Senin, 21 Desember 2009

Bertemu Sinterklaas

Memasuki bulan November yang lalu, teman-teman di kelas mulai berbicara tentang Sinterklaas. Saya, yang cukup awam dalam soal ini, mencoba bertanya kepada salah satu teman kelas. Dia menjelaskan secara cukup baik tentang perayaan Sinterklaas di Belanda.

Sinterklaas merujuk pada seorang uskup dari Myra, Turki, yang baik hati, suka menolong orang miskin dan juga dikenal sebagai pelindung anak-anak. Di Belanda, perayaan Sinterklaas dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember. Di hari itu, Sinterklaas bersama Piet Hitam (Zwarte Piet) yang menemaninya membagikan hadiah untuk anak-anak. Sedangkan anak yang nakal akan dibawa pergi ke Spanyol.

Tentu saja, pikir saya, di mata anak-anak bayangan tentang hadiah sangatlah menyenangkan, dan hukuman dibawa ke Spanyol akan cukup menakutkan.

Teman saya itu kemudian menuturkan bahwa Sinterklaas bersama rombongannya akan hadir secara bergiliran di kota-kota besar di Belanda setiap akhir pekan. Sayangnya, saat rombongan Sinterklaas berkunjung ke Utrecht pada 14 November yang lalu, saya sedang bepergian ke Amsterdam untuk suatu keperluan, sehingga tak bisa melihat langsung rombongan Sinterklaas yang katanya tiba melewati kanal Utrecht.

Penasaran dengan Sinterklaas, menjelang 5 Desember saya mencoba keliling bersepeda di sekitar Zeist. Akhirnya, pada hari Jum’at sore, 4 Desember, saya berhasil melihat Sinterklaas bersama beberapa Piet Hitam yang sedang dikerumuni anak-anak di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu, saya menyaksikan beberapa anak yang sepertinya tampak sangat senang bermain di sekitar Sinterklaas yang membagikan hadiah-hadiah berupa makanan ringan. Ibu mereka, yang sebagian tampak mengawasi dari kejauhan, kadang terlihat geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah anak-anak mereka.

Saya mencoba membaca pikiran anak-anak yang tampak girang dan tertawa-tawa riang itu. Saya membayangkan, mereka sedang mendapatkan suatu pelajaran moral untuk berbuat baik pada sesama. Beberapa waktu yang lalu, saat berkumpul dengan komunitas masyarakat Indonesia di sebuah acara informal, salah seorang di antara mereka yang sudah tinggal di sini (Utrecht) menyatakan bahwa pelajaran moral Sinterklaas tidaklah terlalu berhubungan dengan agama—ya, saya cukup bisa memakluminya; bukankah Belanda memang negara yang tergolong sekuler?

Dengan memandang perayaan Sinterklaas yang tak lagi terlalu mengacu pada aspek religius, saya jadi maklum saat menyaksikan seorang anak dari seorang ibu yang kelihatannya muslim bermain dengan Sinterklaas di supermarket di Jum’at sore itu. Sepertinya Sinterklaas di sini telah menjadi semacam simbol moral universal tentang dorongan untuk berbuat baik.

Saya menjadi semakin yakin akan hal ini saat mencoba mencari informasi lebih jauh di internet, dan menyadari kenyataan bahwa Sinterklaas sendiri pada dasarnya adalah seorang Katolik—meskipun ia oleh Vatikan dicoret dari daftar orang-orang suci. Bagaimana bisa orang terhormat dari Katolik dirayakan di sebuah negara yang mayoritas Protestan seperti Belanda? Jawabannya jelas: Sinterklaas telah melampaui sekat formalitas (sekte) agama, dan mungkin sudah cukup menyatu dengan gerak hidup kebudayaan masyarakatnya yang memiliki bermacam keyakinan. Memang, dari situasi semacam ini, simbol agama menjadi tak terlalu kelihatan.

Saat 5 Desember berkeliling di sekitar Zeist, saya kembali berjumpa dengan Sinterklaas di pusat kota. Piet Hitam berkeliaran di sepanjang jalan di situ. Dari kejauhan, tampak di antara mereka sedang memberi bungkusan hadiah untuk seorang anak yang sedang berjalan dengan digandeng oleh ibunya.

Dalam hati saya bertanya: mengapa mereka tak memberi hadiah untuk saya? Hmmm.... mungkin karena saya bukan anak-anak lagi—semoga bukan karena saya termasuk “anak nakal”.

2 komentar:

mirza mengatakan...

Ceritanya asyik...Sekaligus inspiratif..

M. Faizi mengatakan...

Anak nakal akan diajak "jalan-jalan" ke Spanyol untuk bermain di Madrid: pikir-pikir dulu jadi anak nakal..