk sebuah urusan, maka peluang Anda untuk punya pengalaman seperti saya mungkin bisa di atas 50 persen.

Kembali ke tulisan teman saya itu, dia menulis bahwa soal attitude atau sopan santun dalam wawancara sebenarnya adalah sesuatu yang common sense, bisa ditangkap dengan pemahaman biasa. Pandangan mata, misalnya, bisa menunjukkan seberapa santun sikap seseorang terhadap lawan bicaranya. Jika dalam sebuah tes wawancara Anda berbicara tanpa pernah menatap mata lawan bicara Anda, tentu itu bukan sebuah sikap yang baik. Demikian pula, permainan air muka dan gerakan mata Anda ketika menyimak atau untuk menanggapi pembicaraan si pewawancara akan menunjukkan seberapa Anda memperhatikan dan berusaha masuk ke dalam tema perbincangan.

Sampai di sini saya pun juga teringat pada uraian Michel Foucault (1926-1984) tentang lahirnya pola relasi baru antara dokter dan pasien di Eropa di akhir abad ke-18, sebagaimana ia paparkan dalam The Birth of the Clinic. Akibat penemuan otopsi yang memungkinkan penyelidikan mendalam pada organ-organ interior tubuh manusia, lahirlah sistem katalogisasi ekspresi simptomik tubuh pasien di setiap rumah sakit. Sistem klasifikasi simptom ini menurut Foucault melahirkan cara pandang baru dunia medis untuk memahami pasien lebih sebagai fakta patologis (a pathological fact). Nah, di titik ini, Foucault lalu menggambarkan struktur persepsi dokter yang baru ini dalam istilah “gaze” (“regard”, dalam bahasa Prancis), yang berarti “sorot mata” atau “tatapan”. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan munculnya cara pandang baru di luar kedudukan pasien sebagai subjek manusia yang harus disembuhkan, yakni dengan memberi porsi yang besar pada penyelidikan (“sorot mata klinis”) atas reaksi-reaksi patologis tubuh pasien.

Saya tidak tahu apa jika Foucault hidup di zaman sekarang dia akan menyelidiki pola relasi antara pejabat publik di birokrasi dan masyarakat seperti dalam pengalaman saya di atas. Tapi saya merasa bahwa penelitian Foucault atas buku-buku kedokteran klinis yang ditulis antara tahun 1790 hingga 1820 (yang kemudian melahirkan buku The Birth of the Clinic) dan termasuk juga penelitiannya tentang penjara dan semacamnya cukup sejalan dengan konteks yang sedang saya ceritakan di sini. Semuanya berada dalam kerangka disiplin, yang oleh Seno Joko Suyono (2002) dipandang sebagai kata kunci Foucault dalam menjelaskan pembentukan diri-eksternal kelas menengah Eropa.

Jika sorot mata baru dalam dunia medis di Eropa dinilai begitu penting oleh Foucault dalam membentuk tatanan masyarakat baru di Eropa, saya tidak tahu seberapa penting dan mendalam makna bahasa tubuh atau sorot mata pejabat publik seperti dalam kisah saya ini. Lebih jauh, apakah cara perlakuan seperti ini memang terjadi secara luas ataukah hanya di wilayah atau situasi tertentu? Juga, sejak kapan?

Catatan ini sendiri sebenarnya lahir setelah ada cerita senada yang saya dengar dari seorang teman beberapa hari yang lalu saat ia punya urusan di sebuah kantor pemerintahan di Sumenep. Teman saya itu bercerita tentang ucapan-ucapan dan bahasa tubuh seorang pejabat yang sama sekali tak simpatik. Saya sama sekali tak heran mendengar cerita teman saya itu, karena sesungguhnya saya sendiri pernah mengalaminya saat mengurus prasyarat keberangkatan saya ke Eropa pertengahan 2009 lalu.

Atas semua kisah semacam ini, saya kadang berpikir: jika masyarakat senantiasa atau sering sekali punya pengalaman buruk dalam berhubungan dengan pejabat publik, apakah itu tidak berarti bahwa negara diam-diam sedang berusaha tampil sebagai sosok yang menakutkan bagi para warganya? Tidakkah pengalaman semacam ini akan membentuk persepsi publik untuk melihat negara bukan sebagai bagian dari dirinya, bahkan sebagai sosok “penjajah” atau sosok yang korup, sehingga negara kemudian semata menjadi semacam formalitas yang hanya dibutuhkan untuk mengisi formulir data pribadi?

2 komentar:

PRODUK SINAR BUANA mengatakan...

assalamu'alaikum,, sy seorang mahasiswi uns.sy pgn tanya gmn cara kulyh d belanda? sy mpyai adik, dan dia ingin kulyah kedokteran d belanda. tolong bagi tips & ilmunya gmn caranya bisa kulyah d belanda? Jazakumullah,,
wassalamualaikum wr wb

M Mushthafa mengatakan...

Cerita2 saya ttg pengalaman eropa, mulai dari berangkat, bisa dibaca di blog ini di label "european adventures"
http://rindupulang.blogspot.com/search/label/European%20Adventures
Terima kasih..