Jumat, 25 September 2009

Berlebaran di Rantau



Ini adalah pengalaman saya yang pertama: berlebaran di rantau. Tak tanggung-tanggung, lebaran kali ini, saya berjarak hampir 12 ribu kilometer dari rumah saya, dari keluarga saya, dari tempat saya dibesarkan.

Lalu, apakah ada bedanya? Bagaimana rasanya? Ruang yang memisahkan mulanya memang terasa biasa, seperti tak berbeda. Saat bangun di waktu Subuh di hari lebaran, saya seperti di rumah saja. Dari kamar saya yang berukuran 4 x 3,5 meter, perbedaan itu belum begitu terasa.

Tapi, begitu saya melangkah keluar, berangkat menuju “masjid” tempat kaum muslim Indonesia akan melangsungkan Shalat 'Ied, satu persatu perbedaan itu semakin terasa. Saya keluar dari aparteman sekitar pukul 7.20. Tiba di luar, saya menemukan jalanan yang diselimuti kabut tebal, yang membuat pandangan menjadi terbatas. Udara pagi juga menyengat dingin. Saya agak bergegas berjalan ke halte, mengejar bus pertama yang menuju Central. Jalanan masih sangat sepi. Mungkin karena hari Minggu.

Tak ada suara petasan atau gema takbir bersahutan. Tak ada orang lalu-lalang dengan pakaian-pakaian terbaik mereka. Kabut menambah sepi yang dingin.

Sepanjang perjalanan, di beberapa halte yang kebanyakan masih sangat sepi, saya menjumpai beberapa orang yang sepertinya juga tengah berangkat menuju masjid untuk berlebaran—orang-orang berwajah Arab atau Afrika. Sempat terpikir: apakah mereka juga tengah berada di perantauan, atau justru sudah lama berumah tinggal di negeri ini?

Tak sulit untuk menemukan “masjid” tempat kaum muslim Indonesia akan melaksanakan Shalat 'Ied. Alamatnya di Marnixlaan 362, Utrecht, di komplek Sekolah Aboe Daoed. Shalat digelar di ruang aula sekolah. Saat saya tiba, beberapa orang sudah tampak di dalam.

Saat takbir mulai dibacakan oleh salah seorang panitia, perasaan saya mulai tersentuh. Meski tampak terdengar tak begitu fasih dan kadang terkesan agak tertatih, gema takbir di hari itu tampak berbeda. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya secara persis. Makna kebesaran Allah dan keagungan-Nya seperti muncul menyelinap begitu saja, bercampur aduk dengan kerinduan akan lantunan takbir serupa di kampung halaman.

Seusai shalat dan khotbah, acaranya salam-salaman dan makan-makan. Kaum muslim Indonesia yang hadir saat itu mungkin hampir berjumlah 100 orang. Cukup ramai. Di hari itu, mereka adalah keluarga saya—meski hampir semuanya tak saya kenal, bahkan namanya saja.

Acara usai menjelang pukul 12 siang. Setelah membantu membereskan tempat acara sebentar, saya pun pulang ke apartemen. Ya, saya langsung pulang. Tak ada acara lain. Tak ada acara silaturahim keliling ke famili. Di aparteman, saya langsung kembali ke keseharian saya di sini.

Berlebaran di rantau membuat saya mulai mengerti makna hari lebaran di kampung halaman. Saya mulai memaklumi, mengapa di Indonesia setiap tahun orang-orang berbondong-bondong mudik ke kampung halaman mereka di hari lebaran—bahkan dengan layanan dan situasi transportasi yang penuh tantangan.

Orang-orang menyimpan kerinduan akan kampung halaman—dan kebersamaan. Orang-orang ingin menjenguk masa lalu mereka, meski sekadar serupa kenangan. Dan mereka yang tengah di rantau tak mungkin mendapatkan semua itu. Mereka hanya bisa berdoa dari kejauhan.

0 komentar: