Kamis, 23 April 2009

Al-Hikmah Surabaya: Ironi untuk Pesantren

Rabu pekan lalu, 15 April, saya berkesempatan mengunjungi SMA Al-Hikmah Surabaya. Saya tidak sendiri ke saya. Saya bersama rombongan guru-guru Annuqayah. Semuanya berjumlah 60 orang. Keenam puluh orang itu adalah perwakilan Yayasan Annuqayah, pengurus Pesantren, pimpinan satuan pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah atas, dan wali kelas MA 1 Annuqayah Putra dan MA 1 Annuqayah Putri.

Kegiatan ini sebenarnya adalah bagian dari Program Peningkatan Mutu Madrasah kerja sama Pondok Pesantren Annuqayah dengan Sampoerna Foundation (SF) Jakarta. Program ini fokus pada peningkatan mutu dua madrasah yang saya sebut tadi. Kebetulan saya membantu mengorganisasi kegiatan untuk program ini. Tujuan utama kunjungan ke SMA Al-Hikmah yang langsung dilanjutkan dengan magang beberapa guru Annuqayah selama dua hari di Al-Hikmah terutama adalah untuk mempelajari model pengelolaan program bimbingan dan konseling di sekolah itu. Karena itu, dua Madrasah Induk—istilah untuk menyebut satuan pendidikan yang terlibat dengan program SF tersebut—melibatkan seluruh wali kelasnya dalam kunjungan ini.

Rencana kunjungan ini sebenarnya sudah cukup lama, cuma sempat tertunda. Koordinasi dengan pihak SMA Al-Hikmah dilakukan oleh Kiai Alawi Thaha, termasuk tentang alur kegiatan di sana. Saya lebih banyak membantu teknis penyiapan di belakang.

Rombongan berangkat dari Annuqayah Rabu lewat tengah malam, sekitar pukul 00.35 WIB. Perjalanan ke Surabaya lancar-lancar saja. Saat azan subuh, kami terapung di tengah Selat Madura. Begitu merapat ke Tanjung Perak, kami langsung menuju Masjid Al-Akbar Surabaya untuk shalat Subuh dan istirahat. Setelah sarapan dengan nasi katering, tepat pukul 07.25 WIB rombongan menuju SMA Al-Hikmah yang lokasinya tak jauh dari Masjid Al-Akbar.

Matahari bersinar cerah saat rombongan kami memasuki komplek SMA Al-Hikmah yang cukup luas. Di halaman dan lapangan, tampak murid-murid sedang berolah raga. Bus langsung menuju lokasi parkir. Begitu turun dan masuk ke komplek gedung SMA Al-Hikmah, rombongan langsung disambut oleh petugas dan langsung diantarkan ke ruang pertemuan.

Begitu semua rombongan duduk rapi di tempat yang tersedia, acara langsung dimulai. Susunan acara berlangsung cukup sederhana. Setelah dibuka, ketua rombongan Annuqayah, Kiai Alawi Thaha, memberikan sambutan dan perkenalan. Kemudian, Kepala SMA Al-Hikmah, Drs. Edy Kuntjoro, memberikan sambutan sekaligus presentasi tentang pengelolaan SMA Al-Hikmah.

Presentasi berlangsung sangat menarik dan menyentuh. Waktu berjalan tanpa terasa. Tak tampak rasa bosan di wajah hadirin. Mungkin karena Pak Edy bisa menguasai para hadirin dengan retorika dan penampilannya. Alurnya runtut dan penggambarannya terperinci dan sangat hidup. Pak Edy juga pandai mempermainkan intonasi. Sesekali dia melambatkan kecepatan suaranya, atau berbicara tanpa pengeras suara dengan setengah berbisik.

Pemaparan Pak Edy dimulai dari sejarah lembaga pendidikan Al-Hikmah yang berdiri pada tahun 1989 dan diinisiasi oleh warga sekitar Gayungsari Surabaya yang berpusat di Masjid Al-Hikmah. Saat itu muridnya hanya 13 orang. Kini murid di semua lembaga pendidikan Al-Hikmah mencapai 2300 orang. SMA Al-Hikmah sendiri baru berdiri pada tahun 2005, dan saat ini jumlah muridnya sekitar 210 orang.

Meski baru meluluskan satu angkatan, SMA Al-Hikmah tampak mampu menorehkan prestasi yang cukup luar biasa. Dari sekian pemaparan tentang manajemen pengelolaan, aktivitas, dan capaian SMA Al-Hikmah, saya dapat berkesimpulan bahwa visi sekolah yang menerapkan sistem full day school ini tampak membuahkan hasil yang positif.


”Visi SMA Al-Hikmah adalah membentuk murid yang berakhlaqul karimah dan berprestasi akademik optimal,” demikian kata Edy di bagian awal presentasi, mengacu pada teks PowerPoint yang ditampilkan di layar. Dari pemaparan lebih terperinci, tampak bahwa visi yang sederhana tapi bernilai substantif ini mampu dibumikan dengan rangkaian strategi dan manajemen yang begitu rapi, tertata, padu, dan konsisten.

Ada banyak strategi yang diambil untuk mencapai visi tersebut, mulai dari sistem perekrutan guru, sistem evaluasi, penanaman karakter keagamaan yang kuat, dan sebagainya. Hasilnya, untuk poin yang pertama, yakni soal akhlaqul karimah, saya menyaksikan hal-hal yang luar biasa di sini yang mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa pendidikan moral atau pendidikan karakter di sini terlaksana cukup efektif dan padu sehingga memberi hasil yang baik.

Pendidikan karakter berbasis ajaran Islam tampak jelas menjadi ruh kehidupan dan aktivitas sehari-hari di Al-Hikmah. Setiap sebelum masuk kelas, seluruh warga Al-Hikmah membaca a-Qur’an tanpa kecuali. Ajaran-ajaran keagamaan yang sederhana benar-benar dihargai dengan cara membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari, baik itu oleh guru maupun murid. Warga Al-Hikmah terbiasa shalat tahajjud, shalat berjamaah, puasa sunnah, berinfak, berdoa setiap memulai aktivitas, mengaji al-Qur’an, dan amalan-amalan lainnya.

Tak hanya ajaran keagamaan yang bersifat formal, nilai-nilai keagamaan yang bersifat substansial juga tampak menjadi ruh Al-Hikmah, seperti kejujuran, kebersihan, kedisiplinan, sikap saling menghormati, penghargaan kepada orang lain, semangat belajar, dan lain sebagainya. Jika ditemukan dalam suatu ujian ada guru yang memberi kunci jawaban pada murid, atau ada guru yang memberi nilai ujian yang tak semestinya, maka si guru mendapatkan sanksi berat dari Yayasan. Jika guru datang terlambat di sekolah, dan itu berarti ia tidak mengikuti sesi mengaji bersama, maka si guru langsung akan diminta mengaji di ruangan Kepala Sekolah.

Dalam tingkat tertentu, banyak hal yang semestinya ada di pesantren dan belakangan sudah terasa mulai langka saya temukan di Al-Hikmah. Di Annuqayah, saya punya dugaan kuat bahwa tak banyak murid lulusan Aliyah dan sederajat yang hafal Juz ‘Amma. Sementara itu, murid SMA Al-Hikmah yang akan lulus diwajibkan menghapal Juz ’Amma dan juz pertama dengan maknanya. Saya tahu kefasihan bacaan al-Qur’an murid SMA Al-Hikmah saat saya shalat berjamaah Zhuhur yang dipimpin oleh salah murid. Memang, Al-Hikmah menaruh perhatian khusus pada soal kemampuan baca al-Qur’an, sehingga jika ada guru yang diterima di Al-Hikmah dan masih belum lancar baca al-Qur’an, maka ia wajib mengikuti program bimbingan membaca al-Qur’an hingga lancar.

Baik melalui pemaparan Pak Edy maupun melalui pengalaman yang ditemukan di lapangan, terutama oleh peserta kunjungan yang kemudian magang, rombongan guru Annuqayah dapat merasakan berbagai macam kelebihan sekolah ini, mulai dari komitmen pengabdian guru, bimbingan kepada murid, pendidikan karakter (spiritual), dan sebagainya. Lebih dari itu, beberapa guru Annuqayah juga sampai terharu, tersentuh, terpana, dan kagum dengan torehan prestasi Al-Hikmah dalam membentuk suasana pendidikan di lingkungan sekolah mereka.

Setelah presentasi dan dialog yang berlangsung hingga sekitar pukul 10.00 WIB itu, rombongan Annuqayah kemudian melihat secara langsung kegiatan murid dan guru serta berbagai fasilitas yang ada di SMA Al-Hikmah. Pada saat berkeliling, banyak hal mengagumkan yang ditemui di Al-Hikmah terkait dengan kerapian, ketertiban, kedisiplinan, dan sebagainya. Saat makan siang selepas shalat Zhuhur, misalnya, ada salah seorang guru Annuqayah yang ditegur oleh murid Al-Hikmah karena makan sosis sambil berdiri. Si murid menegur dengan sangat sopan. Luar biasa!

Sekitar pukul 13.15 WIB, rombongan Annuqayah meninggalkan SMA Al-Hikmah. Dari Al-Hikmah, rombongan kembali menuju Masjid Al-Akbar untuk shalat. Rombongan baru meninggalkan Surabaya pada pukul 17.00 WIB dan tiba di Annuqayah jelang tengah malam.
Oleh-oleh terbesar dari Al-Hikmah adalah ironi pendidikan untuk pesantren. Al-Hikmah, tempat pendidikan berbasis masyarakat perkotaan, tampak lebih berdaya untuk menghidupkan nilai keagamaan dan nilai moral yang sangat dijunjung pesantren. Sementara saat ini pesantren tampak mengalami krisis, terutama di bidang pendidikan—khususnya pendidikan moral.

Tentu ini tak berarti bahwa pesantren kemudian tak memiliki kekuatan positif yang tersisa. Pak Edy benar—sebagaimana disampaikannya saat sambutan. Jika Annuqayah telah bertahan sebagai lembaga pendidikan keagamaan sepanjang lebih 120 tahun, maka itu berarti Annuqayah punya satu kekuatan besar.

Saya sangat menggarisbawahi pernyataan Pak Edy ini, terutama untuk menumbuhkan semangat bahwa berbagai pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan di Annuqayah mestinya dapat menemukan jalan keluarnya jika kekuatan besar yang membuat Annuqayah bertahan melewati berbagai periode zaman itu ditemukan dan dimanfaatkan dengan baik. Demikianlah—semestinya.

1 komentar:

partelon mengatakan...

Hmmm... cukup menggugah bagi sebagian kita yang sudah mulai "lupa", siapa guru alif kita...