Minggu, 24 Mei 2009

Jejaring Civitas Kependidikan Peduli Lingkungan

Hari Kamis (21/5) kemarin, sekolah tempat saya mengajar kedatangan rombongan tamu dari dua sekolah di Pamekasan berlatar pesantren. Rombongan itu terdiri dari sebelas murid dan tiga orang guru.

Kunjungan ini bermula dari sebuah pertemuan tak disengaja di sebuah acara di Bangkalan akhir bulan lalu. Saat itu, saya bersama beberapa rekan sedang menghadiri acara Sosialisasi Program Ekopesantren yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI. Di acara itu saya bertemu dengan seorang teman lama yang sekarang mengajar di sebuah sekolah di Pamekasan. Teman saya tertarik melihat tas yang saya gunakan saat itu: tas yang dibuat dari sampah plastik karya kreatif murid-murid saya di sekolah. Setelah bercerita singkat tentang riwayat dan asal-usul tas itu, teman saya menyatakan ketertarikannya untuk berkunjung ke sekolah saya membawa murid-muridnya untuk berbagi cerita tentang pengalaman bergiat di aktivitas peduli lingkungan.

Acara kunjungan kemarin berlangsung selama sekitar lebih dari tiga jam. Saat rombongan datang, saya masih sedang dalam perjalanan dari Karduluk. Mereka memang tiba lebih awal dari jadwal yang dijanjikan. Sambil menunggu kedatangan saya, rombongan melihat-lihat markas Tim Proyek Lomba School Climate Challenge (SCC) SMA 3 Annuqayah di sekolah. Secara khusus mereka melihat hasil kreasi tas yang dibuat anak-anak dari sampah plastik. Karena salah satu sekolah dari rombongan tersebut adalah SMK yang juga belajar tata busana alias jahit-menjahit, perbincangan tampak begitu nyambung. Saat mereka sedang asyik berbincang dengan Tim Sampah Plastik SCC pada khususnya, saya tiba di sekolah.

Saya langsung menuju ke teman saya yang ternyata menjabat sebagai Waka Kesiswaan di sekolahnya. Saya sempat terkejut karena teman saya yang kenal saat masih kuliah di Jogja itu ternyata membawa rekan guru lainnya yang ternyata adalah kakak angkatan saya saat Aliyah dulu. Dan ternyata teman saya ini menjabat Waka Kurikulum di sekolah yang sama. Jadilah pertemuan itu semakin hangat dengan cerita-cerita lama.

Setelah rombongan melihat-lihat markas sambil mendokumentasikan melalui kamera, mereka kemudian istirahat sejenak untuk shalat Zhuhur. Baru setelah itu acara sharing dilakukan dengan bertempat di Perpustakaan Madaris 3 Annuqayah.

Acara sharing berlangsung tanpa seremoni yang ketat. Setelah saya memberi pengantar singkat, saya langsung mempersilakan ketua rombongan tamu untuk memberikan kata sambutan. Ali Wasik, teman saya yang menjadi ketua rombongan itu secara ringkas memaparkan latar belakang dan tujuan kunjungan tersebut. Setelah itu, saya kemudian memaparkan secara kronologis berbagai kegiatan peduli lingkungan di sekolah saya, SMA 3 Annuqayah, dengan cukup panjang lebar, termasuk tiga Tim Proyek SCC.

Pemaparan saya dilanjutkan dengan dialog di antara semua yang hadir. Rombongan kemudian menanyakan berbagai detail kegiatan peduli lingkungan kami di sekolah. Tentu saja yang menanggapi tak hanya saya. Empat guru pendamping Tim Proyek SCC selain saya juga hadir di situ. Mereka adalah Ustadz Mahmudi, Syaiful Bahri, serta Ustadzah Mus’idah dan Bekti Utami. Hadir pula Waka Kurikulum sekolah saya, Ustadz Nasiruddin. Demikian juga, seluruh murid anggota tim juga hadir dan membagikan cerita mereka setelah sekitar tiga bulan ini bergiat di aktivitas mereka masing-masing.

Dialog berlangsung selama hampir dua jam. Sambil berdialog, kami menikmati sajian masakan tradisional kreasi murid-murid dari Tim Gula Merah SCC. Hari itu mereka memasak tiga jenis makanan berbahan gula merah: jhemblèng, bhug-ghebug, dan klepon. Rombongan pun akhirnya meninggalkan sekolah kami saat waktu Asar mulai masuk.

Selain kesempatan untuk membagikan pengalaman bergerak di kegiatan peduli lingkungan, saya melihat bahwa kegiatan semacam ini dapat menjadi cikal-bakal bagi terbentuknya jaringan civitas kependidikan peduli lingkungan. Dengan berjejaring, guru-guru dan murid-murid dapat saling berbagi pengalaman, saling mendukung, dan bekerja bersama dengan proyek mereka masing-masing.

Pikiran semacam ini memang sering muncul di benak saya terutama saat mendampingi anak-anak bersosialisasi ke sekolah atau komunitas lain di seantero Sumenep. Saya yakin, kebutuhan akan berjejaring suatu saat akan menjadi sangat penting, agar gerakan yang dilakukan dapat lebih kuat dan berdaya.

Tentu saja jejaring ini mensyaratkan adanya penguatan di masing-masing komunitas. Akan tetapi, dengan beberapa titik komunitas yang relatif sudah cukup kuat, jejaring dapat membantu menyemangati satu komunitas yang masih belum stabil kekuatannya. Apalagi, pengalaman di lapangan tentu akan menghadirkan nuansa permasalahan dan lika-liku yang berbeda. Dengan berjejaring, kesinambungan dan keberlanjutan kegiatan peduli lingkungan di satu komunitas akan mungkin untuk terus didukung oleh simpul jaringan yang dibuat. Tentu saja, sebagai sebuah gerakan, syarat utama yang diperlukan adalah konsistensi.

Menguatkan pendidikan lingkungan di sekolah dari perspektif yang lain sebenarnya juga berarti membawa kurikulum sekolah ke arah yang lebih kontekstual , membumi, dan mengakar dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat tempat murid itu berasal. Di tengah iklim pendidikan formal yang terkesan textbook dan kaku, sungguh kegiatan peduli lingkungan dengan impian akan jaringannya yang kuat akan tampak sebagai sesuatu yang sangat menarik untuk terus ditekuni.


Tulisan terkait:

Read More..

Jumat, 08 Mei 2009

Environmental Week Still Continues

Environmental week still continues. After celebrating Earth Day 2009 with several environmental activities, that are environmental workshop, live television interview, and my involvement on some activities of School Climate Challenge Competition team, the following week, I had, at least, two valuable environmental activities. On Tuesday, April 28, with SCC full team, I went to Batang-Batang, a sub-district in northeast Sumenep—Banuaju Timur, exactly.

We had two main activities in Banuaju Timur. First, socialization at SMK Bina Mandiri about plastic rubbish. Our team presented their activities on recycling plastic rubbish and discussed about climate change in front of approximately thirty students at that school. Four members of the team confidently gave their presentations. We had a very enthusiastic discussion at that time. They submitted questions, suggestions, and supports to our team. Ninety minutes had gone, and we left the school with joy.

Plastic rubbish team had done a good job. Then, gula merah (Javanese sugar) team took over the SCC team control. At midday, the team started to do a deep research on siwalan (Asian palmyra palm, Borassus flabellifer). Three students and one teacher—the other teacher could not participate this interesting research—digged all informations about gula merah and siwalan. We did the research mainly in one of villager’s house, observing the process of making gula merah closely.

But this field study was not only about gula merah or siwalan. The team tried to focus to the context of conservation of gula merah and siwalan. Of course, they connected this issue with climate change problem, and implicitly conveyed the message of building environmental awareness and promoting ecofriendly values.

Actually, this team had done a similar research at another village about a month ago—at Brungbung, Pragaan. So, the team had a comparison data as a basis of their research. However, they found another important data at this opportunity. The villagers told about widespread logging activities in their rural community. Furthermore, siwalan climbers, the key person to exploit the tree, are rare to be found. The values of siwalan trees degenerated, and this make the conservation of siwalan tree now really in danger.

Sharing and discussing with the villagers at Banuaju Timur was a fascinating chance, not only about environmental issues, but also about cultural heritage of Madura. As considered before, conserving gula merah and siwalan trees actually has a wide-ranging impact, including cultural and economic.

We left Banuaju Timur at 02.00 p.m., and drop in Gapura to visit a friend to make an appointment about socialization in his school. We also went to Pasar Anom Sumenep to buy some traditional kitchenware.

My second activity was talk show at Ganding FM 104.10 at Saturday, May 2. This talk show held to celebrate the National Education Day. I did the talk show with plastic rubbish full team. We discussed about education and our environmental activities in our school. I took that opportunity to underline contextual education on our school curriculum.

At 09.30 a.m., the talk show began. Two hours left with an interesting discussion. We also discussed with audiences from Guluk-Guluk and Ganding by phone. Some of them gave good appreciation, some of them criticized rubbish management on Annuqayah in general, and one of them seemed to underestimate our environmental activities.
We had a really precious experience that day. And we know that our environmental activities still go on.

Read More..

Sabtu, 02 Mei 2009

Blue

Why do I like blue colour? This question arose out of the blue, when I was sitting on a stool in the corner of school courtyard yesterday.

I looked at the blue sky that noon. The sky was clear, and it was a bright day. Once again, the blue colour came into question, as I remembered the sea. Unexpectedly, my mind was full of the image of blue sky and blue sea met in the horizon. New simple questions arose again, sparkling in my mind, bring me to the answer.

From the sky and sea, I know that blue is a colour of our limitedness in front of the Infinite. The real blue still saves the flickering stars, pearls, and any mysterious and precious things to be found.

Sky and sea, what is the true colour of you? When I just can see the blue, is that the real of you?

Read More..