Rabu, 03 Juni 2009

Sekolah Berbasis Proyek

Ahad (31/5) kemarin, saat mendampingi anak-anak tim proyek School Climate Challenge (SCC) Competition British Council SMA 3 Annuqayah presentasi di hadapan para undangan acara penutupan rangkaian kegiatan proyek SCC yang telah berlangsung sejak pertengahan Februari lalu, ada salah seorang hadirin yang menyinggung istilah “proyek” di dekor yang dipasang di panggung. Dia mempertanyakan penggunaan kata “proyek” itu, karena selain terasa asing dalam khazanah kosa kata pesantren, kata “proyek” memiliki konotasi negatif sebagai suatu kegiatan yang tidak substantif dan hanya menghambur-hamburkan uang. Karena waktu yang terbatas, saat itu saya tidak menanggapi komentar tersebut.

Setelah sedikit mengevaluasi dan berefleksi atas seluruh rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tiga tim proyek SCC SMA 3 Annuqayah selama lebih dari tiga bulan, saya menyimpulkan bahwa istilah “proyek” di sini sepertinya menjadi salah satu kata kunci yang menarik untuk diperdalam yang bahkan dapat muncul sebagai strategi alternatif pembelajaran di sekolah.

Kesimpulan saya ini bertambah kuat saat saya mencoba mencari arti etimologis kata “proyek” tersebut. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1995: 926), “project” diartikan sebagai (1) a piece of work, etc that is organized carefully and designed to achieve a particular aim; (2) a piece of school or college work in which students do their own research and present the results. Sementara itu, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 900) menjelaskan arti “proyek” sebagai ‘rencana pekerjaan dengan sasaran khusus dan dengan saat penyelesaian yang tegas’.

Jadi, proyek di sini lebih dimaksudkan sebagai suatu kerja terstruktur yang dirancang begitu rapi dengan satu tujuan tertentu. Karena itu, suatu proyek dikerjakan dalam rentang waktu yang cukup lama—proyek SCC ini dikerjakan sekitar empat bulan. Nah, karena ada satu target tujuan tertentu, maka tim proyek didorong untuk berpikir keras menyusun suatu strategi dan rangkaian kerja yang sistematis dan rapi agar tujuan yang dirumuskan di awal itu dapat tercapai. Tujuan inilah yang menurut saya menjadi salah satu kunci menarik. Rumusan tujuan ini kurang lebih adalah sebentuk visi yang mengarahkan anggota tim proyek untuk merancang sejumlah kegiatan dan strategi.

Penjelasan arti di kamus Oxford tampak lebih cocok dengan apa yang telah dikerjakan anak-anak dan apa yang ada dalam pikiran saya, yang pada gilirannya kemudian menerbitkan ide tentang “Sekolah Berbasis Proyek” ini. Proyek dalam konteks kegiatan SCC kemarin adalah suatu pengalaman ilmiah ekstrakurikuler yang memiliki nuansa pendidikan yang sangat kaya. Nyaris persis seperti pengertian kedua dalam kamus Oxford, yang tak terwakili dalam khazanah bahasa Indonesia. Dalam tradisi lembaga pendidikan di Indonesia, setidaknya untuk tingkat SMA, nyaris tak ada program kegiatan di sekolah yang klop dengan pengertian kedua dari kata “proyek” di kamus Oxford tersebut di atas. Program OSIS yang banyak dikembangkan sejauh ini masih sebatas program sesaat atau program rutin dan kurang menantang kreativitas dan aspek-aspek kependidikan yang lain.

Ini sangat berbeda dengan proyek SCC yang dikerjakan anak-anak beberapa bulan terakhir. Saat membaca ulang laporan singkat yang disusun oleh ketiga tim proyek SCC sebagai bahan presentasi kemarin, saya dapat membayangkan betapa banyak wawasan dan pengalaman berharga yang diperoleh oleh tim inti proyek atau mereka yang aktif terlibat dalam kegiatan ini. Wawasan dan pengalaman ini tidak saja mustahil didapatkan di ruang kelas, tetapi juga kaya dengan praktik bersosialisasi atau bermasyarakat dan berorganisasi dalam kehidupan sehari-hari yang sangat konkret dan hidup.

Saat anak-anak dari ketiga tim presentasi Ahad kemarin dan memaparkan rencana tindak lanjut mereka, saya semakin mengerti bahwa proyek yang baik adalah yang memiliki segi keberlanjutan dan kesinambungan yang kuat. Karena itu, suatu proyek di penghujung rentang waktu yang dijadwalkan semula tak akan benar-benar berhenti. Ia akan melahirkan sejumlah jabang bayi proyek lain. Ia akan terus berkembang biak.

Demikianlah. Ketiga tim kemarin juga telah mengemukakan rencana tindak lanjut mereka masing-masing. Untuk memastikan kesinambungan proyek, mereka memprogram untuk merekrut kader-kader baru di tahun pelajaran mendatang. Secara umum, ketiga tim menyadari akan pentingnya memperkuat jaringan, baik dengan sesama komunitas sekolah, maupun dengan komunitas masyarakat lainnya. Pelibatan masyarakat dan komunitas yang lebih luas juga menjadi catatan penting dalam rencana tindak lanjut.

Tim Sampah Plastik akan mengintensifkan kerja sama dengan kantin dan tempat belanja yang menghasilkan sampah plastik. Pendampingan ke komunitas yang dipandang memiliki semangat untuk bergiat di aktivitas peduli lingkungan juga akan menjadi prioritas. Pengalaman bersosialisasi di beberapa sekolah dan komunitas memberi mereka penilaian tentang komunitas mana yang cukup potensial untuk terus diberi pendampingan. Sementara itu, bekal keterampilan menjahit menjadi semakin populer di lingkungan Madaris 3 Annuqayah pada khususnya, karena menjahit tampak seperti menemukan penyaluran kreatif yang baru.

Pendampingan kelompok masyarakat untuk melakukan percobaan pembuatan dan pemakaian pupuk organik dari limbah pertanian menjadi salah satu rencana tindak lanjut proyek Tim Pupuk Organik, selain upaya pemantapan dan pengayaan percobaan pembuatan pupuk yang sudah mereka lakukan, termasuk kemungkinan untuk bereksprimen membuat pupuk organik dari sampah daun di lingkungan sekolah. Sementara itu, berdasarkan hasil riset data yang ditemukan di lapangan, Tim Gula Merah merancang rencana tindak lanjut untuk memperkaya proyek kegiatan mereka dengan memperluas ke isu pangan lokal.

Inisiatif, kreativitas, kepemimpinan, kerja sama, dialektika aksi-refleksi, kewirausahaan sosial, tampak sangat kaya dalam aktivitas proyek yang dikerjakan anak-anak. Inilah yang pada gilirannya sangat menggoda saya untuk menggali gagasan “Sekolah Berbasis Proyek”. Saya bayangkan, andai seluruh civitas kependidikan di sekolah memiliki proyek-proyek kecil yang dikerjakan secara berkelompok, dengan guru berfungsi sebagai pembimbing, maka sekolah akan memberikan suatu media sumber pengalaman dan wawasan yang akan sangat berharga dan memenuhi berbagai aspek kecerdasan dan kreativitas. Kegiatan kependidikan tak akan kaku dan kering, seperti ceramah dan atau lembar-lembar buku teori di kelas yang membosankan.

Sempat terpikir, sekolah merancang satu kerangka waktu yang cukup longgar untuk mendorong terbentuknya proyek-proyek kreatif di sekolah yang menjadi basis kegiatan kependidikan dengan topangan semangat pembelajar yang kuat. Misalnya, di semester pertama sekolah mendorong bagaimana anak-anak dapat merancang suatu proyek sederhana untuk dikerjakan di semester kedua selama dua hingga tiga bulan. Pada semester pertama, selain diberi penguatan kapasitas tentang merancang suatu proyek, anak-anak juga diberi bekal keterampilan pendukung, seperti teknik bersosialisasi, kampanye kreatif, pengorganisasian, dan sebagainya. Semester kedua, rancangan proyek dikerjakan dengan terus difasilitasi dan didukung oleh sekolah.

Dalam kegiatan proyek seperti ini, tak hanya murid yang akan tertantang untuk berkreasi. Guru pun, sebagai pembimbing, akan memiliki pengalaman dan tantangan yang menarik. Paling tidak itulah yang saya rasakan dan saya temukan selama mengikuti kegiatan SCC ini. Guru pendamping tim yang lain juga tampak aktif bergiat di proyeknya mendampingi siswa. Dari perspektif guru, mereka akan tertantang untuk mengkontekstualisasikan wawasan teoretisnya dalam kerja-kerja lapangan. Guru tak hanya mengajar di ruang kelas, tapi juga mendampingi praktik kerja lapangan di masing-masing proyek. Dengan demikian, dalam jangka panjang sekolah berbasis proyek akan menyuburkan kultur riset, tradisi ilmiah, dan jalinan pengembangan pendidikan yang kontekstual dan tersambung dengan kebutuhan aktual komunitas.

Tentu saja gagasan semacam ini masih akan berhadapan dengan sejumlah fakta di lapangan yang membuatnya menjadi rumit dan tampak tak aplikatif. Beban studi yang begitu banyak, keterbatasan dana di sekolah, keterbatasan tenaga guru untuk mendampingi proyek, dan mungkin juga keterbatasan yang lebih bersifat kultural, adalah sejumlah tantangan nyata yang harus dihadapi untuk dapat mewujudkan gagasan ini.

Akan tetapi, perjalanan empat bulan bergiat di proyek SCC ini menegaskan bahwa seterbatas apa pun situasinya, pasti ada sesuatu yang bisa dikerjakan jika kita benar-benar memiliki semangat, komitmen, dan mental yang kuat. Keterbatasan dana, keterbatasan fasilitas, keterbatasan ruang gerak, semuanya bisa dipecahkan dan disiasati.

Saya jadi teringat ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa: “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Q., s. Alam Nasyrah/94: 6). Al-‘Usr, yang berarti kesulitan, dalam ayat ini menggunakan bentuk makrifat atau definitif, sedang yusra, yang berarti kemudahan, dalam ayat ini menggunakan bentuk nakirah atau tak tentu. Dengan kata lain, ayat ini menegaskan bahwa satu kesulitan (tertentu) dapat dipecahkan dengan berbagai macam jalan kemudahan.

Proyek SCC telah menginspirasi banyak hal buat saya. Tak hanya menyangkut sikap hidup peduli lingkungan, tetapi juga tentang semangat, kerja tim, kreativitas, berbagi, dan berjuang melalui pendidikan.

Tulisan terkait:
>> Pameran Kreativitas untuk Masa Depan Bumi yang Hijau

0 komentar: