Jumat, 29 Februari 2008

Di Jalanan Kota London

Yulis, semalam Candice datang kepadaku, mengajakku berkeliling jalanan kota London. Candice datang kepadaku dengan kereta indah dari Abad Renaisans. “Mari, bersamaku ke Renaisans, menyusuri jalanan kota London,” katanya dengan senyuman, sambil mengulurkan tangannya dari atas kereta. Aku terpana melihat pakaiannya, seperti juga pakaian yang dikenakan oleh sais kereta. Hitam-hitam dan longgar, dengan topi lebar yang juga hitam. Aku jadi teringat dengan sosok penyihir yang digambarkan di cerita-cerita lama. Tapi kupikir, penyihir tak naik kereta—mereka naik sapu ajaib. Rambut keemasan Candice yang terurai indah terlihat serasi dengan senyum yang tersungging di bibirnya. Tapi pasti, tatapan matanya tak seindah tatapanmu, Yulis.

Kereta yang ditarik dua kuda berkulit cokelat pekat itu berjalan pelan. Tak ada goncangan kasar. Kereta berjalan seperti diiringi petikan irama gitar klasik yang terasa lembut. Pelan-pelan, London Renaisans membentang. Yulis, jangan kau bayangkan jalanan kota London seperti sekarang. Di sepanjang perjalanan, tak satu pun aku melewati markas klub sepak bola, atau pusat-pusat perbelanjaan raksasa.

Tak ada jejak industri. Bahkan aku tak diajaknya berkeliling di antara benih-benih cerobong kapitalisme industri modern. Candice justru membawaku ke sudut-sudut kota yang mengesankan. Tempat-tempat biasa, dan bukan tempat istimewa, tetapi menyimpan ruh dan pesan yang kuat.

Entah kenapa, Yulis, Candice pertama membawaku ke sebuah tempat yang sepertinya merupakan komplek pasar tua yang baru saja ditutup. Bekas-bekas orang berjualan tak begitu kelihatan. Seorang tua renta tampak berjalan gontai dengan tangan di pinggang. Sepatunya yang lusuh seperti mengisyaratkan bahwa ia telah menempuh perjalanan yang panjang melintasi batu dan beratus musim—suka dan duka. Wajahnya lesu. Tatapan matanya kuyu. Koran lama yang dipegang dengan tangan kirinya sesekali dikipas-kipaskan. Tapi langkah kakinya kelihatan tetap menyimpan sisa semangat. Seakan ia tahu, bahwa ia tetap harus berjalan ke depan meski dalam cahaya redup senja. Yulis, aku bertanya-tanya, ke manakah ia melangkah? Ke rumahnya? Apakah ada seseorang yang menantinya di tempat yang ia tuju? Apakah ada seseorang yang meresahkannya karena ia tak kunjung pulang?

Sore bergerak perlahan. Malam mulai turun. Jalanan masih cukup ramai. Kami tiba di sudut lain jalanan kota London. Di sudut yang lain itu, seorang perempuan tua tampak berjalan dengan langkah agak terburu. Rambut dan pakaiannya tampak kotor, nyaris seperti kain kasar yang digunakan untuk lap. Kedua tangannya sibuk memegangi dua kantong yang hampir penuh. Di depan sebuah toko makanan, di bawah lampu jalanan yang mulai berpendar lemah, seorang perempuan bermantel bulu binatang menyapanya. Tapi perempuan tua itu seperti tak punya waktu untuk sekadar menjawab sapaan itu. Ia terus saja melangkah dengan lebih bergegas. Mungkin saja ia takut kemalaman. Atau ia tergesa ingin segera memberikan oleh-olehnya kepada anaknya yang sudah menunggu di rumah.

Malam terus merambat hingga mulai larut. Dan hari pun akan segera berganti. Di salah satu alun-alun kota, Candice membawaku ke sebuah kedai yang buka semalaman—semacam angkringan. Alun-alun itu bukan alun-alun utama, tetapi cukup ramai dikunjungi orang, karena suasananya yang menyenangkan. Di malam hari, dua pohon besar yang berdiri kokoh tak terlihat menyeramkan, karena cahaya lampu yang menerangi kawasan alun-alun itu. Di kedai itu, aku kembali bertemu dengan si orang tua tadi sore. Ia duduk sendiri, menikmati secangkir teh. Saat kutatap orang tua itu, ia sedang mengarahkan pandangannya pada bibir cangkir yang ada di hadapannya. Dia menatap lekat-lekat. Cara dia menatap bibir cangkir itu mengesankan seakan dia sedang menatap wajah dunianya yang entah seperti apa sebenarnya. Lama sekali dia terdiam mengarahkan pandangannya. Aku sendiri tak terus berusaha menatapnya. Pandanganku mencoba berputar sekeliling. Namun sesekali aku kembali ke orang tua itu. Sampai akhirnya, ia pun meninggalkan kedai itu lewat tengah malam.

Rupanya Candice tahu bahwa dari tadi aku memerhatikan orang tua itu, yang kemudian menghilang di kegelapan entah ke mana—mungkin menuju pulang sendirian. Tiba-tiba dia berkata, “Jadi, bagaimana kau akan berkata kepadaku bahwa kau sekarang merasa sendiri?” Candice berkata begitu sambil mengarahkan pandangannya ke kegelapan yang menelan tubuh renta itu. “Kuharap, jalanan kota London akan membuatmu mengubah cara berpikirmu. Paling tidak, kau tahu bahwa jalanan masih akan terus membentang, dan, seperti orang tua tadi, ia akan tetap melangkah, dan kemudian pulang, meski lewat tengah malam.” Candice melanjutkan kata-katanya dengan tetap menatap ke kegelapan.

Di kedai itu, di antara jalanan kota London, di kedai yang mengingatkanku pada sebuah kota dan pikiran-pikiranku yang larut bersama malam-malam bersama kedai angkringan, Candice mengajakku untuk menghidupkan kembali harapan. Ya, Yulis, harapan. Harapan yang tak mesti bercerita tentang cahaya matahari, rumah mungil, anak kecil yang berlarian, sawah membentang, dan dedaunan yang menghijau. Harapan tentang hidup yang lebih baik. Tentang cinta yang tetap disimpan bersama doa.


Tulisan ini diinspirasi oleh lagu yang dibawakan oleh Blackmore's Night, "Streets of London", album The Village Lanterne (2006)

0 komentar: