Rabu, 11 November 2009

Daun-Daun yang Berpulang

Daun-daun itu jatuh ke tanah bersama hembusan angin dingin di bawah bentangan langit yang kelabu. Daun-daun itu terbang, luruh perlahan, sehingga dahan-dahan pepohonan pun jadi kerontang. Daun-daun itu, yang beberapa bulan sebelumnya cerah menghijau, beberapa pekan terakhir berubah warna. Mereka berganti kemerah-merahan, kuning, cokelat, dan akhirnya tak mampu lagi menggantung dan bertahan. Pegangan mereka lunglai, dan satu persatu gugur berserakan.

Sang Waktu telah merontokkan kekuatan mereka dan membawanya ke musim ini. Sang Musim telah mengantarkan daun-daun itu pada takdir purba yang telah tercatat bersama semesta. Di hamparan tanah yang mulai sering basah karena embun dan rintik hujan, mereka sama sekali tampak tak resah. Sesekali ditiup angin yang agak kencang, di sana mereka menunggu lebur untuk pulang ke rumah asal.

Sang Musim, perlahan tapi pasti, juga tengah mengusir burung-burung ke selatan, menceraikan persaudaraan tulus mereka dengan rimbun daun-daun di tanah ini. Kicaunya mulai jarang terdengar. Tataplah langit, dan kau akan menyaksikan burung-burung yang tampak mulai bergegas menemukan tempat yang lebih nyaman ke arah selatan, berkelana mencari pohon dan dedaunan.

Burung-burung itu terbang ke selatan menjemput harapan. Tapi aku tak tahu apakah mereka akan kembali ke tempat ini dengan cerita tentang langit biru yang teduh dan daun-daun yang menghijau. Mungkin mereka justru akan menemukan asap hitam yang terus mengepul dari hutan-hutan. Mungkin saja rumah singgah mereka di sana, di selatan, sudah tak lagi nyaman.

Di sini, saat ini, daun-daun sedang berpulang. Pohon-pohon pun mulai kesepian. Sayang sekali, aku tak akan berada di tempat ini saat mereka datang kembali. Padahal, sepertinya mereka akan menghidangkan kisah-kisah dari tanah leluhur yang penuh kebijaksanaan.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

daun-daun itu sudah waktunya berdiam diri, mendekap sunyi, sepi dan sendiri di sore hari. Daun-daun rontok itu adalah isyarat alam bahwa yang lain akan menguncup di rembang pagi. Hidup harus berganti, yang tidak perlu dibuang dulu ganti dengan yang baru yang lebih menyegarkan. Gus...generasi ke generasi udara dan musim tak pernah sama, yang penting kepergiannya bermakna, tidak seperti Chairil Anwar yang ingin hidup seribu tahun lagi. Kita kata perlu mengalah untuk sesuatu yang lebih baik.
Saya juga pernah mengamati daun-daun berserakan di jalan-jalan kota malang, meski terlihat kotor tapi indah, tidak semua orang mengerti isyarat alam, hanya orang yang hatinya tersentuh yang bisa merasapinya dengan seksama.
ceritakan lagi musim-musim yang lain, aku ingin jadi Indah di MUSIMKU SENDIRI.

HAMIDDIN

hadi to baroque mengatakan...

tiap musim menampilkan keindahannya masing-masing, seperti dalam kehidupan, ada bagian-bagian yang terasa merugikan namun akan terasa indah dari sudut pandang yang berbeda, sekaligus memberi kekuatan lebih pada bagian berikutnya.
alam semesta adalah kitab suci, segala kebaikan dan keburukan tergambar dengan sangat jelas di sana, marilah kita pahami dan kaji alam ini seperti kita membaca dan memahami kitab suci.

Anonim mengatakan...

Indah, M79...

Anonim mengatakan...

Melihat daun-daun yang berubah warna kemerahan dan berguguran, semula kupikir itu hanya bisa dinikmati di negeri 4 musim. Sungguh keliru! Negeri ini begitu kaya dengan flora seperti itu. Pohon Rukem (Flacourtia rukam) mencelikkan mataku bahwa tiap menjelang akhir tahun Masehi (pada saat yang sama dengan musim gugur di bumi belahan utara), dedaunannya berubah warna dan mulai berguguran.
Sungguh indah dipandang mata. Andai dinas pertamanan kota melirik si Rukem untuk menghiasi taman2 kota.

Sisco (Sapto Siswoyo)