Senin, 28 April 2008

Dilema Etis Pembocoran UN

Setelah Ujian Nasional (UN) SMA usai dilaksanakan selama 3 hari (22-25 April 2008), berbagai media kembali menurunkan berita tentang kebocoran dan atau kecurangan. Kasus di SMAN 2 Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara, mungkin termasuk yang cukup dramatis. 16 orang guru dipergoki membetulkan lembar jawaban siswa saat ujian Bahasa Inggris di hari kedua UN. Keenam belas guru tersebut kini berstatus tersangka ditambah dengan seorang kepala sekolah.

Pro-kontra UN kembali mencuat. Perdebatan kembali mengemuka. Mereka yang membenarkan tindakan para guru yang membantu murid-muridnya seperti dalam kasus Lubuk Pakam itu berargumen bahwa para guru itu—juga murid—sebenarnya adalah korban kebijakan Depdiknas atas UN. Karena UN dijadikan tolok ukur keberhasilan pendidikan di daerah dan satu-satunya penentu kelulusan siswa, maka baik guru maupun siswa menjadi tertekan dan berupaya dengan segala cara untuk memenuhi target kelulusan yang ditetapkan.

Dari sisi positif, ketertekanan ini telah menjadikan UN sebagai pemacu semangat belajar (Fathurrofiq, Kompas, 7/1/2008). UN menuntut sekolah dan siswa untuk unjuk prestasi. Bimbingan belajar digalakkan, dan program-program pendukung serupa giat dilaksanakan. Senada dengan fenomena ini, demikianlah pendapat yang dinyatakan oleh kelompok pendukung UN, yakni bahwa UN diyakini akan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

Namun demikian, aspek negatif dari tekanan target kelulusan UN juga telah banyak dikemukakan. Suparman, Ketua Federasi Guru Independen Indonesia, di bulan November tahun lalu menyatakan bahwa UN telah menyebabkan proses belajar di dalam kelas bertambah kering (Kompas, 5/11/2007). Anak didik lebih hanya dilatih untuk menyiasati soal. Guru dan murid kemudian terperangkap dalam mentalitas instan, lebih mengutamakan hasil akhir dan mengabaikan proses.

Aktivitas pembelajaran kemudian diarahkan pada upaya agar siswa dapat menjawab soal-soal UN. Yang demikian ini pada gilirannya kemudian membuat arah pembelajaran rentan terlepas dari basis kebutuhan siswa yang sebenarnya. Pelajaran Bahasa Inggris di sebuah SMK jurusan perkapalan, misalnya, kemudian akan lebih difokuskan pada kisi-kisi soal seperti yang biasa muncul di dalam UN. Padahal, bisa jadi yang lebih dibutuhkan para siswa sebenarnya adalah pelajaran Bahasa Inggris dengan tema-tema yang berkaitan dengan dunia perkapalan.

Meski penolakan atas UN cukup gencar, nyatanya UN tetap dilaksanakan. Mungkin karena yang terjadi demikian, yakni UN tetap digelar, maka mereka yang menolak UN karena memandangnya sebagai “kekerasan” negara dalam dunia pendidikan— khususnya berkaitan dengan otorisasi evaluasi mutu pendidikan di tengah kesenjangan yang cukup kentara antara di kota-kota besar dan daerah—merasa menemukan semacam pembenaran untuk membantu siswa saat siswa dilihat tak mampu menjawab soal-soal ujian.

Sejauh ini, perdebatan tentang pro-kontra UN, yang kemudian juga cukup terkait dengan kasus pembocoran soal melalui sebuah upaya disengaja untuk membantu siswa, lebih banyak berfokus pada peranan negara dalam upaya peningkatan mutu pendidikan, sebagaimana tergambar dalam pemaparan di atas. Kemudian, bagaimana jika kontroversi UN ini dilihat dari perspektif anak didik, terutama jika UN dilihat sebagai bagian dari seluruh proses evaluasi pendidikan?

Terlepas dari setuju atau tidak atas kasus pembocoran kunci jawaban UN dengan maksud untuk membantu siswa, jika dilihat dari perspektif anak didik, maka di balik kasus ini sebenarnya terjadi pencederaan atas hakikat pendidikan. Bagaimana para pendidik yang mestinya menjadi teladan pendidikan itu akan menjelaskan kepada para siswa dan masyarakat luas sehingga mereka harus melakukan tindakan pembocoran tersebut—bahkan jika, anggaplah, kita sepakat bahwa negara telah menerapkan kebijakan yang keliru dengan UN?

Pada titik ini, guru yang membantu siswa menjawab soal UN berhadapan dengan dilema etis: apakah dia akan membiarkan siswanya kesulitan menjawab soal-soal UN, dengan konsekuensi si anak didik kemungkinan akan tidak lulus dan kemudian frustrasi, atau dia akan membantu siswa dengan konsekuensi dia akan memperlihatkan teladan yang secara umum akan dipandang kurang baik?

Berdasarkan fakta kebocoran dan atau kecurangan yang terjadi di lapangan dan melibatkan unsur sekolah, sebagaimana dilansir berbagai media, dilema etis ini kemudian terjawab: bahwa lebih baik membantu siswa, agar mereka dapat melanjutkan proses pendidikan dengan lancar. Pilihan yang diambil semacam ini mungkin dapat dikatakan sebagai sikap pragmatis. Akan tetapi, dalam situasi yang dilematis, mereka yang memilih tindakan pembocoran ini mungkin beranggapan bahwa pemenuhan target kelulusan siswa adalah yang paling utama. Perlu digarisbawahi, fakta kebocoran yang terungkap di media boleh jadi hanyalah gunung es dari fakta yang lebih luas dan lebih memprihatinkan.

Sampai di sini, dilema etis dan pilihan sikap yang sepertinya relatif cukup banyak diambil oleh guru dan sekolah kembali menerbitkan implikasi lain yang cukup penting dikemukakan: dalam konteks proses pendidikan, UN ternyata tak cukup mampu meneguhkan sekolah sebagai tempat persemaian pendidikan karakter para siswa. Dalam konteks hasil akhir evaluasi, UN kemudian hanya menjadi semacam seremoni yang sarat dengan unsur formalitas belaka. Alih-alih meningkatkan mutu pendidikan, tekanan kuat UN malah menjadi semacam teror mental bagi sekolah dan anak didik. Di sisi yang lain, pembocoran jawaban seperti yang telah terjadi berpotensi untuk kurang menghargai siswa-siswa yang telah belajar dengan tekun dan cukup berprestasi, sehingga malah berpeluang untuk memupuk iklim malas belajar. Buat apa belajar, jika nanti saat UN akan ada tim sukses.

Sejalan dengan kerangka pemikiran Mochtar Buchori (2007: 178-180), evaluasi pendidikan melalui UN kemudian menjadi sangat simplistik dan sangat jauh untuk dapat memahami diri setiap murid secara utuh sebagai sosok pribadi (person), sehingga potensi masing-masing anak didik tak dapat dikenali dan dikembangkan secara baik di sekolah.

Implikasi dilema etis pembocoran kunci jawaban UN ini tidak hanya menjadi masalah bagi mereka yang terlibat dalam tindakan pembocoran tersebut. Ini adalah pekerjaan rumah bersama yang harus diselesaikan oleh para pendidik di negeri ini. Arah akhirnya adalah bagaimana sistem evaluasi pendidikan di sekolah dapat membantu mendukung cita-cita pendidikan yang membebaskan, bahwa sekolah akhirnya dapat berfungsi sebagai tempat penanaman nilai-nilai dan keteladanan serta pola berpikir yang jernih bagi anak didik, untuk membentuk generasi yang berkarakter dan tangguh menghadapi tantangan zaman.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/dilema_etis_pembocoran_un

Nadya Pramita mengatakan...

Aku udah baca postingmu ini 2 hari-an yang lalu, tapi mau comment kok ndak bisa masuk.
Begini, sebenarnya kalau UN dikatakan kebijakan yang 100% jelek juga ndak begitu, paling tidak pemerintah bisa memaksa siswa mau belajar lebih lagi, biar mereka ndak menyepelekan sekolah. Siswa sekarang cenderung menyepelekan sekolah lho, mereka ndak mau belajar, mereka pikir mereka hanya butuh ijasahnya aja buat sekolah yang lebih tinggi atau buat cari kerja.
Yang kedua kalo di skul kami, kami menganut asas kerja keras dan kejujuran. Andaikata dengan kerja keras masih belum bisa ya sudah ikut upers aja atau yah ngulang lah di kelas 9 satu tahun lagi, sebenarnya kan sama saja dengan tidak naik kelas, hanya karena di akhir tahun disebut kelulusan atau ketidaklulusan.
Kalau karena ingin siswanya lulus kemudian jadi menghalalkan segala cara, wah akan jadi apa generasi-generasi penerus bangsa kita ini? (gurauannya, menjadi anak bangsa + t - tahu khan maksudnya).
Begitu...
(namun begitu, bukan berarti eke pendukung Ujian Nasional lho... hanya menyikapi fenomena yang sedang terjadi saja...)