Senin, 31 Agustus 2009

The Existence of Woman in the Family: Ethical Perspective of Simone de Beauvoir

My thesis at Faculty of Philosophy Gadjah Mada University Yogyakarta Indonesia is a library research deals with “The Existence of Woman in the Family: Ethical Perspective of Simone de Beauvoir” (2007). Its background is based on the concern about the oppression to woman in the family. Woman is treated without humanity, has no freedom to transcend; and all of this perceived as natural and usual. Meanwhile, philosophy has not much concern and interest to examine this problem, which has important ethics implications.

This research is devoted to trace the answer of the following questions: How Simone de Beauvoir criticizes the problem of woman’s existence in the family from ethical and philosophical perspective? What are the relevance and the contextual meaning of her critics? This research concentrates particularly on two important works of Beauvoir, The Second Sex and The Ethics of Ambiguity. This research stand on feminism as a theoretical frame—or more specifically, woman perspective. This means that the problems which explored viewed from the standpoint and main purpose to make the interest and voices of woman to be clear and evident. This theoretical perspective assumes that all human being, in the level of individual and society, man and woman, have the same moral obligation that is to create together an unconstrained space in order to make all individual get their dignity as human being.

This research concludes two important things. First, patriarchal civilization had violated the ethical meaning of the family as a medium to combine two independent existences, so that woman cannot bring the true meaning of her freedom, her existence, and her transcendence into reality. Man and the most member of community considered woman only in term of reproductive function. They simplified woman only as a body. As a result, woman trapped in the immanence, and she tends to hide in the comfort of “protection” of man and let her transcendence thrown away by her bad faith (mauvaise foi).

Beauvoir give an ethical frame should be nourished in the family, namely partnership relation based on friendship and generosity, to encourage the realization of freedom of individual. Based on the ethics of ambiguity, Beauvoir argued that we must also consider the other as the extension of our endeavour to generate our freedom—this is the difference between Beauvoir and Sartre, while Sartre recognized relation with the other as inherently conflictual. The partnership should be provided to promote and restore the ethical meaning of the family and to flourish the manifestation of woman’s freedom in the family. To put it simply, we must bring the ethical meaning of the family back by wiping the patriarchal paradigm and attitude in society with constant actions. Actually, in my opinion, this effort will be strategic if it begins from the realm of family itself. But, of course, this will be a challenging situation to manage the ambiguity between man and woman in the family.

The second conclusion relates to the contextual meaning of Beauvoir’s ethical perspectives. In the contemporary situation, ethical critics and ethical frame of Beauvoir about the existence of woman in the family find its important and contextual meaning in the context of globalization, capitalism, and consumerism. After more than fifty years from the publication of The Second Sex, we can assert that the condition of woman is generally better. Many women have good position in public area and our society. Many women in the family also achieve financial independence, so they have spacious and broader opportunity to engender the meaning of freedom and transcendence.

But global order of the new world creates a new challenge to the woman’s freedom. Globalization, capitalism, and consumerism, have decreased the positive values endorsed by feminism, and women face a serious problem again concerning her freedom. If patriarchal culture had defined the body of woman in the frame of function of reproduction, then now we find that the body of woman has to fight for the myth of beauty. The meaning of freedom tends to be superficial, in a sense that it reduces the core meaning of freedom, that freedom must be a project of transcendence and doesn’t mean submission to the logic of capitalism. This situation is also a new threat for the essential meaning of freedom and the ethical meaning of the family. In this context, the ethical perspectives of Beauvoir have its vital significance.

Read More..

Rabu, 26 Agustus 2009

Di Jalanan Kota Jakarta

Ahad pagi (23/8) kemarin, saya kembali tiba di Jakarta setelah hampir di sepanjang Juli lalu saya tinggal dan keliling Jakarta untuk persiapan studi ke Eropa. Dan kini saya kembali untuk persiapan terakhir sebelum saya berangkat meninggalkan Indonesia.

Saat bus yang saya tumpangi dari Madura mulai memasuki tol Cikampek, aroma Jakarta sudah mulai tercium. Akan tetapi, jalanan tampak tak sepadat biasanya—sangat tidak menggambarkan citra Jakarta. Sopir bus yang saya tumpangi juga agak heran dengan jalanan yang cukup lengang. Si kondektur mencoba menjawab, bahwa selain karena hari Ahad, mungkin juga karena awal puasa, sehingga orang-orang agak malas keluar rumah. Walhasil, bus bergerak dengan cukup cepat dan tiba lebih awal di pool Lebak Bulus. Begitu juga saat saya naik angkutan kota ke tempat sepupu saya di Pisangan, Ciputat, kendaraan melaju tanpa hambatan yang berarti.

Sebagai sebuah kota metropolitan, Jakarta menghadapi masalah transportasi yang tidak mudah. Konon, jumlah rasio daya tampung jalan dan jumlah kendaraan yang lalu-lalang di Jakarta tidak seimbang, sehingga terciptalah kemacetan. Bagi mereka yang sudah lama tinggal di Jakarta, mereka akan betul-betul mengerti hal ini dengan baik. Lebih dari itu, mereka pun akan terbiasa. Lain halnya dengan mereka yang ke Jakarta hanya sewaktu-waktu, untuk kepentingan jangka pendek tertentu. Setiap kali ke Jakarta, jalanan bagi mereka mungkin akan menjelma serupa tempat hukuman yang cukup mengesalkan.

Apakah situasi yang demikian akan berpengaruh pada pola relasi manusia yang sehari-hari tinggal dan berkembang biak di sana? Saya jadi teringat celetukan teman saya saat dia mengemudikan mobilnya di jalanan Jakarta di ujung senja saat menuju rumah tinggalnya di selatan Jakarta sebulan yang lalu. “Jakarta sudah tak layak ditinggali,” katanya dengan nada kesal. Sampai sebegitukah jalanan, sehingga ia bisa menjadikan sebuah kota tak cukup manusiawi untuk dihuni?

Sempat terpikir, orang-orang Jakarta mungkin telah dirampok usia hidupnya oleh jalanan—sama juga dengan kenyataan bahwa gemerlap lampu Jakarta telah mengusir bintang-bintang. Orang-orang yang sehari-hari memiliki aktivitas rutin di Jakarta, katakanlah, orang kantoran, pasti akan secara rutin pula berhadapan dengan kemacetan di jalanan Jakarta. Mereka mungkin saja mencoba bersiasat dengan mengatur jam berangkat dan jam pulang, mencoba rute jalan tikus yang kadang penuh polisi tidur, atau mengganti mode transportasi. Akan tetapi, jalanan tetap sulit memberi kenyamanan. Seperti tak ada pilihan.

Di tengah tuntutan hidup yang terus seperti tak masuk akal, jalanan Jakarta menambah beban tekanan bagi orang-orang yang mencoba setia (atau mungkin terpaksa) menyusurinya. Namun begitu, kesetiaan mereka kadang justru dibalas dengan kutukan. Kutukan yang memaksa mereka untuk mengubah cara pandang mereka terhadap orang lain.

Cobalah satu dua kali Anda mencoba naik Kopaja. Perhatikan cara sopir membawa kendaraan yang menjadi jaminan bagi keberlangsungan asap dapur dan kehidupan keluarganya. Beberapa kali saya mendengar langsung teriakan keras sopir Kopaja atau angkot lainnya ke kendaraan yang disalipnya dengan semena-mena di tengah kemacetan dan bunyi klakson yang terdengar frustrasi: “Setoran Bang!” Kata-kata ini terdengar seperti permohonan—atau mungkin juga ratapan. Tapi seperti juga ada nuansa kekerasan jalanan yang tersimpan diam-diam di balik ungkapan dan tekanan yang terus membayanginya.

Kota, dengan jalanan yang mengantar para penduduknya beraktivitas dan mencari nafkah, saat ini terus tertantang untuk merawat wajah keberadabannya. Hampir separuh penduduk dunia sekarang tinggal di perkotaan, dan di beberapa negara, kota benar-benar memiliki daya magnet yang menyedot para penduduk di pedesaan dan segenap warisan kebudayaan mereka untuk dilumat di kehidupan kota.

Saya jadi teringat bahwa bahasa Arab untuk kata “kota” (hadlar, madinah) memiliki kedekatan atau bahkan masih satu rumpun dengan ungkapan yang menggambarkan “peradaban”. Mungkin dalam bentangan sejarah panjang kehidupan manusia kota memang telah menjadi penggerak kebudayaan dan pendorong terbentuknya keberadaban. Akan tetapi, jika jalanan kini telah cenderung mengkhianati persaudaraan dan makna keterhubungan akar kebahasaan itu, maka tentunya, sekali lagi, ini akan menjadi satu tantangan bagi umat manusia yang patut direnungkan bersama.

