Selasa, 17 Juni 2008

Krisis Lingkungan, Krisis Spiritualitas

Belakangan ini, isu pemanasan global menjadi tema yang begitu ramai dibicarakan. Masyarakat gundah dengan alam yang semakin tak bersahabat. Bencana alam mulai dari banjir, longsor, naiknya permukaan air laut, dan semacamnya, seperti menjadi ritual yang datang silih berganti. Pada saat yang sama, krisis energi semakin memberi dampak yang dirasakan masyarakat luas. Semua itu menerbitkan kekhawatiran akan terancamnya keberlangsungan kehidupan umat manusia di bumi. Jika krisis lingkungan seperti yang ramai dibicarakan itu dibiarkan tak segera ditangani bersama-sama, maka bukan mustahil harga yang harus dibayar oleh umat manusia amatlah mahal.

Beberapa kalangan menganalisis bahwa krisis lingkungan tersebut salah satunya dipicu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang miskin perspektif etika. Alam dan segenap isinya dieksploitasi sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan aspek keseimbangan dan kesinambungannya. Bencana alam adalah jawaban tak langsung dari perlakuan manusia yang tak ramah terhadap alam.

Jika kita mencermati lebih mendalam, sebenarnya krisis lingkungan yang melanda bumi saat ini juga berakar dari krisis spiritualitas umat manusia. Pandangan dasar dunia tentang diri, hakikat penciptaan, dan perspektif yang holistis tentang alam terpuruk ke dalam nalar materialistis-positivistis. Di berbagai ruang sosial, juga keagamaan, kesadaran kita tak dibangun untuk peka dan peduli menelusuri jejak dan efek dari setiap tindakan kita, kecil atau besar, terhadap alam dan masa depan semesta. Dengan tanpa berpikir panjang, kita begitu mudah mengonsumsi plastik kresek dan jenis plastik lainnya, bahkan mungkin membuang sampah plastik itu seenaknya, tanpa (diajak untuk) menyadari betapa plastik adalah neraka buat tanah dan bumi, yang dapat menjadi benih bencana bagi manusia—salah satu spesies penghuni bumi.

Spiritualitas pada level yang universal merupakan cara pandang yang lebih mengutamakan aspek-aspek batiniah, menyeluruh, dan menitiktekankan pada aspek yang lebih berorientasi ke depan. Dalam ajaran Islam, ada seruan untuk lebih mempertimbangkan aspek ukhrawi (akhirat) ketimbang aspek duniawi. Secara etimologis, dun-ya dalam bahasa Arab berarti ‘rendah’, ‘dekat’, ‘hina’, dan akhirat berarti ‘yang mendatang’. Dari sini, spiritualitas kemudian dipupuk dengan tujuan agar manusia dapat mencapai jenis kehidupan yang lebih tinggi, suatu kehidupan yang menurut Alquran khayr wa abqâ, “lebih baik dan lebih abadi” (Brohi, 2002: 14).

Peradaban modern telah menciptakan sejumlah gaya hidup yang menggiring manusia untuk berpikir dengan nalar yang pendek, bahkan apatis. Materialisme dan hedonisme membuat akselerasi hidup manusia kian cepat, sehingga mereka berburu mencapai berbagai bentuk kenikmatan (“kesuksesan”, “kebahagiaan”) jangka pendek tanpa menyadari dampak pilihan tindakan mereka itu semua, terutama terhadap kelangsungan dan nasib bumi. Ini adalah polusi kesadaran yang merasuki pikiran manusia untuk melupakan, menjauh, dan menelantarkan bumi. Tecermin melalui tindakan-tindakan yang merusak, manusia tak lagi memandang alam—yang telah memberinya berbagai sumber daya secara cuma-cuma—sebagai bagian dari ciptaan Tuhan yang harus dirawat dan dipelihara. Manusia yang tak punya kesadaran spiritualitas holistis itu kemudian menjelma serupa alien, makhluk asing di bumi, yang tak merasa punya garis silsilah apa pun dengan bumi, sehingga bebas berbuat apa saja seenaknya.

Polusi kesadaran spiritualitas holistis itu saat ini juga turut dipupuk oleh sampah kapitalisme yang sudah melakukan penetrasi hingga kampung-kampung di pelosok. Gaya hidup serba instan adalah satu wujud penampakannya. Produk-produk kapitalisme tak hanya menjual barang-barang yang tak ramah lingkungan seperti produk-produk berbahan dasar plastik atau zat-zat kimia penyumbang pemanasan global, tetapi juga mengarahkan manusia untuk hidup melalui jalan-jalan pintas dan melupakan kebijakan-kebijakan lokal yang memiliki semangat harmoni dengan bumi. Berharap untuk mendapatkan hasil pertanian yang semelimpah dan secepat mungkin, para petani kita tak sadar bahwa pada saat mereka menebarkan pupuk kimia dan menyemprotkan pestisida di lahan pertanian mereka, mereka tengah melukai tanah dan bumi dengan berbagai macam racun yang juga memiliki kadar adiktif tertentu.

Dalam Islam, ada sebuah hadis yang begitu populer tapi sepertinya maknanya yang hakiki sudah dilupakan. Hadis itu berbunyi: kebersihan adalah bagian dari iman. Jika dibaca dengan lebih cermat, hadis ini menegaskan keterkaitan antara spiritualitas dan kepedulian lingkungan. Seseorang yang tak peduli dengan kebersihan, tak mau peduli untuk merawat alam, maka imannya sungguh layak dipertanyakan.

Mengambil teladan dari kisah hidup Nabi Muhammad saw, Tariq Ramadan (2007: 37-41) menjelaskan bahwa kehidupan Nabi pada masa kecil yang hidup di pedalaman Arabia dan dekat dengan alam sesungguhnya adalah bagian dari pendidikan spiritual paling dasar yang memberi landasan bagi berbagai bentuk ritual dan ajaran keagamaan lainnya. Dari situ, Nabi belajar menjalin hubungan dengan Tuhan yang berlandaskan perenungan mendalam yang, pada tahap pendidikan spiritual berikutnya, akan memberi perspektif mencerahkan untuk memahami makna, bentuk, dan tujuan ritual keagamaan.

Krisis lingkungan saat ini semestinya harus menjadi keprihatinan bersama, termasuk para pemuka dan tokoh agama, karena krisis tersebut pada dasarnya juga adalah krisis spiritualitas. Polusi kesadaran dan sampah kapitalisme telah mengikis ruh hakiki spiritualitas agama, yang salah satunya menegaskan tugas dan tanggung jawab manusia untuk merawat bumi. Yang terpenting, setelah menyadari akan ikatan primordial manusia dan bumi, setiap kita dituntut untuk berbuat sesuatu yang nyata untuk bertobat dan kembali menyantuni bumi. Sekecil apa pun, langkah kita itu akan bermakna sebagai upaya untuk kembali menunjukkan penghormatan kita pada Sang Pencipta.

Tulisan ini dimuat di Radar Madura, 20 Oktober 2008.

Read More..