Kamis, 23 Agustus 2007

(Semoga) Menjadi Manusia Dewasa


“Jangan pernah berubah karena orang lain. Berubahlah karena diri sendiri!” Begitu salah satu kata-katamu yang selalu aku ingat. Aku tak begitu ingat kapan tepatnya kau mengatakan itu. Tapi aku ingat betul bagaimana kau mengatakannya.

Pada hari Sabtu dini hari kemarin, aku kembali teringat kata-katamu itu. Kata-katamu itu seakan datang menggenapi pesan singkatmu yang baru sempat terbaca begitu aku terbangun. Entah kenapa, aku juga jadi teringat tiga tahun yang lalu, di sebuah pembicaraan telepon menjelang penghujung bulan agustus, saat kau menanyakan tanggal ulang tahunku. Kau bertanya seperti dengan senyum tersipu.

Pada hari Sabtu yang lalu, menjelang subuh, aku kembali mengingat keping-keping itu, satu satu, bahkan memanjang jauh ke belakang. Jejak yang mungkin sudah terhapus, lorong-lorong sunyi, malam-malam ditemani buku dan kopi, radio kesayangan, kambing dan kelinci, dan lapangan bola di dekat rimbun pohon jati.

Kurasa, beberapa masih belum kuceritakan padamu. Yulis, di manakah kau saat itu?

Read More..

Jumat, 17 Agustus 2007

Trauma, Doa, dan Gelang Karet


Dik, trauma tak akan hilang dengan logika. Kau bilang bahwa waktu akan melenyapkannya. Tapi berapa lama? Aku pernah menulis bahwa mungkin saja ada doa yang menghapus trauma. Mungkin sekali. Tapi, lepas dari itu, aku ingin katakan bahwa lebih sebulan aku sudah mengenakan sebuah gelang karet di tangan kiriku. Konon, trauma dan segala alam bawah sadar negatif kita bisa kita tundukkan perlahan dengan jepretan gelang karet itu. Entahlah. Tapi kupikir ada benarnya. Eh, salah, kurasa ada benarnya juga. Cuma saja, ada satu alam bawah sadar negatif yang sulit kutaklukkan: rasa rendah diri dan rasa bersalah! Apakah aku perlu mengenakan tiga gelang karet sekaligus?

Dik, kemarin aku sudah menyiapkan sawo kecik—entah apa kau suka atau tidak.

Dik, maafkan aku, karena tak menyebut namamu. Dik, maafkan aku, untuk semuanya.

Read More..