Jumat, 31 Oktober 2008

Seks Bebas dan Bunuh Diri Kultural Masyarakat Madura

Pembicaraan masalah seksualitas di ruang publik pada umumnya dipandang sebagai topik yang tabu. Akan tetapi, seiring dengan gerak roda zaman, persepsi semacam ini mulai berubah. Masyarakat Indonesia, diakui atau tidak, mulai tak sungkan membuka tema pembicaraan tentang hal itu di wilayah yang relatif terbuka. Salah satu alat ukur yang cukup mudah terlihat adalah penerbitan buku-buku bertema seksualitas yang dapat diakses oleh publik. Sejak tahun 2002, dimulai dengan terbitnya buku berjudul Jakarta Undercover, buku-buku serupa kemudian hadir susul-menyusul di pasaran. Buku yang ditulis oleh Moammar Emka itu dalam waktu dua bulan terjual hampir 40 ribu eksemplar! Buku-buku lain, yang oleh beberapa penulis disebut buku syahwat atau buku lendir, lalu bertaburan di pasar dengan judul-judul yang bahkan lebih vulgar dan berani.


Respons masyarakat terhadap terbitnya buku semacam ini bukan satu-satunya indikator tentang bergesernya tema seksualitas dari wilayah privat ke wilayah publik. Jika kita menelisik halaman demi halaman buku tersebut, atau buku sejenis, kesimpulan kita ini akan semakin kuat. Apa yang diceritakan secara cukup detail dalam buku yang cetak ulung puluhan kali ini adalah realitas kehidupan kota yang melakukan aktivitas seksual secara “publik”. Bermacam nama digunakan sebagai sebutan, seperti underground party, pesta Caligula, chicken nite party, dan sebagainya, yang intinya menggambarkan aktivitas seksual yang melibatkan banyak orang. Seksualitas tak lagi menjadi sesuatu yang privat, karena mulai masuk ke wilayah yang lebih terbuka.


Pertanyaan selanjutnya, apa yang sebenarnya menjadi latar bagi terbukanya wacana dan praktik seksual semacam itu? Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa sikap hidup permisif yang menjadi salah satu bagian dari fenomena modernitas adalah salah satu kunci utamanya. Di negara-negara maju seperti Amerika dan negara-negara Eropa, revolusi seksual yang melanda ditandai dengan fenomena semacam itu, mulai dari kehamilan remaja, aborsi, kelahiran anak di luar nikah, bahkan juga AIDS. Modernitas di sini tentu bukan semata menyangkut transformasi sosial-ekonomi masyarakat, tapi juga proses-proses sosio-kultural melalui proses global yang lambat laun mendefinisikan ulang berbagai pandangan dunia tentang beberapa aspek filosofi hidup, relasi manusia, dan sebagainya.


Konstelasi global saat ini telah dengan sangat leluasa menyebarluaskan perangkat-perangkat modernitas ke berbagai pelosok. Maka tak heran jika fenomena seksualitas seperti yang dikisahkan dalam Jakarta Undercover itu perlahan juga terjadi di pulau Madura. Beberapa waktu yang lalu, misalnya, sempat heboh rekaman video mesum yang beredar di wilayah Bangkalan dan disebut-sebut diperankan oleh gadis lokal (detikSurabaya, 5/10/2008). Dalam berita yang lain, sering kita dengar razia telepon genggam di sekolah yang menunjukkan bagaimana siswa mengoleksi video-video biru—bahkan mungkin juga guru.


Kasus tersebut membuka kesadaran kita bahwa memang benar perangkat teknologi di satu sisi dapat melahirkan perubahan sosio-kultural yang cukup berarti. Tak salah dikatakan bahwa praktik seks bebas atau yang serupa memang mungkin terjadi tanpa bantuan perangkat teknologi. Akan tetapi, perangkat teknologi telah memungkinkan meningkatnya peluang, benih, dan juga persebaran praktik seks bebas dalam wilayah publik yang lebih luas. Sebuah data, misalnya, mengungkapkan bahwa setiap detik 28.258 pengguna internet membuka situs pornografi. Data yang lebih spesifik mengungkapkan bahwa 78 % pelajar di Kediri datang ke warnet untuk membuka situs porno (TempoInteraktif, 2/1/2008).


Madura yang selama ini selalu diidentikkan dengan religiositas atau keislamannya yang kental mau tidak mau juga harus berhadapan dengan masalah ini, yakni semakin meluasnya praktik seksualitas yang terbuka. Jika kita sepakat bahwa identitas kemaduraaan yang disandingkan dengan kentalnya nilai keagamaan adalah sesuatu yang masih berharga secara kultural, maka berarti jika fenomena keterbukaan praktik seksual itu tetap dibiarkan, masyarakat Madura sebenarnya sedang berjalan menuju proses bunuh diri kultural yang mencampakkan nilai-nilai agung yang dimilikinya.


Dalam kajian antropologis, masyarakat Madura dikenal dengan konsep “harga diri”, yang menurut A. Latief Wiyata (2002) menjadi salah satu kunci konseptual untuk memahami kasus carok. Dalam konsep harga diri tersebut, posisi perempuan cukup sentral. Perempuan dipandang sebagai salah satu simbol harga diri. Maka dari itu, mengganggu istri orang lain adalah dosa terbesar yang hanya bisa impas bila dibayar dengan kematian. Bersanding dengan konsep harga diri adalah konsep “malo”. Pelecehan harga diri dalam kultur Madura dimaknai seperti dalam kasus ketika seseorang dianggap tidak diakui atau diingkari kapasitas dirinya sehingga dia merasa tada’ ajina (tidak ada harganya).


Nah, praktik seks bebas, bagaimanapun, di satu sisi dapat dilihat sebagai dekonstruksi atas konsep sakral perempuan yang identik dengan harga diri. Inilah sikap permisif yang memang cukup khas dengan fenomena masyarakat modern.


Mengapa masyarakat Madura yang religius dan memiliki sekian banyak lembaga sosial pendukung yang bertugas menjaga religiositasnya itu saat ini menghadapi tantangan yang sedemikian akut? Salah satu hipotesis yang bisa diajukan adalah berkaitan dengan perubahan peran keluarga di Madura. Keluarga pada dasarnya adalah pusat sosialisasi dan pusat nilai tempat ditanamkannya nilai-nilai kemaduraan. Seperti yang juga terjadi di masyarakat yang lain, tak hanya di kelompok masyarakat tradisional, lembaga keluarga saat ini menghadapi tantangan yang sedemikian berat. Modernitas dan globalisasi telah membuatnya menjadi sedemikian rapuh dan menceraiberaikan ikatan di antara para penghuninya. Karena itu, keluarga kemudian tak lagi menjadi tempat sosialisasi primer lagi dalam masyarakat.


Keluarga yang oleh sebagian kalangan digambarkan sebagai bahtera yang hampir karam ini dalam konteks Madura di antaranya juga dipengaruhi oleh pola pemukiman yang cenderung berubah. Jika dilihat lebih dekat, pola pemukiman yang dominan di Madura yang disebut dengan tanean lanjeng cenderung menempatkan para anggota keluarga dalam tingkat keakraban yang cukup kuat. Berubahnya pola pemukiman yang mengarah para pola individualistis di Madura diakui atau tidak juga berpengaruh pada mulai tumbuhnya sikap acuh tak acuh terhadap anggota keluarga lainnya, termasuk dalam kasus yang berkaitan dengan soal moral atau seksualitas.


Di sisi yang lain, otoritas keluarga sebagai media pewarisan nilai saat ini telah digerogoti oleh sumber-sumber informasi dan pengetahuan lainnya yang otomatis juga memiliki—atau paling tidak, memberi implikasi—nilai-nilai kultural tertentu. Informasi dan pengetahuan tentang seksualitas, misalnya, saat ini begitu mudah diakses melalui buku-buku atau media penerbitan lainnya, media audio-visual, media interaktif seperti internet, dan sebagainya, yang memang diproduksi secara masif. Apalagi, kita tahu, bahwa selama ini pendidikan seks masih menjadi sesuatu yang tabu. Artinya, dalam keluarga di Madura ataupun dalam lembaga pendidikan formal dan nonformal, pendidikan seks masih belum diberikan secara khusus. Mungkin ini berkaitan dengan asumsi bahwa seksualitas identik dengan hal yang tak memiliki aspek positif.


Dari gambaran ini, kita dapat mengajukan pertanyaan pamungkas: siapa yang sebenarnya dapat memainkan peran kunci untuk menjawab tantangan seks bebas yang mungkin bisa semakin meluas di Madura? Bagaimana jalan keluar yang baik? Di zaman yang sedemikian rumit ini, tentu sulit menemukan jalan keluar yang tak melibatkan pihak-pihak dalam wilayah yang lebih luas. Jalan keluar yang instan tentu bukanlah jawaban cerdas, karena modernitas dan globalisasi masih menyimpan banyak senjata rahasia yang pasti lebih dahsyat untuk merontokkan solusi instan yang kita buat itu. Bagaimanapun, kita semua harus dapat terlibat dalam ikhtiar menjawab tantangan kultural ini. Penguatan lembaga-lembaga kultural dan nonformal yang memiliki basis dan dekat dengan kehidupan sehari-hari adalah kerangka dasar kerja budaya untuk menyelamatkan kekuatan budaya masyarakat Madura. Dan ini tak lain berarti penguatan otonomi kultural masyarakat Madura di tengah gegar budaya yang terus datang bertubi.


Wallahualam.


Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 19 Januari 2009.


Read More..

Minggu, 19 Oktober 2008

Sebelum Riri Menghukumku

Empat hari ini aku berjuang keras mengantisipasi hukuman yang mungkin aku terima. Empat hari ini, di sela waktu berbagai macam tugas, di antara sengatan cuaca yang sungguh panas, aku berpacu menuntaskan novel best-seller Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Aku tak ingin Riri Riza mengirim imajinasiku ke penjara, membuatnya tak berdaya dan memborgolnya dengan karya yang ia susun selama setahun.

Alhamdulillah, akhirnya sore ini aku boleh merasa lega dan menang. Jika Selasa atau Rabu besok aku diberi kesempatan untuk menikmati karya Riri, maka mungkin justru akulah yang akan duduk di meja kehormatan untuk menghakimi karyamu, Riri—maafkan aku. Dan, imajinasiku tak bisa menjadi pesakitan yang harus tunduk pada perintahmu.

Aku memang terlambat membaca karya yang paling heboh dibicarakan orang-orang ini. Justru mungkin hanya karena aku tak mau dihukum oleh Riri, sehingga akhirnya aku merasa terdesak untuk segera menuntaskannya.

Dalam catatanku, buku ini sebenarnya sudah aku beli akhir tahun lalu. Waktu itu aku membeli tiga buku karya Andrea, dan langsung aku hibahkan ke perpus sekolah untuk dibaca anak-anak. Untukku sendiri, aku cuma membeli Laskar Pelangi. Itu pun langsung kupinjamkan ke anak-anak yang sudah tak sabar ingin membacanya. Karena kupikir mumpung anak-anak sedang semangat membaca, ya aku kasikan saja. Masing-masing anak kuberi waktu peminjaman 3 hari, karena antrean peminjam sudah menunggu tak sabar. Hingga begitu banyak kisah kagum anak-anak yang tuntas membaca novel ini disampaikan kepadaku, aku tak kunjung menemukan momen untuk mulai melahapnya.

Malah aku membaca buku yang lain. Terjemahan novel Khaled Hosseini yang terbaru, Ayat-Ayat Cinta yang juga telat kubaca dan terdorong untuk membacanya hanya karena tak ingin ketinggalan cerita di kelas, memoar Irshad Manji, novel klasik Belenggu karya Armijn Pane, cerpen-cerpen Linda Christanty, dan buku-buku atau majalah tentang isu lingkungan.

Pertengahan Mei lalu aku nyaris menemukan momentum untuk membaca novel itu. Saat berkunjung ke Jogja atas undangan Penerbit Gramedia, aku sempat mampir berkunjung ke kantor Bentang, dengan niat untuk sekadar kangen-kangenan dengan orang-orang dan suasana kantor. Tiba di sana, aku disuguhi kisah-kisah sukses novel Laskar Pelangi, dan tentang bagaimana novel ini kemudian berhasil mengantarkan Bentang menjadi unit usaha Mizan yang paling banyak meraup untung.

Sepulang dari Bentang, memang sempat terpikir untuk segera membaca novel ini. Ketika itu Pak Kris, pimpinan Bentang, bilang, sekitar Oktober nanti filmnya akan dirilis. Informasi ini ternyata tak cukup mampu memancing seleraku untuk segera membacanya. Novel Laskar Pelangi masih keluyuran kupinjamkan ke orang-orang.

Hari demi hari berlalu. Puasa Ramadan tiba. Di penghujung Ramadan itulah, Riri Riza muncul dengan karya terbarunya: film Laskar Pelangi. Setelah tenggelam sebentar oleh suasana lebaran, orang-orang kembali ramai membicarakannya. Ulasan di koran bermunculan. Komentar dari beberapa rekan kuterima, setelah mereka menonton film berdurasi 2 jam 5 menit itu. Di antaranya, ada yang menulis pesan pendek demikian: “Memang sudah memindahkan bahasa tulisan ke bahasa visual. Menurut saya, Laskar Pelangi mengalami kegagalan yang sama dengan Da Vinci Code. Terasa hambar, miskin suspense..”. Temanku yang lain, yang kebetulan juga terlibat dalam penerbitan novel Laskar Pelangi, juga menyuarakan nada serupa kecewa. Tapi ada juga beberapa teman yang merasa puas dengan karya Riri Riza itu.

Aku tak bisa memberi respons panjang atas komentar teman-teman ini, karena aku malah belum baca novelnya dan juga belum lihat filmnya. Karena sepertinya aku akan punya kesempatan untuk menonton film ini dalam beberapa hari ke depan, maka hari Kamis yang lalu aku bertekad untuk segera membacanya.

Empat hari ini aku kemudian membaca Laskar Pelangi. Empat hari ini aku kemudian menjadi sutradara, sekaligus aktor, aktris, penata musik, penata busana, dan yang lainnya, untuk film berjudul Laskar Pelangi. Durasinya kemudian sekitar 85 jam! Dalam filmku, Andrea Hirata hanyalah produser. Tak ada ongkos 8 miliar. Tak ada casting yang melelahkan. Tak perlu mencari ide di bawah filicium. Cukup beberapa cangkir kopi, ditambah dua bungkus biskuit Roma Malkist. Dan, filmku ini eksklusif. Hanya aku yang menonton dan menikmatinya.

Riri Riza. Sore tadi aku mengumumkan kemenanganku. Bersiaplah menunggu penghakiman dariku. Tapi tenang, aku tak akan memberimu keputusan yang sewenang-wenang.

Read More..

Selasa, 14 Oktober 2008

Artefak dari Periode 1994-1997

Hampir dua pekan jaringan internet di sini terputus, bersamaan dengan terputusnya jaringan telepon rumah. Arus komunikasi dan informasi jadi menyempit. Berselancar dari perangkat seluler juga sulit, karena jaringan GPRS juga bermasalah.

Namun begitu, suasana lebaran dan liburan memberikan warna kesibukan yang lain. Selain keliling-keliling ke famili dan menjadi tenaga paruh waktu atau “magang” di dapur, mumpung libur, aku sempat membongkar-bongkar buku-buku dan arsip lama di rak yang tebal berdebu. Secara kebetulan, aku menemukan tulisan-tulisan lamaku yang ditulis saat aku duduk di bangku Aliyah (1994-1997). Ada yang dimuat di majalah dinding kelas, ada yang dimuat di jurnal sekolah, ada yang dimuat di majalah terbitan di Surabaya, dan ada yang ditulis entah untuk keperluan apa.

Yang paling menarik, ada karanganku tentang lingkungan yang masih ditulis tangan, dan lengkap dengan jejak proses kreatif tulisan tersebut. Ada berlembar-lembar catatan dari bahan referensi yang kubaca—majalah Tempo, koran Republika, Surya, buku Islam Doktrin dan Peradaban, dan sebagainya. Ada kerangka tulisan yang kusiapkan. Dan ada karangan jadi, baik dalam bentuk tulisan tangan maupun yang sudah diketik dengan program ChiWriter.

Sejenak aku bernostalgia dengan tulisan-tulisan itu. Dengan aku saat dulu. Dengan masa-masa itu. Aku jadi teringat dengan tulisan-tulisan lainnya yang juga kutulis saat Aliyah, yang tak terarsip dengan baik, seperti resensiku di Harian Surabaya Post dan Surya, kliping-kliping bukti pemuatan, tulisanku saat berkunjung ke SMA 1 Pamekasan, dan yang lainnya. Entah ke mana mereka semua.

Aku pun menyiakan-nyiakan kesempatanku saat liburan ini. Tulisan-tulisan itu segera kuketik ulang apa adanya, tanpa kusunting. Kubiarkan diksi yang tak tepat, kalimat yang masih sulit dicerna atau ambigu, penulisan yang tidak sesuai kaidah EYD, atau pengutipan sumber rujukan yang kurang tepat. Bagaimanapun, kesalahan dan kekurangan itu adalah bagian dari proses yang kulalui dari waktu ke waktu. Tak perlu malu.

Segera setelah jaringan internet kembali tersambung, aku mengunggah naskah-naskah itu ke rindupulang, dengan tanggal posting yang disesuaikan dengan tanggal penulisan masing-masing karangan.

Sementara itu, di belakang mereka, ide-ide lain sudah mengantre untuk dibawa ke dapur gagasan. Apakah kayu bakar sudah disiapkan?

Read More..