Jumat, 25 Desember 2009

“Kalian Ini Adalah Para Elite...”

“Kalian ini adalah para elite. Kalian punya kesempatan belajar di luar negeri. Kira-kira bagaimana jika Indonesia kelak dipimpin oleh kalian? Apakah bisa lebih baik, bisa lebih bersih?”

Kurang lebih, begitulah kalimat-kalimat yang sempat terlontar dari Ibu Tatiana malam itu di pesta ulang tahun salah seorang rekan mahasiswa Indonesia di Utrecht. Kehadiran Bu Tati, yang telah cukup lama tinggal di Zeist dan punya cukup banyak pengalaman internasional, memang terasa cukup mengubah suasana—tak seperti lazimnya acara kumpul-kumpul mahasiswa Indonesia di Utrecht pada umumnya.

Bu Tati menanyai satu per satu rekan-rekan mahasiswa Indonesia yang malam itu datang ke Warande 190: apa program studi yang ditekuni di Utrecht, apa saja aktivitas di Indonesia, dan sebagainya. Jadilah kami seperti harus presentasi singkat tentang diri kami masing-masing. Bu Tati tak segan untuk menggali lebih dalam. Salah seorang di antara kami ada yang kemudian presentasi tentang tesis yang dikerjakannya.

Pembicaraan kami sebenarnya cukup lepas. Bu Tati, yang juga bisa berbahasa Prancis dan Spanyol, juga banyak berbagi cerita dan pengalaman hidupnya di Belanda. Di bagian ini, tampak sikap kritis Bu Tati dalam melihat realitas sosial. “Bagi kalian, yang relatif tak begitu lama tinggal di Belanda, mungkin akan melihat bahwa hidup di sini enak. Sebenarnya, tantangan hidup dan masalah sosial di sini juga banyak,” katanya.

Masalah kesejahteraan masyarakat, prasangka kepada etnis atau kelompok tertentu, menurut Bu Tati tak sepenuhnya selesai di negeri Kincir Angin ini. Jangan dikira bahwa di negara maju dan liberal seperti Belanda tak ada diskriminasi. Tentang hal ini, Bu Tati menuturkan beberapa pengalaman kecil yang relevan. Hmmm... rupanya tajam juga cara pandang Bu Tati ini.

Malam itu, kami tak sekadar berkumpul untuk merayakan dan mensyukuri ulang tahun rekan kami. Secara tidak langsung, ada sedikit peringatan dari Bu Tati tentang hidup yang sedang kami jalani di sini—juga tentang hari depan. Ya, benar, kami mungkin memang bisa disebut sebagai para elite sosial. Kami menikmati kesempatan untuk merantau dan belajar di sini, di tempat yang disebut sebagai “negara maju”—sebuah kesempatan yang mungkin hanya bisa diimpikan oleh orang lain.

Apa yang bisa kami bawa pulang dari sini? Apa yang akan kami kerjakan nanti? Pertanyaan semacam ini sejatinya menuntut banyak hal dari kami: bahwa kami harus punya proyek masa depan, proyek peradaban, sesuai dengan minat dan kepedulian kami, di komunitas masing-masing. Apakah harapan ini terlampau berlebihan, atau memang wajar?

Beberapa pekan setelah obrolan di malam itu, kata-kata Bu Tati masih cukup sering terngiang di ingatan saya: “Kalian ini adalah para elite...”

Read More..

Senin, 21 Desember 2009

Bertemu Sinterklaas

Memasuki bulan November yang lalu, teman-teman di kelas mulai berbicara tentang Sinterklaas. Saya, yang cukup awam dalam soal ini, mencoba bertanya kepada salah satu teman kelas. Dia menjelaskan secara cukup baik tentang perayaan Sinterklaas di Belanda.

Sinterklaas merujuk pada seorang uskup dari Myra, Turki, yang baik hati, suka menolong orang miskin dan juga dikenal sebagai pelindung anak-anak. Di Belanda, perayaan Sinterklaas dilaksanakan setiap tanggal 5 Desember. Di hari itu, Sinterklaas bersama Piet Hitam (Zwarte Piet) yang menemaninya membagikan hadiah untuk anak-anak. Sedangkan anak yang nakal akan dibawa pergi ke Spanyol.

Tentu saja, pikir saya, di mata anak-anak bayangan tentang hadiah sangatlah menyenangkan, dan hukuman dibawa ke Spanyol akan cukup menakutkan.

Teman saya itu kemudian menuturkan bahwa Sinterklaas bersama rombongannya akan hadir secara bergiliran di kota-kota besar di Belanda setiap akhir pekan. Sayangnya, saat rombongan Sinterklaas berkunjung ke Utrecht pada 14 November yang lalu, saya sedang bepergian ke Amsterdam untuk suatu keperluan, sehingga tak bisa melihat langsung rombongan Sinterklaas yang katanya tiba melewati kanal Utrecht.

Penasaran dengan Sinterklaas, menjelang 5 Desember saya mencoba keliling bersepeda di sekitar Zeist. Akhirnya, pada hari Jum’at sore, 4 Desember, saya berhasil melihat Sinterklaas bersama beberapa Piet Hitam yang sedang dikerumuni anak-anak di sebuah pusat perbelanjaan. Saat itu, saya menyaksikan beberapa anak yang sepertinya tampak sangat senang bermain di sekitar Sinterklaas yang membagikan hadiah-hadiah berupa makanan ringan. Ibu mereka, yang sebagian tampak mengawasi dari kejauhan, kadang terlihat geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah anak-anak mereka.

Saya mencoba membaca pikiran anak-anak yang tampak girang dan tertawa-tawa riang itu. Saya membayangkan, mereka sedang mendapatkan suatu pelajaran moral untuk berbuat baik pada sesama. Beberapa waktu yang lalu, saat berkumpul dengan komunitas masyarakat Indonesia di sebuah acara informal, salah seorang di antara mereka yang sudah tinggal di sini (Utrecht) menyatakan bahwa pelajaran moral Sinterklaas tidaklah terlalu berhubungan dengan agama—ya, saya cukup bisa memakluminya; bukankah Belanda memang negara yang tergolong sekuler?

Dengan memandang perayaan Sinterklaas yang tak lagi terlalu mengacu pada aspek religius, saya jadi maklum saat menyaksikan seorang anak dari seorang ibu yang kelihatannya muslim bermain dengan Sinterklaas di supermarket di Jum’at sore itu. Sepertinya Sinterklaas di sini telah menjadi semacam simbol moral universal tentang dorongan untuk berbuat baik.

Saya menjadi semakin yakin akan hal ini saat mencoba mencari informasi lebih jauh di internet, dan menyadari kenyataan bahwa Sinterklaas sendiri pada dasarnya adalah seorang Katolik—meskipun ia oleh Vatikan dicoret dari daftar orang-orang suci. Bagaimana bisa orang terhormat dari Katolik dirayakan di sebuah negara yang mayoritas Protestan seperti Belanda? Jawabannya jelas: Sinterklaas telah melampaui sekat formalitas (sekte) agama, dan mungkin sudah cukup menyatu dengan gerak hidup kebudayaan masyarakatnya yang memiliki bermacam keyakinan. Memang, dari situasi semacam ini, simbol agama menjadi tak terlalu kelihatan.

Saat 5 Desember berkeliling di sekitar Zeist, saya kembali berjumpa dengan Sinterklaas di pusat kota. Piet Hitam berkeliaran di sepanjang jalan di situ. Dari kejauhan, tampak di antara mereka sedang memberi bungkusan hadiah untuk seorang anak yang sedang berjalan dengan digandeng oleh ibunya.

Dalam hati saya bertanya: mengapa mereka tak memberi hadiah untuk saya? Hmmm.... mungkin karena saya bukan anak-anak lagi—semoga bukan karena saya termasuk “anak nakal”.

Read More..

Minggu, 20 Desember 2009

Cinta dan Pencarian Diri

Judul buku: Perahu Kertas
Penulis: Dee
Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Agustus 2009
Tebal: xii + 444 halaman


Karya-karya Dewi Lestari, atau yang populer dengan nama pena Dee, memang telah banyak mengangkat tema cinta, mulai dari Supernova (3 seri), Filosofi Kopi, hingga Rectoverso. Demikian pula, novel terbarunya ini, yang berjudul Perahu Kertas, masih mengangkat tema cinta. Bedanya, novel ini bergenre populer dan menggunakan tokoh remaja yang berproses hingga menemukan kematangannya.

Karena bergenre populer, maka pembaca setia karya-karya Dee ketika baru memulai membaca novel ini mungkin akan sedikit merasakan hal yang agak berbeda dibandingkan saat menikmati karya Dee sebelumnya yang cenderung “serius”. Bisa dikatakan bahwa novel ini secara gaya penyajian dan alur mirip dengan chicklit atau teenlit. Akan tetapi, lambat laun, pembaca akan merasakan ruh Dee dalam novel yang ditulis selama 55 hari kerja ini—tulisan yang reflektif, dan, dalam batas-batas tertentu, bagi yang cukup akrab dengan tulisan-tulisan Dee selain karya fiksinya yang dapat ditemukan di weblognya, cukup menggambarkan “pandangan-dunia” Dee tentang hidup, cinta, dan takdir.

Hebatnya, Dee bisa membungkus ide-ide yang sangat filosofis dan serius macam itu melalui tokoh-tokoh remaja novel ini. Dengan dua tokoh utama bernama Kugy dan Keenan, tokoh-tokoh remaja lainnya dalam novel ini tampil dalam rentang empat tahun, dimulai saat Kugy dan Keenan memulai masa perkuliahannya di Bandung.

Kugy adalah seorang gadis mungil yang aneh, cuek, pengkhayal, berantakan, dan bercita-cita menjadi juru dongeng dan penulis cerita. Keenan adalah seorang remaja cerdas, artistik, dan bermimpi menjadi pelukis. Keduanya dipertemukan secara kebetulan oleh Eko dan Noni, saat Eko menjemput Keenan, sepupunya, di stasiun Bandung. Noni, pacar Eko, adalah sahabat karib Kugy sejak kecil.

Perkenalan Kugy dan Keenan di awal masa kuliah mereka ternyata pelan-pelan melahirkan perasaan saling mengagumi dan saling menyukai. Namun, situasinya menjadi rumit dengan fakta bahwa Kugy masih menjalin hubungan dengan Ojos, dan di sisi yang lain, Noni dan Eko tengah berupaya mencomblangkan Keenan dengan seorang famili Noni bernama Wanda. Dari titik inilah, ketegangan kisah cinta Kugy dan Keenan yang sebenarnya dimulai.

Lebih dari sekadar kisah cinta biasa, kisah Kugy dan Keenan juga menyimpan kisah pergulatan panjang pencarian diri yang otentik. Gagasan ini, jika disederhanakan dan diungkapkan dengan bahasa populer kalangan remaja, akan serupa dengan upaya untuk “menjadi diri sendiri”. Tentang bagaimana Kugy dan Keenan merawat impian-impian, kata hati, pilihan hidup, dan cita-cita mereka, berhadapan dengan kompleks realitas hidup di lingkungannya masing-masing yang tak sederhana, dilematis, dan kadang tampak pahit.

Keenan, misalnya, digambarkan terpaksa kuliah di jurusan manajemen, sementara sejatinya dia ingin menyerahkan hidupnya di dunia kesenian. Ia harus mengikuti kehendak orang tuanya, sampai akhirnya di satu titik perjalanan kisah ini Keenan mengambil sebuah keputusan yang sangat berani: berhenti kuliah, berkomitmen mandiri secara ekonomi, dan total hidup dengan melukis.

Keteguhan Keenan dengan keputusannya ini tak bisa dilepaskan dari cerita-cerita inspiratif yang ditulis Kugy, terutama saat Kugy tengah tertekan dan kalut akibat proyek percomblangan Noni dan Eko, dan menuliskan pengalamannya dengan anak-anak miskin di pinggiran Bandung dalam kisah Jenderal Pilik dan Pasukan Alit.

Titik penting novel ini terjadi saat Keenan memutuskan untuk menghilang dan tinggal di Ubud bersama Pak Wayan, sahabat lama ibunya, dan memulai merajut mimpinya menjadi pelukis. Di titik itu pula, pembaca akan merasakan bahwa jalinan perasaan Kugy dan Keenan terancam putus. Apalagi saat jalinan cerita ini menuturkan bahwa di Ubud Keenan terpikat dengan Luhde Laksmi, ponakan Pak Wayan, sementara Kugy, yang baru lulus kuliah dan kemudian bekerja di sebuah biro iklan di Jakarta, menjalin hubungan dengan bosnya di kantor.

Di bagian seperempat terakhir novel, pembaca akan menemukan bagian-bagian yang sangat menentukan bagi penyelesaian konflik dan keseluruhan alur kisah novel yang sebenarnya sudah lebih dulu dilansir dalam versi digital (WAP) pada April 2008. Di bagian ini, pembaca akan menemukan “Dee yang sebenarnya”, yang menghadirkan renungan-renungan hidup yang mendalam dengan juru bicara tokoh-tokoh novel yang usianya kebanyakan masih belia. Memang, pembaca tidak akan terlalu dibebani dengan metafor-metafor berat dan refleksi filosofis yang cukup serius, seperti dalam Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh. Namun begitu, hal ini tidak mengurangi kualitas dan kedalaman refleksi Dee.

Salah satu kelebihan novel ini adalah efek adiktif yang dimilikinya. Dee sendiri menjelaskan bahwa novel ini juga memang mencoba mengambil semangat komik dan cerita bersambung, yang pada dasarnya berupaya menjaga rasa penasaran pembaca. Membaca Perahu Kertas, pembaca seperti akan dilayarkan ke suatu kisah yang cukup menguras emosi dan cukup bernuansa eksistensial.

Di tengah melimpahnya genre novel-novel populer remaja bertema cinta di pasar perbukuan, novel ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru untuk berbagi kisah yang memikat dan inspiratif yang sarat nilai-nilai renungan mendalam, jauh dari dangkal. Tak hanya soal cinta, tapi juga renungan soal relasi etis antarmanusia.

Parung (Bogor), 31 Agustus 2009

Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 20 Desember 2009.

Read More..

Senin, 23 November 2009

Di Sepanjang Titik-Titik Perjalanan

Kereta ini sebentar lagi akan segera melaju ke arah timur bergerak menjauh dari titik matahari tenggelam. Angin musim dingin bertiup sedikit kencang. Tak ada cahaya keperakan. Langit mendung. Tak ada biru. Hanya kelabu.

Dari atas kereta yang berada di ketinggian, aku dapat menyaksikan orang-orang lalu-lalang. Beberapa di antara mereka tampak berlari ke arah bus yang terparkir rapi. Begitulah. Stasiun memang selalu ramai. Tapi aku tak tahu, seberapa banyak jumlah penjemput dan pengantar di stasiun ini. Apakah tradisi menjemput dan mengantar juga lazim di negeri ini?

Bersama seorang teman, hampir sepanjang hari aku menjelajahi kota ini, menyusuri lorong-lorong dan sudut-sudutnya yang menyimpan banyak hal dari masa lalu. Kincir angin di tepi kanal, rumah seorang pelukis ternama dengan patung anak kecil di halamannya, perpustakaan yang menyimpan buku-buku dan manuskrip dari abad-abad silam, benteng tua, dan juga museum.

Dan sekarang, sore ini, aku duduk di atas kereta yang akan segera bergerak ke arah timur. Aku akan melanjutkan perjalanan. Di antara keramaian, sambil menikmati lagu-lagu bernuansa Renaisans, pikiranku tertegun pada gagasan tentang perjalanan.

Sampai kapan sebenarnya aku akan berada di perjalanan? Empat puluh satu menit perjalanan kereta yang akan kutempuh tak lama lagi hanyalah setitik kecil dari langkah-langkah kaki lainnya yang mungkin nyaris tak berhingga. Di manakah ujungnya?

Di antara deru kereta yang mulai melaju, aku membayangkan bahwa ini adalah sebuah perjalanan dalam perjalanan. Aku telah meninggalkan satu titik perhentian dalam titik perhentian yang jauh lebih besar. Di antara himpunan titik-titik itulah, sekarang aku tengah berusaha membuat gambar—dengan warna-warninya, bersama lika-likunya.

Read More..

Orang Miskin Dilarang Sakit

Minggu, 15 November. Sore itu saya mendapat kabar duka dari Madura. Widadah (sehari-hari dipanggil Wiwid), yang pernah menjadi murid terbaik saya di SMA 3 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep, dikabarkan meninggal dunia oleh sepupu saya. (Allahummaghfir laha warham-ha waj‘al jannata ma'wa-ha). Dia meninggal di ICU RSUD Sumenep, setelah sehari sebelumnya melahirkan dua anak pertamanya (kembar). Saat menerima kabar itu, saya tak terlalu banyak bertanya tentang kronologi dan sebab-musababnya. Saya hanya tertegun. Lama. Sungguh, saya terkejut sekali mendengar berita duka ini. Saya membayangkan dua putra kembarnya, keluarganya.

Sepertinya baru kemarin, saat saya memberikan buku Muhammad karya Martin Lings untuknya, setelah dia dinobatkan sebagai siswa teladan di pertengahan 2008 lalu di sekolah. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan terakhir kali saya berjumpa dengan dia. Sayangnya, ingatan saya tak cukup kuat. Setelah lulus dari SMA 3 Annuqayah, dia menikah, dan sependek ingatan saya, saya tak pernah bertemu dengannya lagi.

Saya memang tak berusaha mencari informasi lebih jauh tentang meninggalnya Wiwid. Akan tetapi, secara kebetulan, saya menemukan berita tentang itu. Seorang teman di Facebook yang juga seorang anggota DPRD Sumenep menuliskan dua posting di dindingnya yang berkaitan dengan hal itu. Saya kutip lengkap dan persis sebagaimana berikut:


sekali lg pelayanan RSUD Smnp m'dapat sorotan negatif dari masyarakat, pelayanan t'hadap pasien ASKESKIN krg m'dapatkan pelayanan standart minimal, t'buti pasien operasi melahirkan "Widadah" asal desa Poreh Kec. Lenteng Smp saat ini sedang tergolek kritis di ruang ICU krn t'indikasi adanya infeksi pasca operasi yg diakibatkan telatnya penangan dari petugas di sana. (15 November 2009, 9.43 WIB)
sampai info ini ditulis blm ada 1 dokterpun yg menangani pasien tsb, walau sy telah telpon lgsg k Kep. RSUD "dr. Kifli Mahmud" (15 November 2009, 9.44 WIB)



Membaca dua posting itu dua hari yang lalu, saya agak terkejut, bercampur sedih, dan juga jengkel. Pikiran saya jadi ke mana-mana. Sempat terlintas di benak saya: seharusnya ada sesuatu yang bisa dilakukan oleh pihak rumah sakit untuk menyelamatkan Wiwid. Tapi, hal yang terjadi tidaklah menurut aturan yang semestinya.

Jika benar dugaan dalam posting teman saya itu, bahwa infeksi pasca operasi itu diakibatkan telatnya penanganan petugas rumah sakit, sungguh, ini adalah kali kesekian saya mendapat kabar tentang masyarakat kecil di Sumenep yang kurang mendapatkan perhatian dalam hal pelayanan kesehatan. Memang, kerap saya dengar bahwa pasien dengan Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (Askeskin) mendapat perlakuan berbeda di rumah sakit.

Mestinya para petugas kesehatan itu mengerti bahwa kesehatan bukanlah hal yang sepele. Ia bisa berkaitan langsung dengan hak hidup seseorang. Hak untuk mendapat akses kesehatan yang baik adalah hak setiap warga negara. Dan negara berkewajiban untuk memenuhinya.

Hanya karena seseorang menggunakan Askeskin, yang itu berarti dia tidak mampu membayar dengan penuh dan dibantu oleh negara, para petugas malah menganaktirikannya. Sungguh logika dan juga kepekaan mereka telah tumpul. Mestinya, orang yang tak mampu itu mendapat perhatian lebih, bukannya diabaikan.

Jika benar bahwa penyebab meninggalnya Wiwid adalah karena telatnya penanganan petugas (dan ini tentu saja masih harus diverifikasi secara jujur dan objektif—sebentar, apakah dalam hal ini saya bersikap cukup wajar dan masuk akal untuk mengharapkan objektivitas?), maka jelas para petugas yang mestinya bertanggung jawab telah melakukan hal yang salah—paling tidak secara moral. Mereka telah lalai dalam tanggung jawabnya. Membiarkan orang meninggal karena layanan kesehatan yang tidak maksimal adalah sesuatu yang tidak baik atau salah secara moral. Jika seseorang mampu mencegah terjadinya hal yang buruk secara kesehatan tanpa harus mengorbankan hal penting pada dirinya (apalagi itu adalah kewajibannya), maka jika orang itu tak melakukannya, berarti ia telah melakukan suatu kesalahan.

Saya tidak mendapat sumber informasi yang lain mengenai hal ini. Meski begitu, saya cukup mudah untuk meyakini bahwa pelayanan rumah sakit di negeri kita memang masih sungguh jauh dari standar. Saya banyak mendengar cerita-cerita semacam ini dari beberapa kawan. Di koran dan media massa lainnya, kita juga sering mendapat informasi serupa, tentang buruknya layanan kesehatan, dan, lebih jauh lagi, tentang kecenderungan memperlakukan orang sakit sebagai barang dagangan—bukan manusia.

Saat rehat di kelas kuliah saya yang sedang berdiskusi soal etika biomedis (layanan kesehatan) beberapa pekan yang lalu, saya bilang kepada teman kelas saya yang seorang dokter dari Slovenia bahwa buat saya diskusi semacam ini saat ini masih terasa cukup mewah. Standar pelayanan kesehatan di negeri saya masih jauh dari memadai. Sementara itu, di belahan dunia yang lain, orang sudah lama berbicara dan mempraktikkan kewajiban untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain (obligatory precautions), informed consent, dan semacamnya.

Saya juga jadi teringat Michel Foucault (1926-1984), filsuf Prancis yang menulis buku The Birth of the Clinic (1963), yang bertutur tentang relasi kuasa yang bekerja di rumah sakit melalui tatapan medis (medical gaze, regard) para dokter yang bekerja dengan paradigma kontrol dalam kerangka panopticon.

Saya juga jadi teringat judul sebuah buku yang cukup menarik: Orang Miskin Dilarang Sakit. Ya, orang miskin jangan sampai sakit, karena mereka tak akan mendapatkan pelayanan yang baik di negeri ini. Buku ini tidak saja menunjukkan banyak hal tentang carut-marut wajah layanan kesehatan di negeri kita. Lebih dari itu, cobalah Anda ketikkan judul buku ini di mesin pencari Google, dan Anda akan mendapatkan tulisan-tulisan dan laporan faktual bernada serupa dari berbagai sumber.

Mengingat itu semua, saya benar-benar takut untuk sakit. Sungguh. Bukan apa-apa. Karena saya memang termasuk orang miskin.

Read More..

Rabu, 11 November 2009

Daun-Daun yang Berpulang

Daun-daun itu jatuh ke tanah bersama hembusan angin dingin di bawah bentangan langit yang kelabu. Daun-daun itu terbang, luruh perlahan, sehingga dahan-dahan pepohonan pun jadi kerontang. Daun-daun itu, yang beberapa bulan sebelumnya cerah menghijau, beberapa pekan terakhir berubah warna. Mereka berganti kemerah-merahan, kuning, cokelat, dan akhirnya tak mampu lagi menggantung dan bertahan. Pegangan mereka lunglai, dan satu persatu gugur berserakan.

Sang Waktu telah merontokkan kekuatan mereka dan membawanya ke musim ini. Sang Musim telah mengantarkan daun-daun itu pada takdir purba yang telah tercatat bersama semesta. Di hamparan tanah yang mulai sering basah karena embun dan rintik hujan, mereka sama sekali tampak tak resah. Sesekali ditiup angin yang agak kencang, di sana mereka menunggu lebur untuk pulang ke rumah asal.

Sang Musim, perlahan tapi pasti, juga tengah mengusir burung-burung ke selatan, menceraikan persaudaraan tulus mereka dengan rimbun daun-daun di tanah ini. Kicaunya mulai jarang terdengar. Tataplah langit, dan kau akan menyaksikan burung-burung yang tampak mulai bergegas menemukan tempat yang lebih nyaman ke arah selatan, berkelana mencari pohon dan dedaunan.

Burung-burung itu terbang ke selatan menjemput harapan. Tapi aku tak tahu apakah mereka akan kembali ke tempat ini dengan cerita tentang langit biru yang teduh dan daun-daun yang menghijau. Mungkin mereka justru akan menemukan asap hitam yang terus mengepul dari hutan-hutan. Mungkin saja rumah singgah mereka di sana, di selatan, sudah tak lagi nyaman.

Di sini, saat ini, daun-daun sedang berpulang. Pohon-pohon pun mulai kesepian. Sayang sekali, aku tak akan berada di tempat ini saat mereka datang kembali. Padahal, sepertinya mereka akan menghidangkan kisah-kisah dari tanah leluhur yang penuh kebijaksanaan.

Read More..

Senin, 09 November 2009

Belajar tentang Belajar: Dua Bulan di Utrecht University

Setelah dua bulan menjalani studi di program Master of Applied Ethics Utrecht University, saya mencatat beberapa hal menarik terkait dengan sistem pendidikan tinggi di sini yang dalam banyak hal cukup memberi inspirasi. Sebelumnya, jauh sebelum saya berangkat ke Eropa dan mengetahui bahwa sepanjang satu semester di Utrecht University saya hanya akan mengikuti empat mata kuliah, saya merasa cukup senang karena berpikir bahwa beban studi (akademik) saya tidak akan terlalu banyak. Itu berarti saya akan cukup punya waktu untuk berkegiatan di luar aktivitas akademik, termasuk jalan-jalan.

Tetapi ternyata saya keliru. Empat mata kuliah yang untuk satu semester dibagi dalam dua blok itu (satu blok ada dua mata kuliah) ternyata menyita banyak waktu saya. Setelah menuntaskan blok pertama dan selesai mengikuti dua mata kuliah utama, saya jadi tahu bahwa ternyata tugas-tugas kuliah begitu banyak, seperti juga halnya bahan-bahan bacaan yang mesti tuntas dilahap sebelum masuk kelas.

Tugas-tugas itu telah terjadwal dengan rapi sepanjang 9 pekan di blok pertama. Begitu juga bahan bacaan. Sebenarnya, saya sudah menerima informasi tentang satu mata kuliah menyangkut gambaran umum, tujuan, alur, referensi, dan tugas-tugas, tepat 20 hari sebelum perkuliahan dimulai—saat itu saya masih berada di Madura. Dosen pengampu salah satu mata kuliah itu mengirimkannya via email ke seluruh mahasiswa, lengkap dengan peta tempat kuliah, toko buku, dan info pendukung lainnya.
Inilah catatan pertama saya: perkuliahan di sini dirancang dengan sangat matang. Dosen menyiapkan semuanya dengan sangat baik dan terencana. Dan mereka sangat disiplin dengan rencana tersebut, sehingga aktivitas perkuliahan dapat berjalan dengan sangat baik.

Dari sisi mahasiswa, perkuliahan di sini menuntut kerja keras dan kemandirian. Jika tak membaca bahan bacaan atau artikel yang diwajibkan untuk satu pertemuan tertentu, jangan harap kita bisa benar-benar paham dengan apa yang sedang dibicarakan di kelas. Kelas di sini bukan dirancang untuk menambah stok pengetahuan baru. Kelas adalah ruang untuk mendiskusikan artikel relevan yang sudah ditentukan sebelumnya dalam daftar referensi, dan dosen menjadi pengarah dan mitra yang menawarkan alur dan alternatif.

Memang, pada tataran ide, hal semacam ini mungkin bukan sesuatu yang baru. Dahulu, di dunia pendidikan Indonesia ada istilah CBSA, atau Cara Belajar Siswa Aktif. Sayangnya, hal semacam ini, bahkan di tingkat perguruan tinggi pun, baru lebih sebagai teori saja. Di tingkat praktik, sulit sekali kita menemukan sistem belajar semacam ini. Karena itu, menjalani suatu proses belajar yang benar-benar menuntut sikap aktif seperti ini buat saya adalah sesuatu yang baru, menarik, dan menantang.
Inilah catatan kedua saya: sistem kuliah di sini, paling tidak dari pengalaman saya dua bulan ini, memberi ruang dan bahkan menuntut sikap aktif dari mahasiswa.

Dengan jumlah mata kuliah yang relatif sedikit dalam satu semester, saya juga mencatat bahwa tradisi akademik di sini adalah memberi kesempatan yang cukup leluasa untuk menggali suatu tema hingga cukup mendalam. Dengan kata lain: terfokus. Mata kuliahnya saja sudah cukup spesifik. Dalam blok pertama, misalnya, saya mengikuti dua kuliah dengan nama Ethical Theory and Moral Practice dan satu lagi Human Dignity and Human Rights. Hasilnya tentu saja lebih jelas, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tema tertentu.

Setelah saya telusuri, ternyata hal semacam ini tidak hanya berlaku di tingkat program magister. Salah seorang teman sekelas saya yang orang Belanda kebetulan berlatar belakang pendidikan S1 jurusan filsafat. Menurut dia, kuliah di S1 di sini juga demikian adanya: satu semester terdiri dari empat mata kuliah.

Saya beruntung telah belajar bersama teman-teman kelas yang berjumlah sekitar 20 orang dengan latar yang sangat beragam. Mereka berasal dari berbagai negara: Belanda, Amerika, Kanada, Italia, Serbia, Slovenia, Afrika Selatan, Bangladesh, dan Cina. Karena jurusan saya terbilang interdisipliner, latar belakang studi mereka juga beragam, tak hanya filsafat. Ada yang kedokteran, hukum, turisme, ekonomi, dan politik. Dengan aneka latar itu, di kelas kami dapat berbagi banyak hal berdasarkan perspektif masing-masing.

Dari segi usia, mereka sangat beragam. Beberapa masih berumur 23 tahun, belum lama menyelesaikan studi S1. Tapi ada juga yang sudah berkepala lima—mungkin seusia dengan sang dosen. Yang menarik, mereka yang sudah cukup lanjut itu mengikuti program ini bukan semata untuk meraih gelar, tapi tampak karena benar-benar haus akan ilmu dan pengalaman akademik. Salah seorang di antara mereka, yang kebetulan pernah satu kelompok dalam dua tugas mata kuliah bersama saya, adalah seorang perempuan yang sudah punya cucu dan telah bekerja sebagai dosen di NHTV Breda University. Dia meminati studi turisme dan merasa perlu belajar tentang aspek etis dalam turisme sehingga dia mengikuti program ini.

Demikianlah. Sejak sebelum berangkat, saya memang telah mencatat bahwa saya belajar di Eropa tidak hanya sekadar untuk menuntut ilmu khusus sesuai dengan jurusan saya. Saya juga ingin sekali belajar tentang bagaimana sistem perkuliahan di Eropa berlangsung. Dan, selama dua bulan di sini, saya sudah belajar banyak hal tentang itu. Mungkin apa yang saya tangkap ini memang masih belum cukup menjadi gambaran yang utuh tentang sistem pendidikan di sini. Akan tetapi, semuanya tampak inspiratif. Beberapa di antaranya ingin sekali saya coba nanti di Indonesia, meski tak musti dilakukan di sistem pendidikan formal.

Saya yakin, dalam rentang sisa waktu saya di sini, saya masih akan belajar banyak hal tentang semua itu—semoga bisa lebih luas, mendalam, dan substantif.

>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

Read More..

Sabtu, 24 Oktober 2009

Bersepeda di Belanda


Sungguh saya merasa sangat beruntung berkesempatan untuk bersepeda di negeri Kincir Angin ini. Tak seperti saat di Jogja, saya dan para pengguna sepeda yang lain di sini mendapatkan banyak keistimewaan dan kenyamanan dalam mengayuh kereta angin dan menyusuri berbagai sudut negeri Belanda. Ada jalur khusus sepeda lengkap dengan rambu-rambunya. Tempat parkir sepeda dapat ditemukan dengan mudah di mana-mana. Beberapa peta yang saya dapatkan, dari kampus dan dari pengelola apartemen, juga mencantumkan jalur khusus sepeda dengan tanda tertentu. Lebih dari itu, di jalanan, sepeda dianakemaskan oleh aturan lalu-lintas: di banyak tempat dengan tanda khusus, kendaraan bermotor wajib mendahulukan atau memberi kesempatan bagi pengguna sepeda untuk melintas.

Karena itulah, tak heran jika 85 persen orang Belanda memiliki paling tidak satu sepeda. Tiap tahun, 1,3 juta sepeda baru terjual di negeri yang juga terkenal dengan bunga tulip dan berpenduduk sekitar 16 juta orang ini. Setiap berangkat ke kampus di pagi hari dengan bersepeda, sepanjang jalan saya akan mengayuh bersama para pengguna sepeda yang lain. Ada yang sudah berusia cukup lanjut, dan bahkan ada juga yang tampak berusia masih setingkat anak Sekolah Dasar. Mereka mengayuh sepeda dengan cepat dan tangkas.

Kekaguman saya semakin bertambah saat menyadari bahwa ternyata sepeda di sini sangat fungsional. Sejauh saya berkeliling di sekitar kawasan kota Utrecht dan Zeist dalam hampir dua bulan ini, saya menemukan berbagai desain sepeda sesuai dengan fungsi dan kebutuhan masing-masing. Tak hanya keranjang belanja di depan kemudi sepeda atau tempat duduk balita yang sempat saya lihat, ada juga semacam kereta kecil yang kadang disambungkan di bagian belakang sepeda, atau bahkan di depan. Kereta kecil di belakang sepeda kadang untuk bayi, lengkap dengan penutup di bagian atasnya, sehingga si bayi dapat dengan aman dan nyaman berbaring di sana. Saya juga pernah menjumpai kereta yang isinya seekor anjing duduk manis di dalamnya. Bisa Anda bayangkan?

Tak jarang, mereka yang hendak bepergian ke luar kota juga membawa sepeda lipat mereka. Jika tak punya sepeda lipat dan hanya punya sepeda biasa, sepeda diparkir di stasiun. Karena itu, di stasiun Utrecht, misalnya, saya melihat banyak sekali sepeda yang diparkir—pasti ribuan, atau mungkin puluhan ribu. Teman apartemen saya yang asli orang Belanda mengatakan bahwa dia cukup sering kesulitan menemukan tempat parkir untuk sepedanya di stasiun Utrecht.

Minat orang Belanda untuk bersepeda juga tergambar dari sebuah website bernama “Cycling in the Netherlands” yang dikelola oleh dua orang Belanda bernama Anja de Graaf dan Paul van Roekel yang mengaku sudah lebih 30 tahun bersepeda keliling Belanda dan dunia. Laman ini menyediakan banyak informasi penting seputar bersepeda. Saya senang dengan kenyataan bahwa ada orang yang mau berbagi informasi seperti ini, untuk hal yang, mungkin bagi beberapa orang, tampak sepele—padahal bisa memberi banyak manfaat dan bisa jadi inspiratif.

Meski begitu, satu hal yang cukup menjadi hambatan dalam bersepeda bagi saya yang berasal dari negeri tropis adalah soal cuaca. Di hari kedua saya di Belanda, saya diajak rekan saya yang baik, Mas Waldi, bersepeda dari apartemen saya di Warande, Zeist, ke kampus Uithof Utrecht University. Dengan menggunakan sepeda pinjaman, saya bersepeda bersama Mas Waldi. Saat itu menjelang pukul 10 pagi. Dengan mengenakan kaos, kemeja, dan switer, sepanjang perjalanan yang beberapa di antaranya melintasi kawasan sepi yang penuh dengan pepohonan besar, saya merasakan angin yang menerpa tubuh saya menelusup di antara 3 rangkap pakaian saya itu. Sungguh, angin dingin itu terasa menusuk. Walhasil, saya sering tercecer beberapa meter di belakang Mas Waldi.

Gara-gara cuaca, kecepatan rata-rata bersepeda saya yang saya ukur selama lebih 5 tahun bersepeda di Jogja, yakni sekitar 20km/jam, menjadi sedikit menurun. Karena itu, setelah saya punya sepeda sendiri, yang, sekali lagi, saya dapatkan atas kebaikan dan pertolongan Mas Waldi, saya pun membeli perangkat-perangkat penangkal dingin: sarung tangan, topi dan jaket penahan dingin yang berbahan parasut seperti jas hujan. Sekarang, setiap kali bersepeda, hampir dipastikan saya mengenakan semua senjata penahan dingin itu.

Saat ini, setelah ketakjuban saya dengan fakta-fakta mendasar tentang sepeda di Belanda terasa mulai berkurang, mungkin karena sudah agak terbiasa, tiba-tiba terbersit satu pertanyaan lain di benak saya. Jika kenyamanan bersepeda di sini dapat dirasakan oleh semua pengguna sepeda, termasuk saya yang nota bene seorang pendatang, pertanyaannya: bagaimana kenyamanan ini pada mulanya dibentuk? Apakah ini hasil dari suatu kebijakan yang tertata tentang sistem transportasi publik, atau semata tumbuh dari bawah, dari hobi orang-orang Belanda dalam bersepeda? Apakah ini juga didorong oleh semacam nilai kepedulian atau ramah lingkungan?

Pertanyaan saya ini muncul atas dasar sebuah kecemburuan, mungkin juga mimpi, bagaimana agar ada satu kota atau satu daerah saja di Indonesia yang orang-orangnya populer menggunakan sepeda. Dengan kata lain, ramah lingkungan. Saya jadi teringat sebuah artikel di National Geographic yang menyebutkan sekilas tentang sebuah kota di Jerman, Freiburg, yang sepertiga penduduknya menggunakan mode transportasi ramah lingkungan, tanpa bahan bakar minyak. Saya jadi teringat komunitas Bike-to-Work di Indonesia. Saya jadi teringat sepeda saya di rumah—siapa yang kini menggunakannya?

Tentu saja, sebagaimana setiap peradaban memiliki sisi kelamnya masing-masing, saya juga menemukan sisi gelap “peradaban sepeda” di sini, yakni: maling sepeda. Saya mendengar cerita tentang sepeda yang hilang. Saya juga diperingatkan untuk benar-benar menjaga sepeda saya, paling tidak dengan menguncinya dan mencari tempat yang terasa aman untuk diparkir. Beberapa kali saya mendapati sepeda yang “dimutilasi”: ban depan dan atau ban belakangnya hilang dicolong orang—pemandangan serupa saya temukan di kota Paris, tepatnya di dekat Louvre. Saya juga pernah mendengar langsung umpatan seorang gadis tetangga apartemen di pagi buta saat ia tak menemukan sepedanya di tempat parkir di halaman—mestinya dia menyimpan sepedanya di gudang.

Begitulah sekilas cerita sepeda di negeri Belanda. Terlepas dari sisi gelapnya ini, pengalaman bersepeda di Belanda buat saya telah cukup menghadirkan satu wujud lain dari pencapaian peradaban yang terasa menarik dan patut untuk digali, diamati, dan mungkin juga dijadikan teladan.

Mau menikmati video yang saya rekam sambil bersepeda di pinggiran Zeist, Belanda? Klik di sini. Atau di sini. Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

Read More..

Jumat, 16 Oktober 2009

Labirin Metro Kota Paris

“Deux vitres nous séparaient lorsque nos yeux se sont croisés. Dans le métro comme foudroyées, nous nous sommes regardées, choquées... Nous avions la même robe!” * Magali V. – Paris

Jika ada seseorang yang pertama kali berkunjung ke Paris, maka rekan-rekannya yang lain yang masih belum mendapat kesempatan serupa pasti akan memintanya untuk bercerita tentang situs-situs wisata terkemuka: Eiffel, Louvre, Notre-Dame, dan yang lainnya. Bila tidak dengan cerita, rekan-rekannya itu akan meminta untuk melihat foto-foto yang sempat diabadikan oleh temannya.

Menghabiskan akhir pekan selama tiga hari di Paris seminggu yang lalu, saya tak cukup punya kesan mendalam tentang simbol-simbol utama Kota Cahaya itu. Mungkin karena saya hanya sekadar—katakanlah—melintas di tempat-tempat terkenal yang telah menyedot banyak turis dunia itu. Mungkin sebenarnya saya kurang bisa menikmatinya, dan musti kembali lagi ke sana untuk bisa lebih dalam menyelaminya dengan intensitas yang lebih baik.

Karena itu, saya tak akan bercerita tentang bermacam landmark kota Paris itu. Biarlah kali ini saya berdiri di pinggiran saja, dan akan menuturkan sedikit cerita tentang labirin metro kota Paris. Ya, benar, metro. Mungkin pilihan ini juga terkait dengan kedatangan saya di Paris pada Jum'at subuh yang lalu. Saya tiba di Paris melalui Terminal Bus Internasional Gallieni, dan langsung menyusuri metro kota Paris menuju KBRI Paris di Cortambert 47.

Saat itu pagi masih begitu dingin dan irama kehidupan metro yang sebenarnya masih belum terasa. Menjelang pukul 7 pagi, saat matahari masih sejam kemudian baru akan terbit, lorong-lorong metro memang masih cukup lengang. Orang-orang mungkin masih bermalas-malasan di balik selimut tebal mereka dan menunggu matahari keluar dari peraduannya.

Ini adalah pengalaman pertama saya menggunakan jalur transportasi kereta bawah tanah, yang sebelumnya hanya saya saksikan di film-film. Begitu masuk ke lorong metro, saya langsung terkesan dengan lorong-lorongnya yang mirip labirin: berkelok, dan bercabang-cabang. Saya semakin terkesan saat singgah di beberapa stasiun metro lainnya yang memiliki lebih banyak lorong, seperti République dan Châtelet Les Halles.

Desain stasiun-stasiun metro kota Paris tidaklah seragam. Lorong-lorongnya kadang bermotif bata yang disusun seperti tembok biasa; ada yang berwarna putih, merah, kuning keemasan, dan lain-lain. Ada pula yang bermotif keramik persegi empat dengan warna yang juga berbeda-beda. Tepat di tempat tunggu stasiun, yang dindingnya melengkung sehingga tampak seperti goa besar, kursi-kursinya pun dibuat tidak seragam, baik bentuk maupun warnanya.

Dinding-dinding lorong metro Paris tak dibiarkan kosong begitu saja. Di kanan kiri lorong, saya menyaksikan bermacam iklan yang dibingkai dengan sangat artistik. Isinya pun juga aneka macam, mulai dari iklan produk, iklan wisata, pertunjukan teater, konser atau pameran, atau iklan layanan masyarakat.

Memperhatikan poster-poster iklan dan lalu-lalang orang di sepanjang labirin dan kereta metro kota Paris, saya dapat menangkap nuansa seni dan keragaman budaya kehidupan dan warga kota Paris. Dari kehidupan bawah tanah kota metropolitan yang dihuni oleh sekitar 12 juta orang ini, terbayang arus perjumpaan yang mungkin sangat intens di antara beragam kebudayaan dunia. Dengan cara yang cukup sederhana, lorong-lorong metro kota Paris seolah menceritakannya kepada saya.

Metro kota Paris adalah metro tersibuk kedua di kawasan Eropa setelah Moskwa. Konon, setiap hari ia melayani 4,5 juta penumpang di sepanjang 214 km rel yang dimilikinya. Saat tahu bahwa dari keenam belas jalur yang ada beberapa di antaranya sudah berusia lebih dari satu abad, terbayang betapa peradaban kota Paris dalam bidang transportasi telah dibangun sejak lama. Paris telah menyediakan basis material yang cukup baik untuk melayani pergerakan orang-orang yang hidup di dalamnya untuk mengerjakan proyek peradabannya masing-masing—untuk menyusun batu bata kecil peradabannya sehingga perlahan membentuk bangunan yang mapan dan kemudian diwariskan pada generasi berikutnya.

Saya teringat pengamen dengan harmonika di salah satu stasiun yang saya sudah lupa di mana tepatnya. Saya juga teringat seorang pengemis tua yang duduk di lantai lorong metro di atas hamparan koran yang ia gelar. Saya teringat grafiti warna-warni yang berkelebat di antara lorong kereta yang gelap—saya bertanya-tanya: bagaimana grafiti-grafiti ini dibuat? Saya teringat poster besar yang memuat gambar para pemain sepak bola tim nasional Perancis yang beberapa di antaranya berkulit hitam. Saya teringat rombongan pemuda kulit hitam yang menyanyi sepanjang lorong metro merayakan kemenangan telak Perancis atas Kepulauan Faroe, yang memberi peluang bagi Perancis untuk berlaga di Piala Dunia Afrika Selatan tahun depan.

Saya juga teringat pembicaraan-pembicaraan saya dengan beberapa teman saat menyusuri lorong-lorong metro kota Paris. Saya teringat teriakan pemuda-pemudi yang berlarian di antara kereta yang akan segera berangkat. Saya teringat poster besar bermotif seperti kaligrafi khat kufi yang saya jumpai di beberapa stasiun. Saya teringat kata-kata bijak dalam bahasa Perancis yang memuat pesan sangat multikultural di République.

Rasanya, labirin metro kota Paris memang cukup layak juga untuk menjadi tempat wisata peradaban di antara landmark ternama lainnya. Jika kita menghidupkan sedikit saja kepekaan kita untuk melihat lebih dalam kehidupan lorong-lorong metro dengan lebih cermat, mungkin saja kita akan menemukan salah satu ruh peradaban yang menggerakkan kehidupan kota Paris yang masyhur itu.

Baca juga:
>> Di Jalanan Kota Jakarta

Read More..

Era Tragedi dan Pelajaran Empati

Beberapa tahun terakhir, negeri ini cukup sering diterpa bencana alam. Kali ini, gempa dahsyat terjadi di Sumatera. Ratusan korban meninggal, bangunan dan rumah tinggal roboh. Kerugian tak hanya material, karena efek psiko-sosial dari setiap bencana alam juga terus membayang.

Berbagai tragedi bencana (alam) yang susul-menyusul belakangan ini, mulai dari tsunami Aceh, banjir bandang dan longsor di sana-sini, gempa dahsyat di Yogyakarta, muntahan lumpur panas di Sidoarjo, dan yang terakhir, gempa di kawasan Sumatera, dalam tataran subjektif-spekulatif, mungkin dapat dibaca sebagai sebuah pelajaran bagi bangsa ini untuk bisa lebih penuh memahami dan menghayati pelajaran empati. Sering kali, di luar konteks bencana, rasa kemanusiaan beberapa elemen bangsa ini seperti tumpul berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang mengenaskan.

Contoh yang paling mudah terkait dengan cara para pemimpin negeri ini menyikapi dan menyelesaikan kasus korban Lapindo. Lebih tiga tahun berlalu. Namun, masih banyak warga yang terlantar dan tidak jelas nasibnya. Argumen formal-prosedural yang kaku menempatkan kewajiban moral di luar prioritas dan pertimbangan.

Sementara itu, di sisi yang lain, cukup sering pula uang negera ini dihambur-hamburkan justru untuk mereka yang hidup lebih dari cukup, atau untuk seremoni yang tak substantif dan tak berhubungan langsung dengan kepedulian terhadap rakyat kecil.

Gagalnya pelajaran empati di era tragedi semacam ini pada level yang paling mendasar seharusnya dapat menggugah bangsa ini untuk kembali mempertanyakan makna kebangsaan yang telah lama dibangun bersama. Begitu sering diungkapkan bahwa sebuah bangsa dibangun dari imajinasi kolektif warga-warganya, dari sejumlah pengalaman masa lalu hingga terpatri dalam terang aktualitas masa kini. Sebuah bangsa yang baik akan mampu menghadirkan imajinasi konstruktif dalam kerangka upaya bersama mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih beradab.

Mengapa era tragedi ini hingga sekarang masih belum sepenuhnya bisa memberikan hikmah pelajaran empati untuk seluruh elemen bangsa ini? Mengapa yang mengemuka masih egoisme yang seperti menafikan kehadiran saudara setanah air? Mengapa para pemimpin negeri ini masih belum kunjung selalu memiliki kepekaan dan kepedulian yang cukup atas berbagai penderitaan yang dialami bangsa ini?

Semenjak era Orde Baru, kesewenangan penguasa telah mengikis dan menggerogoti perspektif kepedulian, rasa empati, dan rasa kebersamaan bangsa ini, hingga ke level yang cukup kritis. Nasionalisme hanya menjadi slogan, tak pernah berbekas dalam kenyataan. Jadilah, (aparat) negara tak mampu menjaga rasa kebangsaan para warganya, dan hanya menyemai benih disintegrasi. Kemudian era reformasi seperti memberi harapan baru untuk memulihkan luka berbagai elemen bangsa yang sebelumnya terinjak hak-haknya. Tapi penghayatan rasa empati yang sesungguhnya di era reformasi pun ternyata masih sering tak menemukan ruang perwujudannya.

Sekarang, marilah kita sedikit berspekulasi tentang episode tragedi yang kembali dirasakan bangsa ini. Tidakkah ini mungkin merupakan sebuah pelajaran buat seluruh elemen bangsa ini untuk menyalakan kembali imajinasi kolektif-konstruktif mereka, tentang komunitas bangsa yang betul-betul membutuhkan kebersamaan untuk menyelamatkannya dari puing kehancuran? Bila berbagai upaya berupa rekayasa sosial-politik selama era reformasi ini tak kunjung memperlihatkan hasil yang jelas untuk merekatkan kembali kebersamaan, membangkitkan empati tentang derita banyak warganya, dan betul-betul menggugah para elite untuk tak hanya berpesta dalam kuasa serta mempersembahkan yang terbaik untuk bangsanya, apakah tidak mungkin belakangan “alam” kemudian turun tangan untuk memberikan pelajarannya yang terakhir tentang empati, kepedulian, dan kebersamaan?

Mungkin dengan pembacaan subjektif-spekulatif semacam ini berbagai kisah sedih bencana alam yang menimpa bangsa ini dapat menjadi lebih bermakna bagi kelanjutan kehidupan masyarakat bangsa ini. Tentu saja perspektif pemaknaan seperti ini tidak boleh hanya berhenti pada level romantik saja, tetapi jelas harus dijangkarkan pada level objektif, dengan kerja-kerja konkret untuk terus menerjemahkan makna kebangsaan, kebersamaan, ketulusan, dan empati, dalam sebuah komunitas bangsa yang tak kunjung bisa keluar dari multibencana yang menamparnya.

Pada sisi yang lain, bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa yang religius. Islam, sebagai agama yang mayoritas dipeluk masyarakat Indonesia juga tak luput mengajarkan pelajaran empati semacam ini. Sesungguhnya, salah satu nilai moral puasa Ramadan, yang baru saja kita tunaikan, adalah pelajaran empati, selain pengendalian dan penyucian diri. Dalam berpuasa, umat Islam diajak untuk berempati dengan rasa lapar dan dahaga yang sehari-hari dirasakan oleh kaum papa. Ibadah puasa mendorong solidaritas manusia.

Bangsa Indonesia tak boleh selalu kehilangan momentum untuk menumbuhkan kesadaran solidaritas sosial semacam ini. Tak diragukan lagi, solidaritas dan empati saat ini amat dibutuhkan untuk menjadi nilai dasar bagi upaya bangsa ini keluar dari krisis multidimensi yang tak kunjung berhenti mendera.

Read More..

Selasa, 06 Oktober 2009

Gempa itu Tak Datang di Malam Hari

Sebenarnya, di hari itu, Sabtu, 26 Mei 2006, saya bangun cukup awal, sebelum fajar tiba. Namun, setelah salat Subuh, saya memilih untuk tidur lagi. Maunya saya bersepeda keluar. Tapi, karena hari itu saya punya banyak agenda, saya memutuskan untuk tidur saja.

Saya mulai berbaring sekitar pukul lima. Tak sampai satu jam kemudian, tanpa saya bayangkan sebelumnya, saya dibangunkan oleh goncangan keras di lantai kamar saya. Seketika saya terbangun. Saya merasakan getaran keras dan suara yang mirip dengan deru kereta api yang melintas cepat. Masih dalam keadaan setengah sadar, di tengah penerangan kamar yang minim, ditambah lagi tak berkacamata sehingga pandangan saya agak kabur, dengan spontan saya berusaha keluar dari kamar.

Saya berusaha membuka pintu kamar secepatnya. Namun saya kesulitan. Goncangan yang masih tak berhenti itu membuat saya sulit menguasai keseimbangan. Di belakang saya, rak buku setinggi 180 cm tampak bergoyang dan mau roboh. Di dekat pintu, air mineral dalam galon berkapasitas 19 liter terdengar beriak. Setelah berusaha keras, akhirnya saya berhasil keluar dari kamar saya. Beruntung, kamar saya paling dekat ke pintu keluar rumah. Begitu keluar, saya langsung keluar, berlari ke jalan depan rumah.

Ternyata saya agak terlambat keluar. Begitu tiba di luar, orang-orang sudah tampak banyak berdiri dalam suasana yang masih penuh tanda tanya. Belum lama saya berdiri di pinggir jalan, dari arah gang tepat di barat rumah, seekor anjing putih yang cukup besar berlari cepat ke arah saya dan hampir saja menabrak saya. Saya pikir anjing itu juga panik dengan goncangan keras itu.

Goncangan masih sedikit terasa, sampai akhirnya pun mereda. Orang-orang pun saling bertanya tentang apa yang tengah terjadi. Beberapa tampak berusaha melihat lebih jelas ke arah utara, ke arah Gunung Merapi. Apakah Gunung Merapi meletus? Tapi tak ada yang tampak istimewa dari arah utara. Tak ada kepulan. Gunung Merapi, di pagi yang mulai terang itu, tampak menjulang biasa, tanpa tanda-tanda yang cukup berbeda.

Orang-orang pun kemudian tak ragu untuk menyimpulkan bahwa goncangan keras yang baru saja terjadi itu adalah gempa. Ya, gempa bumi.

Begitu merasa agak aman, saya mencoba kembali ke kamar untuk mengambil kacamata dan telepon seluler. Masuk ke kamar, saya mendapatkan kamar saya sudah berantakan. Rak buku di sisi barat kamar roboh ke arah timur. Buku-buku bertebaran. Galon air mineral juga tergeletak di lantai. Untung airnya sedang tidak penuh, sehingga air yang tumpah tidak seberapa. Saya segera mengambil kacamata, telepon seluler, dan dompet, dan kemudian segera kembali ke luar.

Di luar, orang-orang terus mencoba mencari informasi tentang kejadian di pagi itu. Namun, ternyata telepon seluler pun sulit digunakan. Listrik juga padam.

Saya berkumpul dengan teman-teman saya di kos seberang tempat saya. Adik saya juga di situ. Katanya, dia tak bisa keluar kamar sampai goncangan berakhir karena dia tak berhasil membuka kunci pintu kamarnya. Beruntung bahwa dinding dan atap kamarnya tak roboh. Ya, kami beruntung. Di perkampungan kami, Papringan, tak ada bangunan roboh. Hanya ada tembok rumah yang sebagian roboh, tepat di perempatan masuk ke jalan ke arah tempat saya.

Beberapa teman mengajak untuk melihat-lihat keadaan di sekitar Papringan. Mereka berencana ke Sapen. Saya pun mencoba menyusul mereka dengan naik sepeda. Namun, saya tak melanjutkan rencana saya begitu melihat lalu-lintas di Jalan Adisucipto yang tampak begitu kacau. Orang-orang seperti terlihat panik. Pada saat itulah saya berpikir bahwa gempa yang baru saja terjadi ini bisa jadi lebih parah dari yang saya bayangkan. Saya pun kembali ke kos.

Ternyata apa yang saya bayangkan itu memang benar. Beberapa saat kemudian, informasi yang lebih utuh berhasil didapatkan dari radio. Gempa telah terjadi. Gempa tektonik itu berkekuatan 5,9 skala Richter, terjadi pada pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Episentrum gempa terletak di dekat pantai selatan.

Bersamaan dengan gempa susulan yang terjadi pada pukul 08.15 WIB, kepanikan bertambah karena isu tsunami menyebar di antara orang-orang yang masih kebingungan. Tentu, kata “tsunami” terdengar begitu menakutkan. Gambar-gambar tragedi Tsunami Aceh yang cukup untuk membuat orang-orang cemas masih belum hilang dari ingatan. Salah seorang teman yang pagi itu ikut berkumpul di tempat saya langsung meninggalkan saya dan teman-teman, bergegas membawa motornya tanpa mengajak saya atau teman-teman lainnya—bahkan dia lupa tak memakai alas kakinya. Begitulah. Orang-orang panik.

Semakin siang, saya semakin tahu bahwa gempa kali ini telah memakan banyak korban dan telah membuat Jogja menjadi tak lagi “berhati nyaman”. Makanan, air bersih, listrik, jelas akan menjadi masalah. Saat itu uang tunai di dompet saya cuma sekitar 25 ribu rupiah. ATM jelas tak bisa digunakan. Beruntung, tak lama setelah gempa, saya dengan adik saya sempat makan di warung sebelah yang buka sebentar.

Menyadari situasi ini, saya pun, bersama adik dan beberapa teman, memutuskan untuk pulang. Sebenarnya, sejak tengah hari, banyak mahasiswa dan orang-orang yang memutuskan untuk meninggalkan Jogja. Rupanya, pemberitaan di televisi yang memperlihatkan dahsyatnya gempa dan korban jiwa serta bangunan yang diruntuhkannya telah membuat keluarga mereka masing-masing di luar Jogja cemas, sehingga meminta mereka untuk pulang saja. Begitu pula yang terjadi dengan saya.

Dengan uang terbatas, saya pun meninggalkan Jogja sekitar pukul lima sore. Dengan uang tunai terbatas, saya naik bis sampai Solo, untuk kemudian mencari uang tunai di ATM, dan melanjutkan perjalanan ke Madura. Sepanjang perjalanan, orang-orang bercerita tentang gempa Jogja. Mereka bercerita tentang korban jiwa dan kerusakan yang terjadi di mana-mana. Sepanjang perjalanan Jogja-Solo, saya dapat menyaksikan bangunan-bangunan yang hancur, rusak, atau miring.

Dapat dikatakan bahwa saya tak mengalami kerugian material dari bencana alam ini. Meski begitu, gempa Jogja adalah satu pengalaman eksistensial yang memberi banyak hal buat saya. Saya berbincang dengan beberapa teman saya yang penduduk asli Jogja. Buat beberapa di antara mereka, gempa Jogja telah memaksa mereka untuk memulai segalanya dari awal. Tak hanya soal aspek duniawi—mereka pun akhirnya dipaksa untuk berefleksi, tentang banyak hal. Salah seorang di antaranya, yang seorang penulis dan pengamat pendidikan, mengatakan bahwa bencana ini telah menegaskan bahwa harta benda yang dikumpulkan bertahun-tahun bisa saja hilang seketika; dan yang sangat berguna ketika itu adalah para sahabat. Sungguh, ini pelajaran tentang kefanaan yang benar-benar nyata, tapi sering kali dilupakan—apakah itu berarti sebentuk pengingkaran diam-diam?

Saya kembali lagi ke Jogja tepat sepekan setelah musibah yang menewaskan lebih enam ribu korban jiwa itu terjadi. Saya bermaksud untuk membawa pulang buku-buku saya. Beruntung sekali, kamar kos saya tak roboh, karena setelah gempa terjadi, malam harinya hujan deras turun mengguyur Jogja. Salah seorang teman saya yang kamar kosnya roboh harus merelakan buku-bukunya hancur oleh hujan bercampur puing-puing bangunan.

Dua hari saya di Jogja, sebelum akhirnya pulang kembali ke Madura. Hari-hari itu saya tengah berusaha keras fokus untuk menyelesaikan tugas akhir saya yang baru saja dimulai. Dan saya berpikir bahwa situasi Jogja tak lagi kondusif untuk tugas yang harus segera saya tuntaskan itu. Dua hari di Jogja, saya sempat berkeliling melihat-lihat suasana. Ternyata, hari itu adalah hari pertama kota Jogja kembali beraktivitas, setelah selama seminggu sebelumnya dicekam sunyi akibat gempa.

Beberapa bulan setelah gempa Jogja, saya masih mendengar banyak cerita kemanusiaan yang mengundang empati, tentang bagaimana masyarakat korban gempa berusaha bangkit menyusun kehidupan baru mereka di antara harapan yang tersisa. Cerita yang agak detail saya dapatkan dari salah seorang teman kuliah saya yang akhirnya menunda urusan akademiknya dan berfokus mengorganisasi warga kampungnya untuk membangun kembali kehidupan mereka.

Kenangan tentang kejadian gempa Jogja ini serta merta muncul kembali ke benak saya beberapa hari yang lalu saat mendengar kabar bahwa gempa dahsyat terjadi meluluhlantakkan Sumatera Barat. Gempa yang terjadi pada hari Rabu, 30 September 2009 pukul 17.16 WIB itu berkekuatan 7,6 skala Richter. Dari berita yang berhasil saya ikuti, saya dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa bencana ini lebih parah daripada gempa Jogja. Korban jiwa mungkin bisa mencapai ribuan. Kekuatan gempa yang lebih besar mengakibatkan kisah-kisah tragis para korban akan terasa lebih mengiris hati. Orang-orang yang meninggal dalam reruntuhan bangunan. Dusun-dusun yang menjadi kuburan massal.

Seperti gempa Jogja, malam hari setelah gempa, hujan juga turun di sana. Saya dapat membayangkan suasana mencekam yang terjadi selama hujan turun. Bencana dahsyat baru saja terjadi. Tanpa penerangan. Suara hujan, yang mungkin bercampur guntur diiringi halilintar. Saya tak dapat membayangkan andaikan gempa itu datang di malam hari. Mungkin akan benar-benar serupa kiamat.

Malam ini, saya berjarak belasan ribu kilometer dengan mereka yang tengah dirundung duka. Dengan keterbatasan yang saya punya, saya berusaha menjangkau mereka, merasakan penderitaan mereka. Saya merasa saya punya keterbatasan untuk menunaikan kewajiban saya terhadap saudara-saudara saya yang tengah ditimpa musibah ini. Dari jauh, saya berdoa untuk mereka.

Read More..

Minggu, 27 September 2009

Radikalisasi Peran Guru

Judul buku: Pendidik Karakter di Zaman Keblinger: Mengembangkan Visi Guru sebagai Pelaku Perubahan dan Pendidik Karakter
Penulis: Doni Koesoema A
Penerbit: Grasindo
Cetakan: I, 2009
Tebal: xvi + 216 halaman


Saat sendi bangunan peradaban bangsa terancam berantakan, banyak orang berharap pendidikan dapat menjadi penyelamat. Guru kemudian menjadi aktor kunci untuk menjadi pelaksana misi penyiapan generasi bangsa yang tangguh. Lalu, bagaimana jika guru itu sendiri justru menjadi sumber masalah?

Buku yang ditulis praktisi dan pemerhati pendidikan ini memberi peta persoalan dan tawaran solusi cukup radikal untuk menguatkan kembali peran dan posisi guru. Tentu saja dalam konteks pembangunan peradaban masyarakat yang tengah terbelit dalam krisis yang kompleks dan akut.

Doni Koesoema, penulis buku ini, berupaya mengembangkan dan meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter. Hal tersebut perlu, terutama kala profesi keguruan cenderung mudah terjebak dalam perangkap konflik kepentingan, ekonomi, dan kelompok politik tertentu yang dangkal.

Menurut penulis buku ini, guru bisa memainkan peran memperbarui tatanan sosial masyarakat. Caranya dengan memperkaya dan memperkokoh kepribadian siswa serta menanamkan kesadaran kritis. Fungsi transformatif pendidikan dimulai dengan pembentukan dan pendidikan karakter. Proses pengembangan karakter di sekolah dilakukan menyeluruh (integral) antara diskursus dengan praktik dan antara kegiatan kurikuler (akademis) dengan pergaulan sehari-hari.

Zaman ”keblinger”
Berhadapan dengan kutub ideal ini, penulis mencatat sekarang ini kita hidup pada zaman keblinger, sebuah zaman saat dunia lari tunggang langgang dan menciptakan situasi yang membuat guru kehilangan orientasinya.

Otonomi dan kebebasan untuk merumuskan jati diri sebagai guru menjadi sulit sekali untuk dijaga. Sebuah ilustrasi yang sangat bagus digambarkan dalam buku ini. Jangankan untuk menghambat terorisme global, untuk melawan ujian nasional yang merenggut otonomi guru saja mereka tidak mampu. Jangankan berurusan dengan perusahaan multinasional, untuk mengurus uang Bantuan Operasional Sekolah (BOS) saja tidak becus.

Dalam situasi seperti ini, guru sering tidak sadar dengan peran dan visi strategis dan radikal yang mesti mereka miliki. Bagaimana bisa menjadi pelaku perubahan jika untuk mengubah dirinya saja guru masih kesulitan. Ketika sekolah atau otoritas negara berupaya meningkatkan mutu guru melalui sejumlah kegiatan, seperti pelatihan, lokakarya, seminar, atau semacamnya, ternyata semua itu tidak cukup memberi dampak positif. Bahkan, untuk sebuah perubahan mendasar yang menyangkut kemampuan pedagogis maupun penguasaan bahan ajar.

Hal itu menurut penulis buku ini terjadi karena tak ada kerangka kerja jangka panjang yang melatarinya sehingga perubahan radikal yang diharapkan tak kunjung dicapai. Untuk itulah, Doni kemudian merumuskan tujuh strategi untuk membumikan gagasannya yang hendak meradikalkan visi dan peran guru sebagai pelaku perubahan dan pendidik karakter.

Ketujuh strategi itu adalah menjernihkan visi sebagai guru, menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, membiasakan umpan balik dari para pemangku kepentingan, menumbuhkan kejujuran akademis, mempraktikkan pembelajaran kolaboratif, mengembangkan sekolah sebagai komunitas belajar profesional, dan menumbuhkan kultur demokratis di sekolah.

Ketujuh strategi tersebut memang tidak bersifat teknis karena hal yang ingin dicapai adalah perubahan paradigma. Meski demikian, di beberapa bagian terdapat uraian yang cukup praktis. Misalnya, tentang pentingnya penjernihan visi sebagai guru. Di situ dipaparkan visi yang berfungsi sebagai orientasi dan landasan yang memotivasi guru bertindak, beraktivitas, dan mengembangkan diri. Dia juga menegaskan, visi seseorang sebagai guru juga dapat dilihat dari bagaimana dia memahami tujuan pendidikan, pengajaran, siswa, pengetahuan, dan masyarakat. Dengan kata lain, visi sangat berkaitan dengan sejumlah asumsi dasar yang akan sangat berpengaruh terhadap praktik pendidikan dan pembelajaran di kelas.

Visi guru sebagai pendidik dengan pemahaman seperti ini dipertajam dengan studi kasus pemberitaan di media. Di antaranya tentang aktivitas Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo yang menyatakan kebijakan pendidikan menengah akan diarahkan pada meningkatnya proporsi sekolah menengah kejuruan dibandingkan dengan sekolah menengah atas. Penulis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan reflektif dan menguraikan berbagai implikasi arah kebijakan tersebut dengan cukup panjang lebar.

Tidak sederhana
Tentu saja upaya mengubah paradigma dan visi mendasar dari profesi keguruan tidaklah sederhana. Bagian awal buku ini menguraikan kompleksitas persoalan yang dihadapi guru di lapangan.

Pada zaman keblinger, misalnya, mistifikasi profesi guru terjadi ketika muncul euforia berlebihan oleh komunitas dalam mengidealkan berfungsinya peranan guru. Di sisi yang lain, beban kerja dan rutinitas di sekolah semakin menyulitkan guru mengembangkan dan mengubah diri.

Saat menguraikan strategi kedua mengenai menumbuhkan semangat peneliti dalam diri guru, penulis tampak sedang berefleksi dengan apa yang tengah dia lakukan selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Dalam kadar tertentu, buku ini sebenarnya semacam refleksi diri setelah terlibat langsung dalam pengelolaan pendidikan di beberapa sekolah. Lebih jauh lagi ketika kemudian ia mendalami pedagogi di Universitas Salesian Roma, Italia, dan Boston College Lynch School of Education, Boston, Amerika Serikat. Dengan kata lain, penulis telah mempraktikkan sekaligus menegaskan dengan memosisikan diri sebagai peneliti, ia tak hanya terlibat dalam praksis peningkatan mutu pendidikan.

Di sisi lain, penulis buku ini juga dapat berbagi makna personal yang berkembang selama ia menjalani dan menghayati aktivitas keguruan dan kependidikan, baik dalam dirinya maupun dengan komunitas (guru) yang lebih luas. Ia mengonstruksi pengalamannya melalui kerja-kerja dokumentasi, pengamatan, analisis, dan refleksi. Selanjutnya ia menciptakan gugus pengetahuan dan ilmu ”baru”.

Buku ini sangat cocok dibaca para guru, pengelola lembaga pendidikan, dan mereka yang peduli terhadap masa depan bangsa ini. Paparan buku ini memberikan peta dan agenda persoalan bersifat mendasar untuk lebih memperkuat peran dan visi guru dalam pembangunan peradaban.

Lebih dari sekadar berbagi makna dan kepedulian, buku ini juga mencatat sejumlah pekerjaan rumah bersama yang bersifat pragmatis maupun praktis, meski pada sisi lain lebih menekankan pada pendekatan dan perspektif yang bersifat individual dalam upaya menjaga makna substantif profesi keguruan yang mulia pada kerangka kerja peradaban.

Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 27 September 2009.

Read More..

Sabtu, 26 September 2009

Mencari Masjid

Sejujurnya, saya bukan termasuk orang yang “benar-benar terpaut hatinya dengan masjid”. Saya merasa masih jauh untuk disebut sebagai seorang muslim yang baik. Selama ini, mungkin saya agak kecewa dengan masjid yang belum dapat menjadi tempat berbagi masalah-masalah keagamaan dan sosial dalam arti yang luas—tidak hanya tempat ritual. Dan saya sendiri mungkin masih terlalu picik untuk memulai berbuat sesuatu demi mengatasi kekecewaan saya itu.

Namun begitu, setelah lebih dua pekan hidup di negeri asing, ada rasa rindu untuk menemukan masjid, tempat kaum muslim berkumpul, meski masih hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban (ritual) keagamaan. Saya merindukan deretan jamaah yang berbaris rapi, suara adzan, juga lantunan suara imam yang berwibawa dan menyentuh emosi. Lebih dari itu, saya merindukan bangunan yang berbentuk masjid—bukan masjid dalam pengertian sederhana, yakni tempat bersujud, yang itu bisa di mana saja.

Saat menjelang pelaksanaan shalat Idulfitri kemarin, saya sempat berharap bahwa itu akan berlebaran di tempat yang “benar-benar masjid”. Ternyata tidak. Shalat 'Ied kemarin dilaksanakan di sebuah sekolah muslim di tengah kota Utrecht.

Pada hari Kamis kemarin, saya pun berketetapan bahwa untuk shalat Jum'at pekan ini, saya harus menemukan masjid. Sudah dua kali shalat Jum'at saya lewatkan—di antaranya karena saya sedang kurang sehat hingga tak berpuasa. Saya pun berusaha memastikan tempat sebuah masjid yang alamatnya saya ketahui dari seorang gadis berjilbab asal Maroko yang saya tanya di bus pada hari Kamis sebelumnya. Pencarian saya sebelumnya tak berhasil, sampai akhirnya Kamis kemarin saya menemukan alamat website masjid tersebut. Dari situlah, dengan bantuan Wikimapia, akhirnya saya dapat memastikan lokasi masjid dan rute ke arah masjid itu dari apartemen saya.

Masjid itu bernama al-Muttaqien, berjarak 2,5 km dari apartemen saya. Tempatnya di daerah De Clomp, pinggiran barat kota Zeist. Masjid itu dibangun pada tahun 1993, dan, ini yang cukup menggembirakan saya, bangunannya memang benar-benar berbentuk masjid.

Saya tiba di masjid itu pada pukul 13.30, saat orang-orang mulai berdatangan untuk shalat Jum'at. Saya sama sekali tak kesulitan menemukan masjid itu. Menara kecilnya terlihat jelas di dekat rerimbunan pohon di salah satu sudut bangunan.

Begitu memasuki bangunan tersebut, saya langsung meletakkan tas dan berwudu. Saat saya masuk ke dalam ruang utama masjid, adzan sedang dikumandangkan. Suasana begitu hening dan khidmat. Saya pun mengambil posisi di tempat yang masih kosong. Memandang berkeliling, tampak beberapa tiang dan lengkungan seperti masjid pada umumnya. Ada rak al-Qur'an di dinding bagian depan. Jendela-jendelanya yang tertutup kaca juga bermotif arsitektur masjid. Lantainya dihampari karpet berwarna hijau dan merah. Orang-orang yang hadir kebanyakan berwajah Arab. Beberapa di antara mereka mengenakan pakaian panjang (gamis). Tak hanya orang tua, saya juga melihat beberapa anak belia di antara jamaah shalat Jum'at.

Saya melewatkan shalat Jum'at di masjid itu dengan perasaan puas. Kerinduan saya terobati: pada masjid, adzan, khotbah Jum'at, dan jamaah kaum muslim yang hadir di situ—meski tak satu pun saya kenal. Khotbah disampaikan dalam bahasa Arab yang dilantunkan dengan sangat fasih. Khotib berdiri di podium yang anggun. Jamaah menyimak pesan-pesan keagamaan yang dituturkan dengan baik, ringkas, padat, dan bermakna. Dengan pengeras suara yang sepertinya hanya terdengar di dalam ruangan, khotib mengingatkan jamaah untuk terus menjaga hikmah Ramadan, agar terus menjaga semangat untuk memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan. Dia mengatakan bahwa salah satu tanda puasa dan ibadah kita diterima adalah manakala kita dapat melanjutkannya dengan bentuk kebaikan yang lain.

Di akhir khotbah, sang khotib mengumumkan bahwa di akhir pekan, jamaah diminta untuk kerja bakti membersihkan masjid. Wah, sepertinya komunitas muslim di sini sudah cukup kompak merawat masjid ini.

Yang agak kurang mengenakkan buat saya adalah ketika usai shalat, sebagian jamaah langsung bubar keluar. Memang, mereka keluar masjid dengan tertib, melewati satu-satunya pintu keluar satu persatu. Akan tetapi, kenyataan bahwa mereka tak berdzikir dan berdoa membuat saya bertanya-tanya keheranan.

Saya berdzikir sejenak dan berdoa. Di sekitar saya tampak beberapa orang masih berdzikir dan berdoa. Ada yang shalat sunnah. Ada pula yang mengobrol. Tak lama kemudian, saya pun keluar. Di luar masih mendung—sejak pagi nyaris tiada henti. Saat saya hendak membuka kunci sepeda saya di tempat parkir, seseorang berjarak dua meter dari tempat saya memanggil. Ouw, ternyata ada orang Indonesia juga di sini. Kami pun berkenalan. Namanya Wangsa Tirta Ismaya. Dia sudah tiga kali shalat Jum'at di sini, meski dia tinggal di pusat kota Utrecht. Kebetulan kampusnya di Uithof—sama seperti saya. Dia bilang, Jum'atan di sini enak, daripada di masjid orang Turki.

Kami berbincang cukup lama, dan terus berlanjut ke sebuah supermarket yang berada tak jauh dari masjid itu. Akhirnya, saya pun pulang ke apartemen, setelah berbelanja beberapa kebutuhan sehari-hari di situ.

Dalam perjalanan pulang, saya merasa lega dan puas. Saya sudah menemukan masjid. Saya sudah menemukan tempat saudara-saudara saya, kaum muslim, berkumpul setiap Jum'at. Saat mengayuh sepeda di jalanan sambil melawan angin yang terasa dingin, diam-diam terbersit harapan bahwa masjid ini dapat mengantarkan saya pada kualitas keagamaan yang lebih baik. Saya berdoa untuk itu.

Saya berjanji, Jum'at mendatang, saya akan datang lebih awal. Insya Allah.

>> Beri rating untuk tulisan ini di Blog Radio Nederland Wereldomroep.

Read More..

Jumat, 25 September 2009

Berlebaran di Rantau



Ini adalah pengalaman saya yang pertama: berlebaran di rantau. Tak tanggung-tanggung, lebaran kali ini, saya berjarak hampir 12 ribu kilometer dari rumah saya, dari keluarga saya, dari tempat saya dibesarkan.

Lalu, apakah ada bedanya? Bagaimana rasanya? Ruang yang memisahkan mulanya memang terasa biasa, seperti tak berbeda. Saat bangun di waktu Subuh di hari lebaran, saya seperti di rumah saja. Dari kamar saya yang berukuran 4 x 3,5 meter, perbedaan itu belum begitu terasa.

Tapi, begitu saya melangkah keluar, berangkat menuju “masjid” tempat kaum muslim Indonesia akan melangsungkan Shalat 'Ied, satu persatu perbedaan itu semakin terasa. Saya keluar dari aparteman sekitar pukul 7.20. Tiba di luar, saya menemukan jalanan yang diselimuti kabut tebal, yang membuat pandangan menjadi terbatas. Udara pagi juga menyengat dingin. Saya agak bergegas berjalan ke halte, mengejar bus pertama yang menuju Central. Jalanan masih sangat sepi. Mungkin karena hari Minggu.

Tak ada suara petasan atau gema takbir bersahutan. Tak ada orang lalu-lalang dengan pakaian-pakaian terbaik mereka. Kabut menambah sepi yang dingin.

Sepanjang perjalanan, di beberapa halte yang kebanyakan masih sangat sepi, saya menjumpai beberapa orang yang sepertinya juga tengah berangkat menuju masjid untuk berlebaran—orang-orang berwajah Arab atau Afrika. Sempat terpikir: apakah mereka juga tengah berada di perantauan, atau justru sudah lama berumah tinggal di negeri ini?

Tak sulit untuk menemukan “masjid” tempat kaum muslim Indonesia akan melaksanakan Shalat 'Ied. Alamatnya di Marnixlaan 362, Utrecht, di komplek Sekolah Aboe Daoed. Shalat digelar di ruang aula sekolah. Saat saya tiba, beberapa orang sudah tampak di dalam.

Saat takbir mulai dibacakan oleh salah seorang panitia, perasaan saya mulai tersentuh. Meski tampak terdengar tak begitu fasih dan kadang terkesan agak tertatih, gema takbir di hari itu tampak berbeda. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkannya secara persis. Makna kebesaran Allah dan keagungan-Nya seperti muncul menyelinap begitu saja, bercampur aduk dengan kerinduan akan lantunan takbir serupa di kampung halaman.

Seusai shalat dan khotbah, acaranya salam-salaman dan makan-makan. Kaum muslim Indonesia yang hadir saat itu mungkin hampir berjumlah 100 orang. Cukup ramai. Di hari itu, mereka adalah keluarga saya—meski hampir semuanya tak saya kenal, bahkan namanya saja.

Acara usai menjelang pukul 12 siang. Setelah membantu membereskan tempat acara sebentar, saya pun pulang ke apartemen. Ya, saya langsung pulang. Tak ada acara lain. Tak ada acara silaturahim keliling ke famili. Di aparteman, saya langsung kembali ke keseharian saya di sini.

Berlebaran di rantau membuat saya mulai mengerti makna hari lebaran di kampung halaman. Saya mulai memaklumi, mengapa di Indonesia setiap tahun orang-orang berbondong-bondong mudik ke kampung halaman mereka di hari lebaran—bahkan dengan layanan dan situasi transportasi yang penuh tantangan.

Orang-orang menyimpan kerinduan akan kampung halaman—dan kebersamaan. Orang-orang ingin menjenguk masa lalu mereka, meski sekadar serupa kenangan. Dan mereka yang tengah di rantau tak mungkin mendapatkan semua itu. Mereka hanya bisa berdoa dari kejauhan.

Read More..

Selasa, 15 September 2009

Dari Pinggiran Kota Kecil Dekat Utrecht


Sebelum tiba di Belanda, saya tidak tahu bahwa saya tidak akan tinggal di kota Utrecht. Maklum, saya memang masih belum mengerti peta lokasi dan detail tempat yang akan saya tinggali. Saya mendapat kepastian akomodasi saya tepat satu minggu sebelum keberangkatan saya. Karena mencari akomodasi di Belanda cukup sulit, maka saat penyedia akomodasi memberi penawaran kamar buat saya, saya tak berpikir panjang untuk menerimanya.

Warande, itu nama komplek dua bangunan berbentuk L yang terletak di pinggiran kota Zeist yang kini saya tinggali. Zeist adalah sebuah kotamadya yang berada di arah timur kota Utrecht. Karena berada di wilayah pinggiran, suasana Warande relatif sepi. Apalagi ia dikelilingi oleh rerimbunan pohon-pohon menjulang serupa cemara yang tingginya bisa melebihi kamar saya yang berada di lantai empat. Lebih sepekan tinggal di Warande, saya merasakan suasana yang sunyi. Jarang sekali ada “keramaian” di sekitar sini. Suara-suara kendaraan dari jalan utama yang berjarak sekitar 250 meter pun tidak terdengar cukup keras dari sini.

Jarak Warande dengan Kampus Uithof sekitar 5 kilometer. Jika menggunakan sepeda ontel, ini ditempuh sekitar 20 menit. Jika dengan bus, tentu bisa lebih cepat. Ada beberapa halte bus di sekitar Warande yang bisa mengantar saya ke kampus, pusat kota Utrecht, atau tempat yang lain.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, komplek pertokoan Vollenhove, yang oleh website SSH (pengelola komplek ini) disebut “big shopping center”, dapat dicapai dalam hitungan beberapa menit. Di sana ada beberapa supermarket, toko buah, toko pakaian, toko obat, dan sebagainya. Setelah beberapa kali ke komplek itu, saya jadi agak heran mengapa tempat itu mereka sebut “big”, karena bangunannya hanya seperti ruko biasa, dan para pengunjungnya pun tidaklah ramai—biasa-biasa saja.

Dari ketinggian lantai empat di kamar saya, setiap hari saya menikmati sajian ujung-ujung pohon yang menari diterpa angin musim gugur yang mulai tiba. Biasanya, di pagi hari, saat matahari mulai terbit, saya membuka pintu ke arah balkon agar udara segar masuk ke kamar. Kebetulan, kamar saya agak menghadap ke timur.

Pemandangan menarik di balkon pagi hari selalu saya dapatkan jika langit sedang tidak begitu mendung. Setiap pagi, saya dapat menyaksikan langit yang seperti dilukis oleh jejak asap pesawat terbang yang menuju atau lepas landas dari Bandara Schipol, Amsterdam—bandara tersibuk kelima di Eropa. Garis-garis putih yang tampak lembut saling menyilang di angkasa, berlatar langit biru yang sebagian menyala merah keperakan. Sungguh, ini pemandangan indah.

Akan tetapi, saya tidak berani berlama-lama membuka pintu ke arah balkon itu. Apalagi duduk-duduk agak lama. Udara dingin sudah terasa sangat menusuk buat saya yang berasal dari negeri tropis dan baru pertama kali tinggal di negeri berempat musim seperti di sini. Jika sebelum tiba ke sini saya cukup terobsesi dengan balkon, membayangkan bisa duduk-duduk santai sambil menikmati pemandangan dari ketinggian, saya baru sadar bahwa itu tidak berlaku jika kita tidak cukup siap berhadapan satu lawan satu dengan udara dingin yang bisa mencapai 11 derajat celcius—atau bahkan lebih rendah!

Sejak sore kemarin, gerimis sesekali datang. Beberapa bagian di lantai balkon tampak tergenang air bersama dedaunan yang kecokelatan. Hingga siang ini, gerimis kadang masih turun. Saya di kamar saja, tak bisa ke mana-mana. Lagipula, semalaman saya mengerjakan tugas kuliah dan baru selesai pagi ini.

Gerimis mengolah kesunyian Warande mencipta suasana yang tampak absurd buat saya. Saya tak mencium bau tanah, seperti saat hujan pertama turun di rumah. Gerimis hanya menebalkan kesunyian—tak lebih. Saya tidak tahu, apakah orang-orang yang sudah cukup lama tinggal di komplek ini memang sudah terbiasa dengan suasana semacam ini. Atau, barangkali, saya saja yang merasakan kesunyian di Warande.

Saya tak mau berpikir terlalu lama tentang ini. Tapi, rasa gentar tiba-tiba tampak berkelebat mendatangi saya, saat ingat bahwa sebentar lagi musim dingin akan tiba. Saya tidak punya cukup senjata untuk mengantisipasi serangan salju dan suhu di sekitar nol derajat—dan kesunyian yang akan menyertainya.

Dari pinggiran kota kecil dekat Utrecht di suatu siang yang dingin, sekali lagi saya tersadar bahwa saya kini tengah memulai satu perjalanan baru untuk rentang waktu 10 bulan ke depan. Perjalanan yang harus dilalui dengan penuh perjuangan dan kerja keras. Saya datang ke sini bukan untuk berlibur. Saya ke sini untuk menimba ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan banyak hal lainnya. Saya telah menyimpan banyak harapan dan keinginan tepat saat saya meninggalkan kampung halaman jelang akhir Agustus kemarin. Dan saya butuh kesungguhan, optimisme, keteguhan, dan kekuatan untuk melaluinya dengan baik dan penuh makna. Saya berdoa untuk itu semua. Amien.

Read More..

Jumat, 11 September 2009

Akhirnya, Saya Tiba di Belanda

Tanpa begitu terasa, ini sudah masuk hari keenam saya tiba di Utrecht, Belanda. Perjalanan Jakarta-Amsterdam selama 16 jam pada Sabtu hingga Ahad kemarin cukup lancar—alhamdulillah. Mulanya saya sempat agak nervous, meski tepat di hari keberangkatan saya sudah bisa merasa tenang. Apalagi, ada keluarga sepupu dan bibi di Jakarta yang ikut mengantar ke Cengkareng—karena di tempat mereka pula saya tinggal selama di Jakarta.

Dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam, seperti yang sempat saya duga, saya bertemu dengan beberapa orang Indonesia yang hendak ke Belanda. Ada yang tujuan studi, menjemput istri, dan ada yang cuma short course. Sekali lagi, saya bersyukur karena tiba di Schipol saya dijemput oleh seorang teman yang sudah setahun tinggal di Belanda. Kebetulan dia tinggal di Utrecht, tepatnya di dekat Central Station. Jadi, begitu tiba di Utrecht, kami mampir terlebih dahulu di kontrakannya.

Pesawat saya mendarat di Schipol tepat pukul 6.55 waktu setempat. Meski pada saat yang sama matahari sudah mulai tampak, saya langsung disergap udara dingin, yang menurut petugas pesawat mencapai 16 derajat celcius. Saat tiba di Utrecht, sekitar pukul 8 lewat beberapa menit, udara dingin semakin terasa saat angin bertiup. “Anginnya dingin menusuk,” kata saya. Switer yang saya gunakan tak berdaya menahan udara dingin. Sepertinya udara dingin menyelusup di antara sela-sela switer saya ini.

Saya tidak lama di kontrakan Mbak Salamah Agung, teman saya itu, karena saya langsung diajak ke sebuah Pameran Buku di daerah situ yang kebetulan adalah hari terakhir. Menjelang jam 10, kami berangkat ke sana, dan kembali sekitar pukul dua belas. Saya membeli tiga buku tebal—semua 16,45 Euro. Dari pameran, saya langsung menuju Warande, Zeist, tempat kontrakan saya.

Tapi, karena belum mengambil kunci di kampus, saya masih menumpang di tempat seorang kenalan dari Kupang, yang kebetulan juga tinggal di komplek yang sama dan sudah satu minggu di sana. Saya sendiri baru mendapatkan kunci saya hari Senin siang, setelah dibantu seorang kenalan baru.

Banyak hal yang ingin saya bagi di hari-hari pertama di sini. Akan tetapi, saya ternyata masih harus berurusan dengan banyak hal. Saya menyebutnya “survival matters”. Saya masih sedang berusaha membuka akun bank di sini untuk pencairan beasiswa, mendapatkan sepeda sehingga dapat lebih berhemat dan menikmati perjalanan dan suasana, menyesuaikan dengan makanan dan cuaca (termasuk bagaimana saya berpuasa), juga menyesuaikan dengan iklim perkuliahan yang sudah dimulai sejak Senin kemarin, dan berurusan dengan birokrasi Belanda terkait izin tinggal dan registrasi warga asing. Saya kira semuanya adalah hal-hal menarik yang bisa menjadi cerita tersendiri.

Saya berharap dapat segera mendapatkan waktu yang cukup tenang dan leluasa untuk menuliskan itu semua.

Read More..

Rabu, 02 September 2009

Menyongsong Belanda dan Norwegia

Keberangkatan saya untuk studi di Eropa sudah tinggal beberapa hari lagi. Akhir pekan ini, saya sudah akan meninggalkan Jakarta menuju Amsterdam.

Beberapa saat sebelum saya meninggalkan rumah di Madura, sempat terbersit di kepala saya tentang dua negara yang akan menjadi tempat studi saya: Belanda dan Norwegia. Muncul pertanyaan: mengapa saya ternyata ditakdirkan akan belajar di dua negara Eropa itu? Mengapa bukan di negara yang lain? Mungkin ini termasuk pertanyaan bodoh.

Namun begitu, secara tak sengaja pikiran saya terus menyusur ke belakang, ke masa-masa yang cukup lampau, sampai akhirnya saya pun menemukan sedikit jawaban yang bisa saja dilihat sebagai suatu kebetulan. Saya teringat pada sebuah buku saya berjudul Negeri Belanda: Selayang Pandang. Buku ini sebenarnya sudah terlupakan. Ia tak terdata dalam daftar koleksi buku saya.

Sebelum bertolak ke Jakarta, saya mencoba mencari buku ini, dan, alhamdulillah, akhirnya ditemukan di tumpukan buku-buku lama saya. Saya beruntung bahwa ternyata saya mencatat tanggal penerimaan buku itu, yakni 27 Juli 1993. Itu berarti enam belas tahun yang lalu. Jika tak salah, itu saat saya mau naik ke kelas tiga Tsanawiyah (setingkat SMP).

Saya menerima buku itu secara gratis dari Kedutaan Besar Belanda bersama beberapa buku lain yang tak berhasil saya temukan di rumah. Seingat saya, ada kamus kecil bahasa Belanda, peta Belanda, dan beberapa buku lain. Saya masih ingat, saya mengirimkan kartu pos ke Kedutaan Besar Belanda di Jakarta untuk meminta buku bacaan. Entah seperti apa bahasa yang saya gunakan di kartu pos itu.

Tahun 1993 buat saya adalah semacam tahun peralihan, ketika saya mulai berani mencoba membaca buku-buku ilmiah (nonfiksi). Sebelumnya, bacaan saya hanya sebatas buku fiksi, terutama cerita silat legendaris Wiro Sableng yang mulai saya kenal sejak tahun 1988. Minat saya untuk mulai membaca tulisan nonfiksi bisa dikata juga didorong dari perkenalan saya dengan surat kabar dan hobi saya mengkliping. Di tahun 1992, koran sore Surabaya Post masuk ke kampung saya, setelah jauh sebelumnya Jawa Pos sudah bisa dibaca—entah sejak kapan tepatnya. Kemudian di tahun 1993, saat mulai terbit, Republika juga masuk, meski dengan kedatangan yang terlambat.

Buku Negeri Belanda: Selayang Pandang mungkin adalah buku gratis pertama yang saya dapatkan. Menyusul berikutnya, saya juga mendapatkan kiriman buku gratis dari Kedutaan Republik Islam Iran, Radio NHK Jepang, Deutsch Welle, dan yang lainnya, termasuk juga kiriman gratis buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya dari Cendana.

Saya jadi berpikir bahwa mungkin Belanda paling tidak secara relatif juga sedikit menandai mulai meluasnya minat bacaan dan kepenulisan saya. Jika sebelumnya saya hanya menulis untuk majalah dinding sekolah dan catatan harian, di pertengahan Tsanawiyah saya mulai berani mencoba menulis surat (“mempublikasikan” tulisan [?]) untuk minta buku gratis ke kedutaan-kedutaan atau badan lainnya.

Bagaimana dengan Norwegia? Terus terang, mula-mula saya tak begitu menyangka bahwa rute studi saya—selain Belanda—adalah Norwegia. Konsorsium MAE (Master of Applied Ethics), program studi saya, selain kedua negara itu juga termasuk Swedia. Dan saya menduga bahwa saya akan ditempatkan di Belanda dan Swedia. Namun, saat surat pelulusan dari Konsorsium MAE dan Uni Eropa saya terima, ternyata rute studi saya adalah Belanda dan Norwegia.

Pada saat itulah seketika saya lalu teringat pada salah satu penulis favorit saya: Jostein Gaarder. Saya jadi berpikir, mungkin garis keputusan ini juga ada kaitannya dengan sosok yang mulai saya kenal sejak awal 1997 ini, saat saya hampir lulus dari Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Mungkin ini adalah jalan yang akan memungkinkan saya untuk bertemu langsung dengan penulis yang produktif menghasilkan novel-novel filsafat dan tinggal di Oslo ini.

Gaarder buat saya adalah sosok yang kuat pengaruhnya, terutama untuk memantapkan tekad saya mempelajari filsafat sebagai sebuah disiplin ilmu. Sebenarnya, perkenalan saya dengan filsafat dimulai lebih awal, tepat satu tahun sebelum saya membaca novel Jostein Gaarder yang ternama, Dunia Sophie (Mizan, Desember 1996). Di paruh kedua 1996, saya telah membaca beberapa buku filsafat yang relatif berat, seperti Nietzsche (LKiS, Mei 1996) karya St. Sunardi, Postmodernisme (Kanisius, 1996) karya I. Bambang Sugiharto, dan yang lainnya. Akan tetapi, baru setelah saya amat terpikat saat membaca Dunia Sophie, yakni awal 1997, saya merasa mantap untuk mendalami filsafat.

Dengan demikian, Gaarder, yang menulis novelnya dalam bahasa Norwegia, bisa dibilang adalah sosok yang mengantarkan saya ke Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di pertengahan tahun 1997, dan selanjutnya membukakan samudera pemikiran yang begitu luas dari dunia filsafat.

Dengan begitu, saya merasa bahwa mungkin kini saya tengah menyongsong undangan Gaarder untuk sebuah jamuan di taman filsafat di dekat rumahnya. Saya mengharapkan sebuah jamuan musim semi yang indah, di bawah naungan langit utara dengan bintang-bintangnya yang memikat. Saya juga berharap nanti dapat membawa pulang oleh-oleh cerita pengalaman dari sana—pengalaman yang tampaknya terlalu berharga untuk dilewatkan tak tercatatkan begitu saja.

Read More..