Jumat, 25 Desember 2009

“Kalian Ini Adalah Para Elite...”

“Kalian ini adalah para elite. Kalian punya kesempatan belajar di luar negeri. Kira-kira bagaimana jika Indonesia kelak dipimpin oleh kalian? Apakah bisa lebih baik, bisa lebih bersih?”

Kurang lebih, begitulah kalimat-kalimat yang sempat terlontar dari Ibu Tatiana malam itu di pesta ulang tahun salah seorang rekan mahasiswa Indonesia di Utrecht. Kehadiran Bu Tati, yang telah cukup lama tinggal di Zeist dan punya cukup banyak pengalaman internasional, memang terasa cukup mengubah suasana—tak seperti lazimnya acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Utrecht pada umumnya.

Bu Tati menanyai satu per satu rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang malam itu datang ke Warande 190: apa program studi yang ditekuni di Utrecht, apa saja aktivitas di Indonesia, dan sebagainya. Jadilah kami seperti harus presentasi singkat tentang diri kami masing-masing. Bu Tati tak segan untuk menggali lebih dalam. Salah seorang di antara kami ada yang kemudian presentasi tentang tesis yang dikerjakannya.

Pembicaraan kami sebenarnya cukup lepas. Bu Tati, yang juga bisa berbahasa Prancis dan Spanyol, juga banyak berbagi cerita dan pengalaman hidupnya di Belanda. Di bagian ini, tampak sikap kritis Bu Tati dalam melihat realitas sosial. “Bagi kalian, yang relatif tak begitu lama tinggal di Belanda, mungkin akan melihat bahwa hidup di sini enak. Sebenarnya, tantangan hidup dan masalah sosial di sini juga banyak,” katanya.

Masalah kesejahteraan masyarakat, prasangka kepada etnis atau kelompok tertentu, menurut Bu Tati tak sepenuhnya selesai di negeri Kincir Angin ini. Jangan dikira bahwa di negara maju dan liberal seperti Belanda tak ada diskriminasi. Tentang hal ini, Bu Tati menuturkan beberapa pengalaman kecil yang relevan. Hmmm... rupanya tajam juga cara pandang Bu Tati ini.

Malam itu, kami tak sekadar berkumpul untuk merayakan dan mensyukuri ulang tahun rekan kami. Secara tidak langsung, ada sedikit peringatan dari Bu Tati tentang hidup yang sedang kami jalani di sini—juga tentang hari depan. Ya, benar, kami mungkin memang bisa disebut sebagai para elite sosial. Kami menikmati kesempatan untuk merantau dan belajar di sini, di tempat yang disebut sebagai “negara maju”—sebuah kesempatan yang mungkin hanya bisa diimpikan oleh orang lain.

Apa yang bisa kami bawa pulang dari sini? Apa yang akan kami kerjakan nanti? Pertanyaan semacam ini sejatinya menuntut banyak hal dari kami: bahwa kami harus punya proyek masa depan, proyek peradaban, sesuai dengan minat dan kepedulian kami, di komunitas masing-masing. Apakah harapan ini terlampau berlebihan, atau memang wajar?

Beberapa pekan setelah obrolan di malam itu, kata-kata Bu Tati masih cukup sering terngiang di ingatan saya: “Kalian ini adalah para elite...”

Read More..

Senin, 21 Desember 2009

Bertemu Sinterklaas

Memasuki bulan November yang lalu, teman-teman di kelas mulai berbicara tentang Sinterklaas. Saya, yang cukup awam dalam soal ini, mencoba bertanya kepada salah satu teman kelas. Dia menjelaskan secara cukup baik tentang perayaan Sinterklaas di Belanda.

Sinterklaas merujuk pada seorang uskup dari Myra, Turki, yang baik hati, suka menolong orang miskin dan juga dikenal sebagai pelindung anak-anak. Di Belanda, perayaan Sinterklaas dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember. Di hari itu, Sinterklaas bersama Piet Hitam (Zwarte Piet) yang menemaninya membagikan hadiah untuk anak-anak. Sedangkan anak yang nakal akan dibawa pergi ke Spanyol.

Tentu saja, pikir saya, di mata anak-anak bayangan tentang hadiah sangatlah menyenangkan, dan hukuman dibawa ke Spanyol akan cukup menakutkan.

Teman saya itu kemudian menuturkan bahwa Sinterklaas bersama rombongannya akan hadir secara bergiliran di kota-kota besar di Belanda setiap akhir pekan. Sayangnya, saat rombongan Sinterklaas berkunjung ke Utrecht pada 14 November yang lalu, saya sedang bepergian ke Amsterdam untuk suatu keperluan, sehingga tak bisa melihat langsung rombongan Sinterklaas yang katanya tiba melewati kanal Utrecht.

Penasaran dengan Sinterklaas, menjelang 5 Desember saya mencoba keliling bersepeda di sekitar Zeist. Akhirnya, pada hari Jum’at sore, 4 Desember, saya berhasil melihat Sinterklaas bersama beberapa Piet Hitam yang sedang dikerumuni anak-anak di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu, saya menyaksikan beberapa anak yang sepertinya tampak sangat senang bermain di sekitar Sinterklaas yang membagikan hadiah-hadiah berupa makanan ringan. Ibu mereka, yang sebagian tampak mengawasi dari kejauhan, kadang terlihat geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah anak-anak mereka.

Saya mencoba membaca pikiran anak-anak yang tampak girang dan tertawa-tawa riang itu. Saya membayangkan, mereka sedang mendapatkan suatu pelajaran moral untuk berbuat baik pada sesama. Beberapa waktu yang lalu, saat berkumpul dengan komunitas masyarakat Indonesia di sebuah acara informal, salah seorang di antara mereka yang sudah tinggal di sini (Utrecht) menyatakan bahwa pelajaran moral Sinterklaas tidaklah terlalu berhubungan dengan agama—ya, saya cukup bisa memakluminya; bukankah Belanda memang negara yang tergolong sekuler?

Dengan memandang perayaan Sinterklaas yang tak lagi terlalu mengacu pada aspek religius, saya jadi maklum saat menyaksikan seorang anak dari seorang ibu yang kelihatannya muslim bermain dengan Sinterklaas di supermarket di Jum’at sore itu. Sepertinya Sinterklaas di sini telah menjadi semacam simbol moral universal tentang dorongan untuk berbuat baik.

Saya menjadi semakin yakin akan hal ini saat mencoba mencari informasi lebih jauh di internet, dan menyadari kenyataan bahwa Sinterklaas sendiri pada dasarnya adalah seorang Katolik—meskipun ia oleh Vatikan dicoret dari daftar orang-orang suci. Bagaimana bisa orang terhormat dari Katolik dirayakan di sebuah negara yang mayoritas Protestan seperti Belanda? Jawabannya jelas: Sinterklaas telah melampaui sekat formalitas (sekte) agama, dan mungkin sudah cukup menyatu dengan gerak hidup kebudayaan masyarakatnya yang memiliki bermacam keyakinan. Memang, dari situasi semacam ini, simbol agama menjadi tak terlalu kelihatan.

Saat 5 Desember berkeliling di sekitar Zeist, saya kembali berjumpa dengan Sinterklaas di pusat kota. Piet Hitam berkeliaran di sepanjang jalan di situ. Dari kejauhan, tampak di antara mereka sedang memberi bungkusan hadiah untuk seorang anak yang sedang berjalan dengan digandeng oleh ibunya.

Dalam hati saya bertanya: mengapa mereka tak memberi hadiah untuk saya? Hmmm.... mungkin karena saya bukan anak-anak lagi—semoga bukan karena saya termasuk “anak nakal”.

Read More..

Minggu, 20 Desember 2009

Cinta dan Pencarian Diri

Judul buku: Perahu Kertas
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2009
Tebal: xii + 444 halaman


Karya-karya Dewi Lestari, atau yang populer dengan nama pena Dee, memang telah banyak mengangkat tema cinta, mulai dari Supernova (3 seri), Filosofi Kopi, hingga Rectoverso. Demikian pula, novel terbarunya ini, yang berjudul Perahu Kertas, masih mengangkat tema cinta. Bedanya, novel ini bergenre populer dan menggunakan tokoh remaja yang berproses hingga menemukan kematangannya.

Karena bergenre populer, maka pembaca setia karya-karya Dee ketika baru memulai membaca novel ini mungkin akan sedikit merasakan hal yang agak berbeda dibandingkan saat menikmati karya Dee sebelumnya yang cenderung “serius”. Bisa dikatakan bahwa novel ini secara gaya penyajian dan alur mirip dengan chicklit atau teenlit. Akan tetapi, lambat laun, pembaca akan merasakan ruh Dee dalam novel yang ditulis selama 55 hari kerja ini—tulisan yang reflektif, dan, dalam batas-batas tertentu, bagi yang cukup akrab dengan tulisan-tulisan Dee selain karya fiksinya yang dapat ditemukan di weblognya, cukup menggambarkan “pandangan-dunia” Dee tentang hidup, cinta, dan takdir.

Hebatnya, Dee bisa membungkus ide-ide yang sangat filosofis dan serius macam itu melalui tokoh-tokoh remaja novel ini. Dengan dua tokoh utama bernama Kugy dan Keenan, tokoh-tokoh remaja lainnya dalam novel ini tampil dalam rentang empat tahun, dimulai saat Kugy dan Keenan memulai masa perkuliahannya di Bandung.

Kugy adalah seorang gadis mungil yang aneh, cuek, pengkhayal, berantakan, dan bercita-cita menjadi juru dongeng dan penulis cerita. Keenan adalah seorang remaja cerdas, artistik, dan bermimpi menjadi pelukis. Keduanya dipertemukan secara kebetulan oleh Eko dan Noni, saat Eko menjemput Keenan, sepupunya, di stasiun Bandung. Noni, pacar Eko, adalah sahabat karib Kugy sejak kecil.

Perkenalan Kugy dan Keenan di awal masa kuliah mereka ternyata pelan-pelan melahirkan perasaan saling mengagumi dan saling menyukai. Namun, situasinya menjadi rumit dengan fakta bahwa Kugy masih menjalin hubungan dengan Ojos, dan di sisi yang lain, Noni dan Eko tengah berupaya mencomblangkan Keenan dengan seorang famili Noni bernama Wanda. Dari titik inilah, ketegangan kisah cinta Kugy dan Keenan yang sebenarnya dimulai.

Lebih dari sekadar kisah cinta biasa, kisah Kugy dan Keenan juga menyimpan kisah pergulatan panjang pencarian diri yang otentik. Gagasan ini, jika disederhanakan dan diungkapkan dengan bahasa populer kalangan remaja, akan serupa dengan upaya untuk “menjadi diri sendiri”. Tentang bagaimana Kugy dan Keenan merawat impian-impian, kata hati, pilihan hidup, dan cita-cita mereka, berhadapan dengan kompleks realitas hidup di lingkungannya masing-masing yang tak sederhana, dilematis, dan kadang tampak pahit.

Keenan, misalnya, digambarkan terpaksa kuliah di jurusan manajemen, sementara sejatinya dia ingin menyerahkan hidupnya di dunia kesenian. Ia harus mengikuti kehendak orang tuanya, sampai akhirnya di satu titik perjalanan kisah ini Keenan mengambil sebuah keputusan yang sangat berani: berhenti kuliah, berkomitmen mandiri secara ekonomi, dan total hidup dengan melukis.

Keteguhan Keenan dengan keputusannya ini tak bisa dilepaskan dari cerita-cerita inspiratif yang ditulis Kugy, terutama saat Kugy tengah tertekan dan kalut akibat proyek percomblangan Noni dan Eko, dan menuliskan pengalamannya dengan anak-anak miskin di pinggiran Bandung dalam kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit.

Titik penting novel ini terjadi saat Keenan memutuskan untuk menghilang dan tinggal di Ubud bersama Pak Wayan, sahabat lama ibunya, dan memulai merajut mimpinya menjadi pelukis. Di titik itu pula, pembaca akan merasakan bahwa jalinan perasaan Kugy dan Keenan terancam putus. Apalagi saat jalinan cerita ini menuturkan bahwa di Ubud Keenan terpikat dengan Luhde Laksmi, ponakan Pak Wayan, sementara Kugy, yang baru lulus kuliah dan kemudian bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta, menjalin hubungan dengan bosnya di kantor.

Di bagian seperempat terakhir novel, pembaca akan menemukan bagian-bagian yang sangat menentukan bagi penyelesaian konflik dan keseluruhan alur kisah novel yang sebenarnya sudah lebih dulu dilansir dalam versi digital (WAP) pada April 2008. Di bagian ini, pembaca akan menemukan “Dee yang sebenarnya”, yang menghadirkan renungan-renungan hidup yang mendalam dengan juru bicara tokoh-tokoh novel yang usianya kebanyakan masih belia. Memang, pembaca tidak akan terlalu dibebani dengan metafor-metafor berat dan refleksi filosofis yang cukup serius, seperti dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Namun begitu, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kedalaman refleksi Dee.

Salah satu kelebihan novel ini adalah efek adiktif yang dimilikinya. Dee sendiri menjelaskan bahwa novel ini juga memang mencoba mengambil semangat komik dan cerita bersambung, yang pada dasarnya berupaya menjaga rasa penasaran pembaca. Membaca Perahu Kertas, pembaca seperti akan dilayarkan ke suatu kisah yang cukup menguras emosi dan cukup bernuansa eksistensial.

Di tengah melimpahnya genre novel-novel populer remaja bertema cinta di pasar perbukuan, novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru untuk berbagi kisah yang memikat dan inspiratif yang sarat nilai-nilai renungan mendalam, jauh dari dangkal. Tak hanya soal cinta, tapi juga renungan soal relasi etis antarmanusia.

Parung (Bogor), 31 Agustus 2009

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Desember 2009.

Read More..