Selasa, 30 Juni 2009

Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah


Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep—yang merupakan salah satu unit perpustakaan di lingkungan Pondok Pesantren Annuqayah yang melayani tiga satuan pendidikan, yakni Madrasah Ibtidaiyah 3 Annuqayah, Madrasah Tsanawiyah 3 Annuqayah, dan SMA 3 Annuqayah (3 unit pendidikan ini total memiliki 400 murid.

Adapun Pesantren Annuqayah memiliki 6.000 santri/pelajar, yang 4.000 di antaranya menetap/mondok)—dalam dua tahun terakhir ini mencoba melakukan pembenahan dan pengembangan secara lebih serius.


Pembenahan dimulai pada awal tahun pelajaran 2006/2007. Awalnya, kondisi Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah lebih tepat jika disebut gudang. Di samping gedungnya yang sangat sederhana dan “konvensional”, koleksi dan kegiatannya nyaris tak berkembang.


Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan mengubah penampilan perpustakaan agar menjadi menarik minat siswa untuk berkunjung. Interior dan tata desainnya dipermak. Catnya tidak putih sebagaimana ruang kelas pada umumnya.


Dengan langkah ini, perpustakaan diharapkan dapat menarik untuk dikunjungi. Hasilnya, dengan jam buka 07.30-11.30 dan 14.00-16.00 setiap hari, dalam satu bulan pertama pengunjung perpustakaan berkisar antara 80-250 orang per hari.


Untuk mempertahankan grafik kunjungan siswa, ada dua langkah utama yang menjadi perhatian pengelola Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah. Yang pertama berkaitan dengan pengadaan koleksi bahan kepustakaan.


Dalam masalah pengadaan koleksi ini, di tengah situasi minimnya ketersediaan alokasi dana sekolah untuk perpustakaan terutama di sekolah-sekolah swasta di pedesaan, pemilihan koleksi pustaka harus efektif dan tepat sasaran.


Pengelola perpustakaan harus cermat memanfaatkan alokasi dana yang tersedia untuk mendapatkan koleksi yang bagus, tepat sasaran, dan relatif murah.


Untuk tujuan maksimalisasi pemilihan koleksi bahan pustaka di perpustakaan sekolah, dibutuhkan wawasan kepustakaan yang cukup bagus. Perkembangan mutakhir dunia perbukuan juga harus terus diikuti.


Kebijakan penambahan koleksi perpustakaan harus selaras dengan tujuan mendasar perpustakaan sekolah, yakni sebagai pendukung kegiatan pembelajaran.


Untuk itu, secara sederhana perpustakaan sekolah mestinya bisa menjawab pertanyaan semacam ini: apakah di perpustakaan sekolah ini sudah ada buku-buku yang dapat membantu siswa untuk lebih memahami pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, sejarah, fisika, biologi, ekonomi, sosiologi, dan seterusnya?


Pertanyaan sederhana ini dapat menjadi pemandu bagi perpustakaan untuk menambah koleksi-koleksi bukunya.


Dalam praktiknya, pengelola perpustakaan bisa meminta masing-masing guru pelajaran untuk mengajukan semacam permintaan, kira-kira buku apa yang perlu dikoleksi perpustakaan madrasah.


Jika misalnya si guru tidak bisa mengajukan judul, bisa dengan gambaran tentang buku macam apa yang diperlukan untuk mendukung mata pelajaran yang bersangkutan, sehingga selanjutnya pengelola perpustakaan yang mengusahakan.


Peluang untuk melakukan integrasi aktivitas kelas dengan unit perpustakaan tampak semakin terbuka jika kita mempertimbangkan mulai semakin semaraknya penerbitan buku-buku ilmiah populer yang muatannya cukup dapat dicerna oleh siswa dan disajikan dengan pengemasan yang tak lagi konvensional.


Sejumlah buku ilmiah populer yang belakangan terbit menggunakan visualisasi yang menarik, atau disajikan dengan gaya bertutur yang mudah dipahami, terutama oleh anak usia sekolah.
Selain pertimbangan kesesuaian dengan tujuan keberadaan perpustakaan sekolah, penambahan koleksi juga mempertimbangkan buku-buku yang menarik dan menggugah untuk dibaca, terutama oleh mereka yang minat bacanya masih lemah.


Untuk itu, pengelola Perpustakaan Madaris 3 meminta masukan dari banyak pihak tentang koleksi buku yang dapat disebut “pembangkit minat baca” ini.


Contoh buku yang masuk dalam kategori ini adalah Muhammad karya Martin Lings (Serambi), Laskar Pelangi karya Andrea Hirata (Bentang), Ganti Hati karya Dahlan Iskan (JP Books), dan sebagainya.


Keterbatasan dana membuat pengurus Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah berupaya untuk mendapatkan koleksi buku yang bagus dan murah.


Untuk itu, pengurus bekerja sama dengan alumni Annuqayah yang sedang menempuh studi di Yogyakarta pada khususnya dan kota lainnya untuk memanfaatkan momen pameran buku yang biasanya menyediakan diskon besar-besaran dari berbagai penerbit terkemuka, seperti Kelompok Gramedia, Mizan, Serambi, dan sebagainya.


Sampai saat ini, koleksi Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah terbilang masih sedikit, yakni sekitar 1000 judul dan 1200 eksemplar.


Namun demikian, dengan penambahan koleksi yang cukup mendapat perhatian khusus, ketersediaan koleksi yang tepat sasaran dan menarik ini didukung dengan langkah kedua, yakni upaya untuk menjadikan perpustakaan sekolah sebagai perpustakaan aktif.


Secara reguler, Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah menyelenggarakan kegiatan-kegiatan rutin yang tujuannya adalah agar koleksi yang ada di perpustakaan dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Tujuan lebih jauh adalah untuk menjadikan perpustakaan sebagai tempat belajar, berekspresi, dan bereksplorasi.


Berikut ini kegiatan rutin yang diselenggarakan di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.

Pembacaan Cerpen atau Penggalan Novel


Setiap Rabu sore, ada siswa yang membacakan cerpen atau penggalan novel yang mereka pilih sendiri. Sebagai selingan, kadang ada guru yang juga membacakan. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mendorong dan mempromosikan buku menarik yang dibacakan untuk juga dibaca oleh siswa yang lain.


Setelah pembacaan, ada semacam apresiasi dan diskusi oleh peserta yang hadir. Kegiatan pembacaan cerpen ini ke depan rencananya secara terpisah akan dikembangkan menjadi Klub Buku, yakni kegiatan yang secara khusus mendiskusikan buku-buku yang sudah dibaca oleh siswa.

Apresiasi Film


Setiap Jum’at pagi (di Pesantren Annuqayah, liburan sekolah adalah hari Jum’at, bukan Minggu) paling cepat setiap dua pekan, Perpustakaan Madaris 3 menggelar acara nonton film.


Film yang diputar dipilih sedemikian rupa yang memiliki nilai edukatif, berkaitan dengan buku dan pembelajaran, atau memiliki nilai keistimewaan yang lain. Melalui kegiatan ini siswa didorong untuk belajar mengapresiasi dan menganalisis film yang ditonton.


Di antara film yang pernah diputar adalah Ca-Bau-Kan, Naga Bonar Jadi 2, The Da Vinci Code, Dead Poet Society, Freedom Writer, The Burning Season, dan sebagainya.

Klub Menerjemah


Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah juga memiliki Klub Menerjemah, yang menjadi tempat siswa untuk berlatih menerjemah teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Kegiatannya dilaksanakan setiap Jum’at sore.


Sejauh ini, buku yang sudah diterjemahkan adalah Nasreddin: The Clever Man dan Nasreddin: The Wise Man karya Sugeng Hariyanto (Kanisius). Teknisnya, setiap penggalan cerita dalam buku itu diterjemahkan oleh dua orang siswa, yang kemudian dipresentasikan dan dibahas bersama.


Naskah terjemahan yang sudah dibahas kemudian ditempel di Mading Raksasa (Marak) yang disediakan di lingkungan sekolah. Dan semua naskah sedang dikompilasi dan disunting kembali untuk dijadikan semacam “buku” sebagai bentuk dokumentasi.

Buku Curhat dan Catatan Pembaca Buku


Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah juga ingin mendorong agar siswa dapat berekspresi terutama dari apa yang mereka baca di perpus dan atau dapat menjadi tempat bagi siswa untuk belajar menulis.


Untuk itu, pengurus perpustakaan menyediakan Buku Curhat (Bucur) dan Catatan Pembaca Buku. Dalam Buku Curhat, anak-anak dapat berekspresi menuliskan komentar, kesan, tanggapan, tentang buku yang dibaca. Siswa juga menuliskan pertanyaan, kritik dan saran terhadap pengelola perpus dan sekolah, atau curhat masalah pribadi.


Sedangkan Catatan Pembaca Buku disediakan khusus bagi para peminjam buku koleksi khusus. Perlu diketahui bahwa sementara ini Perpustakaan Madaris 3 menggunakan sistem tertutup. Koleksi buku hanya boleh dibaca di tempat, kecuali Koleksi Khusus yang jumlahnya sekitar 250 judul.


Nah, mereka yang meminjam Koleksi Khusus ini diwajibkan untuk menuliskan pengalaman mereka membaca buku yang dipinjam dalam buku Catatan Pembaca Buku.


Respons siswa ternyata sungguh bagus. Buku Curhat dan Catatan Pembaca Buku setiap hari aktif diisi oleh siswa. Bahkan, secara tak diduga siswa secara kreatif mengisi Buku Curhat tidak hanya dengan teks, tapi dengan gambar, dekorasi yang menghiasi teks, dan ilustrasi.


Dalam beberapa kesempatan, di Buku Curhat kadang terjadi dialog antara siswa yang kadang juga direspons oleh seorang guru, baik itu menyangkut masalah pribadi atau berkaitan dengan pelajaran.


Siswa yang aktif mengisi Catatan Pembaca Buku tiap dua bulan diberi kenang-kenangan atau sovenir dari Perpustakaan.


Upaya lain untuk mendorong aktivitas perpus di antaranya adalah dengan menempelkan ulasan buku yang diambil dari media massa (internet).


Buku yang dipilih terutama buku-buku yang masih kurang mendapat perhatian dan kurang dibaca oleh siswa. Pengelola perpus mencari naskah resensi tersebut melalui internet yang dalam 8 bulan terakhir sudah dapat dinikmati di perpustakaan, meski cuma dengan 1 komputer dan belum gratis (tapi dengan tarif yang cukup terjangkau).


Selain itu, secara temporer Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah juga menggelar berbagai kegiatan pendukung yang terkait dengan kepustakaan dan atau kepenulisan, seperti Pelatihan Menulis, Pelatihan Metode Penelitian Kepustakaan, dan sebagainya.

Tulisan ini dimuat di website IndonesiaBuku, 24 Juni 2009.

Read More..

Minggu, 21 Juni 2009

Against Culture of Fear

Meicky Shoreamanis Panggabean, Keberanian Bernama Munir: Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir, Mizan Pustaka, Bandung, December 2008, 290 pages


Military forces had significant role during Indonesia New Order regime. But their roles tend to be negative. Thirty years in the course of the regime, military forces didn’t act as the guard of national defence. They served the regime to secure its power and protect its policies from people’s resistance. In this context, we can easily understand that according to Louis Althusser military forces are a part of Repressive State Apparatus.

In the realm of New Order regime, anyone who opposed government policy will be stigmatized as an extreme left/right-winger, betrayer of Pancasila, communist, or anything else and the military forces, in the name of national stability, will use their authority to fight down the opposition movement in any way they want.

As a result, New Order regime established the culture of fear among the citizen. People were afraid of expressing their opinion and critics to the government. Mass media applied self-censorships to ensure sustainability of their business.

This book recounts a fascinating story about Munir, the defender of human rights in Indonesia. Panggabean, the writer of this book, focused his narration to the bravery of Munir to reveal the human rights violation carried out by state apparatus, especially military forces. She explored personal aspects of Munir to catch the spirit of his life.

Munir Said Thalib, born in 1965, first came to public prominence when he founded the human rights organization KontraS (Commission for Disappearances and Victims of Violence) on March 20, 1998, two months before the resignation of Soeharto. KontraS engaged intensely on advocating the victims of politics of violence. Between late 1997 and early 1998, in the twilight of Soeharto regime, twenty three pro-reformation activists were abducted, including Wiji Thukul, and KontraS fight for exposing this sensitive case into public sphere.

Based on this specific concern, Munir with KontraS gradually broke down the culture of fear and political silence among people. Munir emphasized that Indonesian people were not critical of the authoritarianism of the regime because of this culture. Munir encouraged people to speak up against oppression of the regime. Besides advocating the victims, Munir used various ways to revitalize spirit of the fight towards despotism and political violence. He set billboards contained the list of the victim of political disappearances on the strategic places to remind people about the violence.

Panggabean, who had worked as a volunteer in KontraS Munir in 1998, gave us several good pages of her interview with Munir, when Munir told about a mother of a victim of political disappearances, Mrs. Tuti Koto, which was afraid to speak out when her son, Yani Afri, was disappeared on July 1997. When Tuti reported the case to KontraS, Munir helped her to speak up the case, until she was brave to give a public speech in front of the armies. Munir underlined that this was a great achievement in the context of culture of political silence.

Fighting the culture of fear actually wasn’t a new activity of Munir. When involved on the case of Marsinah murder in 1994, we can saw Munir’s position at that time which showed his strong character to confront the power and pressure of military. He also involved in advocating the victims of Priok in 1984 and Lampung in 1989 and others, the cases that have strong connection with military. For his courage and dedication in fighting for human rights and the civilian control of the military in Indonesia, Munir received prestigious Human Rights Livelihood Award in 2000 from Sweden.

Fighting spirit on what Munir have done to fight the culture of fear maybe was a result of long education started in his family. Panggabean described detailed narration about Munir’s neighbourhood where he had grown up: discipline and confident character of his mother, his interaction in the market when he was a youngster and must help to earn his family with his brothers to live on, his experiences and his interactions with his friends, etc. One of his impressive experiences is when Munir was a junior high school student reported a murder of his neighbor in Batu Malang to the police. That was his early struggle for his own fear and maybe also his initial encounter with the meaning of justice and humanity in the context of social life.

This book has an important meaning in the context of Indonesia at this time, at least in two perspectives. First, as we know, the death of Munir, after more than four years, still became a mystery, and disclosure of this case is a must as an effort to sustain the fight of Munir itself against culture of fear and political violence. This book reminds us about our duty to insist revelation and subsequent investigation of this case and to educate people to bravely fight oppression and violence. Second, this book is an inspiring treasure to keep the spirit of Munir in existence, which is his courage, integrity, enthusiasm, and commitment to humanity. Panggabean successfully revived these spirits with his a remarkable account on Munir’s everyday life.



Related link:

Read More..

Kamis, 11 Juni 2009

Pseudo-Perfection

This week I had two different experiences of perfection. First, it happen when I picked up my passport at Immigration Office of Surabaya.

One of my first impression when I dealt with process of making passport at that crowded office, I think about perfection. I had a little trouble with my official name. On my all official documents (document of identification, birth certificate, etc), my name spelled as “M Mushthafa”. The officer at the registration division asked me to write a statement to clarify the abbreviation of “M” on my name. He said that actually no abbreviation accepted in all official documents. I think that this regulation is right and good. This regulation points up the system of perfection that everybody registered by his full name. But I wondered why the officer at the Civil Registration Office and at school didn’t apply this regulation? Maybe this is a new regulation—maybe.

According to this regulation, I had to change my official name for my passport. So, I wrote a formal statement explaining that “M” in my official document means “Muhammad”.

A week later, when I went to the Immigration Office to an interview session, I found that my name written as “Mohammad Mushthafa” on a new typed form of application. After that session, I reminded the officer about my true spelled name consistent with the statement that I had written before. Then, the officer wrote a notice on my form of application about my true spelled name. When I had left the office, I wondered: did the officer read my statement—the statement that I wrote after the officer told me about the regulation?

I conclude that the system of perfection tried to be established by this regulation at this office has no function when I picked up my passport yesterday. In my passport, my full name spelled: “Muhamad Mushthafa”. I lost one letter on my new full name.

What is a name, said Shakespeare. I remembered this quotation yesterday after I had read my new full name. Because I am a kind of perfectionist person, I complained to the officer about this clumsy mistake. What did they say? For a while, they discuss each others about this, and finally said: “This mistake has no effect to your departure and your business abroad, Sir. And if you want to correct this mistake, we need at least three weeks to process your new passport. ”

Hhhaah? When I heard this explanation, I think about pseudo-perfection. Even if the system tries to ensure the perfection, finally the man always behind the gun. And we know the image of our bureaucrat in this country.

My second experience about the perfection was when I organized three School Climate Challenge Competition Teams of SMA 3 Annuqayah to write the final reports for their four months projects. During a week, I supervised their activities writing the final reports. After their school activities in the morning, I quarantined them at the library for this reports. Everyday, they often stop to work and take a rest just after midnight.

I know that my demand for the perfection of the final reports had terrified them as a student. I know that I have applied a strict discipline during this isolation. But I told them that our complete and perfect reports would be a determining factor for our success on this prestigious competition. We had done great endeavor for our projects, and we must describe all our strenuous efforts on the reports.

Of course, the meaning of perfection in this second experience is not rigorous, quantitative, and measurable. If the perfection is identical to the final result, the meaning of perfection in my second experience mostly is about the maximum effort—it mainly deals with the process. It has no control system, while in the first experience the perfection controlled by some procedures and support systems—but failed. Nevertheless, in our attempt to be perfect, finally we had satisfactory outcome. I think my students will agree with me.

From these two different experiences of perfection, I knew that the commitment will be the first factor to get the best result in the context of perfection. However, too obsessed to be perfect without considering the real fact maybe will make us frustrated, and I think it also a kind of pseudo-perfection too in its substantial meaning.

Read More..

Selasa, 09 Juni 2009

Against Plastic Rubbish

Contemporary people have minor sensitivity to conduct with nature. They used to do something and had no painstaking consideration about the impact of their behaviour. The massive use of plastic as a popular package in Indonesian society in general illustrated their unawareness about the hazard of plastic rubbish. Plastic packages are not just unfriendly to the environment but also dangerous to human health. Kompas (August 6, 2008), national daily newspaper, reported that during 2008, 2.1 ton million of plastic and any product made of plastic had produced, and 952 ton thousand of it was used as packages, and 80% of it was potential to be dangerous waste. Plastic gives a practicality of use to the people but has no good impact for the nature.

From this background of situation, I had involved in an environmental project of School Climate Challenge Competition held by British Council Indonesia for about four months (February-May 2009) with my four great students at SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep as a team. They are Khazinah, Irul Nur Jannah, Sulhatus Sayyidah, and Siti Nujaimatur Ruqayyah.

On this prestigious competition, we set up a series of activities in a climate challenge project—namely “Saving the Earth from the Hazard of Plastic Rubbish: Toward Ecofriendly Life Style”—to anticipate serious threat of plastic rubbish. This project aimed to disseminate information and awareness concerning to the hazard of plastic rubbish among school communities and others, so that the students and people will have a concrete contribution to save the earth and give a simple, precise, consistent, and integrative responses to the climate challenge.

During this challenging project, we had managed some environmental programs and activities to achieve this objective. Those programs include socialization in several school communities and people association around Sumenep district (Guluk-Guluk, Ganding, Gapura, Batang-Batang), television and radio talk show (Madura Channel and Ganding FM), etc. This program aimed to spread out information about the hazard of plastic rubbish. We also had collected plastic rubbish from Annuqayah landfill near our school as a campaign against plastic rubbish.

Our socialization and campaign had succeed decreasing plastic rubbish around school and people’s neighbourhood by reuse the rubbish to be creative accessories, like school bag, pencil case, etc. The production of these handicraft was just as a medium to arise people’s awareness about the hazard of plastic rubbish. By doing this activity, we had received good support from school communities and people to reduce increasing volume of plastic rubbish by collecting the rubbish and give it to our team to be produced. We also sold those products in an exhibition, so we also had a financial support for our own environmental activities.

The best achievement of out project is about supports and responses from school communities and people in general. Some schools that were our partner—we visit and socialize there—now are trying to develop the same environmental activities in their schools.

To assure sustainability of this project, we planned to recruit new cadres in our school, organize capacity building for our team and community, develop educational network on environmental issues in Sumenep, and other supporting activities and programs.

Read More..

Rabu, 03 Juni 2009

Sekolah Berbasis Proyek

Ahad (31/5) kemarin, saat mendampingi anak-anak tim proyek School Climate Challenge (SCC) Competition British Council SMA 3 Annuqayah presentasi di hadapan para undangan acara penutupan rangkaian kegiatan proyek SCC yang telah berlangsung sejak pertengahan Februari lalu, ada salah seorang hadirin yang menyinggung istilah “proyek” di dekor yang dipasang di panggung. Dia mempertanyakan penggunaan kata “proyek” itu, karena selain terasa asing dalam khazanah kosa kata pesantren, kata “proyek” memiliki konotasi negatif sebagai suatu kegiatan yang tidak substantif dan hanya menghambur-hamburkan uang. Karena waktu yang terbatas, saat itu saya tidak menanggapi komentar tersebut.

Setelah sedikit mengevaluasi dan berefleksi atas seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tiga tim proyek SCC SMA 3 Annuqayah selama lebih dari tiga bulan, saya menyimpulkan bahwa istilah “proyek” di sini sepertinya menjadi salah satu kata kunci yang menarik untuk diperdalam yang bahkan dapat muncul sebagai strategi alternatif pembelajaran di sekolah.

Kesimpulan saya ini bertambah kuat saat saya mencoba mencari arti etimologis kata “proyek” tersebut. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995: 926), “project” diartikan sebagai (1) a piece of work, etc that is organized carefully and designed to achieve a particular aim; (2) a piece of school or college work in which students do their own research and present the results. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 900) menjelaskan arti “proyek” sebagai ‘rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas’.

Jadi, proyek di sini lebih dimaksudkan sebagai suatu kerja terstruktur yang dirancang begitu rapi dengan satu tujuan tertentu. Karena itu, suatu proyek dikerjakan dalam rentang waktu yang cukup lama—proyek SCC ini dikerjakan sekitar empat bulan. Nah, karena ada satu target tujuan tertentu, maka tim proyek didorong untuk berpikir keras menyusun suatu strategi dan rangkaian kerja yang sistematis dan rapi agar tujuan yang dirumuskan di awal itu dapat tercapai. Tujuan inilah yang menurut saya menjadi salah satu kunci menarik. Rumusan tujuan ini kurang lebih adalah sebentuk visi yang mengarahkan anggota tim proyek untuk merancang sejumlah kegiatan dan strategi.

Penjelasan arti di kamus Oxford tampak lebih cocok dengan apa yang telah dikerjakan anak-anak dan apa yang ada dalam pikiran saya, yang pada gilirannya kemudian menerbitkan ide tentang “Sekolah Berbasis Proyek” ini. Proyek dalam konteks kegiatan SCC kemarin adalah suatu pengalaman ilmiah ekstrakurikuler yang memiliki nuansa pendidikan yang sangat kaya. Nyaris persis seperti pengertian kedua dalam kamus Oxford, yang tak terwakili dalam khazanah bahasa Indonesia. Dalam tradisi lembaga pendidikan di Indonesia, setidaknya untuk tingkat SMA, nyaris tak ada program kegiatan di sekolah yang klop dengan pengertian kedua dari kata “proyek” di kamus Oxford tersebut di atas. Program OSIS yang banyak dikembangkan sejauh ini masih sebatas program sesaat atau program rutin dan kurang menantang kreativitas dan aspek-aspek kependidikan yang lain.

Ini sangat berbeda dengan proyek SCC yang dikerjakan anak-anak beberapa bulan terakhir. Saat membaca ulang laporan singkat yang disusun oleh ketiga tim proyek SCC sebagai bahan presentasi kemarin, saya dapat membayangkan betapa banyak wawasan dan pengalaman berharga yang diperoleh oleh tim inti proyek atau mereka yang aktif terlibat dalam kegiatan ini. Wawasan dan pengalaman ini tidak saja mustahil didapatkan di ruang kelas, tetapi juga kaya dengan praktik bersosialisasi atau bermasyarakat dan berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari yang sangat konkret dan hidup.

Saat anak-anak dari ketiga tim presentasi Ahad kemarin dan memaparkan rencana tindak lanjut mereka, saya semakin mengerti bahwa proyek yang baik adalah yang memiliki segi keberlanjutan dan kesinambungan yang kuat. Karena itu, suatu proyek di penghujung rentang waktu yang dijadwalkan semula tak akan benar-benar berhenti. Ia akan melahirkan sejumlah jabang bayi proyek lain. Ia akan terus berkembang biak.

Demikianlah. Ketiga tim kemarin juga telah mengemukakan rencana tindak lanjut mereka masing-masing. Untuk memastikan kesinambungan proyek, mereka memprogram untuk merekrut kader-kader baru di tahun pelajaran mendatang. Secara umum, ketiga tim menyadari akan pentingnya memperkuat jaringan, baik dengan sesama komunitas sekolah, maupun dengan komunitas masyarakat lainnya. Pelibatan masyarakat dan komunitas yang lebih luas juga menjadi catatan penting dalam rencana tindak lanjut.

Tim Sampah Plastik akan mengintensifkan kerja sama dengan kantin dan tempat belanja yang menghasilkan sampah plastik. Pendampingan ke komunitas yang dipandang memiliki semangat untuk bergiat di aktivitas peduli lingkungan juga akan menjadi prioritas. Pengalaman bersosialisasi di beberapa sekolah dan komunitas memberi mereka penilaian tentang komunitas mana yang cukup potensial untuk terus diberi pendampingan. Sementara itu, bekal keterampilan menjahit menjadi semakin populer di lingkungan Madaris 3 Annuqayah pada khususnya, karena menjahit tampak seperti menemukan penyaluran kreatif yang baru.

Pendampingan kelompok masyarakat untuk melakukan percobaan pembuatan dan pemakaian pupuk organik dari limbah pertanian menjadi salah satu rencana tindak lanjut proyek Tim Pupuk Organik, selain upaya pemantapan dan pengayaan percobaan pembuatan pupuk yang sudah mereka lakukan, termasuk kemungkinan untuk bereksprimen membuat pupuk organik dari sampah daun di lingkungan sekolah. Sementara itu, berdasarkan hasil riset data yang ditemukan di lapangan, Tim Gula Merah merancang rencana tindak lanjut untuk memperkaya proyek kegiatan mereka dengan memperluas ke isu pangan lokal.

Inisiatif, kreativitas, kepemimpinan, kerja sama, dialektika aksi-refleksi, kewirausahaan sosial, tampak sangat kaya dalam aktivitas proyek yang dikerjakan anak-anak. Inilah yang pada gilirannya sangat menggoda saya untuk menggali gagasan “Sekolah Berbasis Proyek”. Saya bayangkan, andai seluruh civitas kependidikan di sekolah memiliki proyek-proyek kecil yang dikerjakan secara berkelompok, dengan guru berfungsi sebagai pembimbing, maka sekolah akan memberikan suatu media sumber pengalaman dan wawasan yang akan sangat berharga dan memenuhi berbagai aspek kecerdasan dan kreativitas. Kegiatan kependidikan tak akan kaku dan kering, seperti ceramah dan atau lembar-lembar buku teori di kelas yang membosankan.

Sempat terpikir, sekolah merancang satu kerangka waktu yang cukup longgar untuk mendorong terbentuknya proyek-proyek kreatif di sekolah yang menjadi basis kegiatan kependidikan dengan topangan semangat pembelajar yang kuat. Misalnya, di semester pertama sekolah mendorong bagaimana anak-anak dapat merancang suatu proyek sederhana untuk dikerjakan di semester kedua selama dua hingga tiga bulan. Pada semester pertama, selain diberi penguatan kapasitas tentang merancang suatu proyek, anak-anak juga diberi bekal keterampilan pendukung, seperti teknik bersosialisasi, kampanye kreatif, pengorganisasian, dan sebagainya. Semester kedua, rancangan proyek dikerjakan dengan terus difasilitasi dan didukung oleh sekolah.

Dalam kegiatan proyek seperti ini, tak hanya murid yang akan tertantang untuk berkreasi. Guru pun, sebagai pembimbing, akan memiliki pengalaman dan tantangan yang menarik. Paling tidak itulah yang saya rasakan dan saya temukan selama mengikuti kegiatan SCC ini. Guru pendamping tim yang lain juga tampak aktif bergiat di proyeknya mendampingi siswa. Dari perspektif guru, mereka akan tertantang untuk mengkontekstualisasikan wawasan teoretisnya dalam kerja-kerja lapangan. Guru tak hanya mengajar di ruang kelas, tapi juga mendampingi praktik kerja lapangan di masing-masing proyek. Dengan demikian, dalam jangka panjang sekolah berbasis proyek akan menyuburkan kultur riset, tradisi ilmiah, dan jalinan pengembangan pendidikan yang kontekstual dan tersambung dengan kebutuhan aktual komunitas.

Tentu saja gagasan semacam ini masih akan berhadapan dengan sejumlah fakta di lapangan yang membuatnya menjadi rumit dan tampak tak aplikatif. Beban studi yang begitu banyak, keterbatasan dana di sekolah, keterbatasan tenaga guru untuk mendampingi proyek, dan mungkin juga keterbatasan yang lebih bersifat kultural, adalah sejumlah tantangan nyata yang harus dihadapi untuk dapat mewujudkan gagasan ini.

Akan tetapi, perjalanan empat bulan bergiat di proyek SCC ini menegaskan bahwa seterbatas apa pun situasinya, pasti ada sesuatu yang bisa dikerjakan jika kita benar-benar memiliki semangat, komitmen, dan mental yang kuat. Keterbatasan dana, keterbatasan fasilitas, keterbatasan ruang gerak, semuanya bisa dipecahkan dan disiasati.

Saya jadi teringat ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa: “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Q., s. Alam Nasyrah/94: 6). Al-‘Usr, yang berarti kesulitan, dalam ayat ini menggunakan bentuk makrifat atau definitif, sedang yusra, yang berarti kemudahan, dalam ayat ini menggunakan bentuk nakirah atau tak tentu. Dengan kata lain, ayat ini menegaskan bahwa satu kesulitan (tertentu) dapat dipecahkan dengan berbagai macam jalan kemudahan.

Proyek SCC telah menginspirasi banyak hal buat saya. Tak hanya menyangkut sikap hidup peduli lingkungan, tetapi juga tentang semangat, kerja tim, kreativitas, berbagi, dan berjuang melalui pendidikan.

Tulisan terkait:
>> Pameran Kreativitas untuk Masa Depan Bumi yang Hijau

Read More..

Selasa, 02 Juni 2009

Pameran Kreativitas untuk Masa Depan Bumi yang Hijau

Ahad (31/5) kemarin, tiga proyek kegiatan School Climate Challenge (SCC) Competition British Council SMA 3 Annuqayah mengadakan perhelatan penutupan dan pameran kegiatan. Acara intinya adalah presentasi perjalanan dan pencapaian masing-masing proyek kegiatan yang telah berlangsung selama lebih dari tiga bulan, tepatnya dimulai dari sekitar pertengahan Februari hingga akhir Mei kemarin.

Masing-masing tim yang mengikuti kompetisi tingkat nasional ini terdiri dari lima orang guru dan siswa. Ketiga tim itu adalah Tim Sampah Plastik (satu guru empat siswa), Tim Gula Merah (dua guru tiga siswa), dan Tim Pupuk Organik (dua guru tiga siswa). Mereka bekerja dengan didukung oleh siswa-siswa yang lain di luar anggota tim inti. Demikian pula, kegiatan penutupan kemarin melibatkan panitia teknis di luar anggota tim inti.

Anak-anak berupaya untuk menyajikan dan mengemas acara ini dengan unik dan menarik. Dengan kata lain, momentum acara ini dijadikan sebagai ajang penumpahan kreativitas berbagai potensi yang dimiliki siswa di SMA 3 Annuqayah. Karena itu, mulai dari desain undangan, anak-anak sudah mulai menampilkan satu terobosan kreasi yang cukup menendang. Undangan untuk acara ini dibuat dari bahan kardus bekas dan dihias secara manual dengan krayon dan pernak-pernik lainnya. Teks undangannya pun tak biasa. Selain dilipat sedemikian rupa sehingga menjadi unik, teks undangan terkesan ditempel di atas koran yang memuat berita tentang isu-isu lingkungan. Panitia mengerjakan undangan yang dibuat sebanyak lebih dari 150 eksemplar ini selama dua hari dengan mengerahkan tak kurang dari 10 siswa yang dipandang memiliki cita rasa seni yang baik.

Demikian pula, Paduan Suara Madaris 3 Annuqayah (Paramarta) dalam kegiatan ini tampil dengan lagu himne dan mars Madaris 3 Annuqayah, ditambah dengan satu lagu spesial bertema lingkungan yang dicipta oleh Muhammad Affan, guru Pendidikan Seni di SMA 3 Annuqayah. Paramarta berlatih dan mempersiapkan untuk acara ini selama kurang lebih tiga hari.

Selain itu, tata panggung dan setting tempat pameran dirancang oleh tim yang bertugas dengan cukup unik pula. Ketiga tim secara simbolis hadir dalam ornamen dan dekorasi yang dibuat anak-anak. Panggung, misalnya, dihias dengan daun dan buah siwalan, dan di bagian dasarnya diberi tumpukan jerami. Sementara itu, huruf yang dibuat dekorasi di panggung dibuat dari sampah plastik, dan di bagian bawah dihias dengan jerami sehingga dari kejauhan mengesankan seperti rumput yang membentang.

Tak hanya panggung, ketiga stan pameran masing-masing tim juga memperkuat simbol-simbol proyek yang dikerjakannya. Foto-foto dan berita kegiatan yang ditempel di masing-masing stan dipasang sedemikian rupa dengan menggunakan atau berhiaskan unsur sampah plastik, siwalan, dan jerami.

Khusus untuk kreasi penataan panggung, tempat, dan kelengkapan acara, saya terasa kurang jika hanya memberi panitia dua jempol!

Alur acara kemarin sebenarnya cukup sederhana. Seremoni acara dimulai tepat pukul 09.15 WIB, sebagaimana telah dirancang sebelumnya oleh panitia. Sebelum itu, para tamu undangan yang tiba di tempat dipersilakan untuk berkunjung ke tiga stan tim proyek untuk melihat dokumentasi dan hasil kegiatan mereka. Di stan mereka dilayani oleh masing-masing anggota tim yang siap memberi penjelasan terperinci tentang segala sesuatu berkaitan dengan perjalanan proyek tim.

Kabid Dikmen Diknas Sumenep, M. Sudirman, yang datang cukup awal, bersama beberapa pejabat lain, seperti Camat Guluk-Guluk dan perwakilan dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumenep, tampak antusias menyaksikan kreativitas anak-anak. Pak Ya’kub dan Pak Nasir, pimpinan SMA 3 Annuqayah, menemani mereka berkeliling stan. Sebagai bekal awal, panitia memberikan laporan singkat ketiga tim yang sudah ditulis dan digandakan kepada mereka.

Perwakilan dari BLH bahkan tampak tertarik dengan tulisan-tulisan anak-anak tim yang cukup banyak menceritakan berbagai aktivitas mereka selama tiga bulan. Dia menyatakan minatnya untuk meminta kopi tulisan anak-anak.

Acara seremoni sebelum presentasi berlangsung sekitar 45 menit, sehingga presentasi dimulai sekitar pukul 10.00 WIB. Saya sebagai koordinator guru pendamping SCC memandu sesi ini. Sebelum mempersilakan semua anggota tim untuk naik ke panggung dan presentasi, saya memberi pengantar singkat tentang masalah tantangan perubahan iklim dan bagaimana ketiga tim ini berupaya memberi solusi. Tentang konteks lomba, saya sudah menyampaikannya saat memberi kata sambutan.

Saya sempat khawatir dengan sesi presentasi ini, karena anak-anak tidak punya waktu yang cukup untuk membuat persiapan khusus dan berlatih presentasi. Mereka juga sibuk menyiapkan stan dan persiapan teknis lainnya sehingga mereka hanya sempat menyiapkan laporan singkat tertulis 2-3 lembar saja. Memang, mereka telah cukup terbiasa presentasi dalam kegiatan sosialisasi di masing-masing proyek di berbagai tempat. Tapi di acara ini hadir para pejabat dan pimpinan-pimpinan lembaga, dan acaranya cukup besar.

Presentasi dimulai dari Tim Sampah Plastik. Saat mulai presentasi, saya dapat menangkap sedikit perasaan tegang dan kurang lepas dalam diri mereka, sehingga mereka kurang bisa berimprovisasi dan agak mengandalkan catatan yang mereka buat. Anak-anak, terutama dari kedua tim lain, tampak dapat menangkap kegelisahan saya. Dan untung, dua tim yang lain dapat lebih lepas mempresentasikan kegiatan proyek mereka. Bahkan, Tim Gula Merah ada yang presentasi dengan bahasa Inggris sekitar tiga menit.

Alhamdulillah, Tim Pupuk Organik dapat menampilkan presentasi yang sangat lepas dan cukup mengalir. Mereka tampak nothing to lose. Sesekali dicampur dengan bahasa Madura dan bumbu guyon, sehingga para hadirin senyum-senyum dan tertawa kecil.

Presentasi masing-masing tim diiringi dengan slide gambar-gambar kegiatan yang sudah disiapkan sebelumnya dan dikendalikan dari laptop di depan saya. Meski tidak tampak sangat jelas karena terik matahari yang cukup menyengat, gambar-gambar itu juga membantu melengkapi presentasi anak-anak.

Presentasi berlangsung sekitar hampir satu jam. Begitu selesai, saya mengambil alih kendali acara dan mencoba memancing hadirin untuk menanggapi perjalanan kegiatan semua proyek, dan terutama mengenai rencana tindak lanjut yang dirancang.

Empat penanggap pertama adalah “para pembesar”. Dimulai dari Pak Rahem (Camat Guluk-Guluk), Pak Dirman (Diknas Sumenep), Pak Ya’kub (Kepala SMA 3 Annuqayah), dan terakhir H.A. Pandji Taufiq, tokoh lingkungan dan aktivitas sosial yang kini menjabat sebagai Ketua Yayasan Annuqayah.

Pak Camat memberi tanggapan yang cukup panjang lebar. Dia menanggapi satu persatu untuk tiga tim. Secara umum, perspektifnya memang tampak kental sebagai birokrat. Dia, misalnya, mengingatkan bahwa ada instansi-instansi pemerintah yang bisa dimintai partisipasi dalam kegiatan masing-masing tim. Kepada masing-masing tim dia memberi masukan khusus. Untuk Tim Sampah Plastik, dia bertanya: yang mana kegiatan daur ulangnya. Untuk Tim Pupuk Organik, dia menanyakan apakah pupuk organiknya sudah diuji coba digunakan untuk tanaman tertentu. Untuk Tim Gula Merah, dia mengkritik mengapa memilih pohon siwalan dan bukan pohon kelapa. Sementara potensi di Kecamatan Guluk-Guluk lebih banyak pohon kelapa. Pak Camat juga mempertanyakan keterlibatan siswa yang lain di luar tim proyek ini.

Pak Dirman dari Diknas Sumenep lebih banyak menekankan pada soal keberlanjutan kegiatan ini ke depan. Sedang Pak Ya’kub, Kepala SMA 3 Annuqayah, secara retoris menambahkan soal kegiatan tiga proyek ini yang tak menggunakan uang dari sekolah. Tampaknya Pak Ya’kub ingin menunjukkan bahwa kegiatan tanpa uang pun bisa terlaksana, dan bahwa anak-anak bisa mandiri menyiasati hal semacam itu.

Pak Panji, yang menjadi penanggap terakhir di sesi pertama, menggarisbawahi komentar retoris Pak Ya’kub: bahwa yang paling penting itu semangat dan kerja keras, bukan uang. Selain itu, Pak Panji juga mengapresiasi kegiatan ketiga tim proyek ini dengan sangat positif, terutama dalam menginspirasi kita semua, baik sebagai individu, kepala keluarga, pimpinan lembaga pendidikan, instansi pemerintah, dan sebagainya, untuk peduli dan melek dengan masalah-masalah lingkungan di sekitar kita. “Jika anak-anak SMA 3 Annuqayah ini bisa berbuat sesuatu untuk menyebarkan kepedulian lingkungan dengan terutama hanya bermodal semangat, mestinya lembaga pendidikan yang lain juga bisa melakukan hal serupa,” tegasnya.

Pak Panji memberi penekanan-penekanan substantif atas kegiatan ketiga tim proyek ini, sehingga beberapa tampak dapat menjawab pertanyaan dari penanggap sebelumnya. Selain itu, Pak Panji juga memberikan gambaran tentang tantangan masalah-masalah lingkungan di sekitar kita yang membutuhkan kepedulian. “Di Kabupaten Sumenep saja, urusan sampah masih belum menjadi prioritas, sehingga kota Sumenep saja sampai sekarang belum punya TPA yang resmi. Demikian juga, di Annuqayah, yang dihuni oleh sekitar enam ribu pelajar, yang menurut perhitungan kasar saya setiap hari bisa ‘menghasilkan’ sampah sekitar 2 ton, masalah sampah belum menjadi prioritas,” tegasnya.

Alhamdulillah, anak-anak dapat menanggapi keempat tanggapan ini dengan baik. Soal dukungan dana, anak-anak menceritakan bagaimana mereka di antaranya mendapatkan dukungan dari luar sekolah atas dasar capaian kegiatan peduli lingkungan yang sudah dilaksanakan sebelumnya, sehingga untuk kegiatan ini pendanaan proyek sama sekali bukan dari kas sekolah. Untuk dicatat, organ peduli lingkungan di SMA 3 Annuqayah terbentuk pada 2006 lalu, dengan nama Duta Lingkungan, yang kemudian disusul dengan Pemulung Sampah Gaul (PSG) pada April 2008, yang fokus pada penanganan sampah plastik. Selain itu, dalam beberapa kegiatan proyek, tim mendapatkan dukungan finansial dari mitra mereka di lapangan. Saat tampil mengudara di Ganding FM 104.10, misalnya, anak-anak justru mendapat ganti biaya transportasi dan bahkan uang saku. Demikian juga, saat ke Madrasah Aliyah Nasy’atul Muta’allimin Gapura, anak-anak juga mendapat ganti biaya transportasi. Bagi kami, hal ini menunjukkan bahwa dua mitra lembaga tersebut menunjukkan kepedulian, dukungan, dan komitmen yang sama atas kegiatan kami. Ini semakin jelas saat seusai acara penutupan Ahad kemarin, Ganding FM menyiarkan ulang sesi presentasi anak-anak di gelombang radio mereka.

Keterlibatan dan dukungan komunitas lain, termasuk di lingkungan SMA 3 Annuqayah, juga dijelaskan cukup panjang lebar oleh anak-anak. Saat beraktivitas, ketiga tim tak bekerja sendiri, tapi juga didukung oleh siswa yang lain di sekolah. Secara khusus, tim memang berupaya untuk mendorong keterlibatan siswa secara lebih luas. Tim Gula Merah, misalnya, saat bersosialisasi tentang gula merah di sekolah juga meminta partisipasi siswa yang lain untuk menyumbangkan menu makanan tradisional berbahan gula merah untuk didokumentasikan. Demikian juga, Tim Sampah Plastik meminta siswa untuk juga meletakkan sampah plastik di sekolah di tempat khusus untuk diolah menjadi kriya kreatif.

Keberlanjutan masing-masing proyek menjadi tantangan tersendiri yang juga ditanggapi oleh ketiga tim. Pada sesi kedua, salah seorang guru pendamping, Mus’idah Amien (pendamping Tim Gula Merah) mengemukakan komentar menarik. “Kami tidak ingin menjadi lelaki mata keranjang. Kami akan terus konsisten mengerjakan dan mengembangkan proyek kami masing-masing agar dapat lebih baik,” tuturnya, yang disambut dengan tepuk tangan meriah.

Pada sesi kedua, penanggap semua berasal dari sekolah. Tim SCC Madrasah Aliyah 1 Annuqayah Putri juga berbagi pengalaman tentang kegiatan mereka. Beberapa pertanyaan bersifat agak teknis. Dan semuanya ditanggapi dengan baik oleh ketiga tim.

Presentasi diakhiri pada pukul 12.10 WIB. Setelah ditutup dengan doa, para hadirin kembali dipersilakan untuk kembali menyaksikan stan pameran. Kali ini, stan Tim Gula Merah telah dilengkapi dengan dua puluh empat macam makanan tradisional berbahan gula merah yang langsung diserbu oleh pada undangan. Para pengunjung tak hanya datang untuk mencicipi makanan tradisional itu, tapi juga ada yang bertanya resep dan cara pembuatannya.

Stan Tim Pupuk Organik dan Sampah Plastik juga ramai dikunjungi undangan. Ada yang langsung berbincang dengan tim yang bersiap di stan masing-masing, dan ada pula yang melihat-lihat foto dan arsip berita yang ditulis anak-anak. Tim Sampah Plastik kemarin juga menjual produk tas yang berhasil dibuat, dan beberapa produk sempat laku terjual. “Harganya masih agak mahal,” kata salah seorang pengunjung yang tampak ngebet untuk membeli salah satu produk.

Secara spontan, Mus’idah, salah satu guru pendamping proyek SCC, menyiarkan acara ini lewat pengeras suara sambil meminta komentar dan kesan beberapa tamu undangan. Menjelang pukul satu siang, pada undangan meninggalkan tempat acara satu persatu. Sebelum meninggalkan tempat, banyak di antara mereka yang menuliskan kesan-kesannya di lembaran yang disediakan panitia dan diserahkan saat mereka baru tiba.

Setelah acara benar-benar selesai, panitia dan seluruh tim proyek SCC mengadakan rapat evaluasi singkat, dan juga menyinggung persiapan penyusunan laporan lengkap kegiatan SCC untuk dikirimkan ke British Council Jakarta. Tentu saja, anak-anak dari ketiga tim pada khususnya merasa lega karena acara penutupan dan pameran kegiatan SCC ini dapat berlangsung dengan sukses. Kerja keras dan tenaga yang terkuras beberapa hari ini yang sempat membuat kami kadang lupa makan tampak impas terbayar. Alhamdulillah.

Read More..