Rabu, 24 Oktober 2007

Dapur dan Peradaban


Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Selamat pagi. Selamat datang di dapur, tempat memasak, tempat menanak, tempat menggoreng, tempat menjerang air, tempat mencuci piring dan perabot kotor lainnya. Pertama-tama, saya ingin bertanya: pernahkah sebelumnya bapak-bapak dan saudara sekalian berkunjung ke dapur, dan mencoba tinggal barang setengah sampai satu jam atau lebih? Saya kira tak banyak yang akan menjawab iya. Meski begitu, saya bisa memberi permakluman, karena dapur bagi kebanyakan bapak-bapak dan saudara sekalian tak lebih dari tempat makan—jika tak ada ruang khusus untuk itu. Bapak-bapak dan saudara sekalian sebagian besar tak punya pekerjaan yang harus diselesaikan di dapur. Mungkin dapur terlalu kotor untuk bapak-bapak dan saudara sekalian, sehingga bapak-bapak dan saudara-saudara tak cukup kerasan untuk berlama-lama berdiam di dapur. Apalagi dapur “tradisional”. Tempat bapak-bapak dan saudara sekalian bekerja mungkin di tempat yang bersih, necis, dan rapi.

Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Seberapa lama sebenarnya dapur telah menjadi bagian dari peradaban manusia? Tak dapat disangkal bahwa dapur menjadi salah satu tahapan perkembangan peradaban manusia yang cukup penting. Saat hidup secara nomaden, manusia memenuhi kebutuhan makanannya dengan cara berburu. Saat api belum ditemukan, manusia makan makanan mentah atau makanan yang tak diolah. Api kemudian menjadi babak baru peradaban, yang juga menjadi cikal bakal lahirnya dapur. Selain api, penemuan alat semacam bejana yang memungkinkan munculnya teknik memasak yang lebih canggih dan lebih rumit juga menjadi tanda bagi perkembangan peradaban manusia. Konon, itu terjadi kira-kira antara tujuh hingga dua belas ribu tahun yang lalu.

Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Saat ini peradaban kita telah melangkah begitu jauh. Memasak, yang merupakan kegiatan utama dalam ruang dapur, telah menjadi satu bidang dengan pengetahuan dan diskusi yang begitu mendalam. Dapur dan memasak, di sisi lain, kadang tak hanya berkaitan dengan soal pemenuhan kebutuhan nutrisi, tetapi bisa juga menjadi isyarat gengsi. Sementara ada sekelompok orang yang hingga kini masih seperti berada di periode Zaman Batu, yakni bahwa mereka masih berada di tahap pemenuhan kebutuhan dapur tanpa terlalu memedulikan kualitas dan selera, ada sekelompok orang lainnya yang lebih peduli untuk memenuhi “kebutuhan dapur” binatang piaraannya.

Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa peradaban dapur telah melahirkan banyak produk kebudayaan? Mulai dari peralatan memasak, aneka resep, dan berbagai ukuran takaran untuk mengatur komposisi resep agar lebih eksak? Jika ke toko buku, kita tak hanya akan menemukan buku-buku tentang resep makanan—seperti juga tersaji secara rutin di rubrik-rubrik koran atau tabloid. Kita juga akan menemukan desain interior untuk dapur-dapur modern.

Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa satu sendok teh itu sama dengan lima mililiter? Mungkin itu sudah terlalu teknis, ilmiah, atau akademis. Atau bahkan mungkin itu adalah sesuatu yang hanya dikenal oleh pemilik peradaban dapur “modern”. Kalau begitu pertanyaannya saya ganti dengan pertanyaan praktis yang berkaitan dengan dapur tradisional saja: tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian cara membuat perapian di tungku tanah liat dengan menggunakan kayu bakar?

Ah, itu gampang. Tinggal ambil kayu bakar, sedikit disiram minyak tanah, ditambah dengan semacam kertas, lalu tinggal disulut dengan korek api. Tungku pun akan mengepul.

Sebentar dulu, jangan keburu senang atau merasa hebat. Setelah perapian dibuat, jika memang bisa, tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bedanya cara menggoreng telur dadar, keripik pisang, melinjo, atau rengginang?

Ah, itu gampang. Tinggal goreng aja.

Jangan bilang gampang. Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa menggoreng itu juga ada ilmunya, ada takarannya? Kalau mau menggunakan ukuran yang lebih eksak, masing-masing menu yang akan digoreng membutuhkan derajat kepanasan yang berbeda. Jika tidak memperhatikan hal ini, bisa-bisa hasil gorengan bapak-bapak dan saudara sekalian akan gagal—atau setidaknya terasa amburadul. Kalau bapak-bapak dan saudara sekalian ingin lebih jelas, coba tanya istri, saudara, atau anak perempuan bapak dan saudara sekalian.

Ya. Wawasan peradaban dapur memang mungkin lebih dikuasai oleh kaum perempuan. Waktu mereka bergaul bersama masakan dan segala tetek bengeknya relatif lebih lama. Mengapa bapak-bapak tidak sesekali mencoba bergabung di sana, membantu mereka? Apakah bapak-bapak dan saudara sekalian merasa bahwa dapur adalah produk kebudayaan yang sepele, remeh, dan tak menarik—bagian dari peradaban primitif?

Terkait dengan ini, saya punya pengalaman menarik yang agak lucu juga. Suatu saat saya pernah bertemu dengan sebuah warung makan di wilayah kos-kosan mahasiswa yang memberi embel-embel semacam slogan unik pada nama warungnya. Warung dekat rel kereta api itu bernama Warung Teteg Plato, dan di bawah namanya tertulis kata-kata: “Makan dulu, baru mikir”. Orang mungkin akan berpikir itu kata-kata Plato (427-347 SM), filsuf Yunani Kuno murid Sokrates (469-399 SM). Lepas dari apakah benar itu dikutip dari Plato atau tidak, kata-kata itu seperti ingin mengingatkan kita, terutama bapak-bapak dan saudara sekalian, agar tak begitu saja menyepelekan peradaban dapur. Bagaimana bisa mau bekerja, bagaimana bisa mau berpikir, jika perut kosong?

Saya kira kata-kata itu dari satu sisi mengingatkan kita untuk bisa lebih menghargai orang-orang yang membesarkan dan menghidupkan peradaban dapur itu, orang-orang yang membuat dapur mengepul dan berproduksi, yakni terutama kaum perempuan. Memang mungkin bapak-bapak dan saudara sekalian adalah orang-orang yang menyuplai bahan-bahan untuk terlaksananya peradaban dapur. Tetapi kaum perempuan, mereka bersentuhan langsung dan mengelola peradaban dapur. Bahkan, tak jarang, kaum perempuan juga membantu menyuplai bahan-bahan dapur.

Sementara itu, dari penuturan kelompok feminis kita diberi tahu bahwa sejauh ini kaum perempuan sering diperlakukan dengan kurang baik dan atau kurang dihargai oleh kaum laki-laki—bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian—baik itu di lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat luas. Salah satu bentuknya, mungkin, adalah dengan menyerahkan sepenuhnya urusan dapur kepada mereka, atau dengan terus mengasumsikan bahwa bagaimanapun perempuan itu hanya akan pulang ke dapur. Akibatnya, kadang potensi besar yang mereka miliki tak dapat dikembangkan sepenuhnya. Pendidikan bagi mereka kadang tak dianggap penting.

Saya enggan untuk memperdebatkan soal pembagian kerja seperti dalam masalah ini. Poin yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini adalah bagaimana kita bisa melihat dapur sebagai sebuah suatu produk peradaban dengan segala permasalahan yang mungkin kita temukan di sana. Baru-baru ini saya membaca sebuah buku komik menarik yang bertutur tentang pangan, tentang bagaimana ada politik-ekonomi pangan yang bisa berujung pada sebentuk penindasan atau bahkan penjajahan terselubung. Dalam konteks seperti itu, mungkin perempuan adalah salah satu korban utamanya. Bukankah para pemilik kapital kebanyakan adalah kaum lelaki? Tetapi saya belum tuntas membaca buku itu. Jadi saya belum bisa cerita panjang lebar.

Oke. Bapak-bapak dan saudara sekalian. Sekarang mari kita kembali ke dapur. Sekarang sudah saatnya sarapan. Kita simpan dulu persoalan-persoalan ini ya. Kapan-kapan kita bicarakan lagi. Sekarang kita makan dulu, biar tidak sakit dan bisa berpikir lebih jernih. Jangan lupa, sehabis makan nanti piring dan perabot kotor lainnya dicuci ya sampai bersih. Sesekali tidak apa-apa kan? Biar tahu rasa, kata seorang saudara saya dengan nada yang khas.


3 komentar:

A. Mommo mengatakan...

wah,,,,, jangan-jangan sekarang punya hobi memasak ya kak? :D hehehe.... eh, tapi rodifahnya beres???

KINI2603 mengatakan...

Saya hanya ingin tahu kenapa dalam tulisan ini hanya diperuntukan untuk Bapak-Bapak tidak untuk Ibu dan Bapak. Saya rasa jaman sekarang ini tidak semua Ibu berkutat didapur, sehingga melalui tulisan yang saya nilai bagus ini selayaknya Ibu yang tidak melakukan hal itu juga baik untuk diikut sertakan.

Muhammad-Affan mengatakan...

salute to M79