Minggu, 18 November 2007

Catatan Harian dan Mukjizat Bahasa


Banyak hal istimewa yang bisa ditemukan dari sebuah catatan harian. Dalam khazanah buku Indonesia, paling tidak ada dua buku catatan harian yang cukup legendaris dan inspiratif, yaitu catatan harian Ahmad Wahib (1942-1973) yang diterbitkan LP3ES dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam, dan catatan harian Soe Hok Gie (1942-1969) yang juga diterbitkan LP3ES dengan judul Catatan Seorang Demonstran.

Kedua catatan harian ini ditulis oleh orang-orang yang kemudian ditahbiskan sebagai sosok revolusioner pada zamannya. Lalu bagaimana jika catatan harian ditulis oleh “orang biasa”, seperti anak-anak sekolah tingkat SLTA?

Itulah yang dikisahkan film Freedom Writers (2007). Film yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan perjalanan Erin Gruwell (dalam film ini diperankan oleh Hilary Swank), seorang guru bahasa Inggris di Woodrow Wilson High School Long Beach California, dalam mendidik murid-muridnya yang susah diatur. Gruwell yang mulai mengajar di situ pada tahun 1994, baru lulus dari University of California, dan baru berusia 25 tahun, harus berhadapan dengan murid-murid yang hidup dalam iklim sentimen rasial yang cukup tinggi, akrab dengan geng anak muda berandalan, narkoba, senjata api, dan juga penjara.

Menghadapi situasi kelas yang seperti itu, Erin Gruwell tak bisa bersikap sebagaimana guru kurikulum—guru yang tunduk melahap menu kurikulum dan menuangkannya begitu saja ke kepala murid-muridnya. Ia mengajak murid-muridnya berpikir kreatif, dengan memberi inspirasi untuk menemukan potensi diri mereka masing-masing.

Bekal inspirasi yang diberikan Gruwell untuk murid-muridnya yang bengal dan oleh birokrasi sekolah dipandang sebagai anak bodoh yang tak mencintai pendidikan dan tak dapat diajar itu bertolak dari catatan harian. Gruwell memberi mereka buku Anne Frank: The Diary of a Young Girl, sebuah buku catatan harian yang ditulis oleh seorang gadis remaja korban Holocaust. Juga catatan harian Zlata Filipovic, Zlata’s Diary: A Child’s Life in Sarajevo. Lambat laun, buku-buku ini bisa membuat murid-muridnya itu merasa terhubung dengan orang lain dalam penggalan sejarah dunia. Sekat geng dan ras di kelas mulai mencair. Toleransi dan empati mulai bersemi.

Gruwell kemudian memberi mereka buku tulis untuk dijadikan catatan harian. Hasilnya, murid-muridnya itu semua aktif mengisi catatan harian mereka. Gruwell menemukan beragam kisah di sana. Tentang geng, imigrasi, kekerasan, kesewenangan, obat-obatan terlarang, kegundahan, cinta anak muda, perceraian, bunuh diri, dan sebagainya. Dalam catatan harian, murid-muridnya itu seperti menemukan ruang bebas untuk berekspresi tanpa takut akan dihakimi. Di antara muridnya ada yang menulis, bahwa menulis catatan harian bagi mereka kemudian menjadi sebentuk ekspresi diri yang kuat dan mampu membantu mereka untuk memaknai masa lalu dan menyemai harapan di masa depan. Catatan harian kemudian menjadi semacam tempat singgah yang dapat menenteramkan para remaja yang gelisah itu. Mereka seakan-akan mulai menyalakan lilin kecil dalam kamar gelap mereka masing-masing.

Catatan harian memang menyimpan mukjizat bahasa yang cukup luar biasa. Dalam catatan harian, bahasa tak hanya diperlakukan sebagai media untuk membantu terlaksananya kehidupan sehari-hari, seperti untuk berkomunikasi dalam pengertian yang paling sederhana, atau untuk memantapkan profesi. Dalam catatan harian, bahasa juga berperan sebagai alat untuk mengembangkan dan mengenali diri, hingga akhirnya si penulis menemukan perspektif baru untuk kemudian mentransformasikan dirinya. Menulis catatan harian membantu memperkuat intensitas keintiman seseorang dalam merefleksikan pengalaman dan dunia di sekitarnya. Dari perspektif Heideggerian, dalam catatan harian bahasa betul-betul dipersepsikan sebagai “rumah sang Ada”, yang diolah dan dijelajahi bersama-sama dengan proses pembaruan dan penyusunan definisi diri, nilai-nilai, serta relasi dengan dunia. Bahasa kemudian berada pada aras eksistensi.

Sayangnya, tak cukup banyak guru bahasa Indonesia di negeri ini yang mencoba untuk menjadikan pelajaran bahasa sebagai media untuk mengeksplorasi kekayaan bahasa serta untuk mengembangkan martabat dan mutu kehidupan melalui media catatan harian. Riris K Toha-Sarumpaet (Kompas, 5/5/2003) mencatat bahwa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa hanya untuk menguji apa yang didepositokan guru kepada muridnya, atau apa yang dikunyah dan dihafalkan. Model pembelajaran bahasa yang dominan cenderung berpusat pada aspek ketatabahasaan dalam pengertian yang sempit, yakni dalam fungsi deskriptif saja, sehingga menciutkan fungsinya pada tataran yang bersifat instrumental belaka, dan dengan demikian juga berarti mendistorsi pengertian tentang “dunia” dan “eksistensi” (Sugiharto, 1996: 90). Bahasa tidak diletakkan dalam konteks dan kerangka peradaban yang lebih luas, yang dapat mengantarkan peserta didik baik untuk menemukan jati dirinya maupun untuk secara kritis membaca dunia.

Belum banyak upaya serius yang dilakukan agar dalam pendidikan bahasa siswa dapat menjadi subjek yang berbicara dan mengeskpresikan diri, seperti yang dapat kita saksikan dalam kisah Erin Gruwell yang kini bergiat mengembangkan aktivitas kepenulisan dan kependidikan di Freedom Writers Foundation itu. Dalam kisah Gruwell kita menemukan bagaimana catatan harian dan mukjizat bahasa dapat mengubah karakter dan cara pandang anak-anak muda terhadap dunia di sekitarnya. Dalam keluarganya masing-masing, mayoritas murid-murid Gruwell adalah generasi pertama yang menamatkan SLTA dan kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi.

Jejak pergulatan Gruwell, yang dapat kita baca lebih detail dalam buku The Freedom Writers Diary (1999) yang merupakan catatan harian murid-murid Gruwell, dan buku karya Gruwell sendiri berjudul Teach with Your Heart (2007), memberikan catatan berharga kepada kita tentang model pendidikan pada umumnya dan pemberdayaan serta kreativitas pengajaran bahasa untuk diletakkan dalam konteks yang tak hanya bersifat teknis dan “biasa”, sehingga dapat melahirkan anak-anak muda yang berkarakter dan mampu menggunakan bahasa untuk memaknai dan mencipta dunia baru yang lebih cerah.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 18 November 2007.

3 komentar:

uazeen mengatakan...

iya kak Mushtov, buku harian memang memiliki kekuatan yang luar biasa kendatipun saya tidak pernah menghabiskan satu buku harian-pun dalam satu tahun, dan syukurlah ada blog (uh lagi-lagi ketergantungan pada media siber ini), yang bisa menampung dan memediasi kreatifitas dan memancing kembali semangat menulis saya plus sebagai sarana ekspresi narsistik saya he he he,

Oiya saya juga hampir menulis yang sama tentang buku harian, terutama tentang buku hariannya dua "blogger" pertama indonesia itu Ahmad Wahid dan Soe Hok Gie, tapi ndak jadi saya masih mandeg,

Kak Musthov kenapa blog-nya tidak go public aja, atau mau saya edarkan di dunia blogosfer? saya yakin blog kak musthov akan langsung melesat tinggi di jajaran top blogger Indonesia, dan saya yakin jika kak Mushtov go public akan memicu para penulis-penulis berbakat lainnya untuk ngeblog.

Salam hangat dari saya.

zen mengatakan...

aku juga pernah nulis soal ini di JP. Esai pertamaku di JP itu. Hehehe... apa kabar, bro? akhirnya ngeblog juga.

A. Mommo mengatakan...

leres kak