Rabu, 10 Desember 2008

"Lastri" dan Hantu Komunisme

Pengambilan gambar film Lastri karya Eros Djarot menuai protes dari sejumlah masyarakat Surakarta yang menjadi lokasi syuting. Menurut mereka, Lastri menyebarkan paham komunisme. Pro-kontra kembali muncul. Kelompok lain mendukung Eros Djarot dan menggelar aksi massa. Kepolisian setempat akhirnya memberi pernyataan agar Eros mengkaji ulang pengambilan gambar di Surakarta. Eros Djarot pun memutuskan untuk tetap melanjutkan filmnya dengan kemungkinan pengambilan gambar di tempat lain (Radar Solo, 17/11/2008).

Kontroversi pengambilan gambar film Lastri ini sekali lagi menunjukkan kepada kita bahwa hantu komunisme masih tak bisa hilang dari bayangan masyarakat. Dalam benak kebanyakan masyarakat, komunisme identik dengan huru-hara dan pembunuhan massal di sekitar 1965, ideologi anti-Tuhan dan anti-agama, dan label-label buruk serupa.

Masalahnya, komunisme hingga kini masih lebih sering diposisikan dalam konteks subjektif, sehingga justru yang terjadi adalah sikap-sikap kontraproduktif yang di antaranya dapat berupa pengekangan kreativitas dan sikap yang tak toleran. Komunisme yang berada dalam tataran realitas dan bersifat objektif pada saat ini sebenarnya lebih sering berubah menjadi sebentuk citraan tertentu. Sebagai sebuah citraan, komunisme lalu menjadi stigma. Dalam sejarah politik Indonesia, stigma komunisme ini sudah cukup sering digunakan sebagai senjata politik untuk kepentingan tertentu.

Daniel Dhakidae (2003: 420-437) menulis bahwa label PKI, termasuk juga komunisme, adalah ‘reifikasi suatu entitas tersendiri yang merupakan momok, dan karena itu lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri’. Pengertiannya tak lagi berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia historis per se, tetapi bisa dihubungkan dengan apa saja yang tak disukai oleh rezim penguasa saat. Marsinah, aktivis buruh yang dibunuh, pada tahun 1993 dicap PKI; padahal Marsinah lahir tahun 1969. Orde Baru adalah rezim yang banyak melakukan politisasi atas citra PKI ini, yang dikampanyekan melalui film, buku-buku sejarah yang tak menoleransi versi di luar versi resmi penguasa, politik bahasa, dan sebagainya.

Kuatnya politik pencitraan Orde Baru atas PKI dan komunisme ini tetap terasa hingga era reformasi. Saat Franz Magnis-Suseno menerbitkan buku Pemikiran Karl Marx pada 1999, muncul aksi sweeping dan pembakaran buku-buku sejenis yang dicap komunis. Ini jelas sebuah tindakan yang tidak realistis dan nyaris melecehkan akal sehat, karena Romo Magnis dalam bukunya itu justru menyajikan pemikiran yang kritis terhadap Marxisme dan komunisme.

Darmaningtyas (2008: 13) mencatat bahwa di era reformasi, di momen-momen tertentu ada pihak-pihak yang sengaja menghembuskan isu “kebangkitan komunis” dengan maksud mengaburkan permasalahan bangsa yang banyak diwariskan oleh rezim Orde Baru—rezim yang memulai pemerintahannya setelah tragedi berdarah itu.

Dari sudut pandang beberapa kasus politisasi pencitraan komunisme ini, kita semestinya bersikap kritis dalam membaca kasus film Lastri ini. Sikap kritis ini berarti bahwa kita harus menempatkan persoalan ini dalam kerangka yang objektif, dan berupaya keluar dari pola politisasi (pencitraan) subjektif seperti yang dilakukan Orde Baru. Sikap kritis ini paling tidak berada dalam dua kerangka pertanyaan besar. Pertama, seberapakah kekuatan politis-kultural film Lastri dapat menghidupkan kembali ideologi komunisme? Kedua, faktor apakah yang sebenarnya dapat menjadi bahaya laten bagi bangkitnya ideologi komunisme?

Film Lastri, seperti dijelaskan Eros Djarot (Jawa Pos, 14/11/2008; Koran Tempo, 12/10/2008), mengangkat tema percintaan antara Lastri dan Ronggo, muda-mudi yang aktif di organisasi under bow PKI. Cinta mereka tak berakhir di pelaminan, karena mereka menjadi buronan pemerintah. Mengira Ronggo telah tertangkap dan dibunuh, Lastri menikah dengan seorang perwira TNI. Menurut Eros Djarot, film ini hendak bertutur tentang kekuatan cinta. Yang menarik, judul Lastri, menurutnya, bisa dibaca dua macam: Lastri sebagai tokoh perempuan di film ini (yang diperankan oleh Marcella Zalianty), atau Last RI. Maksudnya, jika tak bisa merawat persatuan, ini adalah akhir dari RI.

Dengan alur cerita seperti ini, relevankah kekhawatiran pihak penentang tersebut, bahwa film ini dapat menyebarkan komunisme? Salah satu unsur intrinsik film ini, yakni pesan atau amanat yang hendak disampaikannya, justru sebenarnya mendorong nilai-nilai yang sangat selaras dengan Pancasila yang sering digembar-gemborkan para pejabat negara dalam pidato-pidato, yakni tentang persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, kekhawatiran para penentang itu sebenarnya terlalu berlebihan dan sulit mendapatkan pembenaran.

Masuk ke titik persoalan yang lebih mendasar, dalam setiap kasus dugaan akan penyebaran ideologi komunisme, kita sewajarnya mempertanyakan: situasi objektif apa yang sebenarnya rentan menyuburkan komunisme? Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu sumbangan positif komunisme adalah bahwa ia mengemukakan kritik sosial yang amat tajam atas ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat (Harsja W. Bachtiar, 1986: 131-132). Komunisme selalu mempertanyakan: siapa yang paling diuntungkan oleh suatu kebijakan atau situasi sosial?

Komunisme tak lahir dari ruang kosong. Dari gambaran di atas, tampaklah bahwa komunisme sangat mungkin menjadi gagasan yang menarik bila keadilan sosial tak kunjung berhasil diwujudkan oleh negara, bila ketimpangan kelas begitu tampak mengemuka, bila yang sejahtera hanya segelintir elit warga. Karena itu, salah satu obat yang paling manjur untuk menangkal komunisme adalah dengan mendorong lebih kuat terwujudnya tatanan kehidupan sosial-ekonomi yang berkeadilan—bukan dengan menjadikannya sebagai hantu dan simbol kejahatan. Kemiskinan adalah bahaya laten yang tak hanya rentan mengundang kekufuran—seperti sering dilontarkan para agamawan di mimbar-mimbar—tapi juga rawan memalingkan warga pada ideologi-ideologi lain yang menjanjikan pembebasan dari kesulitan hidup yang mereka hadapi.

Dari kasus kontroversi film Lastri ini, kita bersama dituntut untuk dapat memberikan pendidikan kewargaan yang lebih jernih dan cerdas kepada masyarakat. Jangan sampai masyarakat kembali terjebak dalam politisasi simbol dan citraan yang bercampur dengan polusi kepentingan.

0 komentar: