Selasa, 18 Desember 2007

Asma Nadia tentang Poligami dan Perselingkuhan

Judul buku: Catatan Hati Seorang Istri
Penulis: Asma Nadia
Penerbit: Lingkar Pena, Depok
Cetakan: Pertama, Mei 2007
Tebal: xii + 212 halaman

Dalam beberapa tahun terakhir, melalui tayangan televisi dan media, masyarakat kita semakin akrab dengan isu poligami dan perselingkuhan. Tema poligami kembali populer ketika ada sejumlah tokoh nasional yang menjadi kontroversial karena kasus poligami, dengan bumbu pro-kontra yang kemudian juga difasilitasi oleh media. Tema perselingkuhan pada tingkat tertentu, dengan cara yang cukup unik, menyebar melalui dunia hiburan dan selebriti. Ada yang mengatakan bahwa perselingkuhan kini sudah menjadi gaya hidup. Tayangan televisi yang hampir setiap hari tak luput mengabarkan kabar buruk tentang retaknya keluarga seorang selebriti belakangan ini memperkuat hal tersebut. Di bagian yang lain, akhir-akhir ini kita menemukan cukup banyak lagu yang digubah dan kemudian populer yang mengisahkan tema perselingkuhan. Pokok soal menarik yang patut disorot dalam dua persoalan ini adalah nasib perempuan berhadapan dengan situasi semacam itu. Bagaimana perempuan di sana?

Buku karya Asma Nadia ini menghadirkan potret pergulatan perempuan dengan kedua persoalan tersebut. Buku ini menyajikan kumpulan jejak pengalaman perempuan, terutama dalam kehidupan berkeluarga, yang sarat dengan kekerasan dan tragedi. Dalam kata pengantarnya, Asma mengatakan bahwa buku ini adalah rekaman perjalanannya sebagai perempuan, istri dan ibu, dan juga pengalaman, dialog hati, pertanyaan dan ketidakmengertiannya tentang isi kepala dan sikap laki-laki.

Memang tak berlebihan jika Asma menggunakan istilah seperti itu. Dalam buku ini, melalui banyak kisah, muncul sikap dan perilaku laki-laki yang tak menghargai perempuan—bahkan perempuan yang disebutnya sebagai istri. Simak saja kisah Amini, ibu dan tiga orang anak yang sudah menikah selama tujuh belas tahun. Suaminya, Arief, yang dari awal pernikahan sudah tampak sangat baik dan bertanggung jawab dalam memperhatikan keluarga, tiba-tiba diketahui menjalin hubungan dengan Dian, adik dari teman Amini. Memang, di akhir kisah Amini dan Arief tetap bisa bertahan, dengan permaafan dan kebesaran hati Amini yang cukup luar biasa, sehingga Dian tak sampai menjadi penyebab perceraian mereka dan melepas Arief.

Ada lagi kisah Safitri, dengan suaminya yang sangat baik dan telah hidup berbahagia dengan pernikahannya selama lima belas tahun dan telah dikaruniai tiga orang anak. Suatu hari, tanpa sengaja, Safitri menemukan nama aneh di buku telepon suaminya: Spongebob. Safitri heran. Suaminya itu tipe lelaki serius, pendiam, dan sangat dewasa. Mengapa sampai ada kontak dengan nama tokoh kartun itu? Safitri sangat terpukul ketika dengan tenang dia mengklarifikasi masalah itu kepada suaminya, sehingga muncul pengakuan bahwa suaminya yang rajin beribadah itu telah menjalin hubungan khusus dengan “Spongebob” selama tiga tahun. Safitri menulis bahwa sejak itu ia merasa sulit membangun kepercayaan bersama suaminya.

Kisah-kisah lain yang diungkap dalam buku ini tak banyak beranjak dari penuturan soal kekerasan psikis terhadap perempuan—yang dalam istilah lain populer dengan sebutan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Ada kisah tentang suami yang ketahuan selingkuh dengan baby sitter-nya. Tragedi Nejla Humaira mengisahkan kesuksesan kariernya di dunia kerja, sementara suaminya yang sudah sepuluh tahun dinikahinya hanya menguras hasil kerjanya sambil berselingkuh dengan karyawatinya. Langkah cerai pun diambil, dengan tekanan batin yang sangat menyedihkan Nejla. Dan Nejla pun menjadi single parent, membesarkan anak-anaknya dengan keteguhan, kegigihan, kesabaran, dan penuh kasih sayang.

Simpul utama kisah-kisah dalam buku ini menegaskan bahwa perselingkuhan, bagaimanapun, hanya akan menghancurkan ikatan suci yang dibina dalam keluarga. Rasa saling percaya yang menjadi fondasi bahtera keluarga tercederai. Seorang perempuan sangat paham dan sangat menghayati arti kepercayaan, sehingga begitu ia dilanggar, maka ia menjadi sulit untuk dipulihkan. Perselingkuhan menghancurkan keluarga tak hanya dengan merusak rasa kepercayaan, tetapi juga dengan aspek kekerasan yang diam-diam terjadi di sana. Kekerasan itu bisa berwujud kekerasan psikis hingga fisik. Dan eskalasinya dapat meluas hingga ke tingkat keluarga, yang meliputi anak atau anggota keluarga besar lainnya.

Kelebihan buku ini terletak pada pertanyaan-pertanyaan mendasar yang diajukan terhadap kaum laki-laki atas berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan—sadar maupun tidak, diakui atau tidak—terhadap perempuan. Pertanyaan tersebut mengusik pola relasi kemanusiaan yang selama ini terjalin antara laki-laki dan perempuan, dalam ruang keluarga pada khususnya dan ranah sosial pada umumnya. Pertanyaan yang dimunculkan Asma beberapa tampak cukup reflektif dan fundamental, seperti dalam kisah Pak Haris, seorang pemimpin penerbitan di Solo, yang berkisah tentang poligami. Dalam potongan pembicaraan Asma dan Pak Haris tentang poligami, muncul pernyataan yang cukup menohok dari Pak Haris: kebahagiaan dengan istri kedua belum tentu, sementara luka hati istri pertama sudah pasti dan abadi. Jadi, lanjut Pak Haris dengan sebuah pertanyaan retoris yang cukup tajam, “bagaimana saya melakukan sebuah tindakan untuk keuntungan yang tidak pasti, dengan mengambil resiko yang kerusakannya pasti dan permanen?”

Eksplorasi Asma tentang tema poligami juga menjangkau wilayah agama. Asma memang tak mencoba masuk ke wilayah panas yang mendiskusikan hukum poligami dari perspektif agama (Islam), seperti yang sempat ramai dibicarakan belakangan ini. Dalam sebuah tulisannya di buku ini, Asma memunculkan sebuah pertanyaan tajam yang cukup menyindir: “tetapi apakah dimadu dan menjadi istri tua, merupakan jalan satu-satunya untuk mendekatkan perempuan pada surga?” Dalam tulisannya ini Asma menunjukkan bagaimana dalam praktiknya para lelaki—yang konon beralasan menikah lagi dalam rangka mengikuti sunnah Nabi—kurang memberi penghargaan yang pantas kepada istri pertama mereka dan melupakan jasa besar serta pengorbanan si istri pertamanya.

Dalam tulisan terakhir di buku ini, Asma secara tidak langsung mencoba menghadirkan potret kesetiaan laki-laki melalui kisah Aba Agil, seorang tokoh terkemuka di Ambon yang tak mau menikah lagi setelah istrinya meninggal, meski anak-anaknya mendorong untuk itu. Ada nada kagum dan bangga yang tertuang dari pemaparan Asma—seperti yang juga tergambar dari benak anak-anaknya.

Kisah-kisah dalam buku ini dapat dilihat sebagai semacam dokumentasi pengalaman perempuan dalam pergaulan mereka di ruang keluarga dan masyarakat dalam konteks sosial saat ini. Yang menarik, Asma membidik persoalan itu dari perspektif perempuan, yakni dari sudut pandang yang menempatkan perempuan sebagai subjek yang berbicara untuk kepentingan mereka. Dengan demikian, pembaca buku ini dapat ikut berempati dengan perasaan, gejolak, dan nasib perempuan dalam setiap pengalaman yang tersaji itu. Memang Asma tidak hanya menceritakan kisah pergulatannya sendiri, tetapi menghimpun pengalaman dan pertemuannya dengan banyak perempuan lain. Buku yang cetak ulang dalam waktu dua pekan sejak penerbitannya yang pertama ini memperkaya diskusi tentang perempuan dan keluarga dalam masyarakat Indonesia, dan yang lebih penting lagi, dengan cukup tegas menghadirkan suara perempuan dengan penuh empati dan menggugah.

* Tulisan ini dimuat di Jurnal Perempuan No 56/2007.

Read More..

Minggu, 18 November 2007

Catatan Harian dan Mukjizat Bahasa


Banyak hal istimewa yang bisa ditemukan dari sebuah catatan harian. Dalam khazanah buku Indonesia, paling tidak ada dua buku catatan harian yang cukup legendaris dan inspiratif, yaitu catatan harian Ahmad Wahib (1942-1973) yang diterbitkan LP3ES dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam, dan catatan harian Soe Hok Gie (1942-1969) yang juga diterbitkan LP3ES dengan judul Catatan Seorang Demonstran.

Kedua catatan harian ini ditulis oleh orang-orang yang kemudian ditahbiskan sebagai sosok revolusioner pada zamannya. Lalu bagaimana jika catatan harian ditulis oleh “orang biasa”, seperti anak-anak sekolah tingkat SLTA?

Itulah yang dikisahkan film Freedom Writers (2007). Film yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan perjalanan Erin Gruwell (dalam film ini diperankan oleh Hilary Swank), seorang guru bahasa Inggris di Woodrow Wilson High School Long Beach California, dalam mendidik murid-muridnya yang susah diatur. Gruwell yang mulai mengajar di situ pada tahun 1994, baru lulus dari University of California, dan baru berusia 25 tahun, harus berhadapan dengan murid-murid yang hidup dalam iklim sentimen rasial yang cukup tinggi, akrab dengan geng anak muda berandalan, narkoba, senjata api, dan juga penjara.

Menghadapi situasi kelas yang seperti itu, Erin Gruwell tak bisa bersikap sebagaimana guru kurikulum—guru yang tunduk melahap menu kurikulum dan menuangkannya begitu saja ke kepala murid-muridnya. Ia mengajak murid-muridnya berpikir kreatif, dengan memberi inspirasi untuk menemukan potensi diri mereka masing-masing.

Bekal inspirasi yang diberikan Gruwell untuk murid-muridnya yang bengal dan oleh birokrasi sekolah dipandang sebagai anak bodoh yang tak mencintai pendidikan dan tak dapat diajar itu bertolak dari catatan harian. Gruwell memberi mereka buku Anne Frank: The Diary of a Young Girl, sebuah buku catatan harian yang ditulis oleh seorang gadis remaja korban Holocaust. Juga catatan harian Zlata Filipovic, Zlata’s Diary: A Child’s Life in Sarajevo. Lambat laun, buku-buku ini bisa membuat murid-muridnya itu merasa terhubung dengan orang lain dalam penggalan sejarah dunia. Sekat geng dan ras di kelas mulai mencair. Toleransi dan empati mulai bersemi.

Gruwell kemudian memberi mereka buku tulis untuk dijadikan catatan harian. Hasilnya, murid-muridnya itu semua aktif mengisi catatan harian mereka. Gruwell menemukan beragam kisah di sana. Tentang geng, imigrasi, kekerasan, kesewenangan, obat-obatan terlarang, kegundahan, cinta anak muda, perceraian, bunuh diri, dan sebagainya. Dalam catatan harian, murid-muridnya itu seperti menemukan ruang bebas untuk berekspresi tanpa takut akan dihakimi. Di antara muridnya ada yang menulis, bahwa menulis catatan harian bagi mereka kemudian menjadi sebentuk ekspresi diri yang kuat dan mampu membantu mereka untuk memaknai masa lalu dan menyemai harapan di masa depan. Catatan harian kemudian menjadi semacam tempat singgah yang dapat menenteramkan para remaja yang gelisah itu. Mereka seakan-akan mulai menyalakan lilin kecil dalam kamar gelap mereka masing-masing.

Catatan harian memang menyimpan mukjizat bahasa yang cukup luar biasa. Dalam catatan harian, bahasa tak hanya diperlakukan sebagai media untuk membantu terlaksananya kehidupan sehari-hari, seperti untuk berkomunikasi dalam pengertian yang paling sederhana, atau untuk memantapkan profesi. Dalam catatan harian, bahasa juga berperan sebagai alat untuk mengembangkan dan mengenali diri, hingga akhirnya si penulis menemukan perspektif baru untuk kemudian mentransformasikan dirinya. Menulis catatan harian membantu memperkuat intensitas keintiman seseorang dalam merefleksikan pengalaman dan dunia di sekitarnya. Dari perspektif Heideggerian, dalam catatan harian bahasa betul-betul dipersepsikan sebagai “rumah sang Ada”, yang diolah dan dijelajahi bersama-sama dengan proses pembaruan dan penyusunan definisi diri, nilai-nilai, serta relasi dengan dunia. Bahasa kemudian berada pada aras eksistensi.

Sayangnya, tak cukup banyak guru bahasa Indonesia di negeri ini yang mencoba untuk menjadikan pelajaran bahasa sebagai media untuk mengeksplorasi kekayaan bahasa serta untuk mengembangkan martabat dan mutu kehidupan melalui media catatan harian. Riris K Toha-Sarumpaet (Kompas, 5/5/2003) mencatat bahwa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa hanya untuk menguji apa yang didepositokan guru kepada muridnya, atau apa yang dikunyah dan dihafalkan. Model pembelajaran bahasa yang dominan cenderung berpusat pada aspek ketatabahasaan dalam pengertian yang sempit, yakni dalam fungsi deskriptif saja, sehingga menciutkan fungsinya pada tataran yang bersifat instrumental belaka, dan dengan demikian juga berarti mendistorsi pengertian tentang “dunia” dan “eksistensi” (Sugiharto, 1996: 90). Bahasa tidak diletakkan dalam konteks dan kerangka peradaban yang lebih luas, yang dapat mengantarkan peserta didik baik untuk menemukan jati dirinya maupun untuk secara kritis membaca dunia.

Belum banyak upaya serius yang dilakukan agar dalam pendidikan bahasa siswa dapat menjadi subjek yang berbicara dan mengeskpresikan diri, seperti yang dapat kita saksikan dalam kisah Erin Gruwell yang kini bergiat mengembangkan aktivitas kepenulisan dan kependidikan di Freedom Writers Foundation itu. Dalam kisah Gruwell kita menemukan bagaimana catatan harian dan mukjizat bahasa dapat mengubah karakter dan cara pandang anak-anak muda terhadap dunia di sekitarnya. Dalam keluarganya masing-masing, mayoritas murid-murid Gruwell adalah generasi pertama yang menamatkan SLTA dan kemudian melanjutkan ke perguruan tinggi.

Jejak pergulatan Gruwell, yang dapat kita baca lebih detail dalam buku The Freedom Writers Diary (1999) yang merupakan catatan harian murid-murid Gruwell, dan buku karya Gruwell sendiri berjudul Teach with Your Heart (2007), memberikan catatan berharga kepada kita tentang model pendidikan pada umumnya dan pemberdayaan serta kreativitas pengajaran bahasa untuk diletakkan dalam konteks yang tak hanya bersifat teknis dan “biasa”, sehingga dapat melahirkan anak-anak muda yang berkarakter dan mampu menggunakan bahasa untuk memaknai dan mencipta dunia baru yang lebih cerah.


Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 18 November 2007.

Read More..

Rabu, 24 Oktober 2007

Dapur dan Peradaban


Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Selamat pagi. Selamat datang di dapur, tempat memasak, tempat menanak, tempat menggoreng, tempat menjerang air, tempat mencuci piring dan perabot kotor lainnya. Pertama-tama, saya ingin bertanya: pernahkah sebelumnya bapak-bapak dan saudara sekalian berkunjung ke dapur, dan mencoba tinggal barang setengah sampai satu jam atau lebih? Saya kira tak banyak yang akan menjawab iya. Meski begitu, saya bisa memberi permakluman, karena dapur bagi kebanyakan bapak-bapak dan saudara sekalian tak lebih dari tempat makan—jika tak ada ruang khusus untuk itu. Bapak-bapak dan saudara sekalian sebagian besar tak punya pekerjaan yang harus diselesaikan di dapur. Mungkin dapur terlalu kotor untuk bapak-bapak dan saudara sekalian, sehingga bapak-bapak dan saudara-saudara tak cukup kerasan untuk berlama-lama berdiam di dapur. Apalagi dapur “tradisional”. Tempat bapak-bapak dan saudara sekalian bekerja mungkin di tempat yang bersih, necis, dan rapi.

Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Seberapa lama sebenarnya dapur telah menjadi bagian dari peradaban manusia? Tak dapat disangkal bahwa dapur menjadi salah satu tahapan perkembangan peradaban manusia yang cukup penting. Saat hidup secara nomaden, manusia memenuhi kebutuhan makanannya dengan cara berburu. Saat api belum ditemukan, manusia makan makanan mentah atau makanan yang tak diolah. Api kemudian menjadi babak baru peradaban, yang juga menjadi cikal bakal lahirnya dapur. Selain api, penemuan alat semacam bejana yang memungkinkan munculnya teknik memasak yang lebih canggih dan lebih rumit juga menjadi tanda bagi perkembangan peradaban manusia. Konon, itu terjadi kira-kira antara tujuh hingga dua belas ribu tahun yang lalu.

Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Saat ini peradaban kita telah melangkah begitu jauh. Memasak, yang merupakan kegiatan utama dalam ruang dapur, telah menjadi satu bidang dengan pengetahuan dan diskusi yang begitu mendalam. Dapur dan memasak, di sisi lain, kadang tak hanya berkaitan dengan soal pemenuhan kebutuhan nutrisi, tetapi bisa juga menjadi isyarat gengsi. Sementara ada sekelompok orang yang hingga kini masih seperti berada di periode Zaman Batu, yakni bahwa mereka masih berada di tahap pemenuhan kebutuhan dapur tanpa terlalu memedulikan kualitas dan selera, ada sekelompok orang lainnya yang lebih peduli untuk memenuhi “kebutuhan dapur” binatang piaraannya.

Bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian. Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa peradaban dapur telah melahirkan banyak produk kebudayaan? Mulai dari peralatan memasak, aneka resep, dan berbagai ukuran takaran untuk mengatur komposisi resep agar lebih eksak? Jika ke toko buku, kita tak hanya akan menemukan buku-buku tentang resep makanan—seperti juga tersaji secara rutin di rubrik-rubrik koran atau tabloid. Kita juga akan menemukan desain interior untuk dapur-dapur modern.

Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa satu sendok teh itu sama dengan lima mililiter? Mungkin itu sudah terlalu teknis, ilmiah, atau akademis. Atau bahkan mungkin itu adalah sesuatu yang hanya dikenal oleh pemilik peradaban dapur “modern”. Kalau begitu pertanyaannya saya ganti dengan pertanyaan praktis yang berkaitan dengan dapur tradisional saja: tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian cara membuat perapian di tungku tanah liat dengan menggunakan kayu bakar?

Ah, itu gampang. Tinggal ambil kayu bakar, sedikit disiram minyak tanah, ditambah dengan semacam kertas, lalu tinggal disulut dengan korek api. Tungku pun akan mengepul.

Sebentar dulu, jangan keburu senang atau merasa hebat. Setelah perapian dibuat, jika memang bisa, tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bedanya cara menggoreng telur dadar, keripik pisang, melinjo, atau rengginang?

Ah, itu gampang. Tinggal goreng aja.

Jangan bilang gampang. Tahukah bapak-bapak dan saudara sekalian bahwa menggoreng itu juga ada ilmunya, ada takarannya? Kalau mau menggunakan ukuran yang lebih eksak, masing-masing menu yang akan digoreng membutuhkan derajat kepanasan yang berbeda. Jika tidak memperhatikan hal ini, bisa-bisa hasil gorengan bapak-bapak dan saudara sekalian akan gagal—atau setidaknya terasa amburadul. Kalau bapak-bapak dan saudara sekalian ingin lebih jelas, coba tanya istri, saudara, atau anak perempuan bapak dan saudara sekalian.

Ya. Wawasan peradaban dapur memang mungkin lebih dikuasai oleh kaum perempuan. Waktu mereka bergaul bersama masakan dan segala tetek bengeknya relatif lebih lama. Mengapa bapak-bapak tidak sesekali mencoba bergabung di sana, membantu mereka? Apakah bapak-bapak dan saudara sekalian merasa bahwa dapur adalah produk kebudayaan yang sepele, remeh, dan tak menarik—bagian dari peradaban primitif?

Terkait dengan ini, saya punya pengalaman menarik yang agak lucu juga. Suatu saat saya pernah bertemu dengan sebuah warung makan di wilayah kos-kosan mahasiswa yang memberi embel-embel semacam slogan unik pada nama warungnya. Warung dekat rel kereta api itu bernama Warung Teteg Plato, dan di bawah namanya tertulis kata-kata: “Makan dulu, baru mikir”. Orang mungkin akan berpikir itu kata-kata Plato (427-347 SM), filsuf Yunani Kuno murid Sokrates (469-399 SM). Lepas dari apakah benar itu dikutip dari Plato atau tidak, kata-kata itu seperti ingin mengingatkan kita, terutama bapak-bapak dan saudara sekalian, agar tak begitu saja menyepelekan peradaban dapur. Bagaimana bisa mau bekerja, bagaimana bisa mau berpikir, jika perut kosong?

Saya kira kata-kata itu dari satu sisi mengingatkan kita untuk bisa lebih menghargai orang-orang yang membesarkan dan menghidupkan peradaban dapur itu, orang-orang yang membuat dapur mengepul dan berproduksi, yakni terutama kaum perempuan. Memang mungkin bapak-bapak dan saudara sekalian adalah orang-orang yang menyuplai bahan-bahan untuk terlaksananya peradaban dapur. Tetapi kaum perempuan, mereka bersentuhan langsung dan mengelola peradaban dapur. Bahkan, tak jarang, kaum perempuan juga membantu menyuplai bahan-bahan dapur.

Sementara itu, dari penuturan kelompok feminis kita diberi tahu bahwa sejauh ini kaum perempuan sering diperlakukan dengan kurang baik dan atau kurang dihargai oleh kaum laki-laki—bapak-bapak dan saudara-saudara sekalian—baik itu di lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat luas. Salah satu bentuknya, mungkin, adalah dengan menyerahkan sepenuhnya urusan dapur kepada mereka, atau dengan terus mengasumsikan bahwa bagaimanapun perempuan itu hanya akan pulang ke dapur. Akibatnya, kadang potensi besar yang mereka miliki tak dapat dikembangkan sepenuhnya. Pendidikan bagi mereka kadang tak dianggap penting.

Saya enggan untuk memperdebatkan soal pembagian kerja seperti dalam masalah ini. Poin yang ingin saya tekankan dalam tulisan ini adalah bagaimana kita bisa melihat dapur sebagai sebuah suatu produk peradaban dengan segala permasalahan yang mungkin kita temukan di sana. Baru-baru ini saya membaca sebuah buku komik menarik yang bertutur tentang pangan, tentang bagaimana ada politik-ekonomi pangan yang bisa berujung pada sebentuk penindasan atau bahkan penjajahan terselubung. Dalam konteks seperti itu, mungkin perempuan adalah salah satu korban utamanya. Bukankah para pemilik kapital kebanyakan adalah kaum lelaki? Tetapi saya belum tuntas membaca buku itu. Jadi saya belum bisa cerita panjang lebar.

Oke. Bapak-bapak dan saudara sekalian. Sekarang mari kita kembali ke dapur. Sekarang sudah saatnya sarapan. Kita simpan dulu persoalan-persoalan ini ya. Kapan-kapan kita bicarakan lagi. Sekarang kita makan dulu, biar tidak sakit dan bisa berpikir lebih jernih. Jangan lupa, sehabis makan nanti piring dan perabot kotor lainnya dicuci ya sampai bersih. Sesekali tidak apa-apa kan? Biar tahu rasa, kata seorang saudara saya dengan nada yang khas.


Read More..

Kamis, 04 Oktober 2007

Sampai Di Manakah Kita?


Yulis, tak terasa Ramadan telah memasuki sepertiga yang terakhir. Entah seperti apa rasa lapar dan dahaga yang kita jalani tiga pekan ini membentuk kita saat ini. Adakah yang berubah dengan diri kita dengan itu semua? Yulis, sampai di manakah kita saat ini?

Tahun demi tahun telah berlalu. Tiga tahun terakhir telah berlalu pula. Ramadan datang dan pergi. Pertemuan, perpisahan, suka dan duka, tangis dan tawa, sedih dan gembira, harapan yang redup dan semangat yang menyala, hari-hari biasa, hari-hari istimewa, semua telah kita lewati. Lalu apa yang kita peroleh dari itu semua? Sampai di manakah kita? Di titik manakah aku saat ini, di titik manakah kita saat ini, dalam sulur waktu yang telah ditetapkan Semesta padaku, pada kita?

Yulis. Di penghujung Ramadan ini Kakak ingin mencoba berhitung tentang semuanya. Hutang-hutang Kakak, borok-borok Kakak, tapak jejak Kakak. Adakah masa depan dapat menyisakan cahaya untuk Kakak, untuk kita? Adakah modal Kakak sekarang yang tak seberapa dapat melunasi semuanya?

“Kak, apakah kebaikan itu dapat melunasi dosa kita yang berlepotan?” tanyamu kemarin lusa, di sebuah percakapan telepon jelang berbuka.

“Tuhan Maha Pengampun. Perbuatan baik dapat membasuh keburukan yang kita perbuat. Tentu jika kita tulus melakukannya,” jawabku, sambil mengingat potongan ayat yang menegaskan hal itu.

“Yulis, dalam bentuk yang lebih detail dan lebih luas, Kakak sering gundah saat bertanya: apakah kita pernah merasakan nikmatnya berpuasa? Apakah kita pernah merasakan nikmatnya mencintai Tuhan, mencintai Nabi, mencintai orang tua dan keluarga, mencintai guru, mencintai sesama, mencintai kekasih kita?” Aku terdiam, mendesah sejenak, dan kembali terdiam. Di ujung telepon, Yulis juga terdiam.

“Yulis, pertanyaan-pertanyaan itu datang bertubi, bersama dengan rekam jejak amal perbuatan Kakak di hari-hari yang telah berlalu. Kakak seperti mencoba menghimpun sesuatu yang cukup bernilai dan layak untuk dihitung sebagai “kebaikan”. Tapi Kakak sering sedih dan kecewa, karena tak menemukan apa-apa,” lanjutku.

“Sudahlah Kak, jangan terlalu berkecil hati begitu,” Yulis segera memotong kata-kataku. “Kita masih punya hari ini, juga hari esok. Yang terpenting, saat ini kita mesti bersyukur karena telah diberi anugerah untuk ingat bahwa berhitung, atau evaluasi, atau refleksi, atau—katakanlah—audit internal, sangat kita butuhkan dalam menjalani hari-hari kita.”

“Iya, Yulis. Kakak patut bersyukur bahwa Kakak telah dipertemukan dengan orang-orang yang dapat menjadi cermin hati untuk memperbaiki diri, sehingga Kakak tak senantiasa lupa untuk sesekali bertanya: sampai di manakah kita saat ini? Apa kita sedang berada di sebuah tikungan, tanjakan, atau belantara liar?”

Beduk magrib sudah ditabuh saat Yulis memotong kata-kataku sebelumnya. Tapi kami masih menuntaskan pembicaraan kami—meski tak pernah bisa purna. Masing-masing kami masih menyimpan berbagai kegundahan, tentang hari yang lalu, tentang hari mendatang. Tapi masa tak peduli itu semua. Ia akan terus bergerak di antara makna dan hampa yang kita lalui tanpa terasa.


Read More..

Senin, 01 Oktober 2007

Malam Penuh Bintang di Halaman Belakang


Dini hari, aku kembali menyaksikan malam yang penuh bintang di halaman belakang. Kubayangkan, aku seperti duduk di balai-balai rumahmu, Yulis, di antara pepohonan dan sawah luas yang membentang di sekeliling. Kau bilang tak ada balai-balai di halaman. Tapi kelak aku pasti akan meletakkan balai-balai di halaman belakang ini, tempat kita nanti sesekali menghabiskan malam sambil menyaksikan bintang-bintang.

Yulis, kau tahu cahaya terang di ufuk timur itu, yang bergerak dari dasar garis langit dan terlihat seperti baru keluar dari peraduannya. Itu bukan bintang. Itu Venus, Yulis. Konon Venus adalah benda langit yang paling terang jika dilihat dari bumi, selain matahari dan bulan. Konon, ada yang bilang bahwa perempuan itu berasal dari sana. Entah mengapa, aku tak tahu pasti. Apa karena muasal nama Venus berhubungan dengan dewi kecantikan Romawi? Dalam sistem tata surya, planet yang berjuluk “bintang pagi” itu adalah planet paling panas, melebihi Merkurius. Temperatur permukaannya mencapai 460 derajat celcius. Jaraknya sekitar 41 juta kilometer dari bumi. Ya, 41 juta kilometer, Yulis. Itu artinya, jika kita—aku dan kau, Yulis—jalan-jalan ke sana dengan berkendara cahaya, maka kita akan menempuhnya sekitar 137 detik. Dua menit 17 detik.

Di arah timur agak ke tenggara, dengan posisi yang cukup meninggi dari halaman belakang rumah kita, yang tak kalah terang itu namanya Sirius. Pelajar yang menekuni astronomi mengenalnya dengan nama Alpha Canis Majoris. Ia menampakkan wujudnya dari horison di timur sejak jelang tengah malam tadi, dan terus bergerak meninggi. Yulis, aku sulit membayangkan bahwa kita dapat bertamasya ke sana, meski dengan cahaya. Dari halaman belakang rumah kita, Sirius itu berjarak sekitar 81,4 triliun kilometer. Jika dengan cahaya, kita akan menempuhnya selama hampir sembilan tahun. Ya, sembilan tahun, Yulis. Jika kita jadi berkendara cahaya ke sana, entah sudah seperti apa wajah lucu ponakan-ponakanmu. Entah juga bagaimana nanti ibu dan yang lain akan menatap kita dengan sedikit heran, menyaksikan raut usia kita yang seperti sedikit tertahan.

Yulis. Dari halaman belakang rumah kita, hamparan bintang dan benda-benda langit lainnya itu seperti mengejek kepongahan kita, yang kadang lupa diri bercampur takabur, merasa bahwa diri kita adalah segalanya dan orang lain tak punya apa-apa. Padahal, apa sih kita ini? Bahkan, jika berkendara dengan cahaya, mungkin usia kita tak akan cukup untuk sampai tiba di Antares, yang tadi malam selepas tarawih kulihat bersinar temaram kemerahan di ufuk barat daya, sedikit di bawah Jupiter yang tampak lebih terang. Yulis, kau tahu Antares itu berapa jaraknya dari halaman belakang rumah kita? Bintang yang diameternya lebih besar tiga ratus kali ketimbang matahari itu berjarak sekitar 3,7 kuadriliun kilometer dari sini. Artinya, ditempuh selama sekitar 400 tahun jika kita berkendara cahaya ke sana!

“Akan tetapi, katanya bintang-bintang juga dapat memberi rasa tenteram.” Tiba-tiba kau kubayangkan berkata pelan sambil tetap menatap ke arah Venus. “Yulis kemarin sempat membaca buku yang Kakak kirimkan terakhir, yang bercerita tentang bagaimana Nabi naik ke Langit melesat bersama cahaya kilat, setelah beliau dirundung oleh serentetan kejadian yang menyedihkan—istri dan pamannya tercinta meninggal dunia, di tengah upaya dakwahnya yang menghadapi tantangan berat. Yulis pikir, Nabi mungkin sekali merasa kehilangan, sangat terpukul dan sedih. Namun, ketika Nabi naik ke Langit, Yulis pikir Nabi kemudian menyaksikan bintang-bintang dari jarak yang lebih dekat, melewati atau bahkan mungkin singgah di bintang-bintang itu, dan betul-betul dapat merasakan keagungan Penciptanya.”

“Ya, mungkin.”

“Dan di saat merasakan keagungan Pencipta bintang-bintang itu, Nabi tak lagi sedih dan berkecil hati. Hatinya tenteram, karena sadar bahwa ia menjalankan misi sucinya atas titah Sang Maha Pencipta,yang selalu berada bersamanya.” Yulis melanjutkan. Aku melirik sedikit. Aku melihat senyum manis di ujung kata-katamu, dengan mata yang bercahaya.

Angin pagi berembus pelan di halaman belakang, seperti menyapa kita yang terkagum-kagum memikirkan bintang-bintang itu. Apakah angin ini dikirim dari bintang-bintang itu? Cahaya bulan yang masih cukup terang memoles rasa takjub dengan suasana yang meneduhkan dan begitu indah. Bulan akan terus melanjutkan perjalanannya ke arah barat. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar lantunan pengeras suara yang memutar ayat-ayat suci. Ayat-ayat itu bercerita tentang alam semesta, tentang unta yang dicipta, bumi yang dihampar, langit yang membentang, dan gunung yang menjulang. Ayat-ayat itu seperti meneruskan bisikan pelan bintang-bintang.

“Kak, apakah di bintang-bintang itu ada kehidupan yang lebih tenteram?” Tiba-tiba kau bertanya. Tatapanmu masih tak mau lepas dari bintang-bintang itu.

“Entahlah, Yulis. Tapi sepertinya Kakak sudah cukup tenteram hidup di sini. Kakak tak terpikir bahwa bintang dapat menjadi rumah yang lebih indah daripada di sini.”

“Apa Kakak tak lagi rindu pulang?”

“Yulis, Kakak sudah menemukan tempat untuk pulang. Kakak menemukan banyak bintang di sini. Tak hanya di malam ini. Tak hanya di halaman belakang ini. Bintang-bintang itu tinggal di hati Kakak. Bintang-bintang yang tak hanya mengajarkan Kakak untuk mengubur rasa congkak dan menerbitkan semangat. Bintang-bintang yang menyejukkan, teramat indah, dan selalu memancarkan sinar terang.”

Aku menjawab pelan, dengan tempo yang melambat. Dan aku menghentikan kata-kataku di situ. Yulis diam, tak melanjutkan bertanya. Suara binatang malam masih terdengar dari sekitar, di antara pematang dan rimbun semak dan pepohonan. Yulis mengubah posisi duduknya, menggenggam erat tanganku, sambil terus menatap Venus yang bergerak menaik.


* Tulisan ini terilhami oleh software komputer "Starry Night Backyard". Terima kasih kepada Hendro Setyanto yang telah memperkenalkan saya pada software ini.

Read More..

Minggu, 30 September 2007

Menelisik Makna Kompetensi Guru

Judul buku: Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai ke IKIP (1852-1998)
Penulis: Mochtar Buchori
Penerbit: Insist Press, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Juli 2007
Tebal: xiv + 206 halaman



Dalam beberapa pekan ini, berbagai media menyorot program sertifikasi guru yang sedang dilakukan pemerintah. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan meningkatkan mutu pendidikan. Banyak yang menyorot berbagai kemungkinan “permainan” dalam program yang pelaksanaannya secara hukum berlandaskan pada Peraturan Mendiknas No 18/2007 tersebut. Dugaan negatif semacam itu pada satu sisi tampak seperti sebentuk rasa cemas bahwa tujuan program sertifikasi itu tidak cukup mudah untuk dapat terwujud sepenuhnya.


Meski tidak secara langsung mengupas masalah sertifikasi guru, buku terbaru karya Mochtar Buchori ini sangat bernilai penting untuk dibaca dalam konteks sekarang ini, untuk merefleksikan kembali masalah-masalah yang dihadapi guru pada khususnya dan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya. Dalam buku ini, Mochtar Buchori berusaha meneliti perkembangan konsep kompetensi guru sejak masa kolonial Belanda hingga era reformasi, membentang dari tahun 1852 hingga 1998, yang diterjemahkan dalam program pendidikan dalam sekolah guru.

Secara garis besar, Mochtar Buchori membagi rentang tahun yang cukup panjang itu menjadi tiga fase utama, yakni fase zaman Hindia Belanda (1852-1942), zaman Jepang (1942-1945), dan zaman kemerdekaan (1945-1998). Pendidikan guru pada masa Belanda berwatak segregatif. Memang, pada saat itu sekolah mengenal sistem yang segregatif baik secara rasial, etnis, dan sosial-ekonomi. Ada sekolah untuk orang Eropa, untuk pribumi, dan untuk orang keturunan Cina. Untuk itu, setiap sistem persekolahan memiliki lembaga pendidikan guru sendiri. Ini menyebabkan timbulnya masyarakat guru yang heterogen.


Pada zaman Jepang, pendidikan guru dirampingkan. Pada satu sisi, hal ini tampak cocok dengan mulai menurunnya tingkat keragaman dan pelapisan sosial di masyarakat. Tapi di sisi yang lain muncul masalah: ketika menjadi relatif seragam, kendali mutu sekolah dan kinerja guru menjadi rumit. Belum lagi suasana militeristik yang sangat terasa pada zaman pendudukan Jepang ini, sehingga aspek akademis pendidikan guru kurang mendapat perhatian.

Memasuki era kemerdekaan, pemerintah Indonesia yang berdaulat mulai mengambil langkah-langkah serius untuk membenahi pendidikan guru. Mochtar Buchori membagi fase zaman kemerdekaan ini ke dalam empat periode. Periode 1945-1949, yang disebut periode rehabilitasi, ditandai dengan langkah pemulihan atas kondisi sistem pendidikan yang kurang membumi pada masa Jepang. Selanjutnya, pada periode ekspansi (1950-1965), dilakukan penambahan sekolah-sekolah guru, mulai dari sekolah guru yang paling bawah, hingga berdirinya IKIP pada tahun 1954 (semula bernama Perguruan Tinggi Pendidikan Guru atau PTPG). Sayangnya, pada periode ini, syahwat politik yang penuh nuansa persaingan antara “kekuatan kiri” dan “kekuatan kanan” telah memberi warna yang kurang kondusif bagi pendidikan guru. Situasi yang demikian telah membuat sulitnya suasana belajar atau iklim akademis yang cukup baik.

Mochtar Buchori membagi masa Orde Baru ke dalam dua periode. Awal Orde Baru (1966-1984) merupakan periode modernisasi pendidikan guru. Dalam periode ini, ada langkah-langkah untuk memutakhirkan kondisi pendidikan guru dengan memperkenalkan antara lain metode pembelajaran terbaru beserta perlengkapan teknologinya. Akan tetapi, pada paruh kedua periode Orde Baru (1985-1998) Mochtar Buchori menyebutnya sebagai periode ambivalensi. Pada periode ini terlihat kegamangan lembaga pendidikan guru dalam mendefinisikan identitasnya di antara perguruan tinggi yang lain serta dalam konteks perkembangan dan tantangan dunia global.

Bagian paling menarik dan kontekstual dalam buku ini terdapat dalam dua bab terakhir, yang berusaha mempertajam dan merefleksikan persepsi masyarakat dan kondisi pendidikan guru dalam sekitar tiga dasawarsa terakhir. Salah satu hal yang disorot dalam bagian ini adalah tentang mulai merosotnya status sosial dan wibawa guru di tengah masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan kondisi kerja, kinerja, dan sarana kerja guru. Sudah jamak diketahui kesejahteraan guru yang amat rendah saat ini, di tengah sistem manajemen sekolah yang cukup menekan guru dengan kurikulum yang dipandang terlampau sarat (overloaded). Kondisi yang demikian telah menghambat terbentuknya hubungan pedagogis yang ideal antara guru dan murid.

Pada bagian refleksi akhir, Mochtar Buchori memberikan renungan yang lebih bersifat paradigmatis tetapi cukup membumi dan tajam berkaitan dengan makna kompetensi mengajar dan profesionalisme guru. Salah satu poin menarik yang disorot adalah penciutan makna keterampilan pedagogik yang hanya dipandang sebagai kemampuan menyampaikan materi pembelajaran semata. Aktivitas mengajar cenderung hanya dipahami sebagai upaya untuk menyelesaikan agenda kurikulum, yaitu membahas semua topik pembelajaran, tanpa kedalaman mutu yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini terlihat di antaranya pada model evaluasi belajar di lembaga pendidikan kita yang tak mampu memberikan penilaian kualitatif yang memadai tentang potensi dan prestasi belajar siswa sebagai sosok pribadi yang utuh. Yang berkembang hanya sistem ranking yang sungguh impersonal.

Nilai penting buku ini tampak mengemuka dalam konteks berbagai upaya bersama bangsa ini untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan yang ada. Belakangan ini, selain program sertifikasi guru, media massa juga semarak menyoroti masalah Sekolah Bertaraf Internasional yang.sedang ngetren, yang pada dasarnya juga berada dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan. Demikian pula, pemikiran tentang model pendidikan alternatif mulai bermunculan pula, seperti pendidikan rumahan (home schooling), pendidikan berbasis komunitas ala Qaryah Thayyibah Salatiga, dan sebagainya.


Dalam sistem pendidikan, guru termasuk elemen signifikan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan pembelajaran. Buku ini menghadirkan sebuah refleksi yang sangat berharga, terutama bagi kalangan guru, untuk merenungkan dan mengevaluasi kembali langkah pengabdian yang diperjuangkannya untuk melahirkan generasi bangsa yang mampu bersaing di pentas dunia. Dengan refleksi ini, diharapkan kalangan pendidik pada khususnya dan civitas pendidikan pada umumnya dapat tergugah untuk tidak terjebak ke dalam formalisme administratif atas pengakuan penguasaan dan kompetensi keilmuan yang dimilikinya.

* Tulisan ini dimuat di Harian Jawa Pos, 23 September 2007.


Read More..

Minggu, 23 September 2007

Menjernihkan Stigma Manusia Madura

Judul buku: Manusia Madura: Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja, Penampilan, dan Pandangan Hidupnya seperti Dicitrakan Peribahasanya
Penulis: Mien Ahmad Rifai
Penerbit: Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2007
Tebal: xii + 504 halaman


Stigma dan stereotipe tentang suatu hal muncul dan bertahan terutama karena miskinnya informasi dan klarifikasi. Stereotipe yang bertahan sedemikian lama pada satu sisi menunjukkan bahwa suasana komunikasi sosial yang ada cukup tidak sehat. Dengan kata lain, iklim komunikasinya keruh, tidak jernih. Bila yang terjadi demikian, dan itu menyangkut sekelompok masyarakat (baik etnis, golongan, atau mungkin agama), maka pergaulan sosial akan gampang memunculkan prasangka yang pada satu saat dapat mudah memicu konflik, dari skala paling kecil hingga yang lebih masif.

Dalam sebuah penelitian tentang stereotipe etnis di Indonesia, Profesor Suwarsih Warnaen (2002: 121) mendefinisikan stereotipe etnis sebagai kepercayaan yang dianut bersama oleh sebagian besar warga suatu golongan etnis tentang sifat khas berbagai kelompok etnis lain, termasuk etnis mereka sendiri. Dalam kehidupan sosial, stereotipe etnis muncul dari proses sosial yang panjang dan kompleks. Menurut Suwarsih, cara terbaik untuk menjernihkan cara pandang masyarakat terhadap stereotipe etnis suatu kelompok adalah dengan menghimpun informasi yang bersifat objektif sebanyak mungkin, untuk kemudian disebarkan.

Profesor Mien Ahmad Rifai, penulis buku ini, sangat sadar akan perlunya klarifikasi dan informasi yang jernih tentang manusia Madura, sehingga kemudian lahirlah buku yang cukup tebal dan kaya referensi ini. Dalam kata pengantarnya, Profesor Mien menjelaskan maksud penulisan buku ini, yakni untuk mengisi kekosongan referensi yang memadai yang menjelaskan sosok manusia Madura. Menurut Mien, pemahaman yang lebih baik terhadap manusia Madura akan membantu terbentuknya keharmonisan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang memiliki masyarakat majemuk ini.

Pembahasan tentang manusia Madura dalam buku ini sangat luas dan mendalam. Hal itu sudah cukup tergambar dari subjudul buku ini, yang menunjukkan bahwa pembahasan tentang manusia Madura mencakup aspek pembawaan, perilaku, etos kerja, penampilan, dan pandangan hidupnya. Aspek-aspek yang disebutkan ini meliputi semua unsur kebudayaan manusia Madura, mulai dari kebudayaan fisik, hingga yang berhubungan dengan aspek nilai dan pandangan hidup.

Ada lima pokok bahasan atau sudut pandang yang digunakan untuk membahas manusia Madura. Yang pertama, sudut pandang sejarah, di bab kedua. Dalam bagian ini, Mien menguraikan sejarah sosial Madura sebagai sebuah unit kebudayaan. Pokok bahasan yang kedua adalah tentang pandangan (stereotipe) orang luar terhadap orang Madura. Dalam bab ketiga ini, dijelaskan berbagai stereotipe tentang manusia Madura, yang berkembang sejak zaman kolonial Belanda.

Di antara stereotipe itu adalah bahwa manusia Madura cepat tersinggung, pemarah, suka berkelahi, dan beringas. Dalam menyusun stereotipe itu, kadang ada upaya perbandingan dengan manusia Jawa. Digambarkan, misalnya, bahwa baik bangsawan Madura maupun rakyat jelatanya memiliki tubuh yang tidak seanggun orang Jawa. Tentang perempuan, digambarkan bahwa kecantikan wanita Madura itu jauh di bawah wanita Jawa Tengah dan Jawa Barat. Wanita Madura dipandang tidak anggun dan cepat tua. Dalam hampir segala hal, orang Madura dianggap lebih rendah dibandingkan dengan orang Jawa. Kalaupun orang Madura memiliki sifat-sifat positif, seperti bahwa manusia Madura memiliki tali kekeluargaan yang erat dan moral yang tinggi, itu kemudian dipandang sebagai konsekuensi sifat-sifat yang negatif tersebut.

Ironisnya, ketika Indonesia merdeka dan pengetahuan tentang masyarakat Madura meningkat, stereotipe semacam ini masih tetap bertahan. Mien menggarisbawahi, bahwa citra negatif orang Madura ini malah sering diperburuk sendiri oleh sejumlah orang Madura yang kurang berpendidikan dengan cara lebih menonjolkan kenegatifannya secara sengaja dengan maksud menakut-nakuti orang lain demi tujuan yang tak terpuji.

Pembahasan yang cukup panjang lebar tentang manusia Madura terdapat di bab keempat, yakni yang memaparkan cara pandang orang Madura terhadap dirinya sendiri. Pada bagian ini, Mien mengupas masalah ini dengan cara menafsirkan berbagai peribahasa yang hidup dalam kebudayaan Madura. Dalam bagian ini terungkap bahwa ternyata manusia Madura itu—di antaranya—bersifat sangat individualistis tetapi tidak egois, sangat menekankan ketidaktergantungannya pada orang lain, ulet dan tegar, suka berterus terang, suka bertualang, sangat menghormati tetua dan guru, dan sebagainya. Pada bagian ini, Mien juga menjelaskan fenomena carok, yang—seperti diungkap dalam penelitian A. Latief Wiyata—dikaitkan dengan konsep kehormatan atau harga diri. Akan tetapi Mien mencatat bahwa dalam beberapa ungkapan dan peribahasa Madura tersirat pandangan bahwa carok juga bukan kegiatan yang terpuji sehingga harus dihindari.

Di bagian kelima, Mien menjelaskan pandangan orang Madura terhadap etnis lain. Selanjutnya, di bagian keenam, Mien memberikan analisis tentang bagaimana tantangan manusia Madura ke depan. Mien menghubungkan masalah ini dengan proyek industrialisasi Madura. Menurut Mien, untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Madura, pendidikan harus menjadi prioritas tertinggi. Agenda perbaikan ekonomi masyarakat juga perlu mendapat perhatian, terutama dukungan dari pihak pemerintah. Selain itu, perlu juga ada ruang yang cukup leluasa bagi orang-orang Madura yang sukses baik dalam bidang keilmuan, ekonomi, dan sosial, untuk berkiprah kembali di kampung halamannya.

Terbitnya buku ini, dengan menghadirkan perspektif yang utuh tentang manusia Madura, tidak hanya mampu mengklarifikasi berbagai stigma dan stereotipe negatif yang selama ini mungkin cukup merugikan orang Madura, sehingga komunikasi antarbudaya yang terjalin dapat menjadi lebih baik. Dalam buku ini, Profesor Mien—yang kelahiran Sumenep—juga berhasil menghadirkan potret pergulatan budaya etnis Madura, etnis terbesar ketiga di Indonesia, di antara kebudayaan etnis yang lain. Bertolak dari situ, manusia Madura dapat merumuskan jati dirinya untuk dapat berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era globalisasi ini.

Read More..

Senin, 17 September 2007

Televisi dan Refleksi Religiusitas Puasa


Dalam dunia televisi di Indonesia, bulan Ramadan setiap tahun disambut dengan semarak. Berbagai program khusus bernuansa religius digelar. Bahkan, ada program televisi yang dimulai beberapa pekan sebelum umat Islam melaksanakan ibadah puasa, dan dirancang sebagai semacam sekuel dari program di bulan puasa sebelumnya.

Menurut beberapa penelitian, berbagai macam program televisi di bulan Ramadan tak bisa dilepaskan dari ideologi besar televisi, yakni dalam konteks posisinya sebagai media hiburan yang bekerja dengan logika pasar. Santri Indra Astuti (2007: 74-83) dalam sebuah penelitiannya misalnya menunjukkan bahwa bagi dunia televisi, Ramadan adalah komoditas—tidak lebih. Karena itu, tujuan berbagai program khusus Ramadan tidak lain adalah untuk meraih hati dan memanjakan pemirsa. Akibatnya, kendali mutu untuk muatan program-program tersebut kurang menjadi perhatian.

Sebagai ilustrasi, hampir semua program Ramadan di televisi disampaikan dengan gaya banyolan, dengan artis atau pelawak sebagai komunikator utamanya. Nyaris tak tampak ada upaya serius dari pihak produser untuk melibatkan kaum agamawan (ulama) dalam merancang program yang sesuai dan lebih kena. Yang lebih buruk lagi, meski tema yang diangkat memang berupa isu-isu keagamaan yang lebih bersifat sehari-hari, tak jarang muncul berbagai bentuk kekerasan verbal dan sikap yang tak santun yang terlontar dari komunikator utama di program tersebut.

Dari salah satu kesimpulan penelitian tersebut, menarik untuk lebih dicermati masalah makna religiusitas yang selama ini ditampilkan berbagai program Ramadan tersebut. Makna religiusitas macam apa yang dominan dalam program-program tersebut?

Patut disayangkan bahwa—sependek pengamatan penulis—makna religiusitas yang diusung oleh program Ramadan di televisi itu kebanyakan masih tak beranjak dari paradigma keberagamaan yang—dalam bahasa Gordon W. Allport—bersifat ekstrinsik. Dalam sikap keberagamaan ekstrinsik, agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain, seperti kebutuhan akan status, rasa aman, atau harga diri. Orang-orang yang beragama dengan cara ini melaksanakan bentuk-bentuk ibadah hanya pada tataran kulitnya saja (Rakhmat, 1998: 26).

Kita bisa melihat pemaknaan religiusitas yang bersifat permukaan ini dalam tema-tema yang diangkat dalam berbagai program Ramadan tersebut. Kebanyakan tema agama yang disajikan di sana lebih banyak berkaitan dengan aspek-aspek keagamaan yang bersifat ritual atau bentuk-bentuk penghayatan keagamaan yang kurang secara signifikan berkaitan dengan penguatan moralitas individual atau sosial seseorang. Jika bentuknya cerita (sinetron), tema dan alurnya kebanyakan bisa sangat klise dan khas sinetron Indonesia: seseorang yang “beriman” dan teraniaya, tapi kemudian berkat ketabahannya dia dapat melewati segala masalahnya dengan akhir yang membahagiakan.

Religiusitas yang dominan dalam program televisi di bulan Ramadan kurang menyentuh nilai-nilai substantif agama yang bertolak dari realitas umat. Religiusitas di sini nyaris sepenuhnya dikerangkeng dalam pengertian ritualisme, dan kadang seperti menjadikan agama sebagai pelarian atau penghiburan atas penderitaan hidup dan realitas masyarakat kita yang korup dan “sakit”. Makna “positif” religiusitas dalam kerangka penguatan nilai dan moralitas sosial, yakni nilai-nilai yang kental dalam makna terdalam ibadah puasa, tak menjadi tema dominan. Agama seperti tak diajak untuk berdialog dengan realitas konkret di masyarakat, dan hidup di “dunia lain” yang indah dan menyejukkan—tetapi sejatinya dangkal.

Jika dicermati lebih jauh dan lebih mendalam, hal ini mungkin tak terlalu mengejutkan. Program televisi bernuansa keagamaan di bulan Ramadan dapat dikatakan sebagai salah satu wujud representasi dan persepsi yang bersifat kontinu dari berbagai program keagamaan di layar kaca. Dalam beberapa tahun ini, dunia televisi kita tumpah ruah dengan berbagai “sinetron religi” yang dalam beberapa hal kadang mendangkalkan makna agama itu sendiri. Dalam beberapa tayangan tersebut, agama, misalnya, digambarkan identik dengan hal-hal yang berbau “mistik”. Realitas yang ditampilkan nyaris sama sekali tak berjangkar pada realitas umat.

Sungguh sayang, televisi yang dalam jagad Indonesia saat ini menjadi media yang sangat signifikan dalam menanamkan nilai-nilai kepada masyarakat masih berkutat pada logika kapital. Dalam program Ramadan, dapat dikatakan bahwa dalam beberapa hal televisi telah mengorbankan makna religiusitas agama yang substantif dan kontekstual, untuk kemudian ditukar dengan rating yang menawan.

Dengan mengambil cara pandang yang berbeda, dari perspektif masalah yang diulas ini kita juga dapat berefleksi dan mengaca diri dengan mengajukan pertanyaan: religiusitas dan sikap keberagamaan macam apa sebenarnya yang sejauh ini banyak berkembang dan dipahami masyarakat, seperti yang tercermin dalam penerimaan dan apresiasi mereka terhadap berbagai program Ramadan di televisi itu? Jawaban atas pertanyaan ini akan cukup berpengaruh atas upaya kaum agamawan dan kelompok masyarakat lainnya untuk lebih memberikan makna yang kontekstual dan membumi bagi agama yang dipeluknya.

Wallaualam.

Read More..

Kamis, 06 September 2007

Sejarah Buku-Buku


Pagi ini ada seseorang yang mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya dariku. Satu di antaranya ternyata kembali dalam keadaan cacat: ada satu halaman yang sedikit sobek, dan ternyata, yang lebih parah lagi, jilidnya lepas mendua. Saat kubuka dengan perlahan, kelihatan ada semacam jurang yang menganga. Bekas-bekas lem yang sudah tak kuat lagi merekatkan lembar-lembar halaman itu tampak menyedihkan dan tak berdaya. Beberapa lembar halaman di perbatasan jilid yang mendua itu seperti sudah akan segera copot satu-satu.

“Saya sudah menyimpannya di lemari. Tapi ternyata masih ada yang ngambil tanpa setahu saya, dan beginilah jadinya. Saya mau menggantinya,” katanya, setelah dia lebih dulu memberi tahu soal halaman yang sobek.

“Nggak usah,” jawabku. “Lagi pula, tiga buku yang kamu pinjam itu tergolong buku langka. Saya ga yakin sekarang masih ada yang menjualnya. Termasuk yang jilidnya lepas itu.”

“Aduh, bagaimana ya. Saya ingin bertanggung jawab. Saya mau memesannya ke penerbit, langsung,” katanya, dengan wajah yang menunjukkan rasa penyesalan bercampur sedikit ketakutan.

“Nggak usah, ga usah dipikirkan. Kali ini saya maafkan. Anggaplah ini hadiah ulang tahun buat kamu,” jawabku. Kemarin sore aku memang ketemu dia, dan dia baru menerima hadiah ulang tahun dari teman-temannya.

“Ya udah, makasih ya…” katanya sambil sedikit senyum-senyum malu.

“Banyak di antara buku saya yang udah langka, udah ga ada lagi di toko-toko buku.”

“Terus buku-buku itu dapat dari mana?,” temannya bertanya, seperti ingin membantu mengatasi rasa bersalah yang masih tersisa di temannya.

“Buku-buku itu sudah lama saya beli. Lihat saja tanggalnya. Ada yang sudah sepuluh tahun yang lalu. Dan penerbitnya udah gulung tikar beberapa tahun lalu. Jadi kalo sekarang ga mungkin bisa dapat bukunya kan?”

“Iya, udah kalo gitu. Maafkan ya udah bikin bukumu cacat.”

“Iya,” jawabku singkat. Mereka kemudian berlalu. Mungkin masih dengan rasa bersalahnya.

Aku jadi ingat buku-bukuku yang lain. Beberapa bukuku itu tak hanya ada yang sudah langka, sudah seperti menjadi barang antik, tetapi ada juga beberapa bukuku yang menyejarah. Memiliki buku yang sudah sulit ditemukan di toko buku memang menjadi kebanggaan tersendiri. Kadang ada beberapa teman yang ingin fotokopi. Tapi, buku-buku yang menyejarah lain lagi. Nilainya lebih dari itu.

Aku jadi ingat buku yang baru tuntas kubaca semalam. Judulnya Creative Writing, karya AS Laksana. Buku itu aku dapatkan dengan memesan kepada teman di Jogja. Kebetulan kami bertemu di acara pernikahan teman kami di Gresik, beberapa waktu yang lalu. Buku pesananku itu dia bawa ke Gresik. Nah, aku ternyata asyik membaca buku itu selama di perjalanan. Dari Gresik ke Surabaya. Dari Surabaya ke Sumenep.

Ngomong-ngomong, bagi beberapa penulis, perjalanan memang sering menjadi sumber ilham. Konon, Arswendo Atmowiloto banyak menangkap isyarat ilham untuk tulisannya saat ia bepergian. Nawal el Saadawi, sastrawan feminis asal Mesir juga menulis semacam buku perjalanan yang reflektif. Diah Marsidi, seorang wartawan senior Kompas, juga menuliskan kisah-kisah perjalanannya yang menarik dalam buku Sekali Merengkuh Dayung.

Ada beberapa buku yang kubaca dalam suasana perjalanan. Sebuah buku yang dibaca dalam perjalanan biasanya selalu menarik. Jika tidak, kita bisa berhenti membacanya, dan menyimpannya rapi di tas ransel. Buku yang tuntas kubaca semalam itu aku baca di antara Gresik, Surabaya, dan Sumenep. Di Gresik, aku sedikit membacanya ketika baru melaju bersama bis yang mengangkutku menuju Surabaya. Di Surabaya, aku sempat membaca beberapa bab dari buku 164 halaman itu ketika sedang menginap di rumah paman. Juga ketika sedang menunggu teman, di trotoar sebuah jalan besar yang di tengahnya ditanami pohon-pohon rindang. Membaca saat menunggu ternyata kadang memang tak bisa total, karena menunggu kadang menyelipkan perasaan tak tenang. Apalagi menunggu sesuatu yang istimewa.

Pagi ini, aku juga ingat Pangeran Kecil, karya Antoine de Saint-Exupéry. Aku membeli buku itu di sebuah akhir pekan, sepulang dari kantor, lebih tiga tahun silam, lalu aku langsung membawanya serta dalam perjalananku dari Jogja ke Malang, dan terus ke Jombang.

Aku juga ingat buku-buku yang lain, baik yang kubaca dalam perjalanan, kubeli di perjalanan, atau yang aku dapatkan di sebuah acara bersama teman-teman. Atau ketika aku mendapatkan sebuah buku langka di antara tumpukan buku usang yang tak diperhatikan orang.

Sebenarnya aku ingin meminjamkan buku Creative Writing itu kepada si peminjam buku yang mengembalikan tiga bukuku pagi ini. Tapi ga jadi. Aku bukan ragu dengan cara dia menjaga bukuku. Aku jadi merasa ada yang istimewa dengan buku itu—buku yang baru tuntas kubaca semalam, setelah sebelumnya separohnya aku baca dalam perjalanan. Aku baru sadar, bahwa buku-buku ada yang memiliki sejarah—seperti juga lagu-lagu, dan perjalanan. Menulis buku juga memiliki sejarah. Demikian pula, membaca sebuah buku juga punya sejarah. Seperti halnya kita yang punya sejarah.

Aku tinggal di dalam itu semua. Di sana, aku tak sendiri.


Read More..

Kamis, 23 Agustus 2007

(Semoga) Menjadi Manusia Dewasa


“Jangan pernah berubah karena orang lain. Berubahlah karena diri sendiri!” Begitu salah satu kata-katamu yang selalu aku ingat. Aku tak begitu ingat kapan tepatnya kau mengatakan itu. Tapi aku ingat betul bagaimana kau mengatakannya.

Pada hari Sabtu dini hari kemarin, aku kembali teringat kata-katamu itu. Kata-katamu itu seakan datang menggenapi pesan singkatmu yang baru sempat terbaca begitu aku terbangun. Entah kenapa, aku juga jadi teringat tiga tahun yang lalu, di sebuah pembicaraan telepon menjelang penghujung bulan agustus, saat kau menanyakan tanggal ulang tahunku. Kau bertanya seperti dengan senyum tersipu.

Pada hari Sabtu yang lalu, menjelang subuh, aku kembali mengingat keping-keping itu, satu satu, bahkan memanjang jauh ke belakang. Jejak yang mungkin sudah terhapus, lorong-lorong sunyi, malam-malam ditemani buku dan kopi, radio kesayangan, kambing dan kelinci, dan lapangan bola di dekat rimbun pohon jati.

Kurasa, beberapa masih belum kuceritakan padamu. Yulis, di manakah kau saat itu?

Read More..

Jumat, 17 Agustus 2007

Trauma, Doa, dan Gelang Karet


Dik, trauma tak akan hilang dengan logika. Kau bilang bahwa waktu akan melenyapkannya. Tapi berapa lama? Aku pernah menulis bahwa mungkin saja ada doa yang menghapus trauma. Mungkin sekali. Tapi, lepas dari itu, aku ingin katakan bahwa lebih sebulan aku sudah mengenakan sebuah gelang karet di tangan kiriku. Konon, trauma dan segala alam bawah sadar negatif kita bisa kita tundukkan perlahan dengan jepretan gelang karet itu. Entahlah. Tapi kupikir ada benarnya. Eh, salah, kurasa ada benarnya juga. Cuma saja, ada satu alam bawah sadar negatif yang sulit kutaklukkan: rasa rendah diri dan rasa bersalah! Apakah aku perlu mengenakan tiga gelang karet sekaligus?

Dik, kemarin aku sudah menyiapkan sawo kecik—entah apa kau suka atau tidak.

Dik, maafkan aku, karena tak menyebut namamu. Dik, maafkan aku, untuk semuanya.

Read More..

Senin, 30 Juli 2007

Saksi Mata: Melawan Pembungkaman

Judul buku: Saksi Mata (Edisi Kedua)
Penulis: Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Cetakan: Keempat, 2002
Tebal: 166 halaman



Karya sastra oleh kebanyakan orang dipandang sebagai karya fiksi belaka; ia dianggap sebagai semata rekaan yang tak terlalu berkaitan dengan kehidupan nyata. Karya sastra dipandang seolah terlepas dari akar realitas kehidupan sehari-hari, dan memiliki dunia sendiri yang otonom.


Persepsi semacam ini jelas keliru. Karya sastra, seperti produk kebudayaan lainnya, tidaklah hadir dalam ruang kosong. Ia berdialog dan merefleksikan berbagai aspek faktual yang ada di masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Menurut Pierre Bourdieu, sebuah karya sastra, atau kesenian pada umumnya, selalu melewati suatu ruang dalam hubungannya dengan ruang-ruang yang lain. Bourdieu mencatat setidaknya ada tiga ruang yang menjadi variabel penting dalam sebuah produk kesusastraan (dan kesenian). Pertama, medan kekuasaan (the field of power), yaitu perangkat kekuasaan ekonomi-politik yang merupakan cerminan hasil pertarungan kekuasaan di antara sejumlah elite; kedua, medan literer (literary field), yaitu universum literer yang bersifat otonom yang mengikat seorang pengarang dalam bekerja dan berkarya terkait dengan nilai-nilai estetis; ketiga, the genesis of the producers’ habitus, yakni disposisi yang dimiliki setiap penulis yang menentukan wataknya dan selanjutnya menentukan genre kesusastraan yang diambilnya dalam berkompetisi di dalam medan sastra (Dhakidae, 1995: 77).

Pergulatan karya sastra dengan kekuasaan telah melahirkan dinamika yang cukup kaya. Dinamika dan pertemuan karya sastra dan kekuasaan itu cukup menarik untuk dicermati terutama jika ia lahir dalam sebuah lingkungan sosial-politik yang represif, di tengah kekuasaan negara yang begitu menggurita dan sangat berhasrat untuk mengendalikan seluruh arus informasi yang beredar di masyarakat. Dalam situasi semacam ini, pers dan media massa pada umumnya diawasi dengan ekstra ketat agar segala produk dan informasi yang disebarkannya sesuai dengan selera penguasa.


Lingkungan sosial-politik semacam ini di satu sisi telah banyak menghasilkan berbagai bentuk perlawanan beberapa kelompok masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap penguasa (negara). Ada yang menggunakan media bawah tanah untuk menularkan gagasan-gagasan perlawanan yang didistribusikan secara sembunyi-sembunyi. Ada yang mencetak selebaran gelap. Ada pula yang memanfaatkan teknologi internet.


Di sisi yang lain, karya sastra kadang juga menjadi media alternatif untuk menyiarkan gagasan-gagasan bernuansa perlawanan. Dalam ruang yang lebih spesifik, karya sastra kadang juga dapat menjadi media untuk menuturkan kembali berbagai peristiwa aktual yang dalam media-media publik yang bersifat resmi jarang atau sulit diturunkan. Jurnalisme kadang menghadapi tantangan yang cukup rumit untuk dapat bersuara secara terbuka, terutama tema yang terbilang sensitif. Tantangan itu tidak saja berhubungan dengan kepentingan untuk menjaga stabilitas politik (kekuasaan) kelompok penguasa (negara), tetapi juga dapat berupa kepentingan untuk menjaga stabilitas bisnis penguasa modal.


Pada titik semacam ini, yakni ketika jurnalisme menjadi ompong, atau bahkan dibungkam, sastra harus bicara. Seno Gumira Ajidarma menegaskan ini secara eksplisit dalam salah satu esainya. Dalam esainya yang lain, yang kemudian terkumpul dalam satu buku kumpulan esai, Seno menegaskan bahwa jurnalisme harus sadar dengan keterbatasannya. Keterbatasan ini dapat disebut sebagai sebuah ruang kosong yang dalam pengertian tertentu menyiratkan belum terpenuhinya idealisme jurnalisme yang sebenarnya, yakni mengungkapkan fakta kemanusiaan yang bernilai penting secara jujur.

Jurnalisme, dengan demikian, harus kritis terhadap keterbatasannya, dan itu berarti rumus-rumus lama junalisme harus dibongkar dan diperiksa kembali. Memang ada “rubrik-rubrik kasihan” di mana laporan kehidupan para pengungsi atau orang-orang menderita dituliskan, Tetapi masalahnya bukan di situ: para korban masih hanya dianggap sebagai pelengkap penderita—sesuatu yang sudah sewajarnya ada. Menurut saya pandangan semacam ini harus diubah. Para korban harus menjadi prioritas utama, karena tanpa berpihak kepada mereka yang tertindas dan menderita, Jurnalisme akan kehilangan makna sebagai media dalam arti yang sesungguhnya: mengusahakan segalanya demi harkat manusia. Itulah yang saya maksudkan sebagai ruang kosong dalam jurnalisme Indonesia (Ajidarma, 2005: 221-222).


Dalam ungkapan yang lain, kutipan ini menyiratkan bahwa Seno sedang mengkritik dan melawan historisisme, yakni sejarah yang hanya dicipta bagi pembenaran kekuasaan. Sering dikatakan bahwa sejarah adalah milik para pemenang, bukan milik para pecundang. Sejarah berada dalam genggaman tangan penguasa. Kaum pinggiran, para kere, para korban, dan mereka yang ditindas dan dikalahkan, tak mendapatkan tempat dalam sejarah. Tak ada ruang yang disisakan untuk mengangkat kisah-kisah mereka ke permukaan.


Sepertinya, ruang kosong semacam inilah yang oleh Seno kemudian berusaha dimasuki dan dijelajahi lebih mendalam serta lebih subtil, sehingga dari tangannya lahirlah banyak cerita pendek bertema sosial-politik yang berupaya mengolah fakta yang kurang tersentuh dalam dunia jurnalisme secara penuh. Buku kumpulan cerita pendek berjudul Saksi Mata ini adalah salah satunya.

* * *
Saksi Mata edisi kedua memuat enam belas cerita pendek yang sebelumnya dimuat di berbagai media massa, meliputi Harian Kompas (8 cerpen), Suara Pembaruan (2 cerpen), Republika (2 cerpen), Majalah Matra, Horison, Basis, dan Hidup (masing-masing 1 cerpen). Keenam belas cerpen ini ditulis dalam masa pemerintahan rezim Orde Baru, yakni dari Maret 1992 hingga Agustus 1997.


Tidak seperti pada edisi pertamanya yang terbit pada tahun 1994, dalam Saksi Mata edisi kedua ini Seno memberikan pernyataan agak eksplisit melalui catatan pengantarnya bahwa cerpen-cerpen dalam buku ini berkaitan dengan Insiden Dili 12 November 1991 (Ajidarma, 2002: vii). Memang, secara lebih lugas dan komprehensif Seno telah menulis sebuah pemaparan yang utuh tentang konteks proses kreatif cerpen-cerpen dalam Saksi Mata. Ceritanya bermulai dari ketika Seno sebagai pemimpin redaksi Majalah Jakarta Jakarta menurunkan laporan tentang peristiwa yang dalam pemberitaan luar negeri kemudian disebut The Dili Massacre itu, dan kemudian mendapat teguran keras dari pihak militer, hingga akhirnya oleh manajemen perusahaan dicopot dari Jakarta Jakarta selama hampir dua tahun. Selanjutnya, secara lebih eksplisit Seno menulis:

…akhirnya saya sendiri menuliskan kembali Insiden Dili, dalam berbagai bentuk cerita pendek. Tentu saja tentang cerita pendek itu sendiri tidak penting, karena tujuan saya menuliskannya kembali bukan untuk mengejar kualitas sastra, melainkan mengungkap kembali peristiwa itu, sebagai suatu perlawanan.
...Pilihan perlawanan saya jatuh pada hal-hal yang sensitif, karena saya pikir hanya dengan cara itu saya bisa menunjukkan betapa Insiden Dili bukan hanya tidak bisa dilupakan—seperti berita sepenting apa pun yang akan kita lupakan ketika mendapat berita penting yang lain, dari hari ke hari—tapi bahkan saya abadikan. Karena memang di sanalah hakikat perbedaan jurnalistik dan sastra. Saya dengan sadar ingin membuat pembungkaman itu tidak berhasil. Saya melawan (Ajidarma, 2005: 97-98).


Meskipun Seno menyatakan bahwa dalam menulis cerpen-cerpen dalam Saksi Mata ini ia tak bermaksud untuk mengejar kualitas sastra, kita tetap dapat merasakan bahwa kualitas kesusastraan Seno tetap terjaga. Seno tidak terjebak pada teknik-teknik klise atau bersikap menunggangi plot dengan sedemikian rupa untuk memenuhi tujuan seperti yang dipancangkannya di titik mula.
Dalam cerpen berjudul “Saksi Mata” yang menjadi pembuka sekaligus dipilih menjadi judul sampul kumpulan cerpen ini, Seno mengolah unsur surealisme dengan sarkasme. Cerpen ini menceritakan seorang saksi mata di pengadilan yang datang tanpa mata. Di beberapa bagian cerpen ini, Seno memberikan gambaran yang cukup detail tentang bagaimana mata orang itu berlubang dan mengucurkan darah ke sekujur tubuhnya hingga ke lantai ruang pengadilan. Untuk memperkuat deskripsi ini, Seno menyajikan petikan dialog antara Saksi Mata dan Hakim tentang bagaimana Saksi Mata itu kehilangan matanya.

“Saudara Saksi Mata.”
“Saya Pak.”
“Di mana mata Saudara?”
“Diambil orang Pak.”
“Diambil?”
“Saya Pak.”
“Maksudnya dioperasi?”
“Bukan Pak, diambil pakai sendok.”
“Haa? Pakai sendok? Kenapa?”
“Saya tidak tahu kenapa Pak, tapi katanya mau dibikin tengkleng.”
“Dibikin tengkleng? Terlalu! Siapa yang bilang.”
“Yang mengambil mata saya Pak.”
(Ajidarma, 2002: 3-4)


Dalam petikan ini, Seno menambahkan efek sarkastis penggambaran lubang mata si Saksi Mata itu dengan penjelasan bahwa katanya mata itu diambil untuk dibuat tengkleng. Tengkleng adalah masalah khas Surakarta, semacam sop tulang-belulang kambing dengan tempelan daging di sana-sini. Dalam cerpen berjudul “Manuel”, Seno juga membuat gaya penuturan serupa, ketika menggambarkan seorang nenek yang kulit pipinya diiris dan disuruh ditelannya sendiri mentah-mentah saat diinterogasi (Ajidarma, 2002: 28).
Selain surealisme dan sarkasme yang dibangun dalam “Saksi Mata”, Seno juga berhasil memasukkan unsur kritik cerdas yang cukup halus tapi menohok untuk menunjuk kepada pelaku yang mencederai Saksi Mata itu. Saat ditanya oleh Hakim tentang siapa yang mengambil matanya, Saksi Mata itu menjelaskan:

"Itu lho Pak, yang hitam-hitam seperti di film.”
“Mukanya ditutupi?”
“Iya Pak, cuma kelihatan matanya.”
“Aaah, saya tahu! Ninja2 ‘kan?”
“Nah, itu Pak, ninja! Mereka itulah yang mengambil mata saya dengan sendok!”
(Ajidarma, 2002: 5)


Untuk menegaskan bahwa pelaku yang mencederai Saksi Mata itu adalah pihak militer, Seno melakukan dengan teknik yang cukup canggih. Dalam kutipan di atas, pembaca mendapatkan penjelasan bahwa pelakunya adalah orang berpakaian hitam-hitam ala ninja. Bagi masyarakat awam, ninja tak memiliki konotasi makna apa-apa. Kata “ninja” bagi pembaca umum lebih “netral”, merujuk pada jago silat yang pakaiannya menutupi sekujur tubuhnya dan hanya menyisakan matanya saja untuk melihat. Paling jauh, ninja, seperti sering ditampilkan dalam film-film laga produk Amerika, adalah sekelompok penjahat atau pembunuh bayaran. Pada bagian ini, Seno memberi tanda rujukan pada catatan kaki yang pada akhirnya dapat mengantarkan pembaca untuk merasakan nuansa makna konotatif “ninja” yang sebenarnya dimaksudkan dalam kutipan tersebut. Dalam rujukan catatan kaki pada kata “ninja” di cerpen tersebut, Seno menjelaskan bahwa ninja—yang berasal dari kata ninjutsu—merupakan istilah bagi seni spionase dalam tradisi Jepang. Secara detail, Seno memaparkan bagaimana tradisi ninja ini berkembang di Jepang (Ajidarma, 2002: 11-12). Dengan cukup meyakinkan, secara tidak langsung pembaca digugah bahwa kata “ninja” menurut pemahaman konvensional secara denotatif tidaklah cukup untuk memahami konteks cerita ini. Kata “ninja” ternyata memiliki makna konotatif yang terlalu sulit untuk dipisahkan dengan kelompok intelijen (militer) negara.
Gaya surealis cukup banyak mewarnai cerpen-cerpen dalam buku ini. Cerpen berjudul “Misteri Kota Ningi (atawa The Invisible Christmas)” bertutur melalui tokoh aku, seorang petugas sensus, tentang kejanggalan yang terjadi di kota Ningi, bahwa ternyata dari tahun ke tahun penduduk kota itu semakin berkurang. Seno menggunakan kata “Ningi” untuk merujuk pada kota Dili, ibukota Timor Timur. Mayoritas penduduk Indonesia saat itu mungkin tak bisa langsung mengerti bahwa yang Seno maksud dengan kata “Ningi” adalah kota Dili. Dalam hal ini, Seno menggunakan “bahasa gali” di Yogyakarta, yang rumusnya berdasarkan pada 20 bunyi dalam huruf Jawa hanacaraka, dengan menukar baris pertama berpadanan dengan baris ketiga, dan baris kedua dengan baris keempat (Ajidarma, 2005: 107). Teknik semacam ini cukup menarik, karena berhasil memanfaatkan khazanah kebudayaan lokal untuk menjadi media penyiaran informasi yang terbilang sensitif kepada publik yang lebih luas.


Dalam cerpen ini, Seno mengolah data statistik dari tulisan George Junus Aditjondro tentang populasi Timor Timur untuk ditampilkan kembali sebagai bahan objektif. Melalui tokoh aku, Seno menyajikan angka-angka statistik yang berkecenderungan kian menyusut. Selanjutnya, tokoh aku menggambarkan kejadian-kejadian aneh di kota Ningi berkaitan dengan angka statistik tersebut. Kejadian dimaksud berupa sendok-garpu yang bergerak sendiri, gelas yang tertuang ke mulut yang tak kelihatan, suara orang mandi jebar-jebur namun tak kelihatan orangnya, lalu lintas para makhluk tanpa bentuk yang terus berjalan, dan semacamnya. Di bagian akhir cerita, yang menggambarkan suasana peringatan natal, tokoh aku tinggal sendiri saja. Ia merayakan natal bersama orang-orang yang tak kelihatan.


Kemampuan Seno dalam mengolah data faktual untuk digabungkan secara hidup dalam sebuah karya fiksi memang cukup menarik dan terhitung berhasil. Dari kebanyakan cerpen yang ditulisnya yang memang bercorak demikian—bahkan setelah era reformasi memberikan kebebasan berekspresi yang relatif cukup luas bagi para seniman—para pembaca memang tidak hanya memperoleh suatu cara pandang lain terhadap suatu kejadian faktual, akan tetapi juga mendapatkan suatu impresi mendalam yang dikelola dalam suatu kecanggihan cara bertutur dan berekspresi melalui bahasa yang mampu bermain dengan lincah. Dengan segala keterbatasan sebuah genre cerpen, Seno cukup mampu menampilkan sisi-sisi estetis dalam bercerita dan tidak hanya menunggangi bahasa sehingga menjadi sangat mekanis. Pada sisi lain, keasyikan pembaca mengikuti alur dan permainan bahasa Seno di akhir cerita kerap kali tiba-tiba dikejutkan oleh suatu momen atau kejadian yang mampu menjungkirkan dugaan-dugaan pembaca tentang akhir cerita dan—meminjam ungkapan Hasif Amini (1999: 51)—“menjotos kebiasaan maupun kejemuan kita secara telak, secara jitu”. Dengan gaya ini, ketajaman cerpen-cerpen Seno menjadi semakin tampak.


Teknik memasukkan data faktual ke dalam cerpen memang sudah cukup lihai digunakan Seno. Dalam cerpen berjudul “Darah itu Merah, Jenderal”, yang bercerita tentang seorang Jenderal yang sedang bersantai di kolam renang di rumahnya sambil mengenang masa lalunya yang penuh darah, Seno berhasil memasukkan sebuah kutipan menarik yang diambilnya dari sebuah wawancara faktual. Dalam cerpen ini, kutipan berikut merupakan jawaban si Jenderal atas pertanyaan wartawan tentang kekayaan pejabat militer. Sementara itu, di akhir sebuah petikan jawaban si Jenderal, Seno merujukkannya pada catatan kaki yang menjelaskan bahwa petikan ini dikutip dari wawancara yang dimuat di Jakarta Jakarta rubrik Sebagian Kehidupan.

“Lho, jujur saja, memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, ‘Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.’ Saya terima saja, tidak malu.”
(Ajidarma, 2002: 104)


Dalam cerpen tersebut, Seno memberikan penjelasan tentang sumber kutipan yang merujuk pada majalah Jakarta Jakarta tersebut, dengan kalimat penjelas yang mengikutinya, berbunyi: “Namun cerpen ini, tentu saja, tetap sebuah cerpen.” Kalimat ini seperti ingin mementahkan kesan bahwa hal yang tergambar dalam kutipan tersebut memang merupakan fakta yang biasa terjadi dalam dunia militer Indonesia. Akan tetapi, dari plot yang disusun, pembaca seperti akan mengalami kesulitan untuk menganggap hal semacam itu hanya fiktif belaka. Di sini, Seno memanfaatkan data faktual untuk bermain-main dan akhirnya mampu melahirkan ironi dan satir yang cukup tajam.


Selain bercorak surealis, ada pula cerpen realis dalam buku ini yang tak kalah menarik. Cerpen berjudul “Kepala di Pagar Da Silva” berkisah tentang kepala yang tertancap di pagar Da Silva, yang tak lain adalah kepala Rosalina, anak perempuan Da Silva satu-satunya. Sebagian besar cerita berpusat pada dua orang di rumah sebelah Da Silva yang menyaksikan kepala bersimbah darah itu di malam hari, saat jam malam. Dari balik pintu, dua orang itu, yang salah satunya ternyata adalah kekasih Rosalina, saling berbisik, gemas, marah, dan merasa kasihan pada Da Silva jika ia mengetahuinya. Alur cerita kemudian bergerak pada kedatangan Da Silva yang lalu masuk ke rumahnya sendiri. Pembaca tentu menunggu-nunggu momen saat Da Silva menemukan kepala anaknya itu. Tapi Seno masih mempermainkan imajinasi pembaca dengan kelebat pikiran Da Silva tentang istri dan tiga anak laki-lakinya yang sudah terbunuh di medan perang, serta percakapan dua orang tetangganya itu. Cerita ditutup dengan mengambang, ketika setelah hujan reda Da Silva membuka pintu rumahnya, untuk kemudian melangkah keluar. Pembaca dibiarkan melanjutkan sendiri kisah tragis Da Silva yang diteror dengan kepala anak perempuannya itu.


* * *
Insiden Dili 12 November 1991 adalah peristiwa kelam dalam sejarah politik Indonesia. Meskipun pemerintah mengakui hal itu sebagai insiden, yang berarti suatu kejadian yang tak disengaja, dan bahwa kemudian pejabat militer dari wilayah yang bersangkutan ternyata diganti, namun peristiwa tersebut—setidaknya oleh rezim Orde Baru—masih dipandang sebagai tabu karena melukai wajah Indonesia di mata masyarakat internasional. Kita akan kesulitan menemukan pemaparan yang cukup detail tentang peristiwa tersebut dalam catatan-catatan sejarah. Setelah Reformasi, kita menemukan beberapa buku yang menuturkan hal tersebut, meski sekilas, seperti yang dilakukan Anders Uhlin (1998: 223-226) yang mengulas kasus Timor Timur tersebut dalam konteks transnasional politik Indonesia, atau dalam buku M.C. Ricklefs (2005: 590-592, 636-637).


Tentu saja, dibandingkan dengan dua buku ini, Saksi Mata mencatat beberapa kelebihan yang unik dan hanya dimiliki genre cerpen (sastra). Cerpen-cerpen dalam Saksi Mata ini datang dengan mengincar sisi batin pembaca, emosi pembaca, untuk disentuh, digugah, dan dibawa ke suasana tragedi kemanusiaan yang terjadi di Timor Timur. Yang cerdas dan khas, tanpa harus mendapatkan penjelasan tersendiri tentang konteks faktual proses kreatif cerpen-cerpen ini, pembaca dapat menangkap kecerdikan Seno untuk melibatkan data faktual yang relevan dalam karya-karyanya. Memang, cerpen-cerpen dalam Saksi Mata dapat dikatakan sebagai eksprimentasi pertama Seno dalam mengolah data faktual semacam itu. Dalam beberapa karya berikutnya, Seno melakukan hal yang sama untuk beberapa kasus serupa, seperti dalam Jazz, Parfum, dan Insiden (Bentang Budaya, 1996) yang juga berkisah tentang Insiden Dili dengan gaya yang lebih vulgar tetapi diselingi dengan esai tentang jazz dan fiksi tentang perempuan dan parfum, komik yang ditulis bersama Zacky berjudul Jakarta 2039 (Galang Press, 2001) yang merefleksikan perkosaan massal Mei 1998, dan naskah drama Mengapa Kau Culik Anak Kami? (Galang Press, 2001) tentang penculikan para aktivis.


Saksi Mata adalah sebuah dokumentasi penting yang berusaha menghadirkan sebuah realitas kemanusiaan dengan melawan ketakutan dan pembungkaman. Bagi Seno, cerpen menjadi media alternatif untuk tetap konsisten menyuarakan kebebasan dan kejujurannya yang tak tertolak dalam jurnalisme yang ompong atau jurnalisme yang tak bisa penuh menghadirkan kembali kenyataan dalam beragam nuansa maknanya yang kaya. Seno menegaskan hal ini dapat pasase berikut:

Fakta apa pun, fiksi manapun, hanyalah bagian dari mata rantai komunikasi itu. Menjadi jelas di sini, bahwa apa pun yang diandaikan sebagai kenyataan memang terletak di dalam kurung—dalam arti menjadi sangat relatif. Dengan begitu, jika konstruksi kenyataan hanyalah boleh dipercayai sebagai salah satu simbol dalam hiruk pikuk proses penanggapan dan penafsiran, apakah yang masih bisa dipegang dalam sebuah teks? Tepatnya, apakah moralitas dari pembuatan suatu teks? Jawabannya ternyata masih klise: kebebasan dan kejujuran. Apakah saya bebas, barangkali masih bisa dilacak. Apakah saya jujur, hanya saya sendiri yang tahu—namun saya telah mencoba mengaku (Ajidarma, 2005: 156).


Kredo kepenulisan semacam inilah yang perlu terus dirawat dan ditanamkan dalam kesadaran para pengarang, baik itu fiksi maupun nonfiksi. Jika tidak, kerja kepenulisan kemudian hanya akan berwujud aktivitas pragmatis yang miskin nilai.


Wallahualam.


Bahan Bacaan

Ajidarma, Seno Gumira, 2002, Saksi Mata (Edisi Kedua), Cetakan Keempat, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
____________, 2005, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Edisi Kedua, Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Amini, Hasif, 1999, ”Cerita Pendek, Sadar Diri, Main-Main, Diam,” dalam Ahmad Sahal, dkk (ed.), Bertandang dalam Proses: Karya Pilihan Komunitas Utan Kayu, Yayasan Kalam, Jakarta.
Dhakidae, Daniel, 1995, “Kesusastraan, Kekuasaan, dan Kebudayaan suatu Bangsa,” Jurnal Kalam, edisi 6/1995, Yayasan Kalam, Jakarta, hlm. 74-102.
Ricklefs, M.C., 2005, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, penerjemah: Satrio Wahono, dkk., Serambi, Jakarta.
Uhlin, Anders, 1998, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, penerjemah: Rofik Suhud, Mizan, Bandung.


* Tulisan ini memenangkan Peringkat Pertama Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS) Reguler 2007 Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional RI.


Read More..

Selasa, 24 Juli 2007

Kekerasan terhadap Anak Bertopeng Mendidik

Kekerasan terhadap anak memang masih menjadi persoalan yang akut. Beberapa tahun yang lalu, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur misalnya mengungkapkan bahwa kasus kekerasan terhadap anak yang diungkap di media Jawa Timur sepanjang 2002 ada 210 kasus. Sementara itu, Kak Seto Mulyadi di sebuah media nasional memaparkan, di banyak tempat dan forum pertemuan dengan para orangtua, terungkap bahwa diperkirakan 50-60 persen orangtua mengaku melakukan child abuse dalam berbagai bentuk.

Kesadaran tentang hak-hak anak dan efek buruk kekerasan terhadap anak masih menjadi sesuatu yang cukup langka di masyarakat kita. Bentakan, tamparan, pengurungan, ataupun penelantaran (neglect), dipandang dalam kerangka pendisiplinan anak. Akibatnya, tindakan kekerasan terhadap anak seperti mendapat permakluman dan toleransi serta dipandang sebagai bagian dari pendidikan yang memang merupakan kewajiban orangtua. Selain itu, tindakan kekerasan terhadap anak secara umum juga lebih dipandang sebagai masalah internal keluarga, sehingga relatif menjadi tabu untuk dibicarakan secara lebih terbuka.

Secara umum, ada sejumlah stigma yang berkembang di masyarakat tentang karakter anak tertentu yang dibilang “nakal” atau “susah diatur”, sehingga tindak kekerasan terhadap mereka menemukan pembenarannya untuk maksud mendidik. Mereka mengatakan bahwa anak dengan karakter seperti itu tak dapat dididik dengan cara biasa, tetapi memang harus dengan tindak kekerasan. Ironisnya, pandangan dan sikap seperti ini bahkan juga dianut oleh kalangan pendidik, seperti guru di sekolah formal, atau para orangtua yang berpendidikan. Kerap kali media memberitakan tentang anak yang dipukul, dijewer, atau dimaki secara berlebihan di ruang kelas sebagai bentuk hukuman dengan dalih mendidik atau untuk memberi efek jera.

Perlakuan semacam ini masih terjadi karena kalangan pendidik di sekolah ataupun orangtua pada umumnya tidak memiliki informasi yang cukup tentang dampak kekerasan terhadap anak bagi kehidupan dan stabilitas psikologis mereka kelak. Tindak kekerasan itu hanya diletakkan dalam kerangka mendidik, dan tak diyakini dapat memberi dampak buruk kepada anak. Nyaris dapat dipastikan bahwa di masyarakat kita anak yang dikategorikan “nakal” atau “susah diatur” itu tidak akan mendapatkan perlakuan khusus yang lembut dan lebih baik untuk dapat diarahkan. Mereka dipastikan hanya akan mendapatkan tindak kekerasan.

Torey Hayden, psikolog pendidikan dan guru pendidikan luar biasa yang kini tinggal di Inggris, menulis banyak buku yang berkisah tentang bagaimana ia menangani (mendidik) anak-anak yang oleh masyarakat umum dipandang “nakal” dan “susah diatur”. Dari kisah Sheila yang terbit dalam dua jilid buku berjudul Sheila (Qanita, 2003), misalnya, Torey menunjukkan bahwa anak-anak semacam itu perlu disentuh hatinya dengan kesabaran dan kasih yang mendalam, dengan penuh empati, sehingga akhirnya justru potensi kreatifnyalah yang akan lebih tereksplorasi. Seperti ditegaskan oleh Dr. Karl Menninger, kasih itu menyembuhkan, bagi yang memberi dan yang menerima.

Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan juga rentan terjadi pada anak yang dinilai bodoh atau bahkan idiot. Berkat pencitraan media, para orangtua saat ini begitu mengidealkan anak-anaknya untuk dapat berprestasi secara formal di sekolah, pintar menyanyi, lincah menjadi MC, dan semacamnya. Obsesi semacam ini bukannya tidak baik. Akan tetapi, fakta di lapangan yang sering muncul adalah bahwa obsesi semacam ini kadang kala melahirkan sikap yang tak wajar dalam mendidik anak. Anak dengan kemampuan IQ rendah sering mendapatkan perlakuan keras baik di keluarga maupun di kelas untuk dibentuk menjadi pintar dan berprestasi. Sementara yang lainnya sering kali secara berlebihan didorong sedemikian rupa untuk memenuhi impian dan obsesi para orangtua itu, sehingga sering merasa tertekan dan tak punya waktu untuk bermain—sikap yang tak mempertimbangkan hak-hak dan dunia anak yang sebenarnya khas.

Dari uraian singkat ini, tampak jelas bahwa salah satu solusi yang perlu dilakukan untuk dapat mengatasi tindak kekerasan terhadap anak adalah sosialisasi atau penyadaran yang bersifat paradigmatik baik kepada para orangtua maupun kalangan pendidik bahwa kekerasan terhadap anak tak dapat dijadikan topeng sebagai dalih untuk mendidik. Bagaimanapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Ia hanya akan melahirkan jejak traumatis yang tidak baik dan tidak menyehatkan bagi perkembangan pribadi anak. Guru, orangtua, dan tokoh masyarakat secara paradigmatik harus memosisikan diri mereka sebagai sahabat anak, memperlakukan mereka secara setara layaknya manusia dengan karakter dan taraf kepribadian yang unik. Kita tentu tak ingin memiliki generasi penerus yang dibebani dan dibayang-bayangi oleh trauma kekerasan dalam dirinya.

Read More..

Jumat, 20 Juli 2007

Galeri Senja


Senja memang terlihat begitu indah jika disaksikan dari pantai. Suara debur ombak yang menyisir bibir pantai, buih yang terlempar ke udara setelah membentur karang terjal, angin yang bertiup kencang, sampan yang melaut di kejauhan, dan cahaya senja yang keperakan—semua seperti lukisan alam yang begitu indah.

Aku seperti berada di sebuah galeri seorang Maestro. Aku tiba-tiba ingin sekali menjadi bagian dari lukisan itu, bagian dari lanskap senja yang menyatu dengan sabda agung Penciptanya. Aku teringat sebuah petikan cerita tentang seseorang yang begitu menyukai senja tempat matahari tenggelam di ufuk samudera. Ia menatap senja itu dengan pikiran seakan ia akan mati di laut, seakan samudera akan menjadi kuburannya.

Aku tak begitu pasti apa yang kurasakan ketika sedang menatap senja di pantai itu. Saat itu aku memang sedang tak teringat pada kematian. Tapi aku bisa menghayati kesementaraan. Matahari, senja, keindahan, segera akan berganti malam. Setelah itu gelap. Awan sudah terlihat menyambut berarak ke arah sisi barat, seperti kelambu yang siap mengantar matahari rebah di peristirahatannya.

Aku mencoba bermain-main dengan ombak di pasir pantai yang tak seberapa luas itu, membiarkan tubuhku dipermainkan arus ombak yang lumayan kuat. Sesekali aku berteriak, ketika gulungan ombak yang tampak begitu besar siap menerpa tubuh kurusku. Tapi suaraku tak berarti apa-apa, ditelan gemuruh ombak yang kemudian mencapai tepian pantai.

Saat matahari semakin turun di ufuk barat, sehingga cahayanya menjadi kemerahan, aku berhenti mandi dan bermain dengan ombak, lalu duduk di sebongkah karang cukup besar yang agak menjorok ke arah lautan. Aku menghadap ke utara, ke arah lautan lepas yang seperti tak berbatas. Jauh ke utara, aku seperti menatap jalan menurun entah menuju negeri apa—mungkin negeri-dalam-lautan, seperti dalam dongeng. Tubuhku yang sedikit menggigil disapu cahaya matahari senja, yang saat itu tak menyisakan terik seperti di siang hari. Sesekali aku menatap ke arah barat, ke cahaya kemerahan yang semakin berpendar di antara gumpalan awan.

Aku tiba-tiba merindukan langit pantai dengan cahaya purnama.

Read More..

Kamis, 19 Juli 2007

Membaca Logika


Hampir setengah hari membolak-balik buku logika, akhirnya aku merasa tambah mual saja. Dari pagi tadi, ke sana kemari aku membaca tentang hukum identitas, term, proposisi, silogisme, sesat pikir, argumentum ad hominem, dan sebagainya. Beberapa halaman penuh dengan lambang Boole dan diagram Venn. Proposisi dalam berbagai bentuk bertaburan di tiap halaman, dengan istilah yang kadang terasa cukup merepotkan untuk diingat.

Rasa mualku semakin menjadi-jadi. Mungkin ini juga reaksi penyakit maagku. Tiba-tiba aku jadi teringat pada dosen pengampu kuliah logika selama dua semester dulu: lelaki separuh baya berkaca mata yang selalu berpenampilan energik, berambut lurus agak gondrong dan agak memutih, dengan mimik dan gaya bicara tak kalah orator ulung, dan selalu mencoba membawa logika ke dunia politik. Rasanya, tak ada yang tersisa di ingatanku tentang materi logika yang disampaikannya—semua seperti bersisa busa.

Apakah logika memang terlalu rumit dan terlalu jauh dari realitas kehidupan sehari-hari? Apakah logika pada saat-saat tertentu justru memang mengantarkan kita pada fakta akan kontingensi dunia, yang, seperti kata Sartre, saat disadari membuat kita ingin muntah?

Logika. Selamat tinggal dulu. Nanti aku tambah sakit. Aku mau pindah ke buku cerita saja.

Aku pilih buku cerita sekenanya saja. Pokoknya yang belum kubaca. Pilihanku jatuh pada buku cerita yang katanya ditulis oleh orang yang suka menulis puisi. Jadinya, isi ceritanya tak hanya sekadang rangkaian kata cerita, kata si penyunting buku, tetapi juga mengembangkan intensitas dan sublimitas bahasa. Apa maksudnya?

Aku coba banyak beberapa. Memang lumayan memikat. Tapi yang kemudian terlintas di benakku, aku semakin yakin bahwa apa yang kita alami dalam kehidupan sehari-hari kadang terlalu rumit untuk dibaca dengan kaidah-kaidah ilmu logika. Proposisi-proposisi kehidupan tak seterusnya bersifat deklaratif. Sering kali ia juga harus memuat unsur emosi, subjektivitas, dan semacamnya. Keputusan dalam hidup kadang juga tak harus selalu diambil dari penalaran atas proposisi-proposisi yang sudah tertata runtut. Kadang ada lompatan-lompatan dalam bernalar—semacam improvisasi.

Tapi tunggu. Jangan dulu keburu berkesimpulan bahwa tak penting belajar logika. Dalam beberapa keadaan, logika mungkin akan sangat membantu. Tapi untuk saat ini kamu jangan terlalu banyak mikir dulu (dengan logika), kata temanku. Tunggu sampai maagnya sembuh benar. Sementara aku setuju saja, meski temanku bukan dokter, dan penjelasannya tak dibuat dengan proposisi yang cukup jelas dan meyakinkan.

Read More..

Senin, 18 Juni 2007

Pendidikan Berbasis Komunitas: Melawan Kapitalisme Pendidikan


A. Zaenurrasyid (Ed.), Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah, LKiS, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Januari 2007, xx + 286 halaman
Sujono Samba, Lebih Baik Tidak Sekolah, LKiS, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Januari 2007, xvi + 94 halaman
Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah (ZaFiKa), Lebih Asyik Tanpa UAN, LKiS, Yogyakarta, Cetakan Pertama, Januari 2007, xiv + 82 halaman


Saat ini kita di Indonesia menyaksikan realitas dunia pendidikan yang begitu mengenaskan. Di satu sisi, mutu pendidikan tak kunjung menunjukkan perbaikan yang signifikan. Di sisi yang lain, dunia pendidikan juga telah menjadi bagian dari lahan industri kapitalisme, sehingga pemerataan pendidikan untuk seluruh rakyat menjadi cita-cita yang semakin jauh untuk dapat diraih. Pendidikan yang bermutu menjadi identik dengan biaya mahal, gedung megah, seragam necis, dan semacamnya.


Kebanyakan masyarakat tak mampu berbuat banyak melawan komersialisme pendidikan ini. Mereka yang berkantong tebal memercayakan anak-anaknya untuk dididik di sekolah bermutu berlabel internasional dengan biaya melangit. Mereka yang miskin kebanyakan harus merelakan anak-anaknya putus sekolah setelah menamatkan pendidikan dasar. Data di Depdiknas menunjukkan bahwa angka putus sekolah pada tingkat Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 2004-2005 berjumlah 685.967, sedang tingkat SMP mencapai 263.793. Jika tak putus sekolah, mereka menjalani pendidikan dengan teramat susah payah. Dalam situasi seperti ini, pendidikan kemudian menjadi beban hidup yang berat—jauh dari cita-cita pembebasan—yang kerap kali membuat rakyat semakin frustrasi. Dalam beberapa tahun terakhir, media massa lokal maupun nasional relatif cukup sering memberitakan anak-anak usia sekolah yang bunuh diri karena tak mampu membayar iuran di sekolah.


Kapitalisme pendidikan juga telah melahirkan mental yang jauh dari cita-cita pendidikan sebagai praktik pembebasan dan agenda pembudayaan. Dengan menjadi pelayan kapitalisme, sekolah saat ini tidak mengembangkan semangat belajar yang sebenarnya. Sekolah tidak menanamkan kecintaan pada ilmu, atau mengajarkan keadilan, antikorupsi, atau antipenindasan. Sekolah lebih menekankan pengajaran menurut kurikulum yang telah dipaket demi memperoleh sertifikat—selembar bukti untuk mendapatkan legitimasi bagi individu untuk memainkan perannya dalam pasar kerja yang tersedia (Illich, 2000).


Mengikuti arahan dan orientasi semacam ini, beberapa tahun terakhir ini kita telah menyaksikan praktik jual beli ijazah atau gelar akademik di mana-mana. Di pertengahan 2005 lalu misalnya tersiar kabar bahwa sebuah lembaga pendidikan di tanah air yang berafiliasi dengan sebuah perguruan tinggi di Amerika telah memiliki 53 cabang di berbagai daerah di Indonesia, dan dilaporkan telah mencetak sekitar sembilan ribu lulusan dengan berbagai gelar, mulai dari PhD, MBA, MSc, bahkan profesor, dengan sejumlah biaya tertentu.

Kapitalisme telah melahirkan mental dan budaya belajar yang tidak sehat. Pendidikan diidentikkan dengan selembar ijazah, dan mutu pendidikan disederhanakan dengan kemampuan untuk menjawab soal-soal ujian. Pendidikan kemudian meneguhkan sikap budaya instan dan pragmatisme yang dangkal (bdk, Fathurrofiq, Kompas, 16 April 2007). Dan ketika masyarakat begitu tergila-gila untuk mendapatkan gelar akademik atau pengakuan formal akan tingkat pendidikan tertentu dengan maksud menambah bobot kewibawaan dan prestise sosial mereka, tanpa diimbangi dengan upaya pendidikan dan pembelajaran yang lebih esensial dan mendasar, tanpa sadar mereka sebenarnya telah terjatuh kembali pada sebentuk sikap feodal.

Eksprimentasi Pendidikan Alternatif


Tiga buku yang diterbitkan LKiS Yogyakarta di awal 2007 ini merupakan sebuah potret yang hadir menghentak kesadaran kita yang menuturkan sebuah upaya sederhana sekelompok masyarakat di Desa Kalibening Salatiga Jawa Tengah dalam bersiasat menghadapi situasi dunia pendidikan yang sedemikian akut ini. Ketiga buku ini, dengan perspektifnya masing-masing, berkisah tentang sebuah lembaga pendidikan alternatif bernama SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang berusaha dibangun bersama oleh masyarakat Kalibening di tahun 2003 dan ternyata saat ini telah mulai menunjukkan hasil yang positif dan sangat diapresiasi oleh banyak pemerhati pendidikan di Indonesia.


Buku berjudul Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan semacam kliping atau dokumentasi dari berbagai media (Harian Kompas, Harian Suara Merdeka, Harian Pikiran Rakyat, Majalah Tempo, dan sebagainya) yang meliput sejarah, aktivitas, dan prestasi SMP Alternatif Qaryah Thayyibah.


Sedangkan buku berjudul Lebih Baik Tidak Sekolah ditulis oleh Sujono Samba, guru teater dan musik di SMP Qaryah Thayyibah. Dalam buku ini, seniman yang pada tahun 1995 menerima HDX Award untuk lagu ciptaannya berjudul Jodoh yang dinyanyikan oleh Manis Manja Grup ini mengungkapkan keprihatinannya atas keterpurukan dunia pendidikan di Indonesia. Pak Jono, demikian ia biasa dipanggil, memaparkan sejumlah data riset yang menunjukkan bahwa mutu pendidikan di Indonesia tak kunjung membaik. Berdasarkan laporan Human Development Index (HDI) Indonesia yang dibuat oleh United Nations Development Program (UNDP) misalnya, pada tahun 2005 Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 177 negara, di bawah Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Brunai, dan Singapura yang sesama negara ASEAN. Sedangkan menurut laporan monitoring global yang diterbitkan oleh UNESCO pada bulan Juni 2005 dilaporkan bahwa dari 14 negara berkembang di Asia Pasifik, Indonesia menduduki peringkat ke-10 dalam hal kualitas pendidikan dasar.


Buku Sujono Samba ini dapat dilihat sebagai pembacaan yang relatif lebih cermat atas fakta pencapaian program pendidikan di Indonesia, yang dapat menjadi latar besar bagi lahirnya model pendidikan alternatif seperti yang dilakukan masyarakat Kalibening. Pada intinya, Pak Jono mengkritisi pola pendidikan yang selama ini diterapkan di kebanyakan sekolah di Indonesia. Pendidikan tak hanya tidak memihak kaum miskin, tetapi juga cenderung membelenggu kreativitas, mengasingkan dari realitas, mengerdilkan idealisme, dan melahirkan rasa cemas dan lemah.


Dengan latar seperti itulah, Sujono kemudian menuturkan beberapa paradigma mendasar yang coba dibangun di lingkungan komunitas Qaryah Thayyibah. Dalam buku Pak Jono dan buku Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah ini, dituturkan bahwa sekolah alternatif ini didirikan bukan dengan latar perencanaan yang matang, tetapi lebih karena kebetulan. Alkisah, pada pertengahan tahun 2003, beberapa warga Desa Kalibening merasa prihatin dengan mahalnya biaya pendidikan anak-anak mereka yang akan menginjak tingkat SLTP. Ahmad Bahruddin, salah seorang ketua RW setempat, bersama-sama dengan wadah Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) berinisiatif untuk membicarakan masalah ini untuk dicarikan jalan keluar. Pada rapat inilah muncul pemikiran untuk mendirikan sekolah alternatif. Dari 30 warga yang dikumpulkan, 12 orang siap menyekolahkan anak mereka ke sekolah baru tersebut.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang secara resmi terdaftar sebagai SMP terbuka ini kemudian mulai beraktivitas dengan fasilitas seadanya, dengan lebih memfokuskan pada upaya peningkatan mutu pendidikan dan relatif mengabaikan fasilitas dan kelengkapan yang bersifat formal. Sekolah ini tak memiliki gedung atau ruang kelas. Sekolah ini menempati dua ruangan di rumah Bahruddin yang sebelumnya digunakan sebagai sekretariat SPPQT. Selebihnya kelas kadang juga digelar di alam bebas.


SMP Qaryah Thayyibah dikelola dengan prinsip pendidikan berbasis komunitas. Artinya, kegiatan pendidikan diselenggarakan dan diarahkan menurut kebutuhan komunitas atau warga setempat. Bahruddin, yang kemudian menjadi semacam kepala sekolah, dalam pengantar buku Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah memberikan ilustrasi bahwa ketika anak-anak di sekolah itu mencoba mengembangkan proyek budidaya belut, maka yang mereka lakukan itu dimaksudkan untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi komunitas—bukan dalam kerangka komoditas pasar. Konsep pendidikan berbasis komunitas ini merupakan kritik tajam terhadap pola pendidikan saat ini yang seperti terlepas dari akar kebudayaan dan kebutuhan para peserta didik. Bahruddin menggambarkan bagaimana anak-anak desa bersekolah ke kota dan bagaimana potensi diri anak-anak desa itu dimanfaatkan oleh kepentingan kelompok lain (baca: kaum kapitalis). Oleh karena itu, sejalan dengan kurikulum berbasis kebutuhan yang mereka kembangkan, siswa yang belajar biologi dan geografi di sekolah tersebut, misalnya, berupaya memecahkan masalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, seperti upaya konservasi sumber air bersih, pembuatan data base desa, atau penelitian tentang limbah pabrik.

Karena berbasis komunitas, sekolah ini juga memberi ruang partisipasi yang cukup luas bagi para warga atau wali murid, termasuk juga siswa. Hingga batas tertentu, siswa juga ikut berpartisipasi dalam proses pendidikan. Waktu dan tempat belajar misalnya ditentukan berdasarkan kesepakatan siswa dan guru—tidak harus selalu berlangsung dalam ruang kelas. Setiap hari, selepas salat Zuhur berjamaah, para siswa berembug bersama tentang masalah yang dihadapi di kelas, baik itu berkaitan dengan materi atau hal yang lain. Setiap bulan, para wali murid bertemu untuk membicarakan masalah kelangsungan proses pendidikan di sekolah.
Dalam praktik pembelajaran di kelas, guru juga diposisikan secara berbeda dengan pandangan konvensional. Guru didorong untuk rendah hati, terus memiliki semangat untuk belajar bersama siswa, menjadi fasilitator yang baik, dan memberikan apresiasi yang mendalam atas berbagai kreativitas siswa.

Sekolah ini, yang pada 2005 lalu mendapat penghargaan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, disebut “alternatif” karena biayanya murah. Tiap siswa hanya membayar iuran Rp 15.000,- tiap bulan. Selain iuran bulanan, tiap siswa juga ditarik uang Rp 4.500,- tiap hari, dengan rincian Rp 2.000,- ditabung untuk pembelian komputer, Rp 1.500,- untuk uang makan, dan Rp 1.000,- untuk tabungan bila ada kebutuhan khusus. Meski biayanya murah, siswa di sekolah ini dapat mengakses internet 24 jam. Koneksi internet yang merupakan bantuan dari pengusaha penyedia layanan internet di Salatiga ini memungkinkan wawasan, informasi, dan pergaulan siswa di sana sedemikian luas dan menjelajah ke berbagai tema.

Sekolah yang kini telah memasuki tahun kelima ini—artinya, telah memiliki jenjang pendidikan kelas 2 SMA—telah menorehkan sejumlah prestasi memukau. Pertengahan tahun lalu, tiga pelajar SMP Qaryah Thayyibah ini, yaitu Fina, Izza, dan Kana, menerima Indonesia Creative Award 2006 dari Yayasan Cerdas Kreatif Indonesia pimpinan Seto Mulyadi berkat tulisan mereka tentang Ujian Nasional (UN). Sebagai tugas akhir di sekolah mereka, ketiga siswa ini membuat karya penelitian yang mengkritisi kebijakan pemerintah tentang UN, yang kemudian terbit di Kompas edisi 3 Juli 2006.

Suara Siswa Menolak UAN

Buku lainnya tentang SMP Alternatif Qaryah Thayyibah ini berjudul Lebih Asyik Tanpa UAN. Buku ini merupakan hasil penelitian tiga orang siswa kelas 3 SMP Alternatif Qaryah Thayyibah Desa Kalibening Salatiga tentang UAN. Tiga siswa itu bernama Naylul Izza, Fina Af’idatussofa, dan Siti Qona’ah; mereka biasa dipanggil Izza, Fina, dan Kana—yang bisa disingkat ZaFiKa. Keikutsertaan ZaFiKa dalam UAN 2006 terbilang unik, karena selain sekolah mereka memang tidak mewajibkan siswanya untuk ikut UAN, tujuan ZaFiKa untuk mengikuti UAN lebih didasarkan atas rasa ingin tahu tentang bagaimana sebenarnya UAN, apa manfaat UAN dan apakah UAN memang dibutuhkan oleh siswa.

SMP Alternatif Qaryah Thayyibah yang menginduk pada SMPN 10 Salatiga memang bersikap cukup “aneh” tentang UAN. Alih-alih mendorong untuk mengikuti UAN, para siswa dan orangtua siswa kelas 3 di sekolah itu justru bersepakat agar para siswa kelas 3 menyusun tugas akhir yang disebut “disertasi” yang diarahkan pada kebutuhan komunitas. Ada yang menggarap tema penanaman pare, pembuatan briket dari sampah daun bambu kering, ada yang meneliti kurikulum Madrasah Ibtidaiyah di kampung mereka, dan ada pula yang mengamati dampak limbah pabrik tekstil. Ini sesuai dengan semangat paradigma pendidikan mereka, yakni pendidikan berbasis kebutuhan (komunitas).

ZaFiKa tertarik dengan tema UAN dengan beragam kontroversi yang mengitari pelaksanaannya, sehingga mereka memutuskan untuk “memantau” langsung dari dekat pelaksanaan UAN. Layaknya sebuah penelitian ilmiah, ZaFiKa memulai uraiannya dengan semacam latar belakang masalah, berikut rumusan persoalan atau tujuan yang hendak dicapai. Pada bagian ini, ZaFiKa memaparkan rasa keingintahuan mereka atas dipertahankannya pelaksanaan UAN, meski suara penolakan sudah dinyatakan banyak pihak. Sejak awal ZaFiKa sudah tak sepakat dengan pelaksanaan UAN. UAN hanya akan membatasi keinginan siswa sehingga membuat siswa menjadi tidak kreatif dan sulit menentukan arah kebutuhan belajar mereka yang sebenarnya.

Pembatasan UAN hanya pada tiga mata pelajaran—yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika—bagi ZaFiKa berarti tidak mengakomodasi keragaman minat siswa atas bermacam mata pelajaran yang lain. Bahkan, saat mengikuti UAN dengan materi Bahasa Indonesia, ZaFiKa merasa bahwa soal yang muncul tidak cukup untuk menguji kemampuan dan penguasaan mereka atas materi yang diujikan itu, karena dari sekian bab yang telah dipelajari, yang keluar hanya 25 persen. ZaFiKa memberi ilustrasi berikut: bayangkan ada siswa yang suka dan mahir dalam hal yang berkaitan dengan drama, tetapi di ujian Bahasa Indonesia tak satu pun ada soal tentang drama. Ini berarti kemampuan dan penguasaan siswa tersebut tidak dapat diukur dengan baik.

Dalam pemaparan tentang proses pelaksanaan UAN yang dituturkan dengan model catatan harian, ZaFiKa juga menemukan beberapa siswa di sekolah induk tempat mereka beruji melakukan aksi menyontek. ZaFiKa sangat menyesalkan hal ini. Bagi ZaFiKa, menyontek seakan melatih siswa untuk mendapatkan sesuatu tanpa usaha atau kerja keras. Tapi dalam beberapa hal ZaFiKa cukup dapat memahami konteks kejadian itu, karena UAN secara psikologis memang telah menekan sedemikian rupa sehingga siswa sangat khawatir tidak lulus. Akhirnya siswa menghalalkan segala cara. Bahkan kemudian terungkap di media bahwa meski menggunakan sisten pengawasan silang antarsekolah, terjadi kerja sama antarguru untuk memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek.

Setelah menggambarkan pengalaman mereka mengikuti UAN, yang diselingi dengan semacam refleksi atas pengalaman mereka itu, serta menyajikan beberapa data baik yang dihimpun dari lapangan maupun dari berbagai media tentang pelaksanaan UAN, di akhir bagian ZaFiKa menawarkan sejumlah solusi alternatif pelaksanaan UAN. ZaFiKa menegaskan bahwa semua sekolah atau lembaga pendidikan seharusnya mempunyai hak untuk menentukan langkah mereka sendiri, termasuk dalam menyusun kurikulum. Pemerintah hendaknya memberikan kebebasan pada masing-masing sekolah untuk menyusun evaluasi sendiri, membuat rapor sendiri, dan mengadakan ujian sendiri—dan pemerintah harus memberi pengakuan atas itu semua. Prestasi siswa mestinya menggunakan alat ukur lain yang lebih jelas. Bagi ZaFiKa, UAN tak dapat dijadikan tolok ukur prestasi belajar siswa.

Buku yang ditulis oleh tiga “peneliti muda” dari SMP Qaryah Thayyibah ini menarik karena ia tidak saja menyuarakan aspirasi siswa tentang pelaksanaan UAN. Lebih dari itu, buku ini memperlihatkan capaian menarik dari sebuah sistem sekolah yang dibangun di atas konsep pendidikan berbasis komunitas. SMP Qaryah Thayyibah, tempat ZaFiKa belajar, telah mampu menumbuhkan dan mengasah sikap kritis para siswanya terhadap apa yang ada di sekeliling mereka tanpa harus tertinggal dari pengetahuan umum yang sudah didapat oleh siswa lain dengan sistem pendidikan yang lazim digunakan.

Dari UAN yang diikutinya, ZaFiKa tidak saja memperoleh predikat “lulus”, tetapi mereka juga berhasil merefleksikan pengalaman mereka itu dalam sebuah karya penelitian yang meski sederhana tapi cukup bermakna. Sementara secara formal mereka tidak mendapat pelajaran semacam metode penelitian sosial, ZaFiKa telah berhasil memperlihatkan bakat mereka untuk bersikap peka serta membuat penelitian dan analisis atas problem sosial di sekitar kehidupan aktual mereka.

Sayangnya, buku ini tidak dilengkapi dengan pengantar dari pihak pengelola SMP Qaryah Thayyibah untuk menjelaskan bagaimana mereka mendampingi dan membimbing para siswanya dalam menyusun “disertasi” para siswa, termasuk karya penelitian ini. Meski demikian, hal itu tidak mengurangi gizi buku ini untuk dapat memberi inspirasi kepada para praktisi pendidikan, guru, dan juga siswa, baik untuk mengkritisi sistem evaluasi pembelajaran di sekolah maupun untuk memaknai proses pembelajaran itu sendiri secara lebih kritis dengan dicermati dalam kerangka kebutuhan anak didik.

Investasi Kebudayaan

Kemunculan SMP Alternatif Qaryah Thayyibah merupakan sebuah kritik paradigmatik yang cukup telak atas paradigma pendidikan yang secara umum dipraktikkan di Indonesia. Sulit untuk dibantah bahwa pendidikan saat ini telah menjadi bagian dari jejaring kapitalisme global. Pendidikan telah berbelok dari orientasinya yang bersifat primordial. Ia tak lagi mendorong peserta didik untuk menjadi subjek yang merdeka, tetapi justru mengerdilkan wawasan berpikir mereka. Makna pendidikan dimampatkan hanya semata untuk tujuan mendapatkan pekerjaan, sehingga bidang pendidikan yang banyak diminati adalah yang laku keras di bursa kerja. Kenyataannya, kesempatan kerja di Indonesia hingga saat ini sangat sulit, sehingga jumlah pengangguran tetap melimpah. Menurut catatan Depnakertrans, pada tahun 2006 ada 500 ribu tenaga sarjana yang menganggur. Hal ini jelas memperlihatkan lemahnya mutu pendidikan di negeri ini. Pendidikan hanya melahirkan lulusan bermental pekerja, bermental buruh, dan tak bisa menghasilkan petani yang mandiri, usahawan kecil yang penuh inisiatif dan berswadaya, atau pengrajin yang mampu bersaing dengan produk impor. Karena sudah menjadi bagian dari jejaring kapitalisme, pendidikan menegaskan ketergantungan bangsa ini kepada bangsa-bangsa maju.

Apa yang sudah dilakukan Bahruddin dan rekan-rekannya dalam membangun model pendidikan alternatif Qaryah Thayyibah telah benar-benar membuka mata kita bahwa sebenarnya masyarakat memiliki potensi yang cukup besar untuk melakukan perubahan, yakni untuk membebaskan diri dari berbagai bentuk belenggu kemiskinan dan kepapaan dalam struktur masyarakat yang pincang dan sakit. Dengan kata lain, sebuah modal kultural yang dihimpun dan diberdayakan untuk menguatkan komunitas, membangun kemandirian, melalui upaya pendidikan yang lebih bernilai substantif (bdk, Abdurrahman Wahid, 1984, xvi-xxii).

Dalam kerangka paradigma pendidikan alternatif, pendidikan dipandang sebagai bagian dari upaya hominisasi dan humanisasi (N. Driyarkara, 1991: 80-83). Pendidikan pada tahap yang paling minimal merupakan proses penjadian manusia. Manusia tidak semata-mata dilihat sebagai sosok makhluk biologis, melainkan juga sebagai sosok pribadi sekaligus sebagai subjek. Pada taraf ini pendidikan harus diusahakan untuk membentuk makhluk yang mempribadi dan berperan sebagai subjek. Inilah proses hominisasi. Lebih jauh lagi, pendidikan juga merupakan proses humanisasi. Humanisasi berada pada tahapan yang lebih tinggi dari sekedar hominisasi. Humanisasi dalam konteks pendidikan berarti bahwa pendidikan juga dilihat sebagai suatu proses pembangunan peradaban manusia. Hal ini berdasarkan pengandaian bahwa manusia adalah juga makhluk sosial yang membentuk peradabannya secara bersama-sama dan bersifat lintas-generasi. Dengan melihat praktik pendidikan sebagai suatu wujud kerja kultural maka manusia yang menjadi subjek pendidikan harus dilihat dari totalitas unsur-unsur penyusunnya (tubuh dan jiwa). Pendidikan juga harus dilihat dalam bingkai ekspresi cipta, rasa, dan karsa manusia.

Berdasarkan pandangan ini, orientasi pendidikan harus digeser dari sekadar pemenuhan kebutuhan ekonomi negara menjadi pandangan bahwa pendidikan adalah juga strategi pembangunan peradaban bangsa—dan inilah yang lebih penting. Pendidikan adalah sebuah proses human investment, sehingga pendidikan juga merupakan ikhtiar paling penting dalam membangun masyarakat berkeadaban.

Upaya kultural yang dilakukan Bahruddin dan rekan-rekannya ini juga seperti menegaskan kembali suara Ivan Illich (1926-2002), filsuf dan aktivis pendidikan kelahiran Austria, dalam bukunya yang legendaris, Deschooling Society. Dalam buku tersebut, Illich melucuti hak istimewa sekolah yang selama ini dipandang sebagai satu-satunya lembaga masyarakat yang memiliki otoritas untuk mengelola pendidikan. Bahruddin secara tidak langsung telah menelanjangi topeng licik kapitalisme yang diam-diam mendekam di dunia pendidikan kita. Bahruddin bersuara dan memprotes dunia pendidikan bukan dengan teriakan lantang di jalanan, tetapi dengan berbisik, dengan langkah nyata yang pelan tapi penuh makna.

Melalui tiga buku ini, semoga suara hening dari Kalibening ini mampu ditangkap kedalaman maknanya oleh masyarakat Indonesia yang lain. Juga oleh para elite negeri ini, yang semasa kampanye tak bosan mengumbar janji untuk memperjuangkan peningkatan mutu pendidikan Indonesia, tapi hingga kini belum terlihat buktinya yang lebih nyata.



Bahan Bacaan
Abdurrahman Wahid, 1984, “Pembebasan Melalui Pendidikan: Punyakah Keabsahan?: Tinjauan Sepintas Atas Sebuah Pendekatan”, kata pengantar dalam buku Paulo Freire, Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan, penerjemah: Alois A. Nugroho, Gramedia, Jakarta.

Fathurrofiq, “Ujian Nasional: Nihilisasi Budaya Belajar”, Kompas, 16 April 2007.

Illich, Ivan, 2000, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, penerjemah: A. Sonny Keraf, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

N. Driyarkara, 1991, Driyarkara tentang Pendidikan, Cet. III, Kanisius, Yogyakarta.



Read More..