Pikiran-pikiran saya ini, yang mulai berletupan di akhir Juli lalu, seperti kemudian dirangkum oleh sebuah stiker yang terpampang di sebuah bus kota jurusan Ciputat-Gajah Mada yang saya tumpangi di hari Rabu, 29 Juli 2009, saat saya akan menghadiri Predeparture Briefing Erasmus Mundus Scholarship Programme Uni Eropa di Le Meridien. Di pagi yang masih menyisakan dingin itu, saya berdiri berdesakan di dekat pintu belakang bus. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja pandangan saya tertuju pada sebuah stiker yang pinggirannya sudah robek tapi menuliskan kalimat yang sangat reflektif dan menggugah.

Read More..

Sabtu, 15 Agustus 2009

Welcome to Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics

My interest to apply Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics based on my reflection after I had graduated from Faculty of Philosophy Gadjah Mada University Yogyakarta and involved with some projects in Annuqayah (Islamic boarding) in Sumenep, East Java, Indonesia.

I tried to develop a program, let's say, Course of Ethics to introduce and promote the students with a little bit radical-philosophical insight concerning socio-cultural phenomena in their interaction with other people from different culture in this cosmopolitan and globalized world. I do believe that socio-cultural challenges in our time are so complex, and we need better solutions and strategies to prepare our new generation facing the future. I suppose that strengthening their moral perspective could be an entry point to build their character.

Besides promoting basic concepts of ethics, I also involved in applied ethics projects in a community in the school where I teach. This community particularly consists of students from high school level that have an environmental awareness. Main activities of this community intended to promote and foster the environmental values in the school community and society. Actually, for Annuqayah in general, environmental issues are not a new concern, because in 1981 Annuqayah had achieved “Kalpataru” award from the Ministry of Environmental Affairs of Republic of Indonesia. So, my focus to encourage and keep the green values in existence based on philosophical and ethical approaches aimed to support and sustain those values with new persuasive methods.

After two years I have been engaging with these projects, it seems to me that I need to enhance and pursue advanced studies in applied ethics. By applying for Erasmus Mundus Masters Course in Applied Ethics offered by the MAE Consortium, sponsored by European Commission, I do hope to strengthen theories and discourses on applied ethics. After browsing through the MAE Consortium homepage, I found that syllabus offered by the course is very fascinating.

Because of the scarcity of authorities and references of applied ethics in Indonesia, I do believe that the program will give a significant contribution not only for my projects but also for my institution and my country. In addition, I am sure by joining this program I can learn much from various resources provided in the three partner institutions of ethics (the MAE Consortium). It would also be a valuable opportunity to meet and discuss with multi-disciplinary professors, fellow scholars, and students around the world when I involved as fellow of this program.

I sent my application to the MAE Consortium in the first week of January 2009. Information about the admission result came to me by email from the Consortium on the 1st April. The MAE Consortium by its selection committee has decided to nominate me for an Erasmus Mundus Scholarship. But the final decision about the scholarship was in the European Commission. On the afternoon of 1st May 2009, I had a surprising email congratulating for my success obtaining this Erasmus Mundus scholarship. Thanks God!

Read More..

Senin, 10 Agustus 2009

The Spirit of Ting Ting Jahe

For a long time, I didn’t eat this candy: Ting Ting Jahe. Actually, about a year ago, I eat this candy when I acrossed Madura strait by ferry. But the candy was not the original Ting Ting Jahe—it was not my childhood candy. I saved the piece of paper wrapping around the candy.

I never had a dream to meet and eat this memorable candy again that morning. It was in Malang, in an environmental education workshop held by British Council, when Ibu Stien Matakupan brought this candy and offered me. Along with Pak Suryo Wardhoyo, I enjoyed eating this candy that morning. What a nice surprise!

Enjoying that candy, I had a little discussion with Ibu Stien and Pak Suryo about this candy. I showed them the wrapping of another Ting Ting Jahe saved on my wallet, and I tried to compare it with the “original” one.
The original Ting Ting Jahe has a register at the National Agency of Drug and Food Control Republic of Indonesia. In the package, it is written: “FOR INDONESIAN MARKET ONLY”. From this text, I believe that this candy is an export commodity. I had found the real answer when I browsed internet yesterday, and I found this candy sold in Amazon.com. Yes, it is this Ting Ting Jahe, produced by PT Sindu Amritha Pasuruan.

From another source, I got one more important information about this candy. According to John Joseph Stockdale, an English traveler, on his book, Island of Java, it is mentioned that on 1778 the Dutchman sent this candy to Europe—about five thousand kilogram! European people like this candy so much.

Most important thing of this candy is about four different languages written on its package: Indonesian, Arabic, Javanese, and Dutch. For me, this mean that this candy is a kind of symbol of a peaceful multicultural heritage of our long-historical interaction between various ethnic groups in Nusantara. It seems to be a product of our local wisdom.

I am so impressed with the fact that this herbal candy could survive until now. I hope our people could give good appreciation for this bonbon—and maybe the spirit of its history and survival.

Read More..

Kamis, 06 Agustus 2009

Panduan Belajar dan Tinggal di Belanda

Judul buku: Negeri van Oranje
Penulis: Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Nisa Riyadi, Rizki Pandu Permana
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2009
Tebal: viii + 478 halaman


Saya membeli buku ini di pertengahan April lalu, saat sedang ada acara ke Surabaya. Saat itu pas dua pekan setelah saya menerima surat elektronik dari Linköping University (koordinator Konsorsium MAE), mengabarkan bahwa saya dinominasikan sebagai penerima beasiswa Erasmus Mundus dari Komisi Eropa di program Master of Applied Ethics (MAE). Saya berpikir, jika saya lulus, mungkin saja Konsorsium akan menempatkan saya di Utrecht University (salah satu kampus anggota Konsorsium MAE), dan karena itu buku ini mungkin akan cukup berguna buat saya. Maka saya pun membeli buku ini di Togamas Surabaya.

Buku yang ditulis oleh empat orang Indonesia yang pernah belajar di negeri Belanda ini dimasukkan dalam kategori novel. Buat saya kategori ini sebenarnya agak “meragukan”, karena di dalamnya juga disajikan beberapa selingan kiat/tip berkaitan dengan alur cerita yang sedang dituturkan—dan itu tampak aneh dalam buku yang disebut sebagai novel. Saat cerita agak fokus ke soal transportasi, misalnya, ada boks tiga halaman berisi kiat seputar sepeda di Belanda. Karena itu, setelah menuntaskan novel ini, saya merasa bahwa sejatinya buku ini adalah buku panduan perjalanan (dalam pengertian yang sangat luas), tapi kemudian diberi alur sedemikian rupa sehingga berbentuk cerita/novel.

Karena itu, tampak sekali bahwa alur yang disajikan dibuat sedemikian rupa hingga dapat menampung berbagai segi penting berkaitan dengan kehidupan di Belanda. Ada bagian yang mengangkat masalah makanan dan masak-memasak, bersosialisasi, kerja sambilan, internet, acara budaya, sukses di kampus, birokrasi di Belanda, mencari akomodasi, traveling atau berlibur, dan lainnya.

Novel ini mengisahkan persahabatan lima orang Indonesia yang belajar di Belanda. Mereka tinggal di kota yang berbeda di Belanda dan bertemu secara kebetulan di Amersfort, salah satu kota di provinsi Utrecht. Diawali dengan pertemuan tak disengaja itu, kisah novel ini mengalir menuturkan pengalaman dan suka-duka persahabatan mereka. Karena mengklaim sebagai novel, selain memuat berbagai segi kehidupan di negeri Kincir Angin tersebut, buku ini berusaha menampilkan ketegangan (konflik) cerita yang sebenarnya cukup populer, yakni konflik percintaan di tengah kehidupan rantau Eropa.

Sebagai sebuah cerita, novel ini cukup enak dicerna. Aliran kisah tersaji dengan cukup lincah dan kocak. Situasi yang menggambarkan kejutan budaya juga tampak kelihatan di beberapa bagian novel ini. Kelima tokoh yang menjadi juru bicara novel ini juga memiliki latar belakang yang beragam, sehingga menambah kekayaan nuansa alur cerita.

Buku ini sangat cocok buat mereka yang mau belajar di Belanda. Buku ini kaya informasi tentang bagaimana kiat dan tip belajar di Belanda. Andaikan para penulisnya berbagi tip tentang bagaimana agar bisa mendapatkan beasiswa belajar ke sana, sepertinya calon pembaca dan pembeli buku ini bisa semakin luas.

Ada bagian di novel ini yang mencoba memberikan diskusi yang tampak cukup substantif, yakni tentang bagaimana para pelajar yang pernah mengenyam pendidikan di Eropa berkiprah untuk masa depan dan kemajuan tanah air. Menurut saya, jika diskusi tentang tema-tema semacam ini bisa digali lebih mendalam dan luas, novel ini tidak hanya akan memberikan informasi buat para pelajar dan yang akan belajar di Eropa, tetapi juga mungkin bisa menumbuhkan refleksi yang lebih mendalam di tengah konteks kehidupan sosial budaya tanah air belakangan ini.

Menurut saya, kesempatan menempuh studi di Eropa—atau di gugus peradaban lainnya—memberi peluang untuk mengecap secara langsung dialog peradaban yang dapat melahirkan inspirasi dan semangat baru. Kemungkinan peluang kultural semacam inilah yang menurut saya cukup menarik untuk terus dimanfaatkan untuk dapat mengimbangi proses perkembangan dunia global yang semakin bergerak cepat ini.

Read More..

Selasa, 04 Agustus 2009

Keliling Dunia (di) Jakarta (3-Habis)


Pekan terakhir di Jakarta, saya menyelesaikan urusan legalisasi akta kelahiran untuk Belanda. Di hari Senin (27/7), saya mengambil terjemahan kutipan akta kelahiran saya di Manggarai. Senin itu saya berangkat dari Ciputat, karena saya bermalam di kontrakan sepupu saya, Ubaidillah. Dari Manggarai, saya kembali ke Kuningan, ke Kedutaan Belanda, untuk melegalisasi terjemahan kutipan akta kelahiran. Prosesnya cukup lancar. Setelah itu, saya kemudian melanjutkan ke Gambir, untuk memesan tiket kereta ke Jogja.

Alhamdulillah semua berjalan lancar. Dari Gambir, saya mampir INFID sebentar di Mampang, untuk kemudian terus pulang ke Parung. Saya tiba di Parung lebih awal dari biasanya. Jika tak salah, saya tiba sekitar pukul empat sore.

Saat sedang mengaji seusai salat Maghrib, saya mendapat kabar dari rumah bahwa embah putri saya meninggal dunia. Memang, saat di jalan menuju Parung, saya mendapat kabar dari adik saya di rumah bahwa embah putri sedang kritis di ICU RSUD Sumenep. Begitu mendapat kabar itu, saya pun segera mengatur ulang jadwal saya untuk bisa lebih cepat pulang. Keputusannya: saya akan meninggalkan Jakarta 3 hari lebih awal dari jadwal semula, yakni langsung setelah acara Pre-Departure Briefing Uni Eropa hari Rabu 29 Juli.

Maka, pada keesokan harinya, setelah mengambil dokumen yang dilegalisasi di Kedutaan Belanda, saya langsung kembali ke Gambir untuk mengubah jadwal kereta saya ke Jogja. Alhamdulillah saya tidak mendapat masalah.

Dari Gambir, saya langsung menuju Ciputat, ke Ubaidillah. Sekitar jelang Asar, saya mengunjungi seorang rekan ayah saya di komplek Taman Kedaung Ciputat. Saya pun bermalam di sana. Sebelum malam tiba, saya mengambil barang-barang saya di Parung, sambil berpamitan.

Malam harinya, saya diajak oleh H Husein, teman ayah saya itu, ke pertemuan alumni Jerman. Sebenarnya saya sudah agak kecapekan. Tapi saya berpikir ini acara menarik. Kami tiba di tempat acara yang dilangsungkan di Pertamina Learning Center sekitar pukul tujuh petang. Beberapa orang sudah tampak datang lebih awal. Pertemuan tampak sangat akrab. Saya bisa maklum, karena forum semacam ini juga sama dengan forum kangen-kangenan (nostalgia).

Acara malam itu ternyata semacam rapat evaluasi pengurus Perhimpunan Alumni Jerman (PAJ). Saya menikmati betul perbincangan dan diskusi yang kritis dan hangat di malam itu. Saya juga bisa merasakan jejak-jejak Jerman dalam lalu-lintas pikiran dan diskusi di malam itu.

Acara paling akhir saya di Jakarta adalah menghadiri Pre-Departure Briefing Erasmus Mundus Scholarship Programme di Hotel Le Meridien pada hari Rabu 29 Juli. Saya berangkat pukul 07.30 WIB. Sempat sedikit cemas karena agak lama menunggu bus dari Ciputat, akhirnya saya tiba di tempat acara pukul 08.50 WIB. Masuk ke tempat acara, saya sempat agak gugup sebentar karena ternyata semua rekan penerima beasiswa Erasmus Mundus yang datang di acara ini tertib mengikuti pesan yang ditulis di undangan: berpakaian batik. Kebetulan kemeja batik saya dan beberapa pakaian yang lain dan beberapa buku ditinggal di Parung untuk dibawa bibi saya ke Madura (karena tas saya kelebihan muatan).

Meski salah kostum, saya akhirnya bisa santai-santai saja mengikuti acara menarik ini. Alhamdulillah, begitu masuk ke ruangan, saya langsung menemukan rekan ngobrol yang asyik. Namanya Diding Sakri. Kebetulan sekali, saya sudah pernah mendengar nama ini, diperkenalkan oleh seorang mantan teman kos saya saat di Jogja dulu yang kebetulan punya kegiatan bersama Mas Diding ini. Diding Sakri akan belajar tentang local development di Italia dan Jerman.

Saya berusaha mencari seorang kenalan yang lain, yang kebetulan satu fakultas dengan saya di Utrecht. Sayangnya, Agnes Theodora Gurning, teman yang ternyata banyak kenal dengan beberapa kawan aktivis di Filsafat UGM, belum tiba di tempat dan masih terjebak macet.

Pukul sembilan lewat beberapa menit, acara pembukaan dimulai. Pada acara pembukaan ini, ada satu mata acara yang cukup mengganggu saya, yakni saat sambutan dari perwakilan dari Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional RI. Pejabat yang mestinya menyampaikan sambutan tidak datang. Yang cukup mengganggu saya adalah: sudah sambutannya dibacakan dan berbahasa Indonesia, si pejabat langsung keluar dari tempat acara langsung setelah membacakan sambutannya yang tak berkelas itu. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kata Mas Diding, ini tipikal pejabat Indonesia.

Sepanjang acara di hari itu, nuansa Eropa sudah cukup terasa. Di acara pembukaan dan sesi pertama, pejabat Uni Eropa dan beberapa dari bagian pendidikan negara-negara Eropa (Prancis, Inggris, Belanda, Jerman) hadir dan memberikan presentasi tentang belajar dan tinggal di Eropa.

Selepas makan siang, giliran beberapa alumni penerima beasiswa Erasmus Mundus yang berbagi cerita dan pengalaman mereka. Pada saat sesi-sesi ini berlangsung, saya sedikit agak membandingkan dengan pertemuan alumni Jerman. Di pertemuan alumni Jerman, nuansa Jerman sangat kental—bahkan terkesan mereka begitu mengagumi hal-hal yang berbau Jerman. Di forum Uni Eropa, tak tampak hal semacam ini. Maklum, karena dalam program Erasmus Mundus Scholarship ini, semua belajar dan tinggal di paling sedikit dua negara Eropa.

Pengalaman yang dibagikan jelas sangat membantu saya untuk dapat mempersiapkan segala sesuatunya sebelum tinggal dan belajar di Eropa nanti. Satu sesi khusus membicarakan tentang kejutan budaya (cultural shock) dan berbagai tip praktis lainnya.

Di akhir acara, ada sesi khusus untuk mereka yang pertama kali terbang ke luar negeri. Saya berusaha menyimak dengan seksama. Dan kesan yang saya tangkap, penerbangan internasional rasanya cukup ribet karena mensyaratkan beberapa hal khusus.

Acara di hari itu akhirnya ditutup menjelang pukul lima sore. Saya pun langsung melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir bersama keriuhan orang-orang yang bergegas kembali ke tempat tinggal mereka setelah seharian bekerja.

Rabu malam itu, saya pun meninggalkan Jakarta, setelah hampir tiga pekan keliling ke sana kemari untuk urusan persiapan studi saya. Tepat pukul 20.45 WIB, kereta ke Jogja bergerak perlahan meninggalkan jejak suara di kegelapan Jakarta.


Foto diambil dari Portaltiga dan The Jakarta Post online.

Read More..