Senin, 07 Agustus 2000

Politik Konfrontasi & Jejak Kekerasan Masa Lalu

Judul Buku : Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966)
Penulis : Hermawan Sulistyo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2000
Tebal : 292 + xv halaman


Tindak kekerasan dalam dunia politik di Indonesia rupanya memang telah memiliki akar historis yang cukup panjang. Kasus pembantaian massal terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di tahun 1965-1966 menjadi catatan sejarah kelabu yang menunjukkan bukti nyata akar kekerasan politik tersebut. Menurut berbagai versi sejarah, diperkirakan ada 78.000 hingga 3.000.000 korban manusia yang dibantai semena-mena tanpa proses hukum yang pasti.

Selama ini, apa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut (1965-1966) merupakan sisi kelam yang meringkuk di pojok gelap sejarah bangsa Indonesia. Tak ada satu penjelasan yang cukup tuntas untuk mendedahkan tabir-tabir politis yang menutupinya. Dari satu perspektif, pembantaian massal yang meluas tak lama setelah terjadi pem-bunuhan tujuh jenderal pemimpin puncak Angkatan Darat (AD) pada sisi tertentu dapat dilihat sebagai imbas dari permaian elit politik di Jakarta yang meluas ke berbagai daerah.

Meski demikian, buku bagus karya Hermawan Sulistyo ini berusaha menghindari penjelasan yang terkesan simplifikatif itu dan kemudian mengambil perspektif lain yang unik terhadap tragedi pembantaian massal tersebut. Buku ini berusaha menelusuri berbagai variabel sosial, yakni konteks struktural dan konteks kultural, yang turut menentukan terjadinya pembantaian massal tersebut, terutama dengan menfokuskan pada aras lapisan masyarakat bawah. Misalnya dengan melihat berbagai konflik sosial antara berbagai elemen masyarakat yang terjadi pra-Gestapu (G-30-S/PKI). Untuk kasus yang secara khusus terjadi di kawasan Jombang dan Kediri, yakni wilayah yang menjadi medan penelitian buku ini, Hermawan memetakan empat pelaku sosial yang berpengaruh cukup besar secara sosiologis di sana, yakni komunitas loji (pabrik gula), pegawai kelas dua dan buruh dalam komunitas loji, pesantren, dan masyarakat pedesaan yang kadang bekerja sebagai buruh di pabrik gula dan kadang pula mencari semacam perlindungan spiritual dari pesantren.

Keempat pelaku sosial di kawasan Jombang-Kediri tersebut berada dalam suatu atmosfer sosial-politik yang cukup rumit. Dalam situasi sistem Demokrasi Terpimpin, partai-partai politik terbesar—PKI, PNI, Masyumi, dan NU—kerap kali menerapkan pola-pola politik konfrontasi untuk menggalang kekuatan massa. Kondisi pertumbuhan ekonomi begitu memprihatinkan. Khusus di wilayah Jombang dan Kediri, konstelasi sosial tersebut turut mempengaruhi kinerja produksi pabrik-pabrik gula, sehingga elemen-elemen sosial yang terlibat di dalamnya juga terkena imbas sosialnya.

Penerapan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) di awal tahun 1960 ikut menebarkan benih-benih konflik sosial di antara kelompok petani yang merupakan basis massa PKI dengan kelompok-kelompok tuan tanah yang sebagian melibatkan kalangan komunitas pesantren. Aksi-aksi sepihak kelompok petani untuk mengambil alih tanah milik para tuan tanah tersebut juga merupakan bentuk awal konflik sosial di wilayah Jombang-Kediri. Pada bulan Juni 1962 misalnya di Kaliboto, Kediri, terjadi pengambilalihan sepetak sawah oleh ratusan anggota PKI terhadap tanah milik Haji Syakur, dan di Kentjong sawah milik Haji Samur juga diambilalih oleh massa PKI.

Konflik sosial akibat penerapan UUPA dan UUPBH itu ternyata tidak hanya melahirkan konflik antara tuan tanah dan petani, tetapi juga antara pihak pabrik gula dengan petani. Pada November 1964 misalnya, ketika Pabrik Gula Ngadiredjo mengambilalih tanah milik Pabrik Gula Jengkol yang lama tidak dimanfaatkan tetapi sehari-hari digarap oleh para petani BTI—Barisan Tani Indonesia, organisasi petani underbouw PKI—, terjadi insiden penembakan yang menewaskan 15 orang petani.

Konflik terdahsyat adalah kasus bentrokan anggota PKI dengan para pemuda yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pelajar Islam (PII), sayap pelajar Masyumi, di Kanigoro, Kediri, pada bulan Januari 1965.

Maka, ketika pada awal Oktober 1965 dari Jakarta terdengar kabar tentang pembunuhan tujuh orang perwira tinggi Angkatan Darat yang melibatkan PKI, momen ini lalu dimanfaatkan untuk menjadi semacam “pembenaran” bagi upaya menuntaskan berbagai kesumat dan konflik sosial yang sudah memiliki akar sejarah yang cukup dalam itu. Kembali berbagai kelompok pelaku sosial di kawasan Jombang-Kediri itu bermain untuk menuntaskan agenda konflik yang nyaris kehilangan alasan pembenarannya. Mulailah aksi-aksi pembersihan terhadap warga PKI dilakukan.

Dalam kasus di Jombang dan Kediri, terlihat peranan kelompok komunitas pesantren—dan dengan demikian termasuk pula kelompok NU—dalam aksi-aksi pembantaian tersebut cukup besar. Selain sebagai sumber legitimasi religius, kelompok pesantren ini bahkan juga terlibat langsung di lapangan.

Penelusuran yang dilakukan Hermawan dalam buku ini menunjukkan bahwa aksi-aksi pembantaian massal terhadap anggota PKI di Jombang dan Kediri memang dilakukan tidak secara sistematis. Demikian pula, tidak ada pola-pola umum yang dapat digunakan untuk melihat kasus-kasus pembantaian massal tersebut. Apalagi untuk dapat diterapkan pada kasus di daerah lain.

Selain faktor kultural yang oleh pengamat asing disebut dengan budaya amok, Hermawan juga cukup cermat untuk melibatkan faktor-faktor sosiologis yang bersifat obyektif yang ikut menentukan struktur sosial di wilayah Jombang dan Kediri. Sementara itu, kelompok tentara yang dalam konstelasi nasional memiliki kedudukan yang cukup rumit dan kontroversial dalam pengamatan Hermawan ternyata malah menjadi semacam penonton pasif yang seperti turut membenarkan aksi-aksi yang dilakukan masyarakat.
* * *
Posisi penting buku ini dalam konteks reformasi Indonesia dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, buku ini memberikan sumbangan yang cukup besar untuk ikut memutihkan lembaran-lembaran sejarah traumatis bangsa Indonesia ke dalam wilayah yang lebih rasional dan terbuka. Selama ini, pemerintah telah memblokade semua informasi penting perihal peristiwa pembantaian tersebut. Dan, pembantaian massal PKI bersama tragedi-tragedi traumatis lainnya justru dikelola sebagai sebuah ideologi baru yang digunakan pemerintah untuk menghantam dan mendefinisikan lawan-lawan politiknya. Karena itulah, sikap memberlakukan trauma-trauma historis bangsa sebagai ideologi tidak hanya akan merugikan masyarakat, tetapi juga semakin mengerdilkan sikap politik masyarakat untuk menyikapi warisan sejarah yang dimilikinya. Sikap arif yang seharusnya dijadikan landasan sikap dalam memahami sejarah digantikan dengan sikap ideologis yang akhirnya melahirkan suatu bentuk budaya politik yang tidak sehat.

Kedua, dalam konteks budaya politik tersebut buku ini sebenarnya cukup memberikan penjelasan yang amat berharga. Permainan elit politik di tingkat nasional pada dekade 1950-an hingga 1960-an bagaimanapun harus diakui telah turut menyumbangkan terbentuknya suatu konstruksi budaya politik yang sarat dengan unsur kekerasan. Elemen-elemen politik di tingkat bawah terbawa oleh provokasi-provokasi konfrontatif elit politik nasional sehingga interaksi sosial berjalan kurang harmonis. Dari hal ini, patut dipikirkan bagaimana elit-elit politik nasional saat ini ikut berusaha membenahi budaya politik masyarakat Indonesia yang kurang sehat itu, dengan memberikan laku teladan etika politik yang rasional, jujur, dan menjunjung nilai moral.

Buku yang berasal dari disertasi di Arizona State University berjudul asli The Forgotten Years: The Missing History of Indonesia’s Mass Slaughter (Jombang-Kediri 1965-1966) ini jelas layak untuk disimak bersama-sama. Buku ini jelas turut dapat memberikan inspirasi bagi kita untuk dapat mengelola satu sisi suram dari sejarah kehidupan bangsa, terutama untuk mengail kearifan sejarah dalam rangka membangun pola hidup keadaban yang lebih demokratis.


Tulisan ini dimuat di Harian Kompas, 7 Agustus 2000.

0 komentar